PERLINDUNGAN BAGI AWAK KAPAL PENANGKAP IKAN ASING

BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

Gede Krisna Kharismawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

I Gede Pasek Eka Wisanjaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i04.p04

ABSTRAK

Artikel ini merupakan respon terhadap pemberitaan Mei 2020 berupa adanya dugaan eksploitasi yang dialami oleh beberapa awak kapal penangkap ikan asing yang berkewarganegaraan Indonesia. Tujuan penulisan adalah untuk melakukan analisa deskriptif terhadap perlindungan hukum bagi awak kapal penangkap ikan internasional dilihat dari instrumen hukum yang ada, khususnya awak kapal rawai. Metode penelitian hukum normatif digunakan melalui pendekatan kasus, dan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (i) perlindungan hukum bagi awak kapal secara umum telah mencukupi dalam instrumen hukum nasional maupun internasional, (ii) namun tidak demikian halnya dengan perlindungan hukum bagi awak kapal penangkap ikan internasional, hingga disempurnakan melalui kehadiran Konvensi ILO 188.

Kata kunci: Awak Kapal, Internasional, Kapal Nelayan, Perlindungan Hukum

ABSTRACT

This article is a response to news report in May 2020 which indicate exploitation of longline fishing crew resulting in death of Indonesian citizens. This article provides descriptive analysis towards legal protection of international fishing crew, especially longline ship, based on national and international legal instrument, using statute and case approach. This article shows that: (i) there already protection within national and international legal instrument toward vessel crew in general, (ii) but not so much protection for international longline fishing crew because of minimum regulation and enforcement leads to none of specific protection until recent introduction of ILO Convention 188.

Keywords: Fishing Crew, Fishing vessel, International, Legal protection

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Penangkapan ikan komersil merupakan salah satu penyedia sumber makanan terpenting, khususnya protein hewani, dan bagi ketahanan pangan.1 Perdagangan dunia yang berkaitan dengan perikanan dan akuakultur (budidaya perikanan)

memberikan penghidupan bagi jutaan orang,2 dan bernilai ekonomis tinggi.3 Selain itu, rantai suplai global4 produk hasil olahan laut tersebar di berbagai negara dan benua.5 Penangkapan ikan komersial yang merupakan inti dari rantai suplai ini, beroperasi dalam lingkungan kerja yang keras dan berbahaya.6 Terlebih lagi, awak kapal dan pengamat onboard dikecualikan dari hampir semua peraturan maritim internasional.7 Selain itu, mereka terekspos terhadap berbagai risiko seperti cuaca dan iklim di lokasi penangkapan ikan, perahu atau kapal yang digunakan, sisa tangkapan yang diperoleh, dan perlengkapan keselamatan yang dibawa.8 Selain risiko tersebut, industri perikanan global dalam dekade terakhir, telah mengalami berbagai jenis pelanggaran hak asasi manusia, diantaranya: pekerja anak, kerja paksa, praktik perburuhan yang menipu (deceptive labour practice), dan perdagangan manusia.9

Perdagangan manusia, tenaga kerja anak, dan kerja paksa telah didokumentasikan secara menyeluruh pada sektor perikanan10 di Indonesia,11 Thailand,12 Myanmar,13 dan wilayah semenanjung Indochina. Hasil perikanan dari berbagai wilayah ini diekspor ke negara-negara maju yang merupakan importir

konsumen hasil laut terbesar dunia, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang.14 Dalam hal ini, Indonesia tidak terlepas dari persoalan.15 Sebanyak 338 awak berkewarganegaraan Indonesia yang bekerja di kapal-kapal penangkap ikan asing telah mengajukan pengaduan tentang kondisi kerja mereka. 16 Mereka melaporkan adanya praktik seperti: upah yang tidak dibayar, kondisi kerja yang buruk, jam kerja berlebih, penipuan, serta kekerasan fisik dan seksual.17 Berbagai hal ini yang merupakan bagian dari 11 indikator kerja paksa yang ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO).18

Awal pertengahan tahun 2020, terdapat pemberitaan popular di berbagai media Indonesia mengenai meninggalnya beberapa awak berkewarganegaraan Indonesia antara bulan Mei-Juni 2020 di kapal penangkap ikan berbendera China, yaiu Han Rong 363 dan Han Rong 36819, Lu Huang Yuan Yu 117 dan Lu Huang Yuan Yu 11820, dan Lu Qian Tian Yu 8.21 Kementerian Luar Negeri Indonesia melaporkan bahwa terdapat indikasi adanya eksploitasi kerja dan perdagangan manusia22 di kapal-kapal tersebut. Menteri Luar Negeri menyampaikan melalui media mengani perlindungan terhadap awak kapal penangkap ikan yang belum maksimal bila dibandingkan dengan perlindungan hukum bagi awak kapal niaga, yang telah diatur melalui Konvensi Pekerja Maritim (MLC). Oleh karena itu, artikel penelitian hukum normatif yang berjudul “PERLINDUNGAN BAGI AWAK KAPAL PENANGKAP IKAN ASING BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL” ini merupakan upaya penulis merespon pemberitaan yang ada terhadap isu hukum. Terdahulu terdapat penelitian oleh Riza Amalia, Ade Irma Fitriani, dan Bayu Sujadmiko, Ph. D Yang berjudul PERLINDUNGAN HAK ANAK BUAH KAPAL DALAM KERANGKA HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL dengan permasalahan Penempatan ABK yang menggunakan sistem Letter of Guarantee (LG) dan penelitian oleh Nursalyni dan M. Hawin yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK BUAH KAPAL INDONESIA DI PERUSAHAAN PELAYARAN INTERNASIONAL Dengan permasalahan mengenai perlindungan hukum yang di berikan kepada ABK Indonesia di perusahaan pelayaran Internasional menggunakan Perjanjian Kerja Laut yang bersifat Otentik. Kedua penelitian tersebut memiliki fokus permasalahan yg berbeda dg tulisan ini karena tulisan ini memfokuskan pada rezim hukum yang memberikan perlindungan terhadap

pekerja laut, serta pengaturan hukum internasional terhadap perlindungan bagi awak kapal penangkap ikan asing.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

    • 1.2.1.    Apa saja rezim perlindungan hukum yang ada bagi pekerja laut?

    • 1.2.2.    Bagaimana perlindungan tersedia bagi awak kapal penangkap ikan asing berdasarkan hukum internasional?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

    • 1.3.1.    Untuk mengetahui apa saja rezim perlindungan hukum yang ada bagi pekerja laut.

    • 1.3.2.    Untuk mengetahui bagaimana perlindungan tersedia bagi awak kapal penangkap ikan asing berdasarkan hukum internasional.

  • II.    Metode Penelitian

Penulisan artikel ini disajikan secara deskriptif melalui analisis yang berlandaskan pada metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ini adalah melalui pendekatan kasus, dan perundang-undangan.23 Obyek dari penelitian hukum ini adalah berbagai instrumen hukum yang ada, terutama hukum internasional yang terkait dengan perlindungan hukum bagi awak kapal penangkap ikan internasional. Sumber referensi artikel ini mempergunakan bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier yang berkaitan dengan tema penulisan.24

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Perlindungan Hukum yang ada bagi Pekerja Laut

Industri perikanan memiliki beberapa contoh penyalahgunaan kerja terburuk,25 dengan banyaknya kapal Flag of Convenience (FOC). FOC adalah praktik bisnis di mana pemilik kapal mendaftarkan kapalnya di negara yang bukan miliknya. Praktik ini terutama membantu mereka menghindari aturan dan regulasi negara asal mereka, terkadang karena niat buruk. Selain itu, terdapat kasus dimana awak kapal penangkap ikan mengalami pelecehan fisik maupun mendapat perlakuan buruk oleh pemberi kerja, namun tidak dapat diadili berdasarkan ketentuan yang seharusnya.26 Selain itu, tidak sedikit awak kapal yang tidak memiliki perlindungan dari kontrak kerja resmi. Banyak awak kapal dicurangi upahnya setelah bekerja selama berbulan-bulan tanpa mendapat bayaran, atau bahkan ditinggalkan di pelabuhan asing jika mengeluh.27 Dalam kasus

yang paling ekstrim, awak kapal digunakan sebagai tenaga kerja paksa dan dikunci di kabin mereka tinggal atau bahkan di rantai. 28 Berbagai perlakuan tersebut bahkan telah mengakibatkan kematian para penangkap ikan. Tanpa adanya jaminan pendapatan bulanan dan kondisi kerja yang buruk, para awak kapal penangkap ikan berada dalam situasi yang sangat rentan di mana pendapatan mereka sebagian besar bergantung pada sistem bagi hasil tangkapan yang tidak jelas.

Hak yang dimiliki oleh pekerja laut, baik itu sebagai awak kapal niaga, maupun sebagai awak kapal penangkap ikan, cukup kompleks. Kompleksitas terjadi karena hak tersebut dapat berada di tingkat yang berbeda dan bisa tumpang tindih, serta terkadang dapat saling bertentangan. Hak yang dimiliki oleh pekerja laut bergantung pada ketentuan yurisdiksi29 hukum dimana hak tersebut berada. Awak kapal sebagai salah satu bagian dari pekerja laut memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan ruang lingkup yurisdiksi yang ada, diantaranya adalah; hukum negara bendera, hukum negara pelabuhan, hukum negara asal pekerja, kontrak kerja, dan hukum internasional.

  • A.    Hukum Negara Bendera

Sebuah kapal memiliki kebangsaan dari bendera yang disematkan pada kapal tersebut. Berdasarkan hukum internasional, hukum negara bendera berlaku bagi sebuah kapal dimanapun kapal itu berada. Oleh karena itu, awak kapal tersebut berhak mendapatkan perlindungan sesuai dengan yang diatur oleh hukum negara bendera di mana pun kapal itu berada, dan apa pun kewarganegaraan awak kapal tersebut.30 Sebagai contoh, jika awak kapal adalah warga negara Filipina di kapal berbendera Vietnam, awak kapal tersebut memiliki hak, maupun kewajiban, berdasarkan hukum Vietnam. Konvensi Perbudakan 192631 dan Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, Institusi dan Praktik Perbudakan 195632 berlaku terhadap semua kapal berbendera negara peserta konvensi. 33 Untuk memberikan panduan lebih lanjut serta mempromosikan harmonisasi pelaksanaan inspeksi yang dilaksanakan berdasarkan Konvensi Bekerja di Sektor Perikanan No. 188 (Konvensi 188) secara global, ILO telah mengembangkan pedoman rinci inspeksi negara bendera. 34 Selain itu, kapal harus mematuhi konvensi dengan memegang Sertifikat Tenaga Kerja Maritim dan Deklarasi Kepatuhan Tenaga Kerja Maritim yang dikeluarkan oleh negara

bendera. Sertifikat tersebut harus selalu tersedia di kapal, yang dapat diperiksa oleh inspektur negara pelabuhan manapun.

  • B.    Hukum Negara Pelabuhan

Ketika kapal memasuki pelabuhan, negara pelabuhan dapat mengerahkan kewenangan tertentu yang dimilikinya (otoritas) terhadap semua kapal-kapal yang ada di pelabuhan. Walaupun demikian, Negara pelabuhan umumnya tidak ikut campur dalam urusan internal kapal, kecuali jika ada perselisihan yang dapat mengancam kedamaian maupun ketertiban pelabuhan, misalnya jika terjadi kejahatan yang dilakukan di atas kapal yang sedang berlabuh. Di berbagai yurisdiksi dunia, jika awak kapal memiliki klaim hukum, misalnya upah yang belum dibayar, maka awak tersebut dapat mengajukan permohonan hukum di pengadilan negara pelabuhan. ILO telah mengembangkan pedoman rinci inspeksi negara pelabuhan berdasarkan pada Konvensi 188.35

  • C.    Hukum Negara Asal Awak Kapal

Awak kapal tetap membawa serta hak-hak mereka sebagai akibat dari asas nasionalitas pasif (perlindungan) kewarganegaraan yang terdapat dalam undang-undang negara asalnya, terlebih jika terdapat instrumen hukum dari negara asal awak yang mengatur tentang kontrak kerja. Oleh karena itu, jika seorang awak mengalami masalah saat berada di luar negeri, negara asal awak tersebut harus memberikan dukungan maupun bantuan melalui kantor perwakilan diplomatik di negara asing dimana awak tersebut mendapat masalah.36 Oleh karena itu, awak dapat meminta bantuan melalui petugas diplomatik di negara manapun yang memiliki hubungan diplomatik dengan negara asal awak tersebut.

  • D.    Kontrak Kerja

Kontrak kerja individu awak kapal akan menjelaskan apa saja hak dan kewajiban antara awak dan pemberi kerja. Kontrak awak kapal mungkin berbentuk sebagai berikut: (1) kontrak pribadi dan/atau; (2) perjanjian kerja bersama oleh serikat pekerja maupun asosiasi pemberi kerja dan/atau; (3) suatu bentuk kontrak di mana pemerintah telah mengambil peran aktif. Hal ini seperti pada kontrak Phillippine Overseas Employment Administation (POEA), yaitu tentang Syarat dan Ketentuan Standar yang mengatur pekerjaan pelaut Filipina di atas kapal Ocean Going pada tahun 2010.37 Selain itu, terdapat pengaturan tentang perjanjian kerja oleh konvensi internasional, seperti yang tertuang dalam Konvensi Kondisi Kerja yang Layak, Keselamatan dan

Perlindungan Sosial - Konvensi Bekerja di Sektor Perikanan No. 188 dan Rekomendasi No. 199.38

Kontrak awak kapal dapat berupa hubungan langsung dengan pemilik kapal atau dengan agen penyedia tenaga kerja, atau mungkin dengan agen lain yang bekerja untuk pemilik kapal. Semua pengaturan yang berbeda ini dapat memengaruhi hak awak tersebut. Bagaimanapun, penting bagi awak kapal untuk memiliki salinan kontrak kerja, yang telah dibaca secara seksama, sehingga awak tersebut mengetahui hak dan kewajiban, serta hal penting yang terkandung di dalam kontrak. Selain itu, Rekomendasi Hubungan Kerja No. 168, pada tahun 2006 juga mengatur tentang kontrak kerja.

  • E.    Hukum Internasional

Hukum internasional merupakan jenis hukum tertinggi yang dapat dibuat oleh negara-negara. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang didirikan sejak tahun 1919, telah menetapkan standar ketenagakerjaan internasional bagi semua pekerja, dan secara khusus telah menetapkan standar bagi pelaut dengan lebih dari 65 konvensi dan rekomendasi. Berbagai instrumen hukum ini merupakan seperangkat standar yang komprehensif, dengan memperhatikan secara praktis semua aspek kehidupan dan kondisi kerja pelaut. Pada Februari 2006, berbagai konvensi dan rekomendasi yang telah ada ini diperbarui dan dikonsolidasikan kedalam Konvensi Buruh Maritim (MLC) 2006, yaitu sebuah standar tunggal ketenagakerjaan maritim internasional bagi pelaut. Konvensi ini berlaku efektif sejak 20 Agustus 2013.

Konvensi Buruh Maritim (MLC) 2006, juga dikenal sebagai Undang-Undang mengenai Hak Pelaut. Konvensi ini menetapkan hak minimum yang dimiliki oleh pelaut. MLC dirancang untuk berdampingan dengan berbagai peraturan lain, seperti standar tentang keselamatan kapal, keamanan kapal, maupun kualitas manajemen kapal (SOLAS, STCW dan MARPOL). Oleh karena itu, konvensi ini mencakup pengaturan seperti: (i) perjanjian kerja, yang menjamin kondisi kerja dan hidup di kapal yang layak, ditandatangani oleh pelaut dan pemilik kapal, atau perwakilan dari pemilik kapal; (ii) upah bulanan, penuh dan sesuai dengan perjanjian kerja maupun perjanjian bersama yang berlaku; (iii) batas kerja 14 jam dalam periode 24 jam, 72 jam dalam periode tujuh hari; (iv) pemilik kapal harus membayar untuk memulangkan seorang pelaut jika terjadi sakit, cedera, kapal kandas, bangkrut, penjualan kapal dan sebagainya; (v) persyaratan khusus untuk akomodasi tempat tinggal dan fasilitas rekreasi, termasuk ukuran kamar minimum, dan pemanas, ventilasi, fasilitas sanitasi, penerangan, dan akomodasi rumah sakit yang memuaskan; dan (vi) akses ke perawatan medis secara segera saat di kapal maupun di pelabuhan. 39

Instrumen hak asasi manusia internasional dan regional juga secara umum memberikan perlindungan yang relevan dengan hak pekerja laut. Pernyataan tentang hak asasi manusia yang diterima secara luas adalah Deklarasi tentang Hak Asasi

Manusia (UDHR) yang diadopsi pada tahun 1948 oleh Majelis Umum PBB. Deklarasi ini berisikan tentang adanya hak-hak budaya, ekonomi, politik, sipil, dan sosial yang diakui secara universal.40 Selain itu, terdapat pengaturan dari Deklarasi ILO tentang Prinsip dan Hak Mendasar di Tempat Kerja (1998). Deklarasi ini memperjelas bahwa hak-hak yang ada dalamnya bersifat universal dan berlaku untuk semua orang di semua negara, terlepas dari tingkat perkembangan ekonomi. Selain itu, deklarasi ini secara khusus menyebutkan kelompok disabilitas, marjinal, pengangguran, maupun pekerja migran. Terdapat pula Global Compact41 sebagai inisiatif dari PBB untuk mendorong aktivitas bisnis global secara berkelanjutan, yang mencakup hak asasi manusia dan berkaitan dengan pekerja.42

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap pekerja laut secara umum telah diatur dalam instrumen hukum nasional maupun internasional. Awak kapal sebagai salah satu pekerja laut memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dalam ruang lingkup yurisdiksi yang ada. Yurisdiksi dimaksud antaranya adalah; hukum negara bendera, hukum negara pelabuhan, hukum negara asal pekerja, kontrak kerja, dan hukum internasional.

  • 3.2.    Perlindungan bagi Awak yang Bekerja pada Kapal Penangkap Ikan Asing berdasarkan Hukum Internasional

Hukum mengenai keselamatan awak yang diterima oleh armada pedagang dan kapal dagang sebagai hasil dari penegakan hukum yang efektif, yang disertai dengan perwakilan pelaut yang kuat, sering kali ditanggapi dengan keengganan oleh para pelaku sektor perikanan. Hal ini tercermin dari penegakan hukum yang seringkali kurang efektif, karena seringkali operator kapal penangkap ikan menghindari kepatuhan terhadap berbagai persyaratan hukum yang bisa mempengaruhi pendapatan mereka.43 Berbeda dengan banyak industry lain, lingkungan kerja, kondisi, maupun praktik kerja di sektor perikanan tidak terkontrol dengan baik karena aktivitas perikanan berlangsung di laut yang seringkali berada di luar jangkauan aparat penegak hukum. Demikian pula, terdapat kasus dimana tidak semua kapal yang digunakan untuk mendukung kegiatan penangkapan ikan dan akuakultur terdaftar sebagai kapal penangkap ikan.44 Selain itu, masalah keselamatan di kapal penangkap ikan berbeda dengan kapal dagang. Hal ini tercermin dari aktivitas, bahwa sebagian besar operasi berbahaya kapal dagang dilakukan dalam lingkup keselamatan pelabuhan. Hal ini berlainan dengan, tidak seperti operasi kapal penangkap ikan maupun akuakultur. Aktivitas para penangkap ikan dilakukan di atas kapal penangkap ikan kecil, yaitu di atas dek kapal laut dengan palka terbuka dalam segala cuaca, untuk melakukan

aktivitas bongkar muat tangkapan dari dalam laut. 45 Pada praktiknya, terdapat tanggung jawab yang tumpang tindih mengenai pelaksanaan peraturan keselamatan di banyak negara, meskipun sudah termuat dalam ketentuan konvensi internasional di mana negara telah menjadi pihak. Oleh karena itu, regulasi dan pengaturan yang ada perlu secara jelas menjawab pertanyaan tentang tanggung jawab, apakah secara administrasi maritim, administrasi perikanan, atau kombinasi dari keduanya.

Konvensi 18846 memperkenalkan standar ketenagakerjaan yang komprehensif dalam industri perikanan. Industri ini mempekerjakan sekitar 10-12% dari populasi dunia,47 dan merupakan salah satu sektor pekerjaan terpenting bagi ekonomi negara berkembang.48 Secara khusus, konvensi ini membahas tentang pengaturan hukum internasional yang minim berkaitan dengan perlindungan individu yang terlibat di kapal penangkap ikan komersil. Oleh karena itu, konvensi ini menyempurnakan berbagai kekurangan yang ada dalam hukum perikanan internasional secara signifikan. Hal ini dilakukan dengan menetapkan standar ketenagakerjaan minimum secara global49 bagi awak penangkap ikan yang bekerja di semua jenis kapal penangkap ikan komersial negara manapun.50 Konvensi ini juga menetapkan kewajiban inspeksi dan kepatuhan, serta mekanisme penegakan hukum bagi negara ratifikator51 untuk melaksanakan ketentuan konvensi, dalam kapasitas mereka sebagai negara bendera dan negara pelabuhan.52

Konvensi 188 membahas aspek-aspek bermasalah dari industri perikanan global, termasuk kurangnya perlindungan kontrak, maupun praktik perekrutan yang menipu (deceptive recruitment practices). Berbagai praktik ini mengenyampingkan hak dasar sebagaimana tercantum dalam delapan Konvensi inti ILO. Oleh karena itu, konvensi ini mensyaratkan agar para awak penangkap ikan melakukan perjanjian kerja tertulis, dibayar secara teratur, dan juga untuk disediakan sarana pengiriman upah kepada keluarga, tanpa harus menanggung biaya apapun. Konvensi ini juga menjelaskan tanggung jawab pemilik kapal penangkap ikan, dan agen penyalur tenaga kerja. Hal ini dilakukan untuk memastikan keselamatan awak penangkap ikan di tempat kerja (kapal). Untuk mengatasi perlakuan tidak adil terhadap pekerja migran, negara-negara ratifikator berkewajiban untuk terlibat dalam kerja sama bilateral dan multilateral untuk mewujudkan perlindungan jaminan sosial secara progresif dan menyeluruh bagi awak

penangkap ikan, dengan prinsip kesetaraan perlakuan tanpa memandang kewarganegaraan.53

Selain Konvensi 188, terdapat softlaw berupa Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab (CCRF), dimana Pasal 6 paragraf 6.17 menyatakan bahwa “Negara harus memastikan bahwa fasilitas dan peralatan penangkapan ikan, serta semua kegiatan penangkapan ikan, memenuhi kondisi kerja yang aman, sehat dan adil serta memenuhi standar internasional yang telah disepakati bersama dan diadopsi oleh organisasi internasional relevan lainnya”. Oleh karena itu, institusi maritim internasional seperti FAO, ILO, dan IMO bekerja sama dalam pengembangan instrumen yang bersifat wajib maupun sukarela, serta pedoman pelaksanaan instrument tersebut. Kerja sama ini sangat penting untuk melakukan penyempurnaan dan revisi Bagian A dan B dari Kode Keselamatan untuk Nelayan dan Kapal Penangkap Ikan, serta dalam pengembangan Panduan Sukarela untuk Desain, Konstruksi dan Peralatan Kapal Penangkap Ikan Kecil. Selain itu, FAO telah bekerja sama dengan ILO dalam pengembangan Konvensi 188, dan pada tahun 2012 dengan IMO menyelesaikan Perjanjian Cape Town tentang Keselamatan Kapal yang menggantikan Protokol Konvensi Torremolinos. Perjanjian ini dapat mencegah terjadinya lebih banyak penangkapan ikan secara illegal dan dengan demikian juga menyelamatkan kehidupan awak kapal penangkap ikan.

Oleh karena itu, telah terdapat standar universal yang tersedia bagi semua ukuran kapal penangkap ikan, sehingga dapat diterapkan pada banyak kapal internasional yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan dan akuakultur. Hal ini memperlihatkan bahwa terdapat landasan bagi pengembangan Praktik Terbaik untuk Keselamatan di Laut di Sektor Perikanan, seperti yang direkomendasikan oleh pertemuan Konsultasi Ahli yang diadakan di Roma, Italia, pada 10- 13 November 2008, sebagai instrumen yang menambah perlindungan terhadap awak kapal penangkap ikan, selain dari Konvensi 188 yang berlaku efektif sejak 2017.

  • IV.    Kesimpulan

Perlindungan hukum terhadap pekerja laut secara umum telah diatur dalam instrumen hukum nasional maupun internasional. Awak sebagai salah satu pekerja laut memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dalam ruang lingkup yurisdiksi yang ada, diantaranya adalah; hukum negara bendera, hukum negara pelabuhan, hukum negara asal pekerja, kontrak kerja, dan hukum internasional. Terdapat pengaturan dalam instrumen hukum internasional termuat dalam Konvensi Buruh Maritim (MLC) 2006 yang dikenal sebagai Undang-Undang Hak Pelaut, karena konvensi ini menetapkan hak minimum bagi pelaut. Berikutnya, bahwa peraturan mengenai perlindungan hukum bagi awak kapal penangkap ikan internasional sebelumnya belum mampu untuk memberikan perlindungan secara maksimal, terutama terhadap kapal-kapal penangkap ikan kecil. Kekurangan ini diperbaiki dengan diberlakukannya Konvensi 188, dengan Rekomendasi 199 yang menyertai konvensi tersebut. Konvensi ini membahas tentang situasi dan kondisi kerja dalam industri penangkapan ikan,

sehingga merupakan jawaban atas perlunya standar ketenagakerjaan global yang relevan bagi semua awak penangkap ikan internasional.

Pada praktiknya, di banyak negara terdapat tanggung jawab yang tumpang tindih mengenai pelaksanaan peraturan keselamatan, meskipun sudah termuat dalam ketentuan konvensi internasional di mana negara menjadi pihak. Oleh karena itu, regulasi dan pengaturan yang ada perlu secara jelas menjawab pertanyaan tentang tanggung jawab, apakah melalui administrasi maritim, administrasi perikanan, atau kombinasi dari keduanya. Selanjutnya, keberhasilan konvensi dalam melindungi angkatan kerja penangkapan ikan global akan tergantung pada bagaimana hal itu diterapkan oleh negara-negara ratifikator, dan apakah konvensi diratifikasi secara luas, maupun apakah konvensi dapat didomestikasi oleh negara-negara yang diasosiasikan dengan pelanggaran hak asasi manusia pada sektor perikanan. Sehingga kerjasama dari semua stakeholder terkait pengawasan dan penegakan hukum perlu dilakukan secara kontinu dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Diantha, Made Pasek, “Metode Penelitian Hukum Normatif”, (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2016)

Kordi, K., & Ghufran, M., “HAM tentang Perbudakan, Peradilan, Kejahatan Kemanusiaan & Perang“, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013)

Marzuki, Peter Mahmud, “Penelitian Hukum Edisi Revisi” (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016)

Supriadi & Alimuddin, “Hukum Perikanan di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)

Jurnal Ilmiah

FishWise, “Key Data elements for Seafood: A Compilation of Resources”, (FishWise, 2017), http://fishwise.org/wp-content/uploads/2018/03/2017.05.25_KDEs-for-Seafood-Compilation-of-Resources_Final_-1-1.pdf

FishWise, “The Links Between IUU Fishing, Human Rights, and Traceability”, (FishWise, 2018),      https://fishwise.org/wp-content/uploads/2018/03/The-Links-

between-IUU-fishing-human-rights-and-traceability.pdf

FishWise, “Social Responsibility in the Global Seafood industry: Background and Resources”, (FishWise, 2016), https://fishwise.org/wp-

content/uploads/2018/04/Social_Responsibility_in_the_Global_Seafood_Indu stry-1.pdf

Flaim, Amanda, et. al., “Eliminating Human Trafficking from the Thai Fishing Industry: Perspectives of Thai Commercial Fishing Vessel Owners”, (Issara Institute, 2018), https://44f2713d-a205-4701-bba3-8d419653b4b6.filesusr.com/ugd/5bf36e_7a763895d9734ca49febd536ab2365c6.p df

Food and Agriculture Organization, “The State of World Fisheries and Aquaculture:

Sustainability in Action” (2020),

http://www.fao.org/3/ca9231en/CA9231EN.pdf

Gunnar Knapp, “International Commercial Fishing Management Regime Safety Study: Synthesis of Case Reports”, FAO Fisheries and Aquaculture Circular No. 1073, (Rome: FAO, 2016), FIRO/C1073 (En), ISSN 2070-6065

Human Rights Now, “Child Labour in the Myanmar Fishing Sector”, (H.R.N, 2018), http://hrn.or.jp/eng/wp-

content/uploads/2018/10/HR_Child_Labour_in_the_Myanmar_Fishing_Fishi ng_Sector_2018.pdf

International Labour Organization, “Caught at Sea: Forced Labour and Trafficking in Fisheries” (ILO, 2013), http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_norm/---declaration/documents/publication/wcms_214472.pdf [hereinafter Caught at Sea].

International Labour Organization, “Guidelines for Port State Control Officers Carrying out Inspections under the Work in Fishing Convention, 2007 (No. 188)” (ILO, 2010),      http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_dialogue/---

sector/documents/normativeinstrument/wcms_177245.pdf.

Jones, Katherine, et. al., “Fishing for Export: Calo, Recruiters, Informality, and Debt in International Upply Chains”, Journal of the British Academy, Vol. 7, No. 1, (2019), https://pure.coventry.ac.uk/ws/portalfiles/portal/23850504/Jones_et_al_Fish ing_for_export_Journal_British_Academy.pdf

Nexus Institute, “Directory of Services for Indonesian Trafficking Victims and Exploited Migrant Workers: Jakarta and West  Java”,  (Nexus Institute, 2016),

https://nexushumantrafficking.files.wordpress.com/2016/04/directory-of-services-nexus-2016.pdfPetursdottir, G., et. al, “Safety at Sea as an Integral Part of Fisheries Management” (UN FAO, 2001), https://agris.fao.org/

Paavilainen, Marja, “ILO Indicators of Forced Labour”, Flare Project, (ILO, 2015), https://apflnet.ilo.org/ILOindicators_of_forced_labour-AP-Forced_Labour_Net.pdf

Pocock, Nicola, et. al., “Labour Trafficking among Men and Boys in the Greater Mekong Subregion: Exploitation, Violence, Occupational Health Risks and Injuries”, Plos One (2016), http://journals.plos.org/plosone/article/file?id=10.1371/journal.pone.0168500 &type=printable

Swan, Judith, “Fishing Vessels Operating under Open Registers and the Exercise of Flag State Responsibilities” FAO Fisheries Circular No. 980 FIPL/C980 (2002), http://www.fao.org/3/a-y3824e.pdf

United States Agency of International Developments Oceans, “Labor Conditions in the Tuna Sector: Indonesia”, (The USAID Oceans and Fisheries partnership, 2018), https://www.seafdec-oceanspartnership.org/wp-content/uploads/USAID-Oceans_-Verite-Labor-Analysis_INDONESIA_Final-2018-1.pdf

Website

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200709084221-12-522617/abk-wni-tewas-di-kapal-china-dianiaya-dan-tak-diberi-makan

http://www.fao.org/state-of-fisheries aquaculture http://www.ilo.org/declaration/lang--en/index.htmhttps://www.ilo.org/global/standards/subjects-covered-by-international-labour-standards/employment-policy/lang--en/index.htm

https://nasional.kompas.com/read/2020/08/13/16334741/lagi-abk-wni-meninggal-di-kapal-china-menlu-minta-pemerintah-china

https://nasional.kompas.com/read/2020/07/09/10484891/kasus-abk-wni-meninggal-di-kapal-china-kembali-terjadi-kapolri-diminta?page=all

https://www.unglobalcompact.org/what-is-gc/mission/principles

Intrumen Hukum Internasional

Working in Fishing Convention 2007 (Konvensi 188)

Recommendation for Work in Fishing Convention 2007 (Rekomendasi 199)

Maritim Labour Convention 2006 (MLC)

Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995 (CCRF)

Slavery Convention 1926

Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery 1956

I.L.O Forced Labor Convention 1930 (No. 29)

Vienna Convention on Consular Relation and Optional Protocols (VCCR) 1963

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.4 Tahun 2021, hlm. 322-334.