Pengaturan Tindak Pidana Aborsi dalam KUHP dan UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
on
PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI DALAM KUHP DAN UU NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Ida Bagus Made Adi Suputra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
I Gusti Ngurah Parwata, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v10.i04.p03
ABSTRAK
Tujuan studi ini untuk memberi pengetahuan mengenai pengaturan tindak pidana aborsi pada saat ini maupun di masa yang akan datang dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia. Dalam mengkaji permasalahan pada studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang Undang Kesehatan. Hasil analisis dari studi ini diketahui bahwa tindak pidana aborsi telah diatur dalam hukum positif Indonesia akan tetapi dalam pengaturan tersebut terjadi konflik norma yang berakibat tidak selarasnya penegakan hukum terhadap pelaku aborsi menurut KUHP dan UU Kesehatan, sehingga perlu adanya pembaharuan hukum pidana Indonesia untuk mewujudkan keselasaran dalam penegakan hukum.
Kata Kunci: Tindak Pidana, Aborsi, Pembaharuan Hukum Pidana.
ABSTRACT
The purpose of this study is to provide knowledge about the regulation now and future abortion regulations in the context of Indonesian criminal law reform. In examining the problems in this research, normative legal research methods are used by reviewing the Criminal Code and the Health Law. The results of the analysis of this study indicate that the criminal act of abortion has been regulated in Indonesian positive law, but in this regulation there is a conflict of norms which results in inconsistency between law enforcement against abortion perpetrators according to the Criminal Code and Law No. Health Law, so it is necessary to reform Indonesian criminal law to achieve equality in law enforcement. Keywords: Crime, Abortion, Criminal Law Reform.
Keywords: Criminal Act, Abortion, Criminal Law Reform.
Dalam kehidupan rumah tangga kehamilan sangat diharapkan, karena kehamilan merupakan suatu berkah yang dinantikan oleh orang yang telah menikah. Kehamilan merupakan hal yang membahagiakan serta dinantikan oleh pasangan suami istri karena suatu bentuk hadiah dari Tuhan yang yang menandakan akan hadirnya seorang anak yang lahir dari rahim ibu hasil dari perkawinan yang sah didalam keluarga. Kebahagiaan tersebut hanya dirasakan oleh pasangan suami istri yang sah dan siap dalam menjalani rumahtangga, kebahagiaan akibat kehamilan tersebut tidak berlaku bagi perempuan yang belum siap mental dalam menghadapi kehamilan, biasanya hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor yaitu kehamilan yang terjadi pada perempuan yang belum cukup umur, kehamilan yang dikarenakan hubungan seksual yang terjadi di luar nikah dan pasangannya tidak
bertanggungjawab,serta termasuk kehamilan yang terjadi akibat pemerkosaan.
Apabila kehamilan itu tidak diinginkan oleh perempuan dan pasangannya maka perempuan dan pasangannya tersebut sangat berpotensi melakukan jalan pintas dengan melakukan aborsi atau abortus provocatus criminalis sebagai jalan keluar untuk mengatasi masalah kehamilan yang dihadapi. Adanya ancaman hukuman bagi perempuan yang melakukan tindakan aborsi terhadap kehamilan yang tidak diharapkan bukannya membuat pelaku aborsi takut untuk melakukan tindakan tersebut, malahan membuat semakin maraknya pelaku melakukan kegiatan abortus provocatus criminalis yang padahal hal itu merupakan kegiatan ilegal atau melawan hukum di Indonesia.1 Aborsi atau yang dikenal dengan abortus provocatus criminalis yang artinya pengguguran kandungan dengan sengaja. Aborsi dikenal merupakan kegiatan penghentian proses kehamilan dengan cara mengeluarkan janin dari kandungan sebelum waktu lahiran pada umumnya, dengan arti janin tersebut dikeluarkan dengan sengaja dengan tangan manusia, baik dengan obat maupun cara-cara yang lain.2
Aborsi atau pengguguran kandungan adalah tindakan yang dilarang menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dan aturan mengenai larangan aborsi tersebut telah diatur berdasarkan pasal 299, 346 sampai 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Kemudian dinyatakan Pada pasal 346 ayat (1) secara tegas menyatakan “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun” dapat diartikan bahwa menurut penjelasan pasal tersebut tindakan aborsi tidak diperbolehkan termasuk terhadap kehamilan akibat pemerkosaan.3 Usaha untuk menanggulangi kegiatan aborsi yang telah diatur dalam KUHP sudah sangat jelas serta tegas melarang segala bentuk tindakan aborsi, sehingga dapat dikatakan segala bentuk kegiatan aborsi yang dilakukan di Indonesia dikatakan ilegal berdasarkan rumusan dalam KUHP, yakni melarang tindakan aborsi yang dilakukan atau dibantu oleh siapapun dengan alasan apapun. Maka dari itu dapat dikatakan berdasarkan rumusan yang terkandung dalam KUHP terkait dengan aborsi tidak memilah abortus provocatus kriminalis dan abortus provocatus medicalis/therapeuticus.4 Adanya larangan terhadap kegiatan aborsi menjadikan banyak orang melakukan aborsi dengan cara diam-diam dan dengan alat seadanya sehingga berbahaya sampai menyebabkan perempuan yang melakukan aborsi meninggal, dan jumlah kasus aborsi yg dilakukan perempuan Indonesia pertahunnya hingga 2,5 juta.5
Dalam kehidupan bermasyarakat, apabila ada perempuan yang hamil akibat tindak pidana pemerkosaan itu merupakan permasalahan rumit yang dianggap
sebagai keburukan dalam keluarga maupun daerah tempat tinggal perempuan tersebut. Apabila dilihat dari sisi perempuan yang menjadi korban harus melanjutkan kehamilannya hingga anak tersebut lahir, nantinya anak yang dilahirkan akan menjadi bahan hinaan masyarakat dan berakibat trauma terhadap ibunya serta keluarganya. Maka dengan memaksa perempuan yang hamil akibat korban pemerkosaan untuk melanjutkan proses kehamilan hingga anaknya lahir dapat mengakibatkan trauma serta gangguan psikologi terhadap perempuan tersebut.6
Setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlakuan dan perlindungan yang sama di hadapan hukum. Perlindungan hukum adalah bagian dari perlindungan terhadap masyarakat yang merupakan suatu tindakan dalam rangka pemenuhan hak dan pemberian bantuan sehingga dapat menumbuhkan rasa aman terhadap masyarakat, di mana perwujudan perlindungan hukum tersebut dapat berupa kompensasi, restitusi, pelayanan medis dan bantuan hukum. Akan tetapi dalam kasus pemerkosaan tidak jarang pihak korban tidak diperdulikan oleh hukum, di mana dalam pembuktiannya, kasus-kasus yang dialami korban pemerkosaan seringkali tidak mendapatkan keadilan bagi pihak perempuan sebagai korban pemerkosaan.
Pada kasus aborsi terhadap korban pemerkosaan, peranan sangat penting dipegang oleh penegak hukum guna menyelesaikan kasus aborsi karena ruang lingkup permasalahannya cukup luas, di mana terdapat dua permasalahan yang wajib diperhatikan yaitu antara hak pemberdayaan perempuan untuk menjamin kehidupannya tanpa adanya tekanan psikologis/mental dan sosial atau serta untuk menjamin hak anak yang masih berada dalam kandungan untuk tetap hidup. Maka dari itu untuk menentukan apakah perempuan yang melakukan tindakan aborsi terhadap anak yang di kandungnya dapat dikenakan pidana atau tidak, dan hal itu dapat dinilai dari kegunaan mana yang lebih diutamakan. Dan dalam pemberian sanksi pidana, tidak hanya berpacu pada rumusan suatu pasal dalam peraturan perundang-undangan saja, akan tetapi dalam implementasinya juga harus memperhatikan bagaimana latar belakang serta alasan atas tindakan yang dilakukan.
Berkaitan dengan hal tersebut dalam rangka pemberian perlindungan terhadap sebagai korban yang melakukan tindakan aborsi atas kehamilan yang disebabkan karena pemerkosaan merupakan suatu hal yang harus kita perhatikan bersama. Mengingat berdasarkan rumusan yang terkandung pada Pasal 346 KUHP merumuskan bahwa “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam pidana penjara paling lama empat tahun”, kemudian dilihat dari rumusan yang terkandung pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan) juga tidak mengizinkan perbuatan aborsi, hal tersebut berdasarkan ketentuan yang termuat didalam Pasal 75 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang dilarang melakukan aborsi”, akan tetapi larangan tersebut mendapat pengecualianiyang termuat dalam Pasal 75 ayat (2) huruf a dan b UU Kesehatan, yang di mana rumusan pasal tersebut menyatakan “ indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/ atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan, serta kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan”. Dengan adanya
rumusan pasal tersebut menyebabkan adanya konflik norma, di mana aturan dalam UU Kesehatan tidak berjalan selaras dengan aturan yang termuat didalam KUHP.
Guna mengkaji lebih dalam terkait dengan kegiatan aborsi maka perlu adanya pengkajian dari beberapa penelitian yang berhubungan dengan kegiatan aborsi yang telah dipublikasikan, antara lain: Edwin Capri Purba menyimpulkan bahwa pengaturan dalam KUHP serta UU Kesehatan terdapat suatu perbedaan, KUHP tidak memperbolehkan kegiatan aborsi dilihat dari latar belakang apapun, sedangkan UU Kesehatan mengizinkan tindakan aborsi terhadap perempuan yang hamil akibat pemerkosaan dengan dalil trauma psikologi yang nantinya akan mengganggu kejiwaan dan mentalnya.7 Kemudian Salim Fauzi Lubis menyimpulkan bahwa “berdasarkan KUHP, hukum pidana yang berlaku di Indonesia kegiatan aborsi dilarang dan juga diancam dengan hukuman pidana tanpa melihat sebab mengapa perempuan tersebut dapat melakukan kegiatan aborsi itu, maka semua yang terlibat baik perempuan yang melakukan aborsi ataupun yang menolong melakukan kegiatan aborsi”. Dilain sisi UU Kesehatan memberikan pengkhususan paktik aborsi dengan latar belakang kesehatan yang tidak mendukung yang disebut juga dengan abortus provocatus medicalis dan mengenai pemberian izin aborsi terhadap korban pemerkosaan di Indonesia masih menjadi perdebatan.8 Selain itu Rumelda Silalahi menyimpulkan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku aborsi diatur dalam KUHP Pasal 299, 346,347-349 dan 535 yang secara tegas tidak mengizinkan tindakan aborsi dengan pertimbangan apapun, dan juga dalam UU Kesehatan Pasal 75 ayat (1) melarang aborsi dengan rumusan yang menyatakan “setiap orang dilarang melakukan aborsi”, namun dalam rumusan pasal 75 ayat (2) memperbolehkan dengan menyatakan “ aborsi dapat dilakukan apabila dalam keadaan kedaruratan medis serta terhadap perempuan hamil akibat tindak pidana pemerkosaan” .9 Selanjutnya Meliza Cecillia menyimpulkan dalam KUHP abortus provocatus criminalis tidak diperbolehkan sama sekali, baik pelaku ataupun yang membantu proses tersebut dapat dipidana, sedangkan apabila melihat rumusan dalam UU Kesehatan terdapat pengkhususan terkait aborsi dengan latar belakang terkait dengan gangguan kesehatan yang mengancam serta korban hamil perkosaan.10
Maka dari itu perlu adanya penelitian mengenai pengaturan terhadap kegiatan aborsi agar terdapat kepastian hukum bagi pelaku aborsi baik kehamilan akibat korban pemerkosaan. Dengan adanya penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut RKUHP) dalam rangka mewujudkan pembaharuan hukum pidana, yang nantinya diharapkan dapat mengoptimalkan perlindungan hukum bagi perempuan pelaku tindak aborsi akibat dari pemerkosaan.
-
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana aborsi dalam KUHP dan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan?
-
2. Bagaimana pengaturan tindak pidana aborsi menurut RKUHP sebagai wujud pembaharuan hukum pidana Indonesia di masa yang akan datang?
Dalam setiap penelitian selalu mempunyai tujuan yang ingin dicapai, tujuan dalam penelitian jurnal hukum ini adalah agar masyarakat dapat mengetahui peraturan mengenai tindak pidana aborsi dalam hukum positif maupun peraturan tindak pidana aborsi di masa yang akan datang. Serta diharapkan pula sebagai pertimbangan dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia kedepannya guna mewujudkan nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Metode penelitian yang digunakan dalam mengkaji permasalahan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Pengkajian yang dilakukan pada jurnal ini adalah melihat kedudukan norma hukum di dalam suatu peraturan baik secara sejajar ataupun bertingkat.11 Pada penelitian ini kedudukan norma yang terjadi pada perbuatan tindak pidana aborsi tersebut adalah adanya konflik norma yang terjadi yang mengakibatkan penegakan hukum terhadap pelaku aborsi tidak selaras. Pendekatan yang dilakukan dalam jurnal ini adalah pendekatan perundang-undangan, yaitu dengan menerapkan teknik mengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan terhadap tema yang dibahas dari penelitian hukum ini yaitu tindak pidana aborsi, yang dimana peraturan perundang-undangan yang dikaji adalah KUHP dan UU Kesehatan sebagai bahan hukum primer, dan Rancangan KUHP, jurnal-jurnal hukum, buku hukum, karya tulis hukum, serta internet dengan menyebutkan halaman webnya merupakan bahan hukum sekunder. Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara studi kepustakaan yang dilakukan dengan membaca, menganalisis lalu mengutip bahan-bahan hukum yang terdapat dalam studi ini menggunakan teknik analisis deskriptif yang dilakukan dengan penajian datanya dilakukan sesuai dengan kondisi apa adanya serta sistematis sehingga memperoleh simpulan yang mengandung nilai kebenaran ilmiah.12
Aborsi ialah perbuatan pengguguran kandungan yang dilakukan sengaja dengan menggunakan obat-obatan atau bantuan alat dengan tangan manusia. Dalam ilmu kedokteran aborsi terdapat dua macam yakni yang pertama abortus spontaneous, ini merupakan aborsi yang terjadi dikarenakan oleh faktor alami atau dapat dikatakan keguguran yang tidak disengaja, ini terjadi karena ibu dari janin tersebut memiliki
penyakit tertentu yang mengakibatkan hal tersebut. Kemudian abortus provocatus adalah perbuatan aborsi yang dilakukan dengan sengaja secara sistematis dengan mempergunakan alat medis maupun obat-obat tertentu yang dapat menggugurkan janin. Aborsi pada umumnya dinilai sebagaian besar masyarakat adalah hal yang melanggar hukum, namun kegiatan aborsi dalam keadaan tertentu diperbolehkan apabila merupakan abortus provocatus medicalis, sedangkan aborsi yang dapat dipidana yakni abortus provocatus criminalis.13
Berdasarkan ketentuan Pasal 346 KUHP menyebutkan “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Ini menandakan bahwa perbuatan aborsi merupakan perbuatan yang dilarang berdasarkan rumusan pasal tersebut. Tidak hanya dalam pasal tersebut, larangan aborsi juga terdapat dalam pasal 347 sampai 349 KUHP. Kemudian dilihat dari rumusan Pasal 347 ayat (1) menyatakan yakni “Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”, selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan “Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Dapat disimpulkan dari rumusan tersebut siapapun yang melakukan aborsi tanpa izin dari pemilik kandungan dapat diancam dengan pidana. Kemudian berdasarkan ketentuan dari pasal 348 ayat (1) menyebutkan yakni “Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”, selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan “Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Dapat disimpulkan berdasarkan rumusan tersebut sama seperti pada pasal 347 siapapun yang membantu dalam proses aborsi walaupun telah mendapat persetujuan dari pemilik kandungan, orang tersebut diancam dengan pidana. Kemudian dalam pasal 349 menyatakan “Apabila tabib, bida atau juru obat membantu melakukan tindakan aborsi, maka ketentuan ancaman pidana yang ada dalam rumusan pasal yang dilanggar ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian”. Maka dapat disimpulkan berdasarkan aturan yang ada dalam KUHP tidak memperbolehkan melakukan kegiatan aborsi dengan alasan apapun termasuk pula kehamilan akibat korban pemerkosaan.
Kemudian berdasarkan Pasal 75 ayat (2) Undang-undang Kesehatan memberikan pengecualian terhadap perbuatan aborsi tersebut, dalam pasal tersebut menyatakan “apabila terjadi kedaruratan medis dan kehamilan yang diakibatkan oleh pemerkosaan maka tindakan aborsi boleh dilakukan”. Mengenai masalah penyelenggaraan dalam tindakan aborsi tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi Pasal 35 ayat (2) menyatakan “kegiatan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab meliputi: dilakukan oleh dokter sesuai standar, dilakukan dengan fasilitas pelayanan kesehatan sesuai syarat yang ditetapkan menteri, atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil bersangkutan, dengan izin suami kecuali korban perkosaan, tidak diskriminatif dan tidak mengutamakan imbalan materi”. Kemudian didukung pula dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan
penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan, yang inti dari rumusan pasal yang terkadung didalamnya menyatakan bahwa “penyelenggaraan aborsi harus sesuai prosedur terhadap ibu hamil yang mengalami kedaruratan medis atau akibat korban tindakan pemerkosaan dengan menggunakan metode dengan risiko yang kecil serta harus dilakukan oleh tenaga medis yang ahli dan memenuhi syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan , yang nantinya dapat menyelamatkan ibu tersebut”.
Janin merupakan objek yang mati dan bukan merupakan makhluk hidup dalam tindakan aborsi. Oleh karena itu perbuatan aborsi bukan merupakan pembunuhan yang menimbulkan suatu kemarahan di masyarakat seperti perbuatan pembunuhan biasa. Apabila dilihat berdasarkan ketentuan pada Pada pasal 75 ayat (2) maka kegiatan aborsi dapat dilegalkan dengan dasar kepentingan dari korban yang tidak menghendaki kehamilan tersebut dan demi kesehatan fisik maupun psikologi korban akibat pemerkosaan. Maka dalam permasalahan norma konflik yang terjadi antara KUHP dengan UU Kesehatan mengenai perbuatan aborsi itu maka yang berlaku asas prefensi Lex Specialis Derogat legi Generalis, yang artinya ketentuan atau peraturan yang sifatnya umum akan dikesampingkan oleh ketentuan yang bersifat lebih khusus, yakni dalam hal ini Undang-undang Kesesehatan lebih diutamakan dari KUHP yang sifatnya umum.14
Dalam pembaharuan hukum pidana yang terjadi saat ini, dengan rencana akan disahkannya RKUHP yang nantinya akan menggantikan KUHP sekarang yang merupakan peninggalan Belanda masih mendapat penolakan dari sejumlah masyarakat yang meminta pemerintah untuk melakukan kajian ulang terhadap beberapa pasal dalam RKUHP. Hukum pidana Memiliki peran untuk menciptakan peraturan yang baik dan sejalan dengan keadaan sekarang dan keadaan yang akan datang, serta merupakan kewenangan dari negara untuk membuat aturan yang diinginkan yang bertujuan menjaga ketertiban masyarakat.15 Pembaharuan hukum pidana merupakan suatu upaya perbaikan hukum yang dilakukan guna menyempurnakan hukum sebelumnya yang sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang. 16
Dalam hal tindak pidana aborsi yang terdapat didalam pembaharuan hukum pidana, itu dapat dilihat pada RKUHP Bab XXI edisi bulan september tahun 2019 tentang Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Janin, bagian kedua pengguguran kandungan. Dalam pasal 469 ayat (1) RKUHP menyatakan “Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun ”. Jika dibandingkan dengan Pasal 346 KUHP yang berlaku saat ini terdapat kesamaan ancaman hukuman yang diberikan kepada pelaku aborsi yakni diancam dengan hukuman penjara maksimal 4 tahun. Dalam RKUHP
Pasal 469 ayat (2) menyatakan “Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”, Kemudian pada Pasal 469 ayat (3) menyatakan “Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun”. Apabila dibandingan dengan KUHP yang sekarang hal ini diatur dalam pasal 347 KUHP dan memiliki hukuman yang sama dengan RKUHP.
Kemudian selanjutnya dalam Pasal 470 ayat (1) RKUHP menjelaskan bahwa “Setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun”, kemudian dilanjutkan dengan Pasal 470 ayat (2) yakni menyatakan “Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya perempuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun” . Jika dilihat dalam KUHP hal tersebut ada pada pasal 348, disini ancaman hukuman yang diberikan lebih berat yakni pidana penjara 5 tahun 6 bulan apabila melakukan aborsi atas persetujuan perempuan tersebut, kemudian ancaman pidana lebih ringan yakni pidana penjara 7 (tujuh) tahun apabila menyebabkan perempuan tersebut mati. Selanjutnya dalam rumusan Pasal 471 ayat (1) RKUHP menyatakan “Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang membantu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 469 dan Pasal 470, pidana dapat ditambah 1/3 (satu per tiga)”, dan kemudian pada Pasal 471 ayat (2) RKUHP menyatakan “Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 86 huruf a dan huruf f ”, ancaman pidana tersebut sama dengan isi rumusan pasal 349 KUHP tidak ada perbedaan dalam pidananya.
Perbedaan yang terlihat dari RKUHP dan KUHP adalah pasal 471 ayat (3) RKUHP yakni “Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan tidak dipidana”. Berdasarkan rumusan ini maka bagi pelaku aborsi yang merupakan korban perkosaan tetap dipidana, sedangkan dokter maupun tenaga medis tidak dipidana, karena dalam RKUHP melarang kegiatan aborsi dengan alasan apapun. Kemudian dilihat berdasarkan pengaturan KUHP yang berlaku sekarang rumusan pasal seperti itu tidak ada.
Secara keseluruhan RKUHP dengan KUHP yang sekarang terkait dengan tindak pidana aborsi tidak ada perubahan yang terlalu banyak, hanya terdapat sedikit tambahan serta perbedaan ancaman hukuman saja. RKUHP yang sekarang ini masih tetap sama dengan KUHP saat ini tidak sejalan UU Kesehatan. RKUHP yang saat ini sedang dibahas semestinya memberikan perlindungan bagi wanita hamil akibat tindak pidana pemerkosaan, tentu itu akan memberikan kepastian hukum yang lebih jelas terhadap kegiatan aborsi di Indonesia.
Namun kita bisa melihat adanya pengaturan yang sejalan dengan UU kesehatan, yakni bagi dokter yang melakukan tindakan aborsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak dapat dipidana, hal ini tentu menjadikan tim dokter lebih tentang dalam melakukan tindakan aborsi asalkan sejalan dengan Undang-undang yang ada, karena sesuai dengan UU Kesehatan Pasal 75 ayat (3) menyatakan “bahwa aborsi hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau kesehatan sebelum dan sesudah tindakan oleh konselor yang berkompeten dan berwenang”.
Tindak pidana aborsi diatur dalam pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP yang menyatakan bahwa tindakan aborsi dilarang dengan alasan apapun, maka setiap orang yang melakukan aborsi maupun membantu proses tindakan aborsi dapat dipidana berdasarkan KUHP. Kemudian dilain sisi berdasarkan UU Kesehatan melarang pula tindakan aborsi, namun berdasarkan undang-undang tersebut terdapat pengkhususan yang tertuang dalam pasal 75 ayat (2) yang dalam rumusannya memberikan pengecualian apabila ada indikasi kedaruratan medis dan kehamilan karena korban perkosaan. Dalam keadaan seperti ini maka berlakunya asas prefensi Lex Specialis Derogat Legi generalis, karena peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan perturan yang bersifat umum. Apabila terdapat konflik terkait dengan kegiatan aborsi, maka aturan yang terdapat dalam UU Kesehatan digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, karena UU tersebut bersifat khusus, sedangkan KUHP bersifat umum maka dikesampingkan dalam permasalahan aborsi.
Bila dilihat dari pembaharuan hukum pidana yang diatur dalam RKUHP Bab XXI edisi bulan september tahun 2019 tentang Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Janin, bagian kedua pengguguran kandungan dari pasal 469 RKUHP sampai dengan 471 RKUHP, dalam rumusan pasal tersebut perbuatan aborsi dilarang dengan alasan apapun. Tentu saja rumusan pasal yang terdapat dalam RKUHP tersebut tidak selaras dengan ketentuan yang terdapat dalam UU Kesehatan yang melarang tindakan aborsi dengan pengecualian yang diatur dalam pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan, yang menyatakan memperbolehkan aborsi apabila adanya indikasi kedaruratan medis yang dapat membahayakan ibu dan janin, serta kehamilan yang terjadi akibat korban pemerkosaan yang dapat menyebabkan gangguan psikologi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta, Rajawal Pers, 2016).
Nawawi Arif. Pembaharuan Hukum Pidana (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2016).
Jurnal Ilmiah
Afita, Cindy Oeliga Yensi. “Pengaturan Aborsi Dalam Perspektif Perundang-Undangan Indonesia”. Rio Law Jurnal 1, No. 1, 2020.
Agishwara, I Dewa Gede Ananda dan Dewi, Anak Agung Istri Ari Atu “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Seks Tanpa Penetrasi (Dry Humping) Terhadap Anak Di Indonesia”. Jurnal Hukum Universitas Udayana 8, No. 7, 2019.
Dewi, Anggun Kharisma. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Perkosaan yang Melakukan Aborsi”. Jurnal Ilmu Hukum 9, No. 4, 2020.
Fauzi, Salim. “Tindakan Yang Dilakukan Terhadap Kejahatan Abortus Provocatus Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum 4, No. 1, 2019.
Handayani, Emi Puasa. “Problematika Yuridis Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang kesehatan dalam Hubungannya Dengan Terhadap Tindakan Aborsi”. Jurnal Ilmu Hukum 7, No. 2, 2018.
Hardiyanti, Hesti. “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Wanita Sebagai Pelaku Aborsi Dalam Hukum Positif Indonesia”. Jurnal Ilmu Hukum 7, No. 3, 2018.
Jery Suarjana Putra, Agus. “Aborsi Oleh Korban Pemerkosaan ditinjau Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009”. Jurnal Ilmu Hukum 5, No. 5, 2016.
Laduri, Meliza Cecillia. “Penegakan Hukum Terhadap Tindakan Aborsi Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009”. Lex Crimen 5, No. 5, 2016.
Lisnawati, Lilis. “Urgensi Perubahan kebijakan Aborsi Di Indonesia”. Deviance Jurnal Kriminologi 3, No. 1, 2019.
Paulinus Soge. “Pengaruh Perkembangan Kehidupan Masyarakat Terhadap Pengaturan Hukum Tentang Aborsi Di Indonesia”. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 7, No. 15, 2000.
Purba, Edwin Capri. “Tinjauan Yuridis Pengaturan aborsi Berdasarkan Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan”. Riau University. 2015.
Silalahi, Rumelda. “Pandangan Hukum Kesehatan Terhadap Abortus Provocatus Berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009”. Jurnal Darma Agung 27, No. 3, 2019.
Srihartini, Ayu. “Legalisasi tindakan Aborsi Dalam Hal pemerkosaan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan Dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014”. Lex Et Societatis 8, No. 1, 2020.
Tripiana, Putu Ayu Sega. “Tindak Pidana Aborsi Dalam Konteks Pembaharuan Hukum Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum 7, No. 4, 2018.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Wetboek van Strafrecht, 2014, Diterjemahkan oleh Moeljatno.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144).
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 169).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 190).
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Edisi Bulan September Tahun 2019.
Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.4 Tahun 2021, hlm. 312-321.
Discussion and feedback