EKSPLOITASI WAKTU KERJA BAGI PEKERJA PADA INDUSTRI FAST FASHION DALAM PERSPEKTIF

HUKUM KETENAGAKERJAAN INDONESIA

Ida Ayu Wistari Narayani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : idaayuwistari @gmail.com

Pande Yogantara S, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i04.p07

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan tentang eksploitasi terhadap waktu kerja para pekerja serta untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum akan para pekerja mengalami eksploitasi waktu kerja pada industri Fast Fashion. Artikel ini merupakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Hasil studi menunjukkan bahwa undang-undang ketenagakerjaan maupun Undang-Undang Cipta Kerja tidak secara khusus mengatur mengenai eksploitasi terhadap pekerja. Namun dalam pasal 77 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur mengenai Waktu Kerja Pekerja dan Pasal 81 angka 22 ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja mengatur upah kerja lembur yang dimana pasal-pasal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk peraturan eksploitasi terhadap pekerja. Mengenai bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja dengan adanya eksploitasi tersebut diatur dalam pasal 81 angka 65 ayat (1) dan pasal 81 angka 66 ayat (1) UU Cipta Kerja. Bentuk perlindungan yang diberikan yakni sanksi pidana kurungan dan sanksi pidana denda. Serta bentuk perlindungan lainnya melalui pengawasan ketenagakerjaan sesuai Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan seperti melalui Pengawasan; bimbingan; serta pendidikan dan pelatihan dalam rangka pembinaan hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja agar terciptanya hubungan harmonis tanpa adanya perbuatan eksploitasi.

Kata Kunci : Eksploitasi, Fast Fashion, Tenaga Kerja

ABSTRACT

This article aims to know regulations regarding exploitation by labor in Indonesia as well as to see and study forms of legal protection for labor who experience exploitation in the Fast Fashion industry. This article is a exemplar normative legal research with the approach used is the statute and a conceptual approach. The results of writing this study show that labor law also omnibus law do not specifically regulate the exploitaton of workes. However, in article 77 of the Labour Law regulates working hours and article 81 point 22 paragraph (2) of the Omnibus Law regulates overtime pay, which these articles could be said to be form worker exploitation regulations. Regarding the form of legal protection for workers with exploitation regulated in article 81point 65 paragraph (1) and article 81 point 66 paragraph (1) of the Omnibus Law with the form of protection provided in the form of imprisonment dan fines. Other forms of protection through labor inspection appropriate with Presidential Regulation about Labor Inspection such as through Supervision; guidance; as well as education and training in the framework of fostering industrial realtions between employers and workers to create hamonious realations without exploitation.

Keywords : Exploitation, Fast Fashion, Labor

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Fashion di masa sekarang menjadi salah satu gaya hidup yang sangat pupuler dan bergengsi dalam tatanan dunia modernisasi. Fashion masa sekarang identik digunakan sebagai ajang status sosial seseorang dan gaya hidup masyarakat globalisasi. Maraknya perkembangan industri pakaian mayoritas sangat berkembang pesat dalam kancah modernisasi ini, dilihat dari besarnya kemampuan suatu industri fast fashion dalam meningkatkan pendapatan nasional beserta nilai ekspor. Perkembangan industri ini dapat pula dilihat berdasarkan data dari CNBC Indonesia bahwa perkembangan fashion menyumbang sekitar delapan belas persen atau setara dengan seratus enam belas triliun1. Industri Pakaian ini merupakan suatu industri jenis manufaktur yang kegiatan pekerjaannya menggunakan mesin yang mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi nantinya mempunyai hasil jual dalam hal ini berupa pakaian. Mengingat industri ini industri terbesar di dunia dengan menekan angka pertumbuhan ekspor yang tinggi dan besar, maka pergerakan industri dalam bidang pakaian ini mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dikarenakan mode gaya pakaian dunia terus diperbarui sehingga menghasilkan produksi pakaian-pakaian yang mengikuti trend atau model pakaian dunia modern. Fast-Fashion adalah istilah yang digunakan oleh industry tekstil dalam memproduksi pakaian ready-to-wear (siap pakai). Mengingat tujuan dari fast fashion ini merancang pakaian model terbaru menjadi suatu produk dengan harga ekonomis dengan tujuan menaikkan minat pembeli atau konsumen dan produksinya selalu mengikuti jumlah model pakaian terbaru yang dihasilkan sebanyak-banyaknya dalam hal produksi.2

Industri ini singkatnya industri yang besar menyertakan para pekerja dan para pengusaha. Pengusaha memiliki peran yang kuat dalam hubungan kerja yakni seperti pekerjaan, upah, dan perintah. Akan tetapi dalam pelaksanaannya industri ini menimbulkan akibat eksploitatif terhadap waktu kerja bagi pekerja atau buruh. Eksploitasi dalam artian tersebut terjadi sebagai bentuk kepentingan ekonomi sama sekali tidak mempertimbangkan rasa kepedulian dan keadilan serta kompensasi kesejahteraan. Sehingga kerusakan lingkungan serta isu ketenagakerjaan menjadi permasalahan baru yang ditimbulkan dari pelaksanaan fast-fashion ini. Perihal isu ketenagakerjaan, pihak pengusaha lalai terhadap keselamatan pekerja, eksploitasi terhadap jam kerja dan gaji yang kurang setimpal dengan jam kerja serta terlambatnya para pekerja mendapat gaji.3 Industri fast-fashion pada mulanya industri model kapitalis dimana hanya memfokuskan pada pekerja dengan upah ekonomis atau dibawah standart4. Para pekerja ini banyak didapatkan di Negara ekonomi kurang maju layaknya Indonesia. Keadaan tersebut terjadi dikarenakan permintaan pasar yang menginginkan pakaian-pakaian dari brand ternama dengan harga minimalis.

Maka dari itu para pengusaha sangat menekan biaya produksi seminimal mungkin. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya eksploitasi terhadap para pekerja dimana eksploitasi ini menumbuhkan distribusi kesejahteraan dan kekuasaan yang tidak seimbang. Adapun para pekerja sudah melakukan kesepakatan dan telah disepakati oleh kedua belah pihak akan tetapi banyak terdapat pelanggaran kesepakatan. Para pekerja memilih diam tidak mempunyai pilihan dan tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Secara sosial ekonomis kedudukan pengusaha tentu lebih tinggi dibanding pekerja atau dengan kata lain terjadi hubungan antara penguasa (pengusaha) dan yang dikuasai (pekerja/buruh) sehingga dalam hubungan kerja ini tetap mengakibatkan terjadinya eksploitasi terhadap pekerja.

Di Indonesia, hubungan kerja pengusaha dengan para pekerja tertuang dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Bab 10 pasal 102 ayat (1) mengenai hubungan industrial menyatakan “dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.” Peraturan UU ketenagakerjaan ini apabila dilihat pasal 53 yang dimana menyampaikan agar pengusaha wajib memperhatikan kontrak kerja dan memadai sarana prasarana memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan dan terjaminnya pengupahan para pekerja menjadi tanggung jawab pengusaha sesuai perjanjian kerja yang telah disepakati. Sehingga nantinya bila terjadi pelangaran hubungan kerja yang merugikan para pekerja hal ini tentu melanggar kesepakatan yang telah dibuat dan termasuk ke dalam bentuk eksploitasi dimana menyangkut hak asasi. Mengingat pekerja memiliki peran menjalankan kewajiban dan menerima haknya yakni hak utama tersebut meliputi waktu kerja, upah, jaminan sosial, dan layanan kesejahteraan5.

Apabila kita melihat ketentuan Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Indonesia menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” . Berdasarkan ketentuan ini tentunya Negara harus menjamin suatu perlakuan yang adil dan setara terhadap pekerja, baik dalam pemberian upah, jam kerja dan jenis pekerjaan. Akan tetapi implementasi di lapangan banyak pekerja yang bekerja melewati jam kerja yang kurang wajar dan masih menerima upah yang tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Bahkan masih banyak pekerja-pekerja industri fast fashion ternama tidak dibayar dengan upah yang sesuai dan mencukupi untuk hidup yang layak serta waktu kerja yang tidak sesuai aturan. 6 Salah satu contoh ketidakadilan terhadap kaum pekerja dalam industri fast fashion di Indonesia yakni terjadi pada PT Kaisar Laksmi Mas Garment, Sukamaju Cilodog yang mempekerjakan para pekerja dengan waktu kerja sekitar 22 jam sampai pada jam 12 malam tanpa dihitung uang lembur serta pihak pekerja mendapatkan gaji dibawah Upah Minimum

regional (untuk selanjutnya disebut UMR).7 Tindakan eksploitatif terhadap waktu kerja para pekerja tersebut menyebabkan para pekerja tidak memiliki waktu banyak dengan keluarganya penyebabnya tidak lain faktor waktu kerja yang sangat berlebih sehingga para pekerja menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja mengabdikan diri pada perusahaan sehingga waktu dengan keluarga terkesan singkat. 8 Selain itu pekerja tentunya membutuhkan upah yang cukup dari waktu kerja yang berlebih atau kerja lembur yang didapatkan dalam memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya sesuai upah standar minimum yang ditentukan undang-undang.

Permasalahan eksploitasi terhadap waktu kerja bagi para pekerja dalam industri fast fashion yang telah dipaparakan diatas tersebut sangat menarik untuk dikaji, maka karenanya artikel ini ditulis dengan judul “Eksploitasi Pekerja Pada Industri Fast Fashion Dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”. Sebelumnya telah terdapat dua penelitian serupa yang membahas mengenai eksploitasi terhadap pekerja dalam industri fast fashion. Pertama dengan judul penelitian “Hubungan Kerja Dalam Industri Fast Fashion:Analisis Isi Terhadap Fenomena Eksploitasi (Studi Kasus Film True Cost dan Nike Swearshops)”yang ditulis oleh Tri Apriliani9, dimana penelitian ini fokus utama meninjau film “the true cost” yang mengilustrasikan industri fast fashion di Bangladesh beserta “Nike Sweatshops” yang mengilustrasikan industri fast fashion di Indonesia serta bagaimana eksploitasi tersebut terjadi, kemudian penelitian selanjutnya dengan judul “Kajian Fast Fashion Dalam Percepatan Budaya Konsumerisme” yang ditulis oleh Fairus Shinta10, penelitian ini membahas mengenai perkembangan fast fashion memberikan pengaruh terhadap budaya konsumerisme hingga timbulnya isu tenaga kerja dan isu kerusakan lingkungan. Penulisan artikel ini lebih menitikberatkan terhadap pengaturan dan perlindungan hukum para pekerja yang mengalami eksploitasi waktu kerja di industri fast fashion berdasarkan hukum positif di Indonesia.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang sudah dikemukakan sebelumnya, penelitian ini akan mengkaji permasalahan-permasalahan yakni seperti :

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan mengenai waktu kerja bagi pekerja pada industri fast fashion menurut peraturan hukum di Indonesia?

  • 2.    Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap hak pekerja yang mengalami eksploitasi waktu kerja pada industri fast fashion di Indonesia?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan tentang waktu kerja para pekerja berdasarkan hukum positif di Indonesia serta dapat mengetahui dan

mengkaji bentuk perlindungan hukum bagi pekerja yang mengalami eksploitasi waktu kerja pada industri Fast Fashion di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Artikel ini ditulis dengan metode penelitian hukum normatif yaitu metode penelitian hukum yang dikerjakan mengacu pada bahan pustaka atau bahan sekunder belaka11. Penulisan pada artikel ini memakai pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu dengan mendalami peraturan ataupun regulasi perundang-undangan yang berkaitan sesuai permasalahan dikaji yakni penulisan jurnal ini yakni UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja sebagai bahan hukum primer. Adapun penunjang dari bahan hukum primer yakni bahan hukum sekunder seperti asas-asas hukum dan bahan-bahan kepustakaan terkait eksploitasi. Selain itu penulisan artikel ini juga menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) yangmana pendekatan dilakukan dengan merujuk pada prinsip beserta teori ilmu hukum dan gagasan-gagasan yang menghasilkan suatu konsep serta asas-asas hukum yang relevan sebagai pemecahan dalam permasalahan hukum yang dihadapi. 12 Metode kepustakaan (library research) dilangsungkan dengan cara menggabungkan bahan hukum dari hasil penelitian sebelumnya yang sejenis serta berbagai jurnal yang berkaitan dengan masalah yang dipecahkan sehingga dapat dijadikan penulis sebagai bahan bacaan dan sumber rujukan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Waktu Kerja Para pekerja Pada Industri Fast Fashion Dalam Hukum Positif di Indonesia

Kancah eksploitasi tidak berakhir di sebuah industri tambang, melainkan dewasa ini perbuatan eksploitasi menjurus kepada industri pakaian fast fashion. Beranjak akan hal itu banyak sekiranya penerapan perbuatan eksploitasi semakin merajalela dalam ranah perindustrian. Eksploitasi menurut Suharto13 adalah memanfaatkan seseorang secara tidak pantas untuk kebaikan maupun keuntungan orang tersebut, sementara eksploitasi pekerja merupakan sesuatu untuk menikmati keuntungan dari hasil kerja keras orang lain tanpa membagikan timbalan yang sesuai. Eksploitasi dalam industri fast fashion ini dimaksud yaitu tindakan kaum atas yakni perusahaan yang menekan bawahannya yaitu para pekerja eksploitasi tersebut dapat dilihat dengan perampasan hak-hak pekerja seperti hak memiliki waktu kerja yang sesuai sampai pada hak mendapatkan upah yang layak sesuai jam kerja yang diberi, dikarenakan jam kerja yang diberi melewati waktu kerja yangmana ditentukan oleh Negara. Setiap perusahaan ataupun pabrik selalu memberlakukan sistem kerja dan kebijakan terhadap upah kerja, cuti kerja serta sampai pada waktu kerja para pekerja di suatu perusahaan sesuai perjanjian kesepakatan yang telah di buat. Waktu kerja merupakan waktu yang digunakan bagi pekerja yang melakukan tanggung jawab terhadap pekerjaan pada waktu yang sudah ditetapkan, kesepakatan waktu kerja ini

penting bagi kesehatan kerja yang dimana kesehatan kerja ini merupakan asas dasar yang ditujukan kepada semua pekerja atau buruh dalam keseluruhannya baik itu pria maupun wanita, serta muda maupun dewasa yang diimplemetasikan terutama pada ketetapan-ketetapan perihal waktu kerja, waktu mengaso dan waktu itirahat14.

Maka beranjak dari hal tersebut adapun pengaturan mengenai hak pekerja dalam mendapatkan waktu kerja yang sesuai hingga hak mendapatkan upah yang layak sesuai waktu jam kerja yang didapat pekerja agar tidak terjadi kesewenangan yang mengakibatkan adanya eksploitasi pekerja dalam peraturan hukum di Indonesia. Berdasarkan pasal 77 UU Ketenagakerjaan bahwa pengaturan atas jam kerja yang telah ditetapkan Negara yakni maksimal 7 (tujuh) sampai 8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu. Sedangkan jam lembur hanya diperbolehkan sesuai ketentuan Pasal 81 angka 22 ayat (1) UU Cipta Kerja yakni paling lama dengan jangka waktu 4 (empat) jam sehari serta seminggu dengan kurun waktu 18 (delapan belas) jam. Pengaturan terhadap waktu kerja yang berlebih atau lembur sebagaimana tercantum pasal 81 angka 22 ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja mengatur bahwa pengusaha ataupun pemilik modal diwajibkan memberi gaji kerja lembur dalam mempergunakan tenaga pekerja yang bekerja melewati waktu kerja sudahditentukan. Pasal 85 UU Ketenagakerjaan menentukan pengusaha maupun pemilik modal mewajibkan untuk memberi gaji lembur dalam mempergunakan tenaga pekerjanya saat hari libur resmi. Adapun perihal pengaturan waktu kerja melaksanakan ibadah yakni dalam pasal 93 ayat (2) huruf e UU Ketenagakerjaan yangmana pengusaha maupun pemilik modal memperuntukkan kesempatan kepada para pekerja dalam melakukan ibadah yang diharuskan kepada agama beserta Tuhannya atas dasar tetap memberikan gaji walaupun dalam keadaan tidak bekerja. Serta pengaturannya terdapat pada pasal 80 UU Ketenagakerjaan bahwasannya pengusaha maupun pemilik modal harus memberikan kesempatan kepada pekerja ataupun buruh untuk melakukan ibadah sesuai keyakinannya.

Seperti diketahui pekerja yang tidak bekerja sesuai waktu kerja yang diresmikan oleh Peraturan UU mempengaruhi tatkala memeproleh Upah yang di dapat. Memperoleh upah adalah suatu tujuan atau maksud bagi pekerja dalam melakukan pekerjaan, tentunya setiap pekerja mengharapkan upah atau imbalan yang sesuai dengan hasil tenaga yang mereka keluarkan dan waktu kerja yang dihabiskan. Berdasarkan pasal 1 angka 30 UU Ketenagakerjaan, upah merupakan hak sebagai pekerja yangmana didapat serta dinyatakan berwujud uang sebagai imbalan baik oleh pihak perusahaan teruntuk para pekerja saat diberi gaji sesuai dengan kesepakatan kerja yang telah disepakati. Pengertian tersebut sangat jelas bahwa upah dibayarkan berlandaskan adanya kesepakatan antara pihak pemberi kerja dengan pihak pekerja. Hak pekerja saat mendapat upah lahir ketika berawal dalam hubungan kerjaa dan berakhir pada pemutusan hubunggan kerja. 15 Adapun pengaturan perihal hak atas upah yang setimpal tertuang pada Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dimana seorang pekerja berwenang mendapat pendapatan untuk menjalankan kehidupan sejahtera berdasarkan kelayakan. Pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yangi mengatur bahwa Pengusahai memberikan upahi dilarang mengurangi dari ketentuan UMP atau UMK. Pasal 81 angka 25 ayatt (2) dan ayatt (3) UU Cipta Kerja menyatakan

setidaknya setiap pekerja pantas mendapatkan gaji yang sangat setara teruntuk pekerjaan memiliki nilai sama serta perusahaan diharuskan membayar uang pekerja atas kesepakatan yang dilakukan terdahulu.

Pengaturan perundang-undangan yang sudah dijelaskan diatas dapat dikatakan sebagai pengaturan terhadap bentuk adanya eksploitasi yang terjadi pada waktu kerja pekerja walaupun tidak secara mengkhusus. Sesuai pada pasal 77 Undang-Undang Ketenagakerjaan maka tentu aturan waktu kerja para pekerja wajib ditaati dan dijadikan pedoman agar tidak serta merta memberlakukan eksploitasi terhadap waktu kerja pekerja oleh setiap perusahaan yang memiliki ataupun menggunakan jasa tenaga kerja. Adapun berdasarkan aturan waktu kerja yang telah menjadi ketetapan resmi tersebut banyak para pekerja suatu industri fast fashion mendapatkan waktu kerja yang melewati aturan Negara yang telah tetapkan. Para pekerja bekerja dengan kurun waktu selama 10 jam per hari melebihi aturan yang telah Negara tetapkan yakni 7 sampai 8 jam perhari serta dituntut untuk kerja lembur hampir setiap hari dari senin sampai sabtu ditambah dengan target yang harus diemban oleh para pekerja16. Mengingat industri ini industri fast fashion dimana kerja cepat para pekerja ataupun buruh menjadi garda terdepan dari suatu industri ini sehingga pengaturan pada pasal tersebut merupakan suatu bentuk dari pengaturan eksploitasi pekerja. Pengaturan terhadap waktu kerja yang berlebih atau lembur sebagaimana tercantum dalam pasal 81 angka 22 ayatt (2) Undang-Undang Cipta Kerja mengatur bahwa perusahaan hendaknya membiayai gajii tenaga pekerja lembur bagi yang bekerja melebihi standar jam kerja ditentukan.

Sebagaimana diketahui bekerja dengan jam kerja yang berlebihan (excessive working time) menjadi suatu tantangan kerja bagi para pekerja serta adanya waktu bekerja melangkahi kesanggupan biasanya tanpa disertai produktvitas kerja optimum justru tidak jarang para pekerja dapat terganggu dalam penurunan hasil kerja dan kecenderungan terjadinya kelelahan, konsentrasi bekerja sampai pada kecelakaan kerja17. Mengingat Industri fast fashion dalam mendistribusikan produknya dominan dengan jumlah besar, mengejar target serta mengikuti perubahan mode yang cepat untuk di produksi. Sehingga waktu libur ataupun cuti kerja dalam industri ini sangat minim diberlakukan bagi para pekerjanya. Maka adanya pengaturan dalam pasal ini merupakan bentuk pengaturan dari tindakan eksploitasi akan waktu kerja yang berlebih. Perihal pengaturan waktu kerja melaksanakan ibadah yang ditegaskan didalam pasal 93 ayat (2) huruf e beserta pasal 80 UU Ketenagakerjaan merupakan bentuk pengaturan terhadap eksploitasi hak pekerja dalam mendapatkan hak melaksanakan ibadah di sela-sela waktu kerjanya. Melihat para pekerja industri fast fashion bekerja terus menerus dengan tujuan mencapai target yang diinginkan pihak perusahaan maka libur hari raya agama jarang dijumpai hal ini mengakibatkan eksploitasi terhadap waktu kerja dalam bentuk melaksanakan ibadah bagi pekerja. Maka dengan adanya pengaturan dalam pasal tersebut para pekerja dilindungi hak dalam melaksanakan ibadahnya sesuai agama yang dianut masing-masing pekerja.

Adapun pengaturan perihal hak atas upah yang layak, dimana diketahui pekerja yang tidak bekerja sesuai waktu kerja yang ditetapkan oleh Undang-Undang mempengaruhi dalam memperoleh upah yang sesuai dan upah lembur tentunya, maka pengaturan perihal hak atas upah layak sebagaimana tercantum pasal 88 ayat (1) Undang-Undangi Ketenagakerjaan dimana semua pekerja mendapatkan pengupahan hal itu nantinya guna mencukupi kehidupan dirinya dan sanak keluarga. Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan memberi pedoman agar Perusahaan memberikan upah tidak boleh kurang atas ketentuan upah minimum Provinsi atau Kabupaten/Kota. Pasal 81 angka 25 ayat (2) & ayat (3) Undang-Undang Cipta Kerja menyatakan hendaknya sipekerja mendapatkan upah nan setara akan pekerjaan yangmana memiliki nilai setara pula serta sipengusaha diharuskan membiayai pengupahan pekerja sesuai perjanjian yang dilakukan terdahulu. Dimana melihat banyaknya kaum pekerja atau buruh yang demonstrasi tiada henti di Indonesia karena mereka tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak dan penuh dalam menghidupi kebutuhan sendiri beserta kebutuhan keluarganya. 18 Maka dengan pengaturan pasal hak atas upah yang layak tersebut merupakan suatu bentuk pengaturan dari ekploitasi hak atas upah pekerja.

  • 3.2    Perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja yang mengalami eksploitasi pada industri fast fashion di Indonesia

Perlindungan hukum kepada pekerja adalah suatu implementasi hak dasar yang esensial dan dilindungi bagi konstitusi Negara Indonesia. adanya perlindungan kepada sisi pekerja guna menjamin hak-hak para pekerja tentunya menjamin akan adanya perbuatan yang sama tidak didasari adanya tindakan ekploitasi. Kedudukan/derajat pekerja hakekatnya bisa dipahami atas dua bentuk yakni bentuk yuridis bersama bentuk sosial ekonomis. Adapun dari bentuk sosial ekonomis, buruh memerlukan perlindungan hukum berasal pada Negara (country) terhadap nantinya ada tindakan secara sewenang pihak pengusaha/pemilik modal.19 Bentuk perlindungaan disampaikan pemerintah sebagai penguasa yakni dengan membuat susuan aturan yang mengikat para pekerja ataupun buruh dan para pengusaha atau pemilik modal selain itu melakukan pembinaan serta melaksanakan hubungan industrial.20 Perlindungan terhadap para pekerja ataupun buruh dilakukan dengan tujuan untuk menjamin hak asasi pekerja serta terjamin terhadap kesetaraan atas perilaku tanpa adanya eksploitasi wujud lainnya dan dapat memberikan kesejahteraan serta perindungan bagi para tenaga kerja.21 Mengingat harapan pembangunan ketenagakerjaan yaitu untuk memberikaan perlindungann kepada pegawai/pekerja sebagai merealisasikan kesejahteraan ataupun kedamaian seperti tertuang dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Perihal bentuk perlindungan akan hak-hak pekerja yang mengalami eksploitasi pada industri fast fashion di Indonesia sebagaimana yang terjadi pada perusahaan

industri garmen PT Kaisar Laksmi Mas Garment yang berkawasan di Cilodong, Depok perusahaan tersebut menerpkan jam kerja yang berlebih dari aturan Undang-Undang dimana pada hari tertentu bekerja dengan jam kerja sepanjang dua puluh dua jam mulai saat jam tujuh pagi hingga pada jam lima pagi lusa harinya dan pada hari biasa cukup sering para pekerja bekerja selama 17 jam sehari yakni berawal tujuh pagi sampai dua belas malam serta dengan jam kerja tidak wajar tersebut pekerja sama sekali tanpa mendapatkan upah lembur ataupun tambahan serta pengupahan yang diterima dibawah Upah Minimum Provinsi (selanjutnya disebut UMP).22 Sebagaimana kasus diatas maka hal tersebut telah melanggar aturan pasal 77 UU Ketenagakerjaan hendaknya pengaturan mengenai jam kerja telah ditetapkan Negara yakni maksimal 7 sampai 8 jam sehari bekerja dan melanggar pasal 90 ayat (1) bahwa Pemilik modal memberikan pengupahan tidak boleh kurang atas ketentuan UMP atau UMK. Sedangkan waktu tambahan/lembur yang diperbolehkan sesuai Pasal 81 angka 22 ayat (1) Undang-Undang Cipta Kerja yakni paling lama dengan waktu 4 jam sehari dan 18 jam seminggu. Pengaturan terhadap waktu kerja yang berlebih atau lembur sebagaimana tercantum pasal 81 angka 22 ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja mengatur jelas pemilik modal diharuskan membiayai uang kerja lembur pada pekerja setelah kerja keras melebihi waktu kerja yang telah ditentukan.

Berdasarkan aturan waktu kerja yang telah menjadi ketetapan resmi tersebut seharusnya aturan tersebut wajib ditaati dan dipedomani oleh setiap pengusaha dalam menggunakan jasa tenaga kerja. Sehingga adapun bentuk perlindungan waktu kerja pekerja ini sudah diatur dalam pasal 81 angka 22 ayat (1) dan (2) UU Cipta Kerja dalam perihal ini industri menyuruh pekerja yang melampaui jam kerjanya wajib menaati prasyarat kesetujuan antara pihak pengusaha dengan para pekerja yang bersangkutan. Serta syarat waktu lembur dimiliki sebanyak 4 jam sehari & 18 jam dalam seminggu serta pengusahai memerintahkan pegawai lewat jam yang ditentukan seharusnya memberikan uang tambahan. Adapun untuk melaksanakan waktu kerja lembur setidaknya harus ada perintah tertulis antara pengusaha dengan pekerja. Perintah tertuliis tersebut ditulis berbentuk tabel yang selanjutnya ditandatangani oleh pekerja ataupun buruh tersebut. Pengusaha dalam hal ini harus membuat daftar pelaksana pekerja lembur yang di dalamnya berisi mengenai nama pekerja dan lamanya waktu kerja lembur.23 Pengusaha berkewajiban terhadap pekerja dalam memberi jam kerja tambahan agar diberi uang lembur, jam istirahat secukupnya, serta asupan pangan dengan jumlah 1.400 kal terhadap pekerja sebagai bentuk perlindungan yang dilakukan oleh pengusaha terahadap pekerjanya.24

Mengenai bentuk perlindungan terhadap pekerja agar pihak pengusaha yangg mengingkari kebijakan sebagimana diresmikan Undang-Undang jera maka dikenakan sanksi. Bilamana pengusaha tidak membayar upah kerja lembur bagi pihak pekerjanya maka akan mendapatkan sanksi pelanggaran sesuai pasal 81 angka 65 ayat (1) UU Cipta Kerja menentukan bahwa perusahaan yang tidak mengupahi kerja lembur akan dijatuhkan sanksi kurungan satu bulan sampai dua belas bulan atau denda sepuluh

juta sampai seratus juta. Perihal bentuk perlindungan lainnya bilamana pengusaha yang melanggar ketentuan syarat kerja lembur maka akan dikenakan sanksi pidana pelanggaran berdasarkan pasal 81 angka 66 ayat (1) Undang-Undang Cipta Kerja mengenai syarat kerja lembur maka akan dijatuhkan sanksi denda lima juta rupiah hingga lima puluh juta.

Beranjak dari perlindungan eksploitasi waktu kerja yang dialami pekerja perihal perlindungan mengenai upah yang layak sangat diperlukan. Mengingat pekerja yang diharuskan bekerja mencapai waktu panjang tidak sesuai pedoman aturan Negara. sehingga diperlukan perlindungan hukumnya mengenai Perlindungan upah layak dan sesuai terhadap pekerja. Perlindungan pengupahan para pekerja sebagaimana tertuang dalam pasal 81 angka 24 ayat (3) Undang-Undang Cipta Kerja yakni melingkupi gaji minimal, gaji tambahan, hingga sampai pada upah pembayaran hak dan kewajiban. Pasal 81 angka 25 ayat (6) Undang-Undang Cipta Kerja memberikan perlindungan terhadap eksploitasi yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja atas hak upah dikarenakan pemilik modal lalai dalam pengupahan yang diberi sehingga menyebabkan keterlambtan, dapat didenda sebesar persentase upah pekerja tersebut. Serta dalam pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menentukan Pengusahaa memberikan upah dilarang mengurangi berdasar ketetapan upah minimal regional (selanjutnya disebut UMR). Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan menentukan sanksi apabila pengusaha curang melakukan pemberian upah minimal tersebut pada akhirnya disebut perbuatan pidana kejahatan diancam pidana penjara setahun sampai empat tahun dikenakan denda uang sebesar 100.000.000,00 sampai 400.000.000,00. Akibatnyaa hak-hak pekerja dalam memperoleh upah minimum dapat dilindungi dari adanya ekploitasi dari pihak pengusaha. Dimana kerap terjadi ketidak seimbangan pelaksanaan produksi kerja antara pengusaha dengan para pekerja. Pengusaha sebagai kapitalis memberi gajih para pekerjanya sangat kurang dibandingkan seharusnya diterima. Hukum intrernasional yang mengatur hak atas pengupahan ini dapat dilihat dalam pasal 7 UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya menyatakan bahwa Negara yang bergabung dalam perjanjian disini mengakui hak seseorang menjalani keadaan bekerja seadilnya dan memastikan penghasilan sama teruntuk pekerjaan senilai tidak berdasar pembanding. sebagaimana dikatakan oleh Sudikno Mertokusumo prosedur pengupahan di Indonesia mesti memadai asas keadilan dalam memberi jaminan adanya penegakkan hukum.

Selain itu bentuk perlindungan lainnya tertuang dalam hal pengawasan yakni pasal 176 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pengawasan ketenagakerjaan memiliki kompetensi dalam menjamin pelaksanaan aturan UU dilakukan bagi pegawai pengawasi ketengakerjan. Maka dengan itu lembaga tersebut beroperasi menghapuskan pelanggaran kaidah kerja dalam hubungan anatara pengusaha dan pekerja sehingga terciptanya suatu hubungan industrial yang aman tentram. Perihal pengawasn ketnagakerjan ini suatu faktor yang terpenting didalam perlindungan pekerja, serta merangkum kekuatan hukum ketenagakerjaan efektif mungkin.25 Dari penjelasan mengenai bentuk perlindungan terhadap hak pekerja dalam hal eksploitasi diatas yang ditinjau dari segi aturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun tentunya bentuk perlindungan yang dilakukan oleh Negara dimana melihat kedudukan para pekerja lebih rendah dibandingkan para pengusaha. Secara

yuridis beradasarkan pasal 27 UUD 1945 mengemukakan seluruh masyarakat mmepunyai martabat sama dimata hukum. Maka martabat parapekerja setara pengusaaha, jika sosial ekonomis martabat penggusaha jauh mulia dibanding pekerja. Perbedaan kedudukann yang terjadi di ikatan kerja mengundang terjadinya penyimpangan, diskriminasi, hingga sampai pada eksploitasi. Sehingga disini perlu adanya campur tangan pemerintah Provinsi ataupun Kabupaten/Kota dalam memberikan perlindungan hukum. Agar terciptanya suatu asas keadilan menjalin realasi kerja.

Perlindungan hukum selain dilakukan dengan pembuatan regulasi adapun Pemerintah khususnya Dinas Tenaga Kerja melancarkan perlindungan dalam bentuk lain seperti melakukan perlidungan dengan mengadakan pembinaan serta melakukan proses hubungan industrial terhadap pengusaha dan para pekerja. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2010 Tentang Pengawasan Ketenagakerjaan bahwa dilaksanakan melalui bimbingan; konsultasi; penyuluhan; supervise; socialization; training education; dan aktivitas lainnya berhubungan pembinaan. Sehingga campur tangan pemerintah Dinas Tenaga Kerja (kemudian disebut Disnaker) Provinsi dengan adanya pembinaan mapun sosialisasi sebagimana pasal diatas serta menjalin hubungan industrial ini merupakan bentuk adanya suatu komunikasi antara pemerintah sebagai badan hukum publik yang tujuannya membentuk suatu pemahaman dan komitmen dalam elemen baik dari pengusaha maupun para pekerja yang ada di suatu sektor industri yang merekrut ratusan anggota tenaga kerja.

Mengingat kurangnya pemahaman baik terhadap pemimpin perusahaan atau pekerja terhadap hak & kewajibana pada Undang-Undang. Maka adanya campur tangan pemerintah dalam perlindungan hukum diharapkan nantinya hak-hak pekerja dapat terlaksana dengan baik tanpa terjadi eksploitasi dalam diri pekerja. Dalam hal mencegah adanya perselisihan dan penyelewengan hubungan industrial, pemerintah Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) berperan penting dikarenakan berperan sebagai pengayom dan pengawas di dalam suatu hubungan industrial tenaga kerja. Maka pemerintah khususnya Dinas Tenaga Kerja baik Provinsi maupun Kabupetn/Kota mengupayakan untuk terciptanya hubungan harmonis antara pihak pengusaha dan pekerja serta menerapkan sikap sebagai pengayom dan pengawas dalam menyelesaikan perkara di suatu hubungan industrial. 26

  • IV.    Kesimpulan

Pengaturan eksploitasi terhadap waktu kerja para pekerja pada industri fast fashion dalam ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan maupun Undang-undang Cipta Kerja dapat dikatakan sebagai pengaturan terhadap bentuk adanya eksploitasi yang terjadi pada pekerja walaupun tidak secara mengkhusus. Adapun dalam pasal 77 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur mengenai Waktu Kerja Pekerja dan pasal 81 angka 22 ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja mengatur upah kerja lembur yang dimana pasal-pasal tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk peraturan eksploitasi waktu kerja terhadap pekerja. Mengenai bentuk pelindungan hukum hak-hak buruh mengalami eksploitasi industri fast fashion diIndonesia dimana bentuk perlindungan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang terhadap pengusaha agar

jera maka dikenakan sanksi. Bilamana perusahan tiada membayar hasil lembur bagi pihak buruhnya maka akan mendapatkan sanksi pelanggaran sesuai pasal 81 angka 65 ayat (1) Undang-Undang Cipta Kerja dengan dijatuhkan hukuman kurungan 1 bulan - 12) bulan atau denda Rp. 10.000.000,00 - Rp. 100.000.000,00. Serta bilamana perusahannya melanggar ketentuan syarat kerja lembur maka akan dikenakan sanksi pidana pelanggaran berdasarkan pasal 81 angka 66 ayat (1) Undang-Undang Cipta Kerja mengenai syarat kerja lembur maka akan dijatuhkan denda Rp. 5.000.000,00 - Rp. 50.000.000,00. Melainkan tertuang dalam sebuah peraturan perundang-undangan diatas perlindungan pula dirancang oleh Pemerintah khususnya Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) baik Provinsi hingga Kabupaten/Kota melakukan hubungan industrial yakni dengan dengan adanya pembinaan dan pengawasan sesuai pasal 176 Undang-Undang Ketenagakerjaan serta berdasar pada PerPres Pengawasan Ketenagakerjaan. Hubungan Industrial ini merupakan bentuk adanya suatu komunikasi antara pemerintah sebagai badan hukum publik yang tujuannya membentuk suatu pemahaman dan komitmen dalam elemen baik dari pengusaha maupun para pekerja yang ada di suatu sektor industri yang merekrut ratusan anggota tenaga kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Husni, Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000)

Khakim, Abdul. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-UndangNomor 13 Tahun 2003. (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 2003 )

Marzuki,Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013)

Suharto,K. Eksploitasi Terhadap Anak & Wanita (Jakarta : CV Intermedia, 2005) Sutedi,Adrian. Hukum Perburuhan. ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009)

Soepomo,    Iman.    Hukum    Perburuhan    Bidang    Kesehatan    Kerja

(PerlindunganBuruh).(Jakarta:Pradnya Paramita,1988)

Wijayanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009)

Jurnal Ilmiah

Al Akbar, Multazam, and Vinaya Vinaya. "Pengaruh stres kerja terhadap kepuasan hidup pada buruh garmen perempuan di Cicurug Kabupaten Sukabumi." Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan 8, no. 2 (2020)

Apriliani, Tri. "Hubungan Kerja dalam Industri Fast Fashion: Analisis isi terhadap fenomena eksploitasi (studi kasus film the true cost dan nike sweatshops)." Informasi 46, no. 1 (2016)

Latupono, Barzah. "Perlindungan Hukum Dan Hak Asasi Manusia Terhadap Pekerja Kontrak (Outsourcing) Di Kota Ambon." Jurnal Sasi 17, no. 3 (2011).

Muchtar, Henni. "Analisis Yuridis Normatif Sinkronisasi Peraturan Daerah dengan Hak Asasi Manusia." Humanus 14, no. 1 (2015)

Nuryanti, Dewa Ayu Febryana Putra, and Putu Gede Arya Sumertayasa. "Peran dan Fungsi Pemerintah dalam Hubungan Industrial." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, no. 8 (2018)

Prayoga, Edo Adi. "Eksploitasi Dan Alienasi Buruh Surveyor Di Lembaga Survei Produk “X” Di Surabaya (Studi Tentang Buruh Surveyor Di Lembaga Riset Produk “X” Di Kota Surabaya)." Journal Onine Mahasiswa S1 Sosiologi Unesa, Paradigma 2, no. 1 (2014)

Rosdiana, Rosdiana. "Hubungan Stres Kerja, Jam Kerja, dan Kelelahan Kerja dengan Tingkat Konsentrasi pada Pekerja Pengguna Komputer di PT. Telekomunikasi Witel Medan." Jurnal Kesehatan Global 2, no. 3 (2019)

Sejati, Arief Nurrahman. "Peran buruh dalam kesejahteraan sosial perusahaan PT. Senang Kharisma Textile (Studi Kasus Kewajiban, Upah, Jaminan Sosial, dan Fasilitas Kesejahteraan Buruh di PT. Senang Kharisma Textile, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, Solo)." (2016).

Shinta, Fairus. "Kajian Fast Fashion Dalam Percepatan Budaya Konsumerisme." Jurnal Rupa 3, no. 1 (2018).

Simanjuntak, Ruth Florescia, and Sugeng Wahjudi. "KONTRA HEGEMONI MELALUI PERSPEKTIF VAN DIJK PADA FILM THE TRUE COST SEBAGAI REFLEKSI FAST FASHION INDUSTRIES." SEMIOTIKA: Jurnal Komunikasi 13, no. 2 (2020)

Sukidin, Sukidin, Pudjo Suharso, and Ahmad Afandi. "PERAN BURUH PEREMPUAN PADA HOME INDUSTRY KERUPUK (Studi Kasus Pada Buruh Perempuan di Desa Mangli Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember)." JURNAL PENDIDIKAN EKONOMI: Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, Ilmu Ekonomi dan Ilmu Sosial 12, no. 2 (2018)

Yulianto, Taufiq. "Perlindungan Terhadap Pekerja/Buruh Mengenai Waktu Kerja Lembur Dan Upah Waktu Kerja Lembur." Orbith: Majalah Ilmiah Pengembangan Rekayasa dan Sosial 11, no. 2 (2015)

Website

Andrea, Mercy. Gairah Industri Fashion Indonesia.  2019. Retrieved from

https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20190712155341-35-84555/gairah-industri-fashion-indonesia

Asyari,Yusuf. “Pabrik Ini Pekerjakan Buruh 22 Jam, Tanpa Uang Lembur”. 2017. Retrieverd from https://www.jawapos.com/jpg-today/20/02/2017/pabrik-ini-pekerjakan-buruh-22-jam-tanpa-uang-lembur/

Budi. “Pabrik Ditegur Karena Perlakukan Buruh Secara Tak Manusiawi”. 2017. Retrieverd from https://wartakota.tribunnews.com/2017/02/22/pabrik-ditegur-karena-perlakukan-buruh-secara-tak-manusiawi

Tashandra,Nabilla.”Fast Fashion”, Tren Mode Yang Lestarikan Sifat Konsyumtif?”.2019. Retrieverd from https://lifestyle.kompas.com/read/2019/03/15/160933720/fast-fashion-tren-mode-yang-lestarikan-sifat-konsumtif?page=all

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Internasional Covenant On Economic, Social, And Cultural Right (ICESCR) (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557)

Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Pengawasan Ketenagakerjaan

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.4 Tahun 2021, hlm.258-271.