PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT UNDANG-

UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN

I Gusti Ayu Pradnyahari Oka Sunu, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Pande Yogantara S, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i06.p01

ABSTRAK

Tujuan dari penulisan artikel ini ialah untuk mengulas dan menguraikan pandangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta beberapa perspektif dari pandangan agama mengenai perkawinan beda agama serta akibat hukum perkawinan beda agama terhadap keabsahan perkawinan dan terhadap keturunannya. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini ialah penelitian hukum normative yaitu penelitian hukum kepustakaan yang beranjak dari adanya norma yang kabur dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan/statute approach dan pendekatan konseptual/conceptual approach serta analisis data bersifat kualitatif dengan teknik analisis data yang dilakukan dengan cara mengklasifikasikan data menurut jenis dan disusun secara sistematis. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tidaklah terdapat instrument hukum yang mengatur secara tegas berkaitan dengan perkawinan beda agama. Hal ini berdampak pada keabsahan perkawinan yang dapat batal demi hukum serta berdampak pula pada kewarisan keturunannya dikemudian hari.

Kata kunci: Indonesia, Perkawinan, Agama, Hukum.

ABSTRACT

The aim of writing this article is to review and describe the views of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage as well as several perspectives from religious views regarding interfaith marriage and the legal consequences of interfaith marriage on the validity of marriage and on offspring. The research method used in this paper is normative legal research, namely literature law research which departs from the existence of vague norms using a statutory approach and a conceptual approach and qualitative data analysis with data analysis techniques carried out by means of classify data according to type and arranged systematically. The results of this study indicate that there is no legal instrument that explicitly regulates interfaith marriage. This has an impact on the validity of the marriage which can be null and void and also affects the inheritance of the offspring in the future.

Keywords: Indonesia, Marriage, Religion, Law.

  • I.    Pendahuluan

    1.1   Latar Belakang Masalah

Konstitusi menjamin kebebasan memeluk agama serta kepercayaannya masing masing terlepas dari kesesuaiannya dengan adat istiadat. Agama merupakan hal yang begitu privat dan sangat bertaliat erat dengan kepercayaan individu itu sendiri, sehingga sejalan dengan amanat konstitusi untuk kebebasan beragama maka segala aspek yang berhubungan dengan keagamaan sepatutunya tidak lagi menjadi polemic dan perbincangan dimasyarakat. Salah satunya seperti terselenggaranya perkawinan

beda agama yang masih sumir dimasyarakat dan menuai problematika karena terhimpit diantara keyakinan terhadap agama serta hak kebebasan memeluk agama yang mutlak dimiliki oleh semua individu sehingga kelak ketika terjadi perbedaan keyakinan sepatutnya perbendaan tersebut tidaklah menjadi permasalahan yang rumit. Namun lain hal jika berbicara terkait perbedaan agama dalam perkawinan. Dua orang dengan gender berbeda dalam hal ini laki-laki dan perempuan secara alamiah akan memliki ketertarikan satu sama lain. Ketertarikan ini akan berubah menjadi rasa cinta dan rasa ingin memiliki untuk hidup bersama. Untuk mewujudkan impian hidup bersama ini harus diikat dengan perkawinan. Indonesia dengan keberagaman budaya dan adat istiadat tentunya memiliki banyak aturan yang juga berbeda-beda, begitu pula dengan pengaturan mengenai perkawinan. Perkawinan di Indonesia memiliki aturan berbeda-beda. Budaya perkawinan yang berlainan di setiap daerah dengan aturan-aturan di dalamnya mendapatkan pengaruh dari agama serta kepercayaan, masyarakat juga pemuka-pemuka agama yang ada di dalam lingkungan masyarakat.1 Guna menyesuaikan pengaturan hukum mengenai perkawinan yang beraneka-ragam di setiap tempat dan daerah, lalu dirumuskanlah hukum perkawinan yang berlaku secara nasional yang dijadikan acuan hukum dan peraturan pokok dalam perkawinan di Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Mengacu pada UU Perkawinan maka pada pokoknya menyebutkan bahwa adanya suatu perkawinan yakni tiada lain sebagai bentuk ikatan lahir batin yang terjalin antara pria dan wanita serta berlandas pada Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Dengan begitu, perkawinan berlandaskan atas ikatan lahir dan bathin serta berlandaskan Ketuhanan YME. Ikatan lahir merupakan ikatan yang bisa terlihat serta menunjukan hubungan hukum diantara suami-istri, atau dapat dikatakan ikatan formal. Hubungan formal disini tak hanya mengikat suami-istri, tapi juga mengikat orang lain atau masyarakat. Sedangkan ikatan bathin bersifat tidak formil, merupakan ikatan yang tak terlihat tapi haruslah ada, sebab jika tak ada keterikatan bathin, keterikatan lahir pun takkan kuat dan berangsur-angsur lemah.3

Perkawinan memang bukanlah hal rumit untuk dilaksanakan di Indonesia. Akan tetapi berbeda halnya yang terjadi jika antara ikatan tersebut memiliki kepercayaan yang berbeda maka sangat rumit untuk dilakukan di Indonesia. Perkawinan beda agama disini ialah perkawinan diantara laki-laki serta perempuan yangmana keduanya merupakan WNI namun menganut ajaran agama yang berbeda. Indonesia memiliki lebih dari satu agama yang diakui secara sah yang jumlahnya adalah 6 agama. Dengan adanya banyak agama di Indonesia yang hidup saling berdampingan, maka tidak dapat menutup kemungkinan akan terjadinya pekawinan campur agama atau perkawinan beda agama. Terjadinya perkawinan berbeda agama memanglah tak menjadi peristiwa yang baru bagi masyarakat Indonesia yang memiliki beraneka-ragam kultur.

Penelitian ini memiliki state of art yang diambil dari beberapa penelitian terdahulu sebagai panduan dalam penulisan ini. Adapun pada penulisan terdahulu oleh Ahmad Hassanudin yang mengulas berkaitan dengan pernikahan beda agama ditinjau dari prespektif islam dan HAM lebih menitik beratkan pada keabsahan dari pernikahan beda agama serta menguraikan cara pandang dalam prespektif HAM berkaitan dengan

jalinan pernikahan dari dua agama yang berbeda. Lalu adapula penulisan dari Nur Cahaya yang menguraikan perkawinan beda agama dalam perspektif Hukum Islam, penulisan tersebut menguraikan bahwa seorang muslim dapat menikahi seorang ahli kitab asalkan imannya kuat dan dapat mebuat ahli kitab tertarik memeluk agama Islam. Selain itu adapula penulisan dari Fuad Mustafid yang menguraikan terkait perkawinan beda agama dan kebebasan individual manusia dalam islam, di dalam penulisan tersebut diuraikan bahwa pernikahan beda agama haruslah dipandang sebagai hak dari individu untuk bertindak bebas sesuai dengan apa yang dikehendaki sejauh tidak menghalangi atau mengganggu hak dan kebebasan orang lain. Berbeda halnya dengan penulisan ini, penulis menguraikan problematika perkawinan beda agama dalam prespektif UU Perkawinan sebagai tonggak dari aspek yuridis pernikahan di Indonesia. Selain itu tulisan ini juga menguraikan mengenai anak yang lahir dari perkawinan beda agama tetap memiliki hak mewaris ditinjau dari KUHPer. Penulis melihat bahwa tidak dapat dikatakan bahwa terjadinya perkawinan beda agama di Indonesia tidak dijadikan suatu permasalahan atau berjalan dengan lancar seperti perkawinan pada umumnya, bahkan perkawinan ini cenderung menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Apabila dalam perbedaan tersebut keduanya memutuskan tetap pada agamanya masing-masing dalam melangsungkan suatu perkawinan, maka perkawinan tersebut nantinya akan berimbas pula kepada keturunannya nanti. Perkawinan seperti ini tak memiliki kepastian hukum, dalam UU Perkawinan tidak ada aturan perihal perkawinan beda agama. UU Perkawinan tak mengizinkan dan tidak melarang dengan lugas juga tegas perihal perkawinan beda agama, yang menyebabkan terjadinya sebuah norma yang kabur pada UU Perkawinan. Diperlukan adanya pembaharuan hukum di Indonesia terkait dengan perkawinan agar terdapat kepastian hukum dan tidak ada kontroversi lagi mengenai hal ini. Berdasarkan pada uraian tersebut, penulis melakukan kajian mengenai “Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pandangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap perkawinan beda agama?

  • 2.    Bagaimana akibat hukum dari perkawinan beda agama terhadap keabsahan perkawinan dan keturunannya?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

  • 1.    Untuk mengetahui pandangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap Perkawinan beda agama.

  • 2.    Untuk mengetahui akibat hukum dari perkawinan beda agama terhadap keabsahan perkawinan dan keturunannya.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan ini berlandas pada penelitian normative yang mengkaji aspek norma dengan studi kepustakaan maupun bahan sekunder. Setiap bahan hukum yang digunakan mengacu pada sistem norma yang berkaitan dengan rumusan pasal ataupun undang undang itu sendiri. Beranjak dari hal itu, penulis melihat terdapat norma yang kabur (vague of norm) terhadap pengaturan pernikahan beda agama di Indoensia yaitu UU Perkawinan, sehingga penulis pada penelitian ini menggunakan pula pendekatan pendekatan hukum yang bertujuan membuat terang permasalahan yang tertuang dalam rumusan masalah. Digunakanlah pendekatan perundang undangan/statute approach,

pendekatan konseptual/conceptual approach dalam kajian ini. Analisis data bersifat kualitatif dengan teknik analisis data yang dilakukan dengan cara mengklasifikasikan data menurut jenis dan disusun secara sistematis.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Pandangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Terhadap Perkawinan Beda Agama

Perkawinan adalah ikatan yang terjalin antara laki laki dan perempuan untuk mulai membangun bahtera rumah tangga yang sejahtera. Adanya perkawinan membuat timbulnya suatu hubungan hukum yang terjalin antara suami dan istri. Namun di Indonesia perkawinan tidak hanya dinilai dari tatanan hukum namun juga dalam tatanan masyarakat yang mengkehendaki perkawinan pada seutuhnya hanya satu kepercayaan sehingga perkawinan beda agama dinilai begitu rancu dan sulit untuk dilangsungkan. Adapun untuk mendefiniskan perkawinan beda agama telah jelas terlihat dari sebutannya yakni terjalin diantara dua belah pihak yang berbeda keagamaan, hal ini bukanlah dikualifikasikan sebagai pernikahan campuran dikarenakan pada pernikahan campuran bertitik tumpu pada kewarganegaraan kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan.

Merupakan hal yang manusiawi bila diantara pria dan wanita yang menjalani kehidupan sosial secara berdampingan tumbuh perasaan cinta dan ingin menjalani hidup bersama dalam ikatan perkawinan. Tersurat dalam UU Perkawinan perihal sahnya perkawinan di Pasal 2 ayat (1) yakni sah bila dilakukannya berdasarkan hukum agama dan kepercayaannya.4 Berdasarkan hal itu dapat diketahui bahwasanya perkawinan dikatakan sah bila pelaksanaannya bersesuaian dengan hukum agama dan kepercayaannya. Urusan perkawinan memang sedikit unik, sebab tak hanya hukum nasional yang dijadikan acuan, tapi juga hukum agama. Pada masa sebelum diundangkannya UU Perkawinan, bentuk perkawinan dengan agama yang berbeda dirumuskan dalam peraturan dibawah naungan Pemerintah Kolonial Belanda yakni Stb. 1898 No. 158 atau biasa disebut GHR.5 Dalam peraturan tersebut perkawinan berbeda agama masuk ke perihal perkawinan campuran. Dalam Pasal 7 ayat (2) GHR dijelaskan bahwasanya berbeda agama, suku, bangsa ataupun keturunan, sama sekali tak menghalangi pelaksanaan perkawinan. Maka dari itu, GHR memberikan kemungkinan selebar-lebarnya dalam mengadakan perkawinan beda agama. Sehingga dahulu tak ada masalah dalam perlangsungan perkawinann ini. Tetapi, ketetapan-ketetapan yang diatur dalam peraturan lainnya yang mengatur perihal perkawinan yang sudah diatur UU Perkawinan, dinyatakan tak berlaku.6

UU Perkawinan tak hanya berisi asas-asas, tapi juga memuat mengenai prinsip-prinsip dalam memberi landasan mengenai hukum perkawinan yang sejak diundangkannya sampai saat ini masih menjadi pedoman serta berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia.7 Guna memahami masalah perkawinan beda agama secara jelas, maka harus melihat Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan serta Pasal 8 huruf (f) yang menyuratkan bahwasanya perkawinandilarang diantara kedua orang yangmana agamanya atau peraturan lainnya melarang. Kedua pasal tersebut memberi isyarat

bahwasanya UU Perkawinan memberikan kepada masing-masing agama dalam menetapkan tatacara serta persyaratan dalam melaksanakan perkawinan. Oleh karena itu, suatu perkawinan dikatakan sah ataupun tidak sah, dilarang atau tidak selain berdasarkan kepada ketetapan-ketetapan yang termuat dalam UU Perkawinan, ditentukan pula oleh hukum agama. UU Perkawinan hanya memuat perihal perkawinan campuran dari pasangan yang memiliki perbedaan kewarganegaraan.8

Perkawinan bedaagama di Indonesia masih terus menjadi polemik yang tak kunjung usai walaupun Indonesia telah memiliki UU Perkawinan yang menjadi pedoman hukum terkait perkawinan. Masih saja terjadi kontroversi bilamana memperbincangkan mengenai perkawinan ini. Bilamana melihat pada hukum positif saja maka tak akan mendapat kejelasan perihal perkawinan yang seperti ini. Perkawinan ini menjadi rumit sebab untuk menentukan keabsahannya harus menilik lagi pada hukum agama yang diakui di Indonesia. Perkawinan memang tak bisa lepas dari unsur keagamaan. Hukum agama turut mengambil peran penting dalam penentuan keabsahannya. Harus melihat pula pada aturan keagamaan mengenai boleh maupun tidaknya. Indonesia tak hanya mengakui satu agama saja, tetapi ada 6 agama yang diakui secara sah. Jadi harus dilihat pula sisi dari hukum keagamaan terkait hal ini agar tidak simpang siur. Setelah itu akan mendapat kejelasan akan hal ini. Pandangan dari keenam agama tersebut mengenai perkawinan beda agama, yakni: a. Agama Islam

Pandangan agama islam terhadap perkawinan beda agama tidaklah mendapat angina segar dikarenakan kepercayaan yang kuat untuk melangsungkan perkawinan dengan idealnya pada satu kepercayaan, hal ini dikarenakan dalam ajaran Alquran menilai bahwasanya secara tegas melarang perkawinan beda agama karena sifat musyrik yang mengikuti ikatan tersebut. Diatur bahwasanya jangan menikahi perempuan musyrik sampai mereka memiliki iman meskipun mereka memikat hati dan jangan menikahkan orang musyrik dengan perempuan mu’min sampai ia beriman meskipun ia memikat hati.9 Kata musyrik disini berarti orang yang membiarkan hal secara fisik maupun non-fisik selain Allah menjadi objek penyembahan.10 Dari pernyataan di atas, apabila seorang Muslim ingin menikahi seorang non-Muslim, maka seorang non-muslim tersebut harus menjadi Muslim dengan mempelajari ajaran-ajaran Islam terlebih dahulu.

  • b.    Agama Kristen Protestan

Alkitab menyatakan dalam Efesus 5: 22 sampai 5: 25 bahwasanya istri harus tunduk pada suami bagaikan pada Tuhan sebab suami bagai Kristus yang merupakan kepala jemaat. Dan suami harus menyayangi istri layaknya Kristus kepada jemaat. 11 Dengan begitu, jelaslah suami dan istri haruslah bersama-sama mengasihi Kristus serta berpegang pada Kristus untuk dijadikan pemimpin dalam perkawinannya.

  • c.    Agama Katholik

Perkawinan dalam agama Katholik merupakan suatu sakramen. Dalam Kitab Hukum Kanonik, Kanon 1055 ayat 1 menerangkan bahwasanya perkawinan pria dan wanita membentuk persekutuan diseluruh hidup, diantara orang-orang dibaptis, diangkatlah oleh Kristus Tuhan ke martabat sakramen.12 Dengan begitu, maka jelaslah bahwasanya perkawinan dalam ajaran Khatolik dianggap sangatlah suci dan sakral.13 Lalu melihat Kitab Hukum Kanonik, Kanon 1086 ayat 1 menerangkan bahwasanya perkawinan yang salah satunya telah dibaptis di Gereja Katolik dan diterima namun yang lainnya tak dibaptis, ialah tidak sah.14 . Dilihat dari ketentuan Hukum Kanonik di atas, jelaslah bahwa dalam agama Katolik pun tak diizinkan terjadinya perkawinan diantara orang Katolik dan non-Katolik.15

  • d.    Agama Hindu

Perkawinan dalam ajaran Hindu dikenal dengan Pawiwahan/Wiwaha. Wiwaha atau perkawinan oleh pemeluk agama Hindu mempunyai makna yang begitu berarti. Salah satu syarat wiwaha ialah dinyatakan sah bilamana kedua mempelai menganut ajaran Hindu.16 Apabila dalam perkawinan misalnya salah satu mempelai tidak menganut agama Hindu, mempelai yang tidak beragama Hindu wajib di Hindu-kan sebelum diadakannya upacara pawiwahan (perkawinan) melalui ritual sudhi waddani.17

  • e.    Agama Budha

Agama Budha tak memaksakan umatnya maupun memberi larangan untuk kawin. Sebab dalam ajaran Budha perkwinan ialah suatu hal yang haruslah dipikirkan dengan seksama serta diharuskan menerima konsekuensi untuk taat dengan pilihan yang diambil untuk tercapainya keluarga yang berbahagia berdasarkan kepada Sanghyang Adi Budha. Tetapi dalam upacara perkawinannya diwajibkan mengikuti kaidah perkawinan Budha dengan menyebutkan “atas nama Sang Budha Dharma dan Sangka”, yakni dewa-dewa dalam ajaran Budha. Oleh sebab itu, untukcalon mempelai yang merupakan penganut non-Budha akan menganut Agama Budha, walau dia hanyalah menundukan diri terhadap ajaran Budha saat perkawinan tersebut berlangsung.18

  • f.    Agama Khonghucu

Telah dirumuskan dalam kepercayaan agama Khongucu bahwa perkawinan bertujuan untuk mengembangkan benih tuhan yang dititipkan untuk disemai dalam bahterai pernikahan untuk membangun rumah tangga yang harmonis dan memperoleh keturunan. Salah satu syarat perkawinan dalam ajaran Konghucu ialah pengakuan iman yang wajib dilakukan oleh kedua mempelai yangmana peneguhan

tersebut dilakukan di Lithang yang merupakan tempat suci agama Khonghucu.19 Iman yang dimaksud tentu keyakinan dalam menerapkan ajaran Khonghucu. Dengan demikian, maka agama Khonghucu melarang adanya perkawinan beda agama.

Berdasarkan uraian di atas, perkawinan beda agama dilarang di Indonesia oleh UU Perkawinan. Hal ini karena keenam agama di Indonesia tidak memperbolehkan pelaksanaan perkawinan ini. Maka dari itu, perkawinan ini tidak sah di Indonesia sebab melenceng UU Perkawinan. Apabila calon mempelai menganut ajaran agama yang berbeda, maka salah satu mempelai harus berpindah agama untuk mengikuti agama pasangannya. Dengan begitu, perkawinan dapat dilaksanakan secara sah dimuka agama dan hukum nasional.

  • 3.2    Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama Terhadap Keabsahan Perkawinan Dan Keturunannya

Perkawinan beda agama tentu mendatangkan suatu akibat hukum. Akibat hukum tersebut menyangkut status perkawinan hingga berimbas kepada keturunan yang terlahir dari perkawinan tesebut. Merujuk Pasal 2 ayat (1) serta Pasal 8 huruf (f) UU Perkawinan, dapat diartikan bahwasanya UU Perkawinan memberikan keputusan pada hukum agama masihg-masing. Bila perkawinan beda agama dinyatakan sah oleh agama, keabsahannya diakui pula oleh UU Perkawinan. Tapi kenyataannya agama-agama di Indonesia tak memberi izin terjadinya perkawinan ini. Jadi satu orang harus berpindah agama yang sama dengan agama pasangannya. Oleh karena ke-6 agama di Indonesia tak mengizinkan terjadinya perkawinan beda agama, maka UU Perkawinan juga akan menyatakan perkawinan ini tidak sah, karena UU Perkawinan menyerahkan cara-cara dan syarat-syarat perkawinan kepada masing-masing agama (disamping yang telah ditetapkan oleh negara). Namun, tidak jarang pasangan berbeda agama tetap melangsungkan perkawinan serta tetap pada agama masing-masing. Karena tak bisa melaksanakan perkawinan ini di Indonesia, maka mereka melaksanakan perkawinan tersebut di negara yang memperbolehkan terjadinya perkawinan beda agama. Kemudian perkawinan itu akan dilaporkan di Kantor Catatan Sipil di tempat kediaman mereka.20 Perkawinan dikatakan sah bila pelaksanaanya berdasarkan aturan hukumm yang berlaku dinegara tempat perkawinn dilakukan dan bagi WNI tak bertentangan dengan ketentua UU Perkawinan. 21 Kenyataannya, perkawinan beda agama telah melanggar ketentuannPasal 2 ayat (1) UU Perkawinn. Perkawinan antara pasangan kekasih yang merupakan WNI dengan perbedaan agama diantara mereka dan melakukan perkawinan di luar negeri demi mendapatkan pengakuan administratif ini disebut tindakan penyelundupan hukum atau Wetsontduiking dalam bahasa Belanda, yaitu melangsungkan perkawinan dinegara yang tak mempermasalahkan bedanya agama guna memperoleh keabsahan perkawinan namun bertentangan dengan aturan hukum nasionalnya.22 Tindakan penyelundupan hukum perkawinan tersebut dapat

batal demi hukum yng dikenal degan asas fraus omnia corrumpit.23 Dengan begitu, maka perkawinan yang telah terlaksana dianggap tak pernah ada. Secara hukum status keduanya akan kembali seperti saat sebelum perkawinan dilakukan, namun status sosialnya akan tetap dipandang sebagai janda dan duda.

Perkawinannbedaaagama juga dapat menimbulkan masalah pada statusaanak yang dilahirkan. Anak dikatakan sah berdasarkan aturan Pasal 42 UU Perkawinan yakni anak yng lahir dari suatu perkawinan yang sah menurut Pasal 2 ayat (2).24 Sedangkan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan memberikan pada hukum agama untuk menentukan syarat perkawinan, yang mana masing-masing agama di Indonesia tak mengizinkan perkawinan tersebut. Dengan kata lain anak tersebut tidak terlahir dari perkawinan yang sah atau anak luarkawin. Akibatnya anakk yanglahir dari perkawinan beda agama hubngan keperdataannya hanya dngan ibu dan keluargaibunya. 25 Setelah itu akibat hukum yang akan timbul yaitu mengenai masalah warisan. Apabila terhadap perkawinan beda agama tersebut tidak terjadi pembatalan demi hukum, maka anak dari perkawinan yang demikian akan memiliki agama yang sama dengan salah satu orang tuanya saja. Dengan begitu, si anak hanya akan mendapat hak waris dari ayah atau ibunya yang satu agama dengannya saja, dan akan timbul permasalahan keadilan yangmana anak yang satu agama berhak mendapat hak waris tapi saudaranya yang berbeda agamanya tak dapat hak waris.26 Tapi bilamana perkawinan dinyatakan tidak sah, maka sang anak akan disamakan dengan anak luar kawin. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, ahli waris yakni yang memiliki hubunganan datah ataupun hbungan perkawnan, bergama islam dan tak dihalangi hukuum dalam memjadi ahliwaris. 27 Dapat diketahui melalui pasal tersebut bahwa apabila orang tua beragama Islam dan sang anak tidak beragama Islam, maka sang anak tidak dapat menjadi ahli waris didasarkan pada hukum kewarisan Islam. Hukum kewarisan Islam merupakan aturan mengenai hal-hal terkait prosedur beralihnya hak dan atau kewajiban mengenai harta kekayaan pada ahli waris dari seseorang yang setelah orang itu meninggal. 28 Berdasarkan KUH Perdata, anak luar kawin dapat menerima warisan dari ayahnya apabila sang ayah mengakui anak tersebut. Dalam hukum perdata, hukum waris ialah seperangkat aturan hukum terkait prosedur perlaihan harta kekayaan yang pewaris tinggalkan kepada ahli waris karena kematian baik yang antar mereka mempunyai hubungan ataupun pihak lain.29 Pasal 832 KUH Perdata menyatakan bahwasanya ahli waris merupakan keluarga satu darah, yang sah berdasarkan undang-undang ataupun yang diluar perkawinan.30 Ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam dan KUH Perdata sama-sama mengandung unsur hubungan darah dan hubungan perkawinan, namun bedanya Kompilasi Hukum Islam berisi unsur agama sedangkan dalam KUH Perdata tidak.

Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan memang membatasi HAM seseorang untuk membentuk keluarga dan memiliki keturunan. Namun, menurut penulis pembatasan

HAM tidak sama dengan pelanggaran HAM. UUD NRI 1945 menyatakan bahwasanya dalam melaksanakan hak dan kewajibanya, seseorang wajib tunduk terhadap batasan dalam undang-undang.31 Jadi, merujuk pada ketentuan UUD NRI 1945, apabila dibatasi oleh undang-undang maka bukanlah merupakan pelanggaran HAM. Begitu pula dengan larangan perkawinan beda agama di Indonesia. Pembatasan ini bertujuan untuk meindungi juga menghormati hak orang lain dan ketentraman bersama. Bilamana perkawinan ini dilegalkan, hal ini dapat mengusik ketenangan masyarakat karena bertentangan dengan hukum agama, mengingat Indonesia adalah negara beragama meskipun bukan merupakan negara agama. Apabila hak seseorang dibebaskan sebebas-bebasnya, ditakutkan justru akan menyebabkan kegaduhan karena tak mengindahkan hak orang lain lagi dan hanya mementingkan haknya saja. untuk itulah diperlukan adanya pembatasan yang penetapannya dengan undang-undang.

  • 4.    Kesimpulan

Tidak terdapat ketentuan khusus terkait perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan. Maka dari itu, merujuk Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f) UU Perkawinan, keputusan undang-undang dikembalikan pada aturan masing-masing agama sedangkan dalam tatanan agama tiada satupun agama di Indonesia yang memperbolehkan adanya perkawinan beda agama. Hal ini karena suatu perkawinan dilarang atau tidak, selain dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam UU Perkawinan, ditentukan pula oleh hukum masing-masing agama. UU Perkawinan hanya mengatur mengenai perkawinan campuran antara pasangan yang lain kewarganegaraannya. Perkawinan beda agama tentu menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum tersebut menyangkut status perkawinan hingga berimbas kepada keturunan yang lahir dari perkawinan tesebut. Perkawinan yang telah berlangsung dapat batal demi hukum. Sehingga, pada anak dari perkawinannya nanti akan menjadi anak diluar nikah dan hubungan keperdataannya semata mata terjalin dengan ibu dan keluarga dari ibunya. Hal ini akan berimbas pada hak kewarisan sang anak. Bila ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam, anak yang tak beragama Islam tidak dapat menjadi ahli waris dari ayahnya yang menganut agama Islam. Namun apabila dilihat dari KUH Perdata, anak yang terlahir bukan dari perkawinan yang sah masih bisa mendapatkan warisan dari ayahnya bilamana sang ayah mengakui anaknya. Adapun bila perkawinan tercatat di Kantor Urusan Agama, maka yang dijadikan dasar hukum atas hak waris tersebut adalah KHI. Namun bila perkawinan dicatat di Kantor Catatan Sipil, maka dasar hukum yang digunakan adalah KUH Perdata.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Jaya, Dwi Putra. Hukum Kewarisan Di Indonesia, Bengkulu, Zara Abadi, 2020. Khisni, H. A. Hukum Waris Islam, Semarang, Unissula Press, 2013.

Lon, Yohanes Servatius. Hukum Perkawinan Sakramental dalam Gereja Katolik, Yogyakarta, PT Kanisius, 2019.

Jurnal Ilmiah

Ashsubli,"Undang-Undang Perkawinan Dalam Pluralitas Hukum Agama (Judicial Review Pasal Perkawinan Beda Agama)." Jurnal Cita Hukum 3, No. 2 (2015)

Pranoto, Pranoto, and Novina Eky Dianti. "Perkawinan Beda Agama Antar Warga Negara Indonesia di Luar Negeri sebagai Bentuk Penyelundupan Hukum dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan." Privat Law 2, no. 5 (2014)

Halim, Abdul, "Keabsahan Perkawinan Beda Agama Diluar Negeri Dalam Tinjauan Yuridis." Jurnal Moral Kemasyarakatan 1, no. 1 (2016)

Indrawan, Made Prilita Saraswati Putri, and I. Gede Artha. "Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, no. 3 (2019)

Jalil, Abdul. "Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia." Andragogi: Jurnal Diklat Teknis Pendidikan dan Keagamaan 6, no. 2 (2018)

Kamilah, Anita. "Keabsahan Perkawinan Beda Agama yang dilaksanakan di luar Negeri." Jurnal Peradaban dan Hukum Islam 1, no. 1 (2018)

CH, Ana Lela F., R. Ken Ismi, and M. Shifa Khilwiyatul. "Fikih Perkawinan Beda Agama Sebagai Upaya Harmonisasi Agama: Studi Perkawinan Beda Agama Di Jember." Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan 1 (2016)

Makalew, Jane. "Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama Di Indonesia." Lex Privatum 1, No. 2 (2013).

Palandi, "Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia." Lex Privatum 1, no. 2 (2013).

Panjaitan, Junifer Dame. "Urgensi Hasil Perkawinan Beda Agama Terhadap Perlindungan Hukum." Sol Justisio 2, no. 1 (2020)

Wahyuni, "Kontroversi Perkawinan Beda Agama." Jurnal Hukum Islam 8, no. 1 (2011) _________,"Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia." IN RIGHT:

Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia 1, no. 1 (2017)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019].

Kompilasi Hukum Islam

Jurnal Kertha Wicara Vol. 10 No. 6 Tahun 2021, hlm. 387-396