Urgensi Penerapan Constitutional Complaint Terhadap Legislasi Semu (Psudeowetgeving) Sebagai Upaya Penjaminan Hak Konstitusional Warga Negara
on
URGENSI PENERAPAN CONSTITUTIONAL COMPLAINT TERHADAP LEGISLASI SEMU (PSUDEOWETGEVING) SEBAGAI UPAYA PENJAMINAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA
I Wayan Atmanu Wira Pratana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Nyoman Mas Aryani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v10.i05.p01
ABSTRAK
Tujuan studi ini untuk mengkaji konstitusionalitas legislasi semu (pseudowetgeving) dan penjaminan hak konstitusional melalui constitutional complaint. Metode yang digunakan dalam melakukan analisa dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normative dengan pendekatan perundang-undangan,pendekatan kepustakaan kepustakaan, pendekatan komparatif, serta pendekatan konseptual. Hasil studi menunjukkan bahwa konsepsi constitutional complaint memiliki gagasan yang sama dengan judicial review, namun memiliki objek pengujian berbeda, yaitu berupa perbuatan atau kelalaian yang dilakukan oleh organ pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagaimana telah diterapkan di Jerman dan Korea Selatan. Sedangkan di Indonesia belum ada kepastian hukum pengujian konstitusional legislasi semu yang melanggar hak konstitutional baik melalui pengujian di MK, MA, maupun PTUN. Sedangkan legislasi semu memiliki kemungkinan mencederai ketentuan UUD NRI 1945 yang tinggi, sehingga constitutional complaint merupakan jawaban dari kekosongan hukum tersebut.
Kata Kunci: constitutional complaint, legislasi semu, perlindungan hak konstitutional
ABSTRACT
The purpose of this study is to examine the constitutionality of pseudowetgeving and the protection of constitutional rights through the constitutional complaints. This study uses a normative legal research methods with a statutory approach, library approach, comparative approach, and conceptual approach. The results shows the conception of constitutional complaints has the same idea as the judicial review, but it has a different object law suit. The object lawsuit of constitutional complaint is the decision of the public authority includes the executive, judicative, and legislative as applied in German and South Korea. Whereas in Indonesia, there is no adjudication on the constitutionality of pseudowetgeving that violating the constitutional right. Meanwhile, pseudowetgeving has a high potential to violate the constitution, as a consequence, so that constitutional complaint is the answer to the vacancy of the law.
Key Words: constitutional complaint, protection of the constitutional right, pseudowetgeving
Melihat kembali peristiwa sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia dalam agenda reformasi tahun 1998, apabila dimaknai secara konseptual gagasan
pergerakan tersebut merupakan upaya memperkuat jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia. Namun sangat disayangkan reformasi sebagai titik balik penataan ulang aspek-aspek penting dalam kehidupan bernegara lebih banyak dikenang sebagai suatu peristiwa yang berdiri sendiri terhadap keberhasilan aksi massa. Melainkan peristiwa reformasi tahun 1998 merupakan pembenahan kembali ikthiar bangsa sebagai negara hukum (rechtstaat) alih-alih hanya berdasarkan kekuasaan semata (machtstaat) sebagaimana dijelaskan pada Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia (naskah asli).
Konsepsi dan konsistensi Indonesia sebagai negara hukum nampak sedang diuji penyelenggaraannya pasca reformasi 1998, tepat 21 tahun setelahnya muncul arus perlawanan warga negara terhadap negara dengan mengusung mosi tidak percaya kepada penyelenggaraan negara melalui perjuangan nasional #ReformasiDikorupsi yang diinisiasi oleh berbagai kalangan masyarakat baik mahasiswa, akademisi, LSM, dan serikat buruh. Pergerakan ini diperuntukan terhadap penyelanggaraan negara yang dianggap telah menghianati konsensus bangsa pasca Reformasi 1998, adapun tuntutan aksi massa #ReformasiDikorupsi terlaksana serentak dihampir seluruh daerah di Indonesia pada 24 September 2019 meliputi “(1) Cabut dan kaji ulang RKUHP, Terbitkan Perppu KPK, Sahkan RUU PKS dan RUU PPRT, (2) Batalkan Pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR, (3) Tolak TNI-Polri menempati jabatan sipil, (4) Stop militerisme di Papua dan daerah lain, (5) Hentikan kriminalisasi aktivis dan jurnalis, (6) Hentikan pembakaran hutan di Indonesia yang dilakukan oleh korporasi dan pidanakan korporasi pembakaran hutan serta cabut izinnya, (7) Tuntaskan pelangggaran HAM dan adili penjahat HAM termasuk yang duduk di lingkaran kekuasaan, pulihkan hak-hak korban segera”.1 Setahun setelahnya, pada Oktober 2020 aksi massa #ReformasiDikorupsi kembali dilaksanakan dihampir seluruh daerah di Indonesia akibat pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) yang dinilai bermasalah baik formil dan materiil, dan tentunya mendapat kecaman dari berbagai lapisan dan golongan masyarakat, salah satunya Pusat Studi Hukum Konstitusi melalui Pers Release Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII ) Terhadap RUU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020.2
Hal yang menarik dari fenomena ini bukan hanya gelombang penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja, melainkan respon Kepolisian Republik Indonesia secara kelembagaan menerbitkan Surat Telegram Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 (selanjutnya disebut Surat Telegram Kapolri 2020).3 Adapun yang menjadi sorotan masyarakat dari surat tersebut adalah instruksi poin ketujuh kepada setiap Kapolda pada wilayah yurisdiksinya untuk “Secara Tegas Tidak Memberikan Izin Kegiatan Baik Unjuk Rasa Maupun Izin Keramaian Lainnya.”
Ketentuan ini mendapat respon beragam, utamanya perihal kemungkinan surat a quo menciderai hak konstitusional warga negara untuk mengungkapkan pendapat di hadapan umum. Adapun setelah dikonfirmasi oleh Kompas.com, Polri mengeluarkan perintah untuk melakukan patroli siber kepada Kapolda melalui Surat Telegram Kapolri 2020, dengan tujuan untuk mencegah penyebaran berita bohong terkait dengan UU Cipta Kerja.4
Apabila menggunakan pisau analisis teoritik mengenai konsep negara hukum seperti dikutip Charles Simabura dalam tulisan Nukhthoh Arfawie berjudul “Telaah Kritis Teori Negara Hukum”, Fredrich Julius Stahl meletakkan prinsip dasar sebagai suatu tolak ukur terhadap penyelenggaraan negara yang dapat dikategorikan sebagai negara hukum. Stahl memandang, suatu negara yang hendak mengonsepsikan diri sebagai negara hukum tidak dapat hanya dinilai dari bentuk negara dan instrumen -instrumen negara belaka, melainkan adalah terhadap pemenuhan kewajiban negara terhadap rakyatnya sesuai dengan teori terbentuknya negara, dan bagaimana negara tersebut dijalankan melalui sistem pemerintahannya.5 Stahl setidaknya meletakkan empat dasar/prinsip negara hukum, yakni : (1) Pemerintahan berdasarkan undang-undang (asas legalitas), (2) Perlindungan Hak Asasi Manusia, (3) Pembagian atau pemisahan kekuasaan, (4) Adanya peradilan administrasi negara. Terdapat dua isu utama yang senantiasa menjadi motor penggerak progresivitas kaidah-kaidah negara hukum, yaitu pembatasan terhadap kekuasaan serta penjaminan HAM. Dalam konstelasi ketatanegaraan, perlindungan terhadap hak-hak warga negara merupakan kepentingan fundamental bagi setiap warga negara, hal ini tidak terlepas merupakan konsekuensi eksistensi negara itu sendiri sebagai wujud dari konsensus antara negara dan warga negara, sebagaimana dikonsepsikan oleh Jean Jacques Rousseau dalam teori Kontrak Sosial yang umum dimanifestasikan dalam kerangka konstitusi negara-negara modern.6 Relevansi mengenai penjaminan hak asasi manusia dan pembatasan kekuasaan negara merupakan kenyataan sejarah manusia dalam pandangan konstitusionalisme.
Berkaitan dengan penjaminan hak konstitusional, dikutip melalui Subiyanto, Hans Kelsen memandang terhadap law enforcement ketentuan-ketentuan pada konstitusi baru dapat efektif penjaminannya apabila terdapat lembaga negara selain lembaga legislatif yang diberikan kekuasaan untuk menguji konstitusional atau tidak suatu produk legislasi, serta tidak diberlakukannya produk legislasi tersebut apabila dinyatakan tidak konstitusional.7 Konsepsi demikian, sejalan dengan pemikiran founding father bangsa Indonesia Mohamad Yamin, yang mengusulkan gagasan terkait kewenangan membanding Undang-Undang (judicial review) Balai Agung (Mahkamah Agung) pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), walaupun mendapat penentangan kala itu oleh Soepomo yang berpandangan bahwa Indonesia belum memiliki kesiapan untuk mengakomodir kewenangan a quo. Sejak kemerdekaan sampai kejatuhan rezin orde baru, Indonesia
belum memiliki instrument judicial review terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945), barulah kemudian gagasan mengenai judicial review diterima pada momentum perubahan UUD NRI 1945 dengan membentuk lembaga baru yakni Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK).
Sedikitnya ada empat aspek yang melatarbelakangi kelahiran MK yakni, pengaruh paham konstitusionalisme, check and balances antar lembaga negara, dan perlindungan hak asasi manusia. Selain empat aspek tersebut, terdapat aspek politik yang melatarbelakangi lahirnya MK di Indonesia yakni konflik antar lembaga negara umumnya berkaitan dengan persoalan pemakzulan Presiden (impeachment), sehingga dapat memeberikan jaminan proses impeachment bebas dari kepentingan-kepentingan politik.8 Konstitusionalitas kewenangan MK diatur pada Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945, diatur lebih rinci pada Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang -Undang No.24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) bahwa MK memiliki empat wewenang dan satu kewajiban. Kekuasaan MK untuk menguji isi undang-undang yang melanggar UUD NRI 1945, menyelesaikan perselisihan tentang kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa hasil pemilihan umum. Kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memutus pendapat DPR atas pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan / atau Wakil Presiden berdasarkan UUD NRI 1945.9
Tercatat dalam kurun waktu 2013 s/d 2019 capaian penanganan perkara oleh MK meningkat pada titik tertinggi sebesar 75.61 %, dari seratus duapuluh tiga perkara dengan jumlah putusan mencapai 93 putusan dengan 30 perkara Pengujian Undang-Undang yang diproses pengujiannya pada tahun 2020. Presentase menunjukan peningkatan dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 75.5% pada tahun 2018, adapun total perkara Pengujian Undang-Undang dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang ditangani oleh MK dalam kurun waktu 2013 s/d 2019 adalah sejumlah 1.245 perkara.10 Beranjak dari penggalan data jumlah perkara yang ditangani oleh MK tersebut menunjukan kesadaran warga negara terhadap konstitusionalisme semakin meningkat dan memperlihatkan bahwa penjaminan terhadap hak konstitusional dan pelaksanaan penyelenggaraan negara yang sesuai dengan konstitusi adalah sebuah keniscayaan hukum, sosial, dan politik yang tidak dapat dipungkiri.
Realitas hukum dan sosial nampaknya memperlihatkan hal yang berbeda. Instrumen pengujian Undang-Undang terhadap ketentuan UUD NRI 1945 saat ini masih menyisakan rongga terhadap perlindungan dan penjaminan hak konstitusional warga negara, dan konstitusionalitas produk legislasi dan penyelengaraan negara
yang sesuai dengan UUD NRI 1945 mengingat belum terdapatnya upaya pengaduan konstitusional (constitutional complaint) terhadap tindakan pemerintah khususnya legislasi semu yang umumnya telah ada mekanisme pengujiannya di berbagai negara seperti Jerman dan Korea Selatan. Apabila ditinjau dari ratio d’etre MK sebagai guardian and the interpreter of constitution yang memiliki nilai filosofis perlindungan warga negara terhadap negara, sampai saat ini telah banyak literatur ketatanegaraan yang menghendaki MK memiliki kewenangan constitutional complaint. Salah satunya Krisdanar dalam “Menggagas Constitutional Complaint dalam Memproteksi Hak Konstitusional Masyarakat Mengenai Kehidupan dan Kebebasan Beragama di Indonesia”.11 Adapun penulis juga menjumpai kajian-kajian hukum tata negara yang berkaitan dengan constitutional complaint diantaranya “Gagasan Pengaduan Konstitusional Dan Penerapannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” oleh Ari Asmono yang mengkaji hambatan yuridis pengadopsian konsep constitutional complaint di Indonesia ditinjau berdasar kewenangan MK yang termaktub dalam UUD. Selain itu Herma Yanti dalam tulisannya yang bertajuk “Gagasan constitutional Complaint Sebagai kewenangan Baru Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Konstitusional” menelaah kewenangan Mk ditinjau dari hukum positif serta menelaah gagasan-gagasan atau upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mewujudkan kewenangan constitutional complaint di Indonesia.
Sepanjang perjalanan penulis dalam menelusuri kajian-kajian ketatanegaraan di Indonesia belum terdapat suatu kajian yang menitikberatkan pada urgensitas kewenangan constutional complaint sebagai konsekuensi yuridis keberadaan dan upaya hukum terhadap pseudowetgeving di Indonesia. Bagir Manan mengonsepsikan bahwa apa yang dipahami sebagai pseudowetgeving adalah salah satu cara penyebutan Peraturan Kebijakan dalam literatur Belanda. Secara konseptual Bagir Manan menyampaikan bahwa pseudowetgeving tidak termasuk peraturan perundang-undangan, namun tetap memiliki relevansi hukum.12
Oleh karena kewenangan yang dimiliki MK sekarang belum dapat melindungi kepentingan warga negara dari badan-badan negara atau tindakan pemerintah yang mencederai hak-hak konstitusional warga negara dalam kerangka Pseudowetgeving, selain itu kenyataan yuridis menampakkan bahwa terhadap pseudowetgeving yang dikeluarkan oleh suatu badan negara dianggap bertentangan dengan hak konstitusional warga negara, belum ada mekanisme penyelesaiannya, baik melalui Mahkamah Agung maupun Peradilan Tata Usaha Negara, mengingat sebagaimana disampaikan oleh Bagir Manan, bahwa pseudowetgeving yang lahir dari kewenangan diskresi tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Berdasarkan fondasi argumentasi tersebut dalam tulisan ini penulis hendak mengkaji urgensi constitusional complaint sebagai upaya penjaminan hak konstituional terhadap legislasi semu (psudeowetgeving).
-
1.2. Rumusan Masalah
-
1.2.1 Bagaimana Konsep Constitutional Complaint sebagai Instrumen Perlindungan Hak Konstitusional?
-
1.2.2 Bagaimana Urgensi Constitutional Complaint Terhadap Legislasi Semu (Psudeowetgeving) sebagai Upaya Penjaminan Hak Konstituional?
-
-
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan jurnal ilmiah ini ditujukan untuk mengonsepsikan constitutional complaint Terhadap Legislasi Semu (Psudeowetgeving) sebagai Upaya Penjaminan Hak Konstituional warga negara serta constitutional complaint sebagai constitutional importance dalam progresivitas konstelasi ketatanegaraan serta penyelesaian problematika penjaminan hak konstitusional di Indonesia.
-
II. Metode Penelitian
Penulisan jurnal ilmiah Urgensi Constitutional Complaint Terhadap Legislasi Semu (Psudeowetgeving) Sebagai Upaya Penjaminan Hak Konstitusional menerapkan disiplin metode penelitian hukum normatif, yakni meletakkan hukum sebagai fondasi sistem norma.13 Dalam penelusuran bahan hukum metode yang digunakan adalah metoda kepustakaan (library research), metode pedekatan perundang-undangan, metode pendekatan konseptual, serta metode pendekatan komparatif. Sumber-sumber literatur berperan sebagai rujukan dalam mengkaji masalah yang penulis teliti. Literatur berupa buku-buku yang memiliki relevansi masalah dan dapat mendukung topik penelitian. Jurnal-jurnal ilmiah sebagaimana tersedia diberbagai platform jurnal digital penulis unduh untuk melengkapi sumber-sumber akademik yang diperlukan. Demikian juga dengan hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan tema penelitian juga akan menjadi bahan bacaan dan sumber rujukan
-
III. Hasil dan Pembahasan
Menelaah diskusi dan perdebatan mengenai paham konstitusional (konstitusionalisme) melalui kajian ilmiah dan literatur hukum tata negara dan ilmu sosial dan politik, Isharyanto mengutip Dahlan Talib mengonsepsikan isu utama kajian konstitusionalisme meliputi : (1) organ-organ kekuasan (kekuasan politik) yang diselenggarakan berdasar ketentuan hukum, (2) penjaminan dan perlindungan HAM, (3) peradilan independent, dan (4) akuntabilitas publik sebagai pilar utama asas kedaulatan berada ditangan rakyat. 14 Keberadaan Hak dan penjaminan Hak Konstitusional merupakan bagian dari ekstraksi pemikiran budaya Barat mengenai hak-hak individu (individual right). Sebagaimana disampaikan oleh I Dewa Palguna bahwa hak demikian merupakan hak-hak alamiah (natural right) yang termaktub dalam paham hukum alam (natural right) yang selanjutnya menjelma menjadi Hak Asasi Manusia (HAM) pasca Perang Dunia II sebagai hak-hak fundamental.15
Terminologi hak konstitusional baru muncul pada Pasal 51 ayat(1) jo Penjelasan Pasal 51 ayat ( 1) UU MK, yang memberi penjelasan bahwa hak konstitusional adalah “hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.Candra Purnamasari menerangkan bahwa “Hak-hak yang tergolong ke dalam hak warga negara diatur dalam Bab X yang rumusannya dimulai dengan kata-kata ‘segala warga negara’ atau ‘tiap-tiap warga negara’ atau ‘setiap warga negara’, sedangkan hak-hak yang tergolong ke dalam hak asasi manusia diatur dalam Bab XA yang rumusannya dimulai dengan kata-kata ‘setiap orang ”.16 Kontekstualitas penjaminan dan perlindungan hak konstitusional adalah terhadap pelanggaran tindakan negara, bukan pelanggaran individu /warga negara lain, dengan demikian disparitas mendasar hak konstitusional dan hak legal adalah hak-hak konstitusional adalah hak-hak yang dijamin oleh UUD NRI 1945, sedangkan eksistensi hak legal diatur pada peraturan perundangan-undangan dibawahnya (subordinate legislations).17 Meskipun demikian, baik hak legal maupun hak konstitusional memiliki constitutional importance yang sama.
Konsepsi constitusional complaint bila ditelaah menggunakan pendekatan konseptual (conseptual approach) sejatinya memiliki recht idea atau ratio d’etre yang sama terhadap judicial review, yakni menguji konstitusionalitas produk legislasi dengan mengacu pada ketentuan yang lebih tinggi. Hal ini dapat kita ketahui dengan memahami khazanah sejarah perkembangan pengujian konstitusionalitas produk legislasi terhadap kasus Marbury & Madison yang diputus oleh Supreme Court Amerika serikat pada tahun 1803. John Marshall selaku hakim pada kasus tersebut berpandangan mahkamah bewenang membatalkan legislasi yang bertentangan dengan konstitusi.18 Constitutional complaint dalam terminologi Jerman yakni verfassungsbeschwerde dimaknai sebagai hak yang empunya setiap orang dan kelompok dalam perlawanan tindakan pemerintah terhadap pelanggaran hak-haknya. Berikutnya, tujuan dari constitutional complaint tidak lain adalah individu maupun kelompok berhak mengambil peran menegakkan asas-asas demokrasi dan konsistensi untuk tunduk terhadap konstitusi dalam penyelenggaraan negara dan demokrasi. Dari berbagai negara yang menganut sistem hukum civil law, Jerman adalah negara yang menetapkan constitutional complaint sebagai kewenangan Mahkamah Konstitusinya secara ekplisit pada Grundgesetz (GG) dan diatur lebih lanjut pada Bundesverfassungsgerichtsgesetz (BVerfGG) yang menetapkan bahwa:19
Pasal 93 ayat (1)
“4a. on complaints of unconstitutionality, being filed by any person claiming that one of his basic rights or one of his rights under Article 20 IV or under Article 33, 38, 101, 103 or 104 has been violated by public authority;”
“4b.on complaints of unconstitutionality filed by communes or associations of communes on the ground that their right to self-government under Article 28 has been violated by a statute other than a State [Land] statute open to complaint to the respective State [Land] constitutional court. ”
Dari ketentuan Pasal 93 ayat (1) angka 4a dan 4b GG dapat diketahui bahwa subyek dalam gugatan constitutional complaint meliputi “(1) Perorangan terhadap hak-hak dasar yang dijamin oleh Pasal 20 IV atau Pasal 33, 38, 101, 103 atau 104 GG yang dilanggar
oleh otoritas publik (public authority), (2) Kelompok atau asosiasi kelompok/masyarakat terhadap hak-hak mereka berdasar pada Pasal 28 GG dilanggar oleh suatu undang-undang selain undang-undang negara bagian yang terbuka untuk diajukan pengaduan kepada Mahkamah Konstitusi negara bagian.” Sedangkan di Korea Selatan kewenangan serupa dimiliki oleh MK Korea sebagaimana diatur pada Undang-Undang MK Korea Selatan yang menyatakan:20
“Act.68 (1) Any person who claims that his basic right which is guaranteed by the Constitution has been violated by an exercise or non-exercise of governmental power may file a constitutional complaint, except the judgments of the ordinary courts, with the Constitutional Court: Provided, That if any relief process is provided by other laws, no one may file a constitutional complaint without having exhausted all such processes.”
“Act.68 (2) If the motion made under Article 41 (1) for adjudication on constitutionality of statutes is rejected, the party may file a constitutional complaint with the Constitutional Court. In this case, the party may not repeatedly move to request for adjudication on the constitutionality of statutes for the same reason in the procedure of the case concerned."
Berdasar pada pendekatan komparatif diatas, setidaknya dapat disimpulkan konseptualisasi constitutuonal complaint yakni : pertama, constitutional complaint merupakan bagian dari upaya pengujian konstitusionalitas produk legislasi (constitutional review). Kedua, pada MK Jerman maupun MK Korea Selatan menghendaki constitutional complaint baru dapat dilaksanakan apabila seluruh upaya hukum yang ada telah ditempuh. Ketiga, terhadap subyek hukum yang memiliki standing mengajukan constitusional complaint, MK Korea Selatan hanya mengakui natural person sebagai subyek hukum, sedangkan MK Jerman mengakui kelompok masyarakat memiliki legal standing. Keempat, yang dapat dijadikan objek constitusional complaint secara umum adalah perbuatan atau kelalaian yang dilakukan oleh organ pemerintahan, kecuali MK Korea Selatan tidak menerima putusan pengadilan, maupun, norma undang-undang sebagai objek gugatan.
-
3.2 Urgensi Constitutional Complaint sebagai Upaya Perlindungan Hak Konstitusional di Indonesia Terhadap Legislasi Semu
Sejak awal, isu utama yang menjadi perdebatan mengadopsi constitutional complaint sebagai kewenangan MK di Indonesia berada pada dimensi konseptualisasi ruang lingkup objek constitusional complaint. Mengingat gagasan objek constitusional complaint sebagaimana diterapkan di Jerman mencakup dimensi legislasi yang luas, adapun diantara macam norma hukum yang ada, norma hukum yang berlaku khusus adalah objek dari pengujian melalui mekanisme constitutional complaint. Dikarenakan terhadap pengujian konstitusionalitas norma hukum yang berasifat umum yang berkedudukan setara Undang-Undang penyelesaian gugatan dapat melalui judicial review di MK sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 jo Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UUMK. Sedangkan bila pokok pengujian merupakan kebijakan pemerintah sebagaimana ditegaskan oleh Jimly bahwa “ketentuan dibawah Undang-Undang maka dapat diselesaikan pada peradilan umum yang bermuara pada MA. Mahkamah Agung hanya menguji legalitas peraturan perundang-undangan (judicial review on the legality of regulation).”21
Kehadiran constitusional complaint terhadap pengujian konstitusionalitas beschsikking tidak dimaksudkan untuk mengesampingkan upaya penyelesaian pada Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut PTUN). Dikarenakan, bila menggunakan pendekatan teoritik sebagaimana disampaikan oleh Paulus E. Lotulung dalam Ni’matul Huda bahwa “terdapat setidaknya dua hal yang menjadi ratio legal pembatalan beschikking yaitu, pertama, aspek illegal eksteren diantaranya (1) ketiadaan kewenangan dan (2) kekeliruan bentuk/ prosedur. Kedua, aspek illegal intern berupa (1) berlawanan dengan ketentuan undang-undang atau peraturan diatasnya, (2) adanya penyalahgunaan kekuasaan.” Berdasarkan konsepsi beschikking diatas, tidak dijumpai alasan pembatalan beschikking akibat melanggar hak konstitusional warga negara. Adapun yang dapat dipahami sebagai illegal interen juga tidak dimaksukan sebagai pelanggaran hak kosntitusional, karena sejatinya dasar pembentukan kebijakan pemerintah tidak berasal langsung dari UUD NRI 1945, melainkan peraturan diatasnya.22 Meskipun demikian, tidak menghilangkan kemungkinan kebijakan pemerintah/beschikking melanggar hak konstitusional, tentunya yang dimaksud Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung sewenang-wenang adalah kekuasaan yang dimiliki oleh setiap organ negara, termasuk kekuasaan pemerintah dalam menetapkan beschikking.
Dengan demikian secara kontekstual berperan pada dimensi pengujian konstitusionalitas norma hukum, bila objek pengujian merupakan produk legislasi dalam kerangka Undang-Undang disebut sebagai judicial review. Maka contsitusional complaint menjadikan perbuatan atau kelalaian cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif sebagai objek pengujian. Sedikitnya terdapat tiga kategori pelanggaran hak konstitusional yang dapat dilakukan upaya hukum constitutional complaint , diantaranya:23
-
1. Perkara pelanggaran hak konstitusional a quo yang tidak terdapat upaya penyelesaian yang konstitutional atau tidak lagi jalur penyelesaian hukum yang tersedia;
-
2. Adanya produk hukum yang mencederai hak konstitutional di bawah Undang-Undang namun tidak secara eksplisit melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di bawah UUD 1945;
-
3. Putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap namun putusan a quo mencederai hak konstitusional dan terhadap putusan a quo tidak terdapat upaya hukum luar biasa lain yang dapat ditempuh, hal ini dapat terjadi terhadap putusan kasasi yang mencederai hak konstitutional.
Terhadap fakta terbitnya Surat Telegram Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 yang terindikasi memuat kemungkinan pelanggaran hak konstitusional warga negara pada muatan substansi surat a quo yang menginstruksikan “Secara Tegas Tidak Memberikan Izin Kegiatan Baik Unjuk Rasa Maupun Izin Keramaian Lainnya.” Sebagai respon Kepolisian RI terhadap gelombang penolakan UU Cipta Kerja oleh masyarakat. Meskipun penulis sadari, kemungkinan pelanggaran hak konstitusional berdasar pada surat a quo masih dapat diperdebatkan dan dilakukaan pengujian terhadap probabilitas ada atau tidaknya pelanggaran hak konstitusional. Namun yang menjadi persoalan mendasar adalah belum adanya instrumen atau upaya hukum
dalam konstelasi ketatanegaraan Indonesia untuk dapat dilakukan uji konstitusionalitas surat a quo.
Surat Telegram Kapolri 2020 sebagaimana dimaksud diatas merupakan salah satu contoh keberadaan Pseudowetgeving di Indonesia, yang lebih dikenal sebagai legislasi semu. Keberadaan legislasi semu di Indonesia sebagaimana dijelaskan oleh Salim, bahwa “Legislasi semu tidak berdasarkan kepada suatu ketentuan perundang-undangan yang tegas (uitdrukkelijke bepalingen) memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membentuk atau menerbitkannya. Ini berarti legislasi semu tidak perlu menyebutkan dasar pertimbangan yang secara tegas (eksplisit) memerintahkan pembentukan legislasi tersebut. Pemberian kewenangan mengeluarkan legislasi semu (aturan kebijakan tersebut) merupakan doktrin dalam hukum tata pemerintahan (bestuursrechtelijke doctrine) yang menegaskan bahwa suatu organ pemerintahan dibolehkan memiliki kewenangan secara implisit (inplicite bevoegdheid) untuk menyusun aturan kebijakan (beleidsregels)dalam rangka menjalankan tugas umum pemerintahan.”24
Bagir Manan menjelaskan bahwa dalam banyak literatur Belanda, pseudowetgeving adalah salah satu istilah untuk menyebut peraturan kebijakan. Dalam pelaksanaannya pseudowetgeving dapat dikeluarkan oleh oleh semua badan/organ pemerintahan, secara umum format legislasi semu berbeda dengan format peraturan perundang-undangan dan tidak memiliki format baku, meskipun ada substansi legislasi semu yang dibuat dalam format peraturan perundang-undangan. Adapun format paling umum digunakan untuk membuat legislasi semu meliputi, Surat Edaran (SE), Petunjuk Pelaksana, Petunjuk Operasional atau Petunjuk Teknis,Instruksi, Pengumuman. Lebih lanjut Bagir Manan juga memberikan konsepsi peraturan kebijakan (pseudowetgeving) meliputi beberapa hal pokok yakni pseudowetgeving tidak termasuk bagian peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat diberlakukan pengujian menggunakan asas pembatasan dan pengujian peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, dikarenakan tidak terdapat dasar hukum pembentukan pseudowetgeving ini maka pengujian menggunakan metode wetmatigheid tidak dapat dilakukan. Dasar satu-satunya pseudowetgeving dapat dikeluarkan adalah kewenangan freies Ermessen dan kekosongan kewenangan legislasi organ terkait, oleh karena itu pengujian pseudowetgeving menggunakan batu uji asas umum pemerintahan yang baik yakni dalam kerangka doelmatigheid.25
Berdasarkan pemahaman sebagaimana disampaikan diatas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan legislasi semu (pseudowetgeving) merupakan konsekwensi logis dari kewenangan diskresi yang dimiliki pemerintah. Ketentuan diskresi sebagaimana diatur pada Pasal 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU Administrasi Pemerintahan), menetapkan bahwa keleluasaan penggunaan diskresi ditujukan dalam konteks kelancaran pemerintahan; mengisi celah hukum; penjaminan kepastian hukum; dan dalam beberapa kasus mengatasi mandeknya penyelenggaraan pemerintahan. Begitupula produk legislasi semu dalam kerangka Surat Telegram Kapolri 2020 yang dikeluarkan oleh Kepolisian RI secara umum telah diatur pada Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang menetapkan bahwa “Untuk
kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.” Dengan demikian, surat a quo yang dikeluarkan oleh Kepolisian RI memiliki dasar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang,lebih lanjut dalam peran penyidikan Kewenangan Kepolisian RI diatur pada Pasal 109 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bahwa Kepolisian RI memiliki kewenangan diskresi berupa penghentian penyidikan . Selain itu, kepolisian juga memiliki kewenangan dalam upaya penanggulangan anarki sebagaimana diatur UU No. 7 Tahun 2012 Tentang Penangan Konflik Sosial. Berkenaan dengan hal tersebut maka menjadi suatu persoalan selanjutnya adalah dapat atau tidak dilakukan pengujian kewenangan diskresi surat a quo terhadap kemungkinan pelanggaran hak konstitutional melalui PTUN.
Sejatinya berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan telah mengatur mengenai kewenangan diskresi dan dalam hal apa diskresi dapat dilakukan pengujian. Adapun objek pengujian diskresi melalui mekanisme PTUN berdasar pada Pasal Pasal 30, 31, dan 32 UU Administrasi Pemerintahan meliputi “melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan tindakan sewenang-wenang apabila dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang” sehingga diskresi a quo berakibat hukum tidak sah atau dapat dibatalkan. Terhadap surat a quo, selain karena memang didasarkan pada kewenangan diskresi yang dimiliki oleh Kepolisian RI, legislasi semu ini juga tidak ditujukan langsung kepada masyarakat (bersifat regeling), melainkan ditujukan kepada internal Kepolisian RI sendiri yakni ditujukan kepada setiap Kapolda (mengatur kedalam), yang juga memang merupakan kewenangan Kepolisian. Sehingga sulit untuk mengatakan bahwa terhadap surat a quo terdapat penyalahgunaan kewenangan, pencampuradukan kewenangan, atau kesewenang-wenangan. Namun tidak sulit juga untuk menilai adanya kemungkinan pelanggaran atau penghianatan terhadap hak konstitusional yang terkandung pada legislasi semu tersebut. Sebagai ahli hukum yang memiliki perhatian besar terhadap konstelasi ketatanegaraan Indonesia, Bagir Manan menegaskan bahwa “kekuatan mengikat peraturan kebijakan/ legislasi semu tidak secara langsung mengikat secara hukum, melainkan memiliki relevansi hukum. Hal ini disebabkan pembuat legislasi semu tidak mempunyai kewenangan membuat peraturan perundang-undangan.” Adapun yang dimaksud oleh Bagir Manan bahwa legislasi semu memiliki relevansi hukum adalah, meskipun suatu legislasi semu umumnya diperuntukan untuk mengikat kedalam (lembaga), namun akan tetap bermuara mengikat atau berdampak kepada masyarakat.
Hal senada juga disampaikan oleh Prajudi Atmosudirdjo, yang menyatakan bahwa legislasi semu (pseudowetgeving) berdampak nyata pada tataran praktik, hal ini dikarenakan “peraturan kebijakan mengikat secara langsung pejabat berwenang berdasarkan prinsip hierarki jabatan yang memiliki konsekwensi pejabat yang lebih rendah kedudukannya harus mentaati perintah dan instruksi pejabat yang memiliki kedudukan diatasnya, meskipun secara normatif pseudowetgeving tidak mengikat secara fungsional (tidak bersifat mengatur keluar) akan tetapi pseudowetgeving mempunyai kekuatan mengikat masyarakat secara hukum yang mengakibatkan intervensi ruang gerak masyarakat secara tidak langsung .”26 Sebagaimana muatan poin ketujuh Surat Telegram Kapolri 2020 menginstruksikan kepada setiap Kapolda untuk tidak memberikan izin unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya, dalam hal ini surat a quo ditujukan kepada Kapolda namun pada akhirnya juga merenggut hak
konstitutional warga negara berupa ha katas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana dijamin pada Pasal 28E Ayat (3) UUD NRI 1945.
Tanpa bermaksud untuk membahas hal diluar focus penelitian, selain persoalan diatas, dalam hal pengujian diskresi melalui PTUN juga tidak kalah rumit. Sebagaimana telah kita ketahui, pada UU No. 5 tahun 1986 tidak mengatur perihal hukum acara penyalahgunaan diskresi di PTUN, adapun mekanisme acara yang tersedia adalah dalam kerangka Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang . Hal yang menarik adalah pada Pasal 2 Perma No. 4 Tahun 2015 yang memiliki legal standing sebagai pemohon hanyalah badan dan/atau pejabat pemerintah dalam pengujian peyalahgunaan wewenang. Ketentuan ini menghilangkan legal standing masyarakat untuk melakukan pengujian, yang sejatinya masyarakat merupakan objek dari keputusan tata usaha negara yang seharusnya paling memiliki legal standing terhadap penyalahgunaan wewenang pejabat tata usaha negara. Hal ini sekaligus mereduksi ketentuan Pasal 20 UU Administrasi Pemerintahan yang menetapkan bahwa masyarakat/ warga negara memiliki legal standing dalam pengujian di PTUN.
Berdasarkan uraian diatas, menjadikan constitutional complaint menjadi sangat relevan dan memiliki urgensi/ constitutional importance sebagai suatu progresifitas perlindungan hak konstitusional dalam kerangka penyelenggaraan negara yang tunduk kepada konstitusi sesuai dengan ajaran konstitusionalisme, dan sebagai konsistensi negara Indonesia sebagai negara hukum. Mengingat tingginya kemungkinan penghianatan terhadap ketentuan konstitusi terhadap legislasi semu dalam penyelenggaraan negara dan adanya kekosongan hukum dalam upaya pengujian konstitusionalitas legislasi semu di Indonesia.
-
4. Kesimpulan
Konsepsi constitutional complaint beranjak dari gagasan awal/ ratio d’etre yang sama dengan konsep judicial review, yakni sebagai upaya penjaminan pelaksanaan negara sesuai dengan konstitusi. Meski lahir dari gagasan yang sama dalam ajaran konstitusionalisme, constitutional complaint memiliki objek pengujian yang berbeda dengan objek pengujian judicial review, sebagaimana konsep constitutional complaint yang telah dilaksanakan di negara Jerman dan Korea Selatan sebagai suatu kajian komparatif. Adapun objek constitutional complaint adalah perbuatan atau kelalaian yang dilakukan oleh organ pemerintahan, dengan batu uji ketentuan pada konstitusi. Keberadaan legislasi semu (pseudowetgeving) merupakan konsekwensi logis dari kewenangan diskresi yang dimiliki pemerintah. Keleluasaan diskresi yang melahirkan legislasi semu yang sangat luas menimbulkan kemungkinan yang tinggi terhadap pelanggaran hak konstitutional warga negara, mengingat legislasi semu bukan merupakan peraturan perundang-undangan sehingga tidak dapat dilakukan pengujian melalui MA, karena MA hanya menguji legalitas peraturan perundang-undangan (judicial review on the legality of regulation) dan kapasitas MK saat ini tidak memiliki kewenangan pengujian legislasi semu dengan batu uji UUD NRI 1945, karena sejatinya MK adalah lembaga yang berwenang untuk melakukan uji konstitutionalitas berdasarkan UUD NRI 1945. Terlebih masih kacaunya kepastian hukum pengujian keputusan tata usaha negara di PTUN menjadikan constitutional complaint semakin nyata dibutuhkan dalam menjamin penyelenggaraan negara sesuai dengan amanat konstitusi. Mengingat urgensi constitutional complaint penting dalam progresivitas ketatanegaraan di Indonesia dan masih belum sempurnanya penelitian ini dalam mengkaji persoalan constitutional complaint dalam berbagai dimensi, penulis berharap
dapat dilakukan penelitian yang lebih komprehensif terutama berkaitan dengan hukum acara constitutional complaint di MK.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asshiddiqie, Jimly. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara. Edisi Ke-2.
Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
_________________. “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II,” 2006.
Atmosudirdjo, S Prajudi. Hukum Administrasi Negara. Ghalia Indonesia, 1981.
Moh. Mahfud M. D. Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu / Moh. Mahfud M.D. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Mukti Fajar, N D, and Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum: Normatif & Empiris. Pustaka Pelajar, 2010.
Palguna, Dewa. Pengaduan Konstitusional: Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara. Penerbit Sinar Grafika, 2013.
______________.Pengaduan Konstitusional: Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara. Penerbit Sinar Grafika, 2013.
Soekano, S, and Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu TinjauanSingkat. Cetakan Ke-2, PT. Raja Graf. Persada, Jakarta, 2009.
Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Memuat Segala Naskah Rasmi Penggalang UUD’45 Jang Berlaku Kembali Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia:... Jajasan Prapantja, 1959.
Jurnal Ilmiah
Diansyah, Febri. “Senjakala Pemberantasan Korupsi: Memangkas Akar Korupsi Dari Pengadilan Tipikor.” Jurnal Konstitusi 6, no. 2 (2009): 7–42.
HR, Ridwan, dkk.“Perluasan Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 25, no. 2 (2018): 339–58.
Isharyanto, Isharyanto. “Penetapan Harga Eceran Tertinggi Komoditas Pangan Sebagai Hak Konstitusional Dalam Perspektif Negara Kesejahteraan.” Jurnal Konstitusi 15, no. 3 (2018): 525.
Atja Sulandra, Joseph, and Anak Agung Ngurah Roy Sumahardika. “Lembaga Judicial Review Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar: Perbandingan Antara Kewenangan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 5, no. 2 (2016): 368.
Krisdanar, V D A. “Menggagas Constitutional Complaint Dalam Memproteksi Hak Konstitusional Masyarakat Mengenai Kehidupan Dan Kebebasan Beragama Di Indonesia.” Jurnal Konstitusi 7 (2016): 186–210.
Sanusi, Uci. “Pemakzulan Presiden Di Indonesia Studi Putusan Final Dan Mengikat Oleh Mahkamah Konstitusi Untuk Menciptakan Kepastian Hukum.” Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 7, no. 2 (2018).
Simabura, Charles. "Membangun Sinergi Dalam Pengawasan Hakim." Daftar Isi (2009): 43
Pane, Dewi Nurmasari, Miftah EL Fikri, and Husni Muharram Ritonga. “Laporan
Kinerja Mahkamah Konstitusi 2019.” Journal of Chemical Information and Modeling. Vol. 53. Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, 2018.
Purnamasari, Galuh Candra. “Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Melalui Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint).” Veritas et Justitia 3, no. 2 (2017): 244–69.
Subiyanto, A. “Perlindungan Hak Konstitusional Melalui Pengaduan Konstitusional.” Jurnal Konstitusi 8, no. 5 (2011): 707–32.
Wijaya, Daya Negri. “Indonesian Political Science Review.” Politik Indonesia 1, no. 1 (2016): 14–29.
Internet
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandar Lampung. “Kapolri Perintahkan Redam Demo Omnibus Law, YLBHI: Hormati Hak Berpendapat.” Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandar Lampung, 2020. http://lampung.aji.or.id/wp-content/uploads/2020/10/Telegram-Kapolri.pdf. Diakses 13 Oktober 2020
Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H., dan M.H Dian Kus Pratiwi S.H. “Pers Release PSHK FH UII Terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja.” Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2020. bit.ly/sikapomnibus. Diakses Pada 12 Oktober 2020
Mashabi, Sania. “YLBHI Nilai Langkah Polri Usut Isu Hoaks UU Cipta Kerja sebagai Intimidasi.” Kompas.com. 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/12/15030431/ylbhi-nilai-langkah-polri-usut-isu-hoaks-uu-cipta-kerja-sebagai-intimidasi?page=all. Diakses Pada 15 Oktober 2020
Maulana, A. Reformasi Dikorupsi, Demokrasi Direpresi: Catatan Akhir Tahun 2019 . LBH Jakarta, 2019. https://books.google.co.id/books?id=AzOizQEACAAJ. Diakses Pada 12 Oktober 2020
Salim, Zafrullah. “Legislasi Semu (pseudowetgeving).” Direktoral Jendral Peraturan Perundang-Undangan – Kementerian Hukum dan HAM, 2020. https://jdih.soppengkab.go.id/legislasi-semu-pseudowetgeving/. Diakses Pada 16 Oktober 2020
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang -Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Nomor Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316)
UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Nomor Nomor 70 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Nomor Nomor 216 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Nomor Nomor 292 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Lembaran Negara Nomor
Nomor 2 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4164)
Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Lembaran Negara Nomor
Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)
Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.5 Tahun 2021, hlm. 285-299
Discussion and feedback