QUO VADIS KRIMINALISASI PERILAKU HUBUNGAN SEKSUAL SESAMA JENIS (HOMOSEKSUAL) DI INDONESIA

R. Angelica Revi Septiana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Gde Made Swardhana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i04.p02

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk mengkaji kepastian hukum bagi kaum homoseksual dan kriminalisasi hubungan seksual sesama jenis. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil studi menunjukkan bahwa negara Indonesia belum memberikan penegasan terhadap eksistensi homeseksual di Indonesia. Mengenai kriminalisasi hubungan seksual sesama jenis di Indonesia merupakan salah satu sarana penal dari kebijakan kriminal. Kriminalisasi mengacu pada aspek teoritis, sosiologis, yuridis, serta aspek HAM. Pada dasarnya kriminalisasi hubungan seksual sesama jenis bukan bertujuan untuk memenjara kaum homoseksual karena diperlukan “unsur paksaan” di dalam rumusan Pasal 420 ayat (1) Konsep KUHP 2019.

Kata Kunci: Homoseksual, Kebijakan Kriminal, Kriminalisasi.

ABSTRACT

The purpose of this study is to examine the legal certainty for homosexual and criminalization of same-sex sexual intercourse. This study uses a normative legal research method with a statute approach and conceptual. The results of the study show that Indonesia has not confirmed the existence of homesexual in Indonesia.Regarding the criminalization of same-sex sexual intercourse in Indonesia is one of the legal instruments by criminal policy. The criminalization refers to theoretical aspects, sociological aspects, juridical aspects and human rights aspect. Basically, the criminalization of same-sex sexual intercourse is not aiming to criminalize the homosexual community because it requires “coercion factor” in the Article 420 paragraph (1) draft of Indonesia’s Penal Code.

Key Words: Homosexual, Criminal Policy, Criminalization.

  • 1.    Pendahuluan

    1.1   Latar Belakang Masalah

Perkembangan jaman mengakibatkan peningkatan tingkat kompleksitas dalam kehidupan. Salah satu penyebabnya adalah arus globalisasi yang berdampak pada perubahan perilaku karena semakin banyak masyarakat yang ingin keluar dari zona nyaman mereka lalu mengikuti hal-hal yang dianggap sesuai dengan dirinya. Salah satu fenomena yang sedang marak diperbincangkan adalah mengenai kontroversi hubungan sesama jenis. Pada dasarnya fenomena tersebut masuk ke dalam bagian dari LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) atau yang dalam bahasa ilmiah dikenal dengan istilah Homoseksualitas. Istilah homoseksualitas merupakan bentuk terjemahan dari bahasa Yunani “homoios” istilah tersebut merujuk kepada berbagai kecenderungan terhadap

jenis kelamin yang sama.1 Dede Oetomo mendefinisikan homoseksual sebagai sebuah orientasi seksual dimana seseorang memiliki ketertarikan secara emosional kepada sesama jenis.2 Mulanya istilah homoseksual cenderung mendeskripsikan pria yang memiliki ketertarikan seksual dengan sesama pria. Akan tetapi, seiring berkembangnya jaman istilah homoseksual digunakan secara global baik kepada pria ataupun wanita yang memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis.

Dapat dikatakan bahwa Indonesia bagian dari negara yang belum menerima eksistensi dari lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). 3 Tentunya terdapat perbedaan pola pikir di dalam memaknai perilaku LGBT sehingga di Indonesia dianggap sebagai suatu penyimpangan terhadap orientasi seksual. Pada umumnya orientasi seksual yang sewajarnya ialah hubungan antar lawan jenis, namun mereka tidaklah demikian karena menjalin hubungan seksual dengan jenis kelamin yang sama, disebut gay untuk orang yang melakukan hubungan seksual dengan sesama laki-laki dan disebut lesbian jika melakukan hubungan seksual dengan sesama perempuan, hingga orientasi seksual ganda dimana seseorang dapat menjalin hubungan dengan sesama jenis dan juga lawan jenisnya (biseksual).4 Seringkali mereka dianggap sebagai masyarakat dengan perilaku yang menyimpang. Di tahun 2011, UNCHR (United Nations Commision on Human Rights) atau yang disebut dengan Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengesahkan Resolusi Nomor A/HRC/19/41 tentang Perlindungan Hak Asasi LGBT. Dalam article 5 Resolusi tersebut dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dalam menjunjung tinggi haknya, atas dasar itulah para LGBT dapat menuntut hak-haknya dalam rangka memperjuangkan eksistensi mereka. Berdasarkan catatan sejarah, eksistensi kaum LGBT di Indonesia bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2007 tepatnya di Yogyakarta telah ditandatangani Prinsip SOGI (Sexual Orientation and Gender Identity) yang menjadi dasar pengakuan bagi kaum LGBT.5 Akan tetapi Prinsip SOGI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dikarenakan belum adanya tindak lanjut pemerintah Indonesia dalam meratifikasi prinsip tersebut menjadi sebuah konvensi.

Secara garis besar Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat HAM) ialah hak alamiah dalam diri manusia sebagai anugerah Tuhan dan keberadaannya wajib untuk dilindungi negara sehingga harkat dan martabat manusia tetap terjaga. Keberadaan HAM tentunya berdampak positif di dalam kehidupan kita, salah satu dampak positif adalah lahirnya persamaan kedudukan yang secara tegas menjamin antara hak dan kewajiban selruh orang tanpa adanya alasan untuk mendapatkan perlakuan diskriminasi.6 Keterkaitan yang erat antara pembahasan LGBT dengan seksualitas seringkali mengakibatkan timbulnya perlakuan diskriminasi bahkan lebih parahnya

berujung kekerasan yang seringkali dialami oleh kalangan mereka. Perlu dipahami bahwa perlakuan diskriminasi merupakan wujud dari pelanggaran HAM sehingga Indonesia sebagai negara hukum yang mengakui keberadaan HAM tentunya mendapatkan tugas yang besar agar permasalahan ini dapat menemukan titik terang.

Eksistensi kaum pecinta sesama jenis yang ada di Indonesia saat ini telah menuai berbagai reaksi masyarakat, antara pihak pro dan kontra memiliki dasar argumentasi masing-masing. Pihak pro terhadap para pecinta sesama jenis ini memiliki dasar pemikiran bahwa adanya fenomena ini merupakan salah satu bentuk perwujudan prinsip non diskriminasi antar sesama umat manusia terlebih lagi mereka beranggapan bahwa kaum LGBT bukan sebuah penyimpangan seksual ataupun sebuah penyakit. Selain itu, mereka beranggapan bahwa LGBT bukanlah sebuah gangguan kejiwaan. Teori tersebut didukung oleh pemaparan dr. Danardi Sosrosumihardjo dalam jumpa pers Scientific Meeting yang diselenggarakan di FK Unpad selaku Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI).7 Kemudian di pihak kontra, mereka beranggapan bahwa adanya hubungan pecinta sesama jenis ini merupakan wujud penistaan terhadap norma agama karena dianggap bertentangan dengan hukum yang berasal dari masyarakat Indonesia dengan menjunjung tinggi adat ketimurannya.8 Apabila ditinjau dari konteks penyimpangan sosial, hubungan sesama jenis ini merupakan contoh penyimpangan karena tidak mencerminkan nilai kesusilaan yang berkembang dalam masyarakat.9 Selain itu, Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia dalam rumusan sila pertama telah diamanatkan bahwa dasar hidup bangsa Indonesia adalah adanya kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian menjadi sebuah perdebatan, terkait dengan hubungan seksual sesama jenis ini dengan nilai-nilai yang mencerminkan perilaku berketuhanan. Diperlukan kajian terhadap agama-agama yang ada di Indonesia sehingga menemukan jawaban terkait dengan dasar pembenar perilaku hubungan seksual sesam jenis ini ini. Tentu menjadi tugas kita bersama untuk peduli dan mencari solusi dari adanya perilaku kontroversial ini.

Berdasarkan ius constitutum di Indonesia, fenomena pecinta sesama jenis ini belum memiliki payung hukum terkait dengan segala aktivitas mereka yang tergabung ke dalam komunitas LGBT ini. Selain itu adanya kekosongan norma yang mengakibatkan inkonsistensi kebijakan terkait dengan perilaku seksual menyimpang ini. Hal tersebut juga didukung dengan adanya wacana kriminalisasi bagi komunitas LGBT. Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia belum menyatakan sikap secara terang-terangan untuk melarang tindakan yang diperbuat kaum homoseksual. Kemudian jika dilihat berdasarkan konteks Negara hukum, tentunya segala hal yang berkaitan dengan masyarakat, pemerintah, serta Negara harus dikaji berdasarkan perspektif hukum.10 Dasar hukum penjeratan pidana bagi para pelaku hubungan sesama jenis saat ini adalah ketentuan Pasal 292 KUHP, akan tetapi keberlakuan Pasal ini hanya dapat menjerat pelaku yang berhubungan seksual sesama jenis dengan seseorang yang belum dewasa menurut hukum.11 Namun apakah wacana perluasan kriminalisasi terhadap pelaku

hubungan sesama jenis ini merupakan solusi yang terbaik? Dalam menjamin orisinalitas penulisan jurnal ini penulis telah melakukan perbandingan dengan penelitian terdahulu. Adapun penelitian tersebut, diantaranya :

  • a.    Jurnal berjudul “Kriminalisasi Hubungan Seksual Sesama Jenis Yang Dilakukan Oleh Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender (Lgbt) Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana” dibuat oleh I Nengah Maliarta di tahun 2017 meneliti tentang analisis perbuatan LGBT sebagai tindak pidana beserta kriminalisasi perbuatan LGBT di Indonesia. Berdasarkan penelitian jurnal ini dapat disimpulkan ketentuan dalam hukum positif sangat terbatas dan dalam konsep KUHP tahun 2015 telah diatur terkait dengan hubungan seksual sesame jenis yang dilakukan oleh orang dewasa.

  • b.    Jurnal berjudul “Kebijakan Kriminal Terhadap, Gay, Biseksual Dan Transgender (LGBT) Dikaitkan Dengan Delik Kesusilaan Di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” dibuat oleh Ateng Sudibyo di tahun 2019 meneliti tentang legislasi LGBT dalam hukum pidana Indonesia. Kesimpulan dari penulisan jurnal ini adalah ketentuan dalam Pasal 292 KUHP tidak bisa dijadikan dasar untuk menjerat pelaku LBGT.

Adapun unsur pembeda di dalam penulisan jurnal ini adalah adanya pembaharuan dalam konsep KUHP tahun 2019 serta penulisan jurnal ini lebih tertuju kepada kriminalisasi perbuatan hubungan seksual sesama jenis (homoseksual) di Indonesia. Eksistensi homoseksual di Indonesia telah menuai pro dan kontra dalam perkembangan kehidupan masyarakat. Di satu pihak, Indonesia menjunjung tinggi keberadaan Hak Asasi Manusia, di lain pihak juga mengedepankan norma-norma yang mencerminkan akan budaya ketimurannya. Akan tetapi menjadi sebuah ironi apabila hak asasi tidak diakomodir justru kriminalisasi menghampiri. Mengacu kepada fenomena hubungan seksual sejenis yang telah dijabarkan, selanjutnya penulis tertarik untuk mengkaji topik ini menjadi sebuah jurnal yang berjudul “Quo Vadis Kriminalisasi Perilaku Hubungan Seksual Sesama Jenis (Homoseksual) Di Indonesia”. Fokus utama penulis dalam melakukan penulisan jurnal ini ialah dalam rangka memberikan sumbangsih pemikiran di dalam mengatasi permasalahan hubungan seksual sesama jenis di Indonesia. Perlu diketahui bahwa perilaku hubungan seksual sesama jenis merupakan fenomena yang meresahkan masyarakat. Ketika eksistensi homoseksual belum mendapatkan kejelasan di Indonesia maka segala perbuatan yang berkenaan dengan perilaku homoseksual yang melanggar kejahatan baik secara sosiologis (Mala in se) atau secara yuridis (Mala Prohibita) juga tidak dapat dikenakan sanksi yang setimpal.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berikut ini merupakan dua rumusan permasalahan yang akan dikaji, yaitu :

  • 1.    Eksistensi hubungan sesama jenis di Indonesia ditinjau dari perspektif Ius Constitutum.

  • 2.    Urgensi kriminalisasi hubungan sesama jenis di Indonesia.

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal ini ditujukan agar para pembaca memahami fenomena hubungan sesama jenis di Indonesia apabila ditinjau berdasarkan perspektif hukum

positif beserta kriminalisasi dalam fenomena hubungan seksual sesama jenis yang terjadi di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan jurnal dengan judul “Quo Vadis Kriminalisasi Perilaku Hubungan Seksual Sesama Jenis (Homoseksual) Di Indonesia” menggunakan metode penelitian hukum normatif, yakni dalam melakukan penelitian hukum berdasarkan perspektif internal yang menggunakan norma hukum sebagai objek penelitian.12 Metode penelitian hukum dengan sistem normatif dalam rangka memberikan argumentasi yuridis disaat terjadinya kekaburan suatu norma yang mengatur mengenai fenomena hubungan pecinta sesama jenis di Indonesia. Pendekatan yang sesuai dengan penulisan jurnal ini ialah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan mengkaji adanya ketentuan dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang terdapat titik taut dengan fenomena homoseksual di Indonesia. Kemudian, tulisan ini juga menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) dalam menguraikan serta menganalisis berdasarkan perspektif Hukum Positif sehingga dapat melakukan pemaknaan terhadap fenomena homoseksual di Indonesia.

Penelitian hukum normatif mengenal 2 (dua) bahan hukum, yaitu : bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.13 Bahan hukum primer berupa seperangkat aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perilaku seksual sesama jenis di Indonesia, kemudian di dalam bahan hukum sekunder dapat berupa buku hukum yang telah diterbitkan oleh para filsuf hukum serta jurnal hukum yang diterbitkan oleh kalangan mahasiswa, dosen, hingga praktisi hukum yang berguna untuk memperluas argumentasi hukum penulis dalam melakukan penulisan jurnal hukum. Teknik analisis bahan hukum yang penulis gunakan dalam penulisan jurnal ini ialah teknik deskriptif yaitu dengan cara memaparkan kondisi hukum yang terjadi dan akan dilanjutkan dengan mengevaluasi kondisi hukum dengan menggunakan penafsiran hukum. 14

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Fenomena Hubungan Sesama Jenis di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Ius Constitutum

Tentu menjadi sebuah perdebatan di masyarakat terkait dengan fenomena hubungan sesama jenis yang semakin marak di masyarakat, apakah fenomena tersebut merupakan salah satu wujud dari pemenuhan HAM ? Sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai hubungan seksual sesama jenis yang termasuk dalam komunitas LGBT. LGBT merupakan akronim dari Lesbians, Gays, Bisexual, serta Transgender yang sangat kontroversial di zaman modern ini. Perlu kita ketahui bahwa lesbian berasal dari istilah mitologi Yunani kuno yakni “lesbis atau lesbiism” yang merupakan sebutan bagi kisah cinta sesama jenis yang dilakukan oleh putri Shappo dan Athis. Kemudian mitologi tersebut diyakini oleh masyarakat pada zaman itu sebagai awal mula terbentuknya kisah cinta antara perempuan dengan perempuan. 15 Selanjutnya penjelasan yang kedua adalah mengenai gay. Istilah gay berasal dari bahasa perancis kuno yang pada mulanya bermakna ceria, penuh suka cita, dan cahaya hati,

akan tetapi seiring berjalannya waktu telah mengalami pergeseran makna menjadi kegiatan seksual yang tidak wajar.16 Biseksual berasal dari istilah “bi” dan “sexual” yang berarti ketertarikan seseorang kepada dua jenis kelamin (ketertarikan ganda).17 Terakhir adalah transgender yang berasal dari kata “ transsexual” yang berarti pergantian jenis kelamin. Proses pergantian jenis kelamin ini melalui jalur operasi pergantian alat kelamin sesuai dengan keinginan dari individu tersebut. Pada dasarnya kehidupan seksual merupakan salah satu bagian dari hak privasi tiap manusia. Maka dari itu, komunitas LGBT tentunya juga berhak untuk mendapatkan perlindungan yang merupakan hak setiap orang tanpa memandang identitas ataupun orientasi seksual yang dipilih.18 Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hofstede yang mengelompokkan Indonesia dengan budaya kolektivisme yang mencerminkan budaya saling bergantung serta mendukung masyarakat satu sama lain sehingga stigma masyarakat sangat berpengaruh terhadap persepsi seseorang dalam memandang LGBT. 19 Dalam menyikapi fenomena hubungan seksual sesama jenis yang terjadi di Indonesia dapat dikaji dari beberapa perspektif, yaitu : perspektif agama, perspektif HAM, perspektif psikologi, serta perspektif hukum.20

Tentunya masing-masing perspektif memiliki dasar pijakan yang berbeda terkait dengan fenomena hubungan seksual sesama jenis ini. Dalam perspektif HAM, hubungan seksual sesama jenis memiliki dasar yang kuat yakni hak untuk hidup serta hak untuk bebas berekspresi. Hal itu sejalan dengan pemikiran F. Julius Stahl bahwa salah satu elemen penting yang harus dimiliki suatu Negara hukum yakni terdapat bentuk pengakuan terhadap HAM.21 Kemudian, konsekuensi logis negara Indonesia sebagai negara hukum adalah dianutnya prinsip kepastian hukum. Terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam menegakkan kepastian hukum yaitu: Ius constituendum, Ius constitutum, serta Ius Operatum. Ius Constituendum merupakan tatanan hukum yang dicita-citakan oleh masyarakat yang diharapkan dapat menciptakan stabilitas di dalam kehidupan. Kemudian Ius Constitutum atau yang biasa dikenal dengan istilah Hukum Positif merupakan seperangkat hukum yang dimanifestasikan dalam bentuk aturan yang sah dan berlaku pada waktu tertentu. Kriteria terakhir adalah Ius operatum yang diartikan sebagai hukum yang berjalan di dalam kehidupan masyarakat.22 Perihal menilai perilaku hubungan seksual sesama jenis tentu Indonesia sebagai Negara hukum mengacu kepada kajian hukum agar memperoleh kedudukan hukum yang jelas. Kedudukan hukum yang jelas akan menciptakan keadilan, ketertiban, serta kepastian hukum seperti tujuan hukum sebagaimana mestinya.

Perilaku hubungan seksual sesama jenis (homoseksual) jika dikaji berdasarkan ius constitutum atau hukum positif Indonesia perlu diketahui bahwa terdapat beberapa produk hukum yang secara eksplisit menyebutkan eksistensi homoseksual sehingga beberapa rujukan tersebut dapat dijadikan dasar dalam memberikan kepastian hukum bagi kaum homoseksual. Berikut ini merupakan aturan yang memiliki titik taut dengan keberadaan hubungan seksual sesama jenis di Indonesia, yaitu :

  • 1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945) sebagai konstitusi Negara Indonesia yang telah ditetapkan secara konstitusional. Selain itu, supremasi konstitusi juga menegaskan bahwa Indonesia merupakan Negara hukum dengan berlandaskan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Terkait dengan problematika hubungan seksual sesama jenis yang terjadi di Indonesia terdapat ketentuan di dalam UUD NRI 1945 yang digunakan sebagai dasar argumentasi para pelaku homoseksual. Dasar argumentasi mereka adalah adanya hak asasi yang dimiliki oleh seluruh umat manusia tanpa adanya status pembeda. Hak untuk bebas dalam mengekspresikan diri juga telah diatur dalam ketentuan Pasal 28 E ayat (2) UUD NRI 1945. Walaupun tiap orang berhak atas kebebasan tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hak asasi juga tumbuh beriringan dengan adanya kewajiban asasi. Dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (1) UUD NRI 1945 diatur mengenai kewajiban setiap orang agar menghargai hak yang dimiliki orang lain dan juga memiliki kewajiban untuk tunduk pada aturan yang terkait dengan pelaksanaan hak asasi oleh karena itu apabila terdapat seseorang yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu pelanggaran HAM. Sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI 1945 diatur mengenai batasan nilai yang harus dipenuhi adalah tidak bertentangan dengan nilai moral dan nilai agama. Atas dasar tersebut, para homoseksual dalam memperjuangkan hak asasi yang dimiliki pun juga tak luput untuk melaksanakan kewajiban asasi mereka. Sejatinya, HAM yang ditegakkan di Indonesia tentunya bermuara pada Pancasila sehingga pelaksanaan HAM tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

  • 2.    Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Ketika membahas tentang manusia maka erat kaitannya pula dengan hak dan kewajiban yang menyertainya sebagai subjek hukum. Indonesia telah mengatur aspek-aspek kehidupan yang bersinggungan dengan HAM melalui aturan khusus yakni Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat Undang-Undang HAM). HAM merupakan segala hak yang ada pada diri manusia yang merupakan anugerah dari Tuhan sehingga keberadannya senantiasa wajib untuk dipertahankan oleh berbagai pihak baik oleh negara, pemerintah, serta masyarakat demi menjunjung tinggi harkat dan martabat. Kaum homoseksual juga merupakan seorang insan manusia yang sama sehingga mereka juga memiliki hak asasi yang wajib untuk dilindungi. Dalam ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang HAM diatur mengenai hak atas kebebasan berekspresi begitupun dengan para homoseksual juga memiliki kebebasan untuk mengekspresikan orientasi seksual mereka, akan tetapi perlu kita pahami pula bahwa terdapat batasan yang harus kita taati yakni norma-norma yang berlaku di masyarakat. Banyaknya isu negatif mengenai keberadaan para homoseksual

berdampak pada resahnya masyarakat sehingga diperlukan kebijakan yang tegas dari Pemerintah terkait dengan menangani fenomena homoseksual di Indonesia.

  • 3.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Perkawinan menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) merupakan sebuah ikatan yang dimiliki baik secara lahir dan batin yang dilakukan oleh pria dan wanita dan memiliki tujuan untuk menjadi keluarga yang bahagia yang kekal abadi dengan selalu memperhatikan prinsip Ketuhanan dikarenakan konsep perkawinan yang diterapkan di negara Indonesia merupakan konsep religious marriage.23 Konsep ini menempatkan nilai agama sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Sehingga, syarat sahnya suatu perkawinan di Indonesia berdasar kepada aturan hukum dari setiap agama yang diakui di Indonesia. Kemudian dijelaskan mengenai konstruksi seksualitas yang diterapkan di Indonesia maka perlu kita cermati rumusan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, pasal ini secara tegas mengatur bahwa subjek dari sebuah perkawinan adalah frasa “seorang pria dan seorang wanita”. Hal tersebut sejalan dengan ideologi heteroseksualitas yang dianut di Indonesia. Konsep perkawinan yang dilakukan oleh lawan jenis ini dilaksanakan di Indonesia atas dasar pemikiran bahwa perkawinan yang dikehendaki oleh masing-masing agama di Indonesia ialah perkawinan yang sesuai dengan nilai moral dan nilai agama.

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang diatur bahwa terdapat 5 agama yang diakui di Indonesia, yaitu : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu (Confusius). Sejatinya makna perkawinan menurut hukum Islam adalah sebuah pernikahan dalam bentuk akad dengan tujuan mentaati perintah Allah SWT sehingga terwujudkannya kehidupan yang tenang dan tentram. Agama Katolik menentukan bahwa makna sebuah perkawinan merupakan panggilan jiwa untuk saling mencintai satu sama lain yang bersifat monogami sehingga suami dan istri dapat membuat gereja kecil di dalam rumah-tangga (ecclesia domestica).24 Kemudian makna perkawinan sesuai dengan ajaran agama Kristen Protestan merupakan sebuah ikatan dengan cinta dan kasih yang dimiliki oleh pria dan wanita yang dikasihinya untuk membentuk rumah tangga yang bertujuan untuk melaksanakan amanat agung Tuhan. Dalam memaknai perkawinan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) beranggapan bahwa makna perkawinan merupakan suatu ikatan baik secara lahir dan batin antara seorang pria dan wanita bertujuan untuk menciptakan bahtera rumah tangga sesuai dengan prinsip Berketuhanan. Umat Hindu mendefinisikan makna perkawinan sebagai yajna, yaitu sebuah kewajiban berupa pengabdian kepada Hyang Widhi Wasa yang mana perkawinan tersebut harus dijaga keutuhan dan kesakralannya. Dalam ajaran agama Buddha, perkawinan yang dianjurkan adalah sifatnya monogami, yakni saling mengikat antara wanita dengan lelaki

bersifat kekal dengan bertujuan untuk melaksanakan Dhamma (aturan dalam agama Buddha)25.

Setelah kita mengetahui bagaimana gambaran makna perkawinan berdasarkan pengertian perkawinan yang dimiliki oleh masing-masing agama yang terdapat di Indonesia maka dapat ditemukan titik taut bahwa seluruh agama di Indonesia menganut bentuk perkawinan secara heteroseksual yang kemudian syarat-syarat tersebut dikonstruksikan ke dalam sebuah undang-undang perkawinan di Indonesia, hal tersebut tentu bertolak belakang dengan pandangan kaum homoseksual yang menghendaki adanya hubungan seks dengan sesama jenis baik itu laki-laki dengan sesamanya (gay) ataupun wanita dengan sesamanya (lesbian). Perlu kita ketahui bahwa di dalam Undang-Undang Perkawinan tidak ada ketentuan pidana yang melarang hubungan seksual sesama jenis sehingga disaat terjadinya suatu perkawinan yang dilakukan oleh sesama jenis maka dapat dikatakan bahwa perkawinan tersebut akan batal demi hukum tanpa diiringi dengan sanksi pidana yang menyertai pelaku perkawinan sesama jenis tersebut, salah satu contohnya adalah adanya pembatalan perkawinan yang dilakukan oleh sesama perempuan melalui Putusan Pengadilan Agama Boyolali Nomor 1147/Pdt.G/2017/PA.Bi.26

  • 4.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Hukum Pidana merupakan seperangkat aturan yang fokus kepada penjatuhan sanksi yang dilakukan oleh alat kekuasaan negara dan bertujuan untuk memberikan efek jera pada masyarakat. KUHP (Wetboek van Starfrecht) merupakan landasan hukum materiil negara Indonesia yang merupakan turunan dari negara Belanda. Walaupun usia KUHP telah berabad-abad lamanya tetapi Indonesia masih belum mengesahkan Konsep KUHP yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia. Di dalam KUHP ini, perilaku hubungan seksual sesama jenis dapat dipakai ketentuan Pasal 292 KUHP dalam rangka menjerat kaum homoseksual yang diduga telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Dalam ketentuan Pasal 292 KUHP ini mengatur tentang tindak pidana Pencabulan. Akan tetapi, Pasal ini hanya dapat dikenakan pada saat pelaku melakukan aktivitas seksual sesama jenis kepada korbannya yang merupakan seorang anak atau dapat dikatakan belum dewasa secara hukum pidana dan dilakukan dalam keadaan paksaan ataupun tidak suka sama suka. Jika pelaku hubungan seksual sesama jenis telah dewasa secara hukum pidana, maka ketentuan Pasal 292 KUHP tidak dapat dikenakan kepada pelaku dikarenakan terdapat kekosongan norma terkait dengan perbuatan tersebut.

  • 5.    Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (selanjutnya disingkat UU Pornografi) ini secara garis besar telah memberikan ruang diberlakukannya sanksi pidana kepada para pelaku homoseksual yaitu dengan memasukkan frasa “persenggamaan yang menyimpang” sebagai salah satu unsur

dari pengertian pornografi yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Pornografi. Kemudian dalam bagian penjelasan Pasal 4 ayat 1 huruf a dijelaskan lebih lanjut bahwa lesbian dan homoseksual termasuk dalam kategori “persenggamaan yang menyimpang”. Walaupun Undang-Undang Pornografi tidak mengatur mengenai eksistensi dari kaum homoseksual akan tetapi jika subjek dari kaum homoseksual melanggar aturan yang berbau pornografi maka mereka dapat dikenakan sanksi pidana. Sanksi pidana dalam UU Pornografi ini diatur di dalam Bab VII tentang Ketentuan Pidana Pasal 29 sampai dengan Pasal 41.

  • 6.    Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Keberadaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disingkat UU ITE) ini bukan secara spesifik melarang adanya perilaku homoseksual, akan tetapi di dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) diatur mengenai tindak pidana berupa penyebaran konten yang melanggar kesusilaan maka dapat dikenakan sanksi pidana. Dalam rumusan Pasal ini yang dimaksud dengan kesusilaan adalah sebuah nilai yang menjadi tolak ukur dalam menilai pantas atau tidaknya suatu tindakan yang berkaitan dengan nilai moral dari masyarakat yang beradab.27 Jadi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ini jika para homoseksual telah terbukti melakukan penyebaran konten asusila secara daring.

Setelah dijelaskan mengenai aturan-aturan dalam hukum Positif terkait dengan fenomena homoseksual di Indonesia dapat kita ketahui bahwa belum ada aturan yang menegaskan sikap Pemerintah dalam menanggapi problematika ini. Saat ini dapat dikatakan bahwa eksistensi kaum homoseksual berada di ambang ketidakpastian. Hal ini sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan penulisan jurnal ini dimana penulis mencantumkan frasa “Quo Vadis” dalam judul pembahasan jurnal ini. Quo Vadis berasal dari bahasa latin yang dapat diartikan sebagai “mau dibawa kemana arah” dari suatu hal. Sehingga dapat dikatakan bahwa penulis ingin melakukan pembahasan terkait dengan arah kebijakan pemerintah terkait dengan fenomena kriminalisasi homoseksual di Indonesia. Fenomena hubungan seksual sesama jenis yang terjadi di Indonesia saat ini masih dalam ranah abu-abu, diskriminasi dapat terjadi kepada mereka setiap saat dikarenakan Pemerintah pun melanggengkan hal tersebut. Atas dasar itulah perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai kriminalisasi hubungan seksual sesama jenis di Indonesia. Fenomena ini perlu diperhitungkan oleh Pemerintah untuk dilakukan pembahasan dikarenakan kejadian hubungan seksual sesama jenis telah marak terjadi di Indonesia dan hal tersebut tidak sesuai dengan moral dan kepribadian bangsa Indonesia terlebih disaat terjadinya kekerasan seksual yang dialami oleh korban dengan jenis kelamin yang sama dengan pelaku. Tentu fenomena tersebut tidak dapat dibawa ke jalur hukum mana kala di Indonesia tidak mengatur perbuatan tersebut ke dalam suatu tindak pidana. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Indonesia menganut asas legalitas dimana suatu perbuatan tidak dapat dipidana manakala perbuatan tersebut belum diatur di dalam undang-undang. Namun, perlu menjadi catatan kecil untuk kita semua bahwa kaum homoseksual merupakan individu yang memiliki harkat dan martabat yang sama sehingga para pihak yang melakukan tindakan

diskriminasi kepada mereka juga harus diberikan sanksi pidana yang tegas karena telah melakukan pelanggaran atas HAM.

  • 3.2    Urgensi Kriminalisasi Hubungan Sesama Jenis di Indonesia.

Kriminalisasi (criminalization) dapat dikatakan sangat erat kaitannya dengan hukum pidana karena merupakan salah satu kajian dalam hukum pidana yang bersifat materiil (substantive criminal law). Kriminalisasi pada dasarnya memuat mengenai penetapan perbuatan baru yang belum dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang kemudian akan diubah menjadi tindak pidana baru sehingga perbuatan tersebut akan dikenakan sanksi pidana. Sejalan dengan pemikiran Soedarto yang menjelaskan bahwa kriminalisasi merupakan sebuah proses untuk menetapkan suatu tindakan yang pada awalnya tidak dikategorikan sebagai suatu delik kemudian ditetapkan menjadi tindak pidana baru dan jika dilanggar maka akan dikenakan sanksi pidana.28 Dapat kita ketahui bahwa secara garis besar ruang lingkup kriminalisasi ialah penetapan suatu tindak pidana baru yang memiliki sanksi pidana. Namun Paul Cornill tidak sependapat dengan hal itu, Ia beranggapan bahwa ruang lingkup kriminalisasi tidak hanya sebatas penetapan tindak pidana baru, akan tetapi juga berupa penambahan hukuman terhadap tindak pidana yang telah dirumuskan sebelumnya.29

Kemudian menjadi sebuah perdebatan terkait dengan urgensi kriminalisasi kaum homoseksual ini. Tentunya melakukan penetapan kriminalisasi suatu tindakan tidak serta merta begitu saja karena diperlukan dasar argumentasi yang tepat beserta kriteria yang terpenuhi sehingga dapat dilakukan kriminalisasi. Sejatinya tolak ukur efisiensi dan efektivitas sebuah aturan yakni dengan menilai unsur kebaruan dan kelestarian dalam hukum pidana.30 Terlebih lagi jika terjadi konflik norma baik berupa kekosongan norma, norma kabur, dan pertentangan antar noma. Mengenai konsep kejahatan dalam kriminologi terbagi menjadi dua kategori umum, yaitu Mala Prohibita (Malum Prohibitum) dan Mala in se. Mala Prohibita (Malum Prohibitum) merupakan sebuah kejahatan berdasarkan ketentuan yuridis yang berlaku sehingga suatu tindakan baru dikatakan sebagai kejahatan apabila telah ditetapkan dalam hukum positif yang mana selaras dengan asas legalitas yang diberlakukan di Indonesia sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Sedangkan Mala in se merupakan kejahatan berdasarkan perspektif sosiologis. Sebuah perbuatan berdasarkan perspektif Mala in se dapat dipandang sebagai perbuatan yang jahat oleh masyarakat walaupun tidak ditetapkan secara tertulis dalam perundang-undangan.31

Terkait dengan proses kriminalisasi secara garis besar Sudarto berpandangan sebagai berikut :

  • a.    Penerapan hukum pidana berpedoman kepada tujuan dari pembangunan nasional yakni agar terciptanya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sesuai dengan falsafah pancasila;

  • b.    Perbuatan yang menjadi bahasan kriminalisasi merupakan perbuatan yang merugikan baik secara spiritual ataupun materiil;

  • c.    Pelaksanaan hukum pidana memegang prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle);

  • d.    Penerapan dari hukum pidana diharapkan agar selalu memperhitungkan kemampuan kerja aparat penegak hukum sehingga meminimalisir kelebihan beban tugas.32

Terkait dengan hubungan seksual sejenis dapat dikatakan sebagai kejahatan Mala in se karena di Indonesia masyarakat menganggap homoseksual merupakan perbuatan tercela. Akan tetapi, dalam menentukan perbuatan tersebut menjadi tindak pidana maka diperlukan dasar argumentasi baik secara yuridis ataupun sosiologis. Berdasarkan pendapat Von Savigny dapat diketahui bahwa tiap masyarakat suatu wilayah memiliki jiwa bangsa “volkgeist” yang berbeda-beda. Perwujudan jiwa bangsa Indonesia telah tergambarkan dalam nilai Pancasila dengan nilai yang sesuai dengan adat dan kepribadian bangsa Indonesia. Termasuk juga dalam permasalahan hubungan seksual sesama jenis agar dikaji berdasarkan nilai jiwa bangsa Indonesia. Hubungan seksual sesama jenis ini dapat dikatakan tidak sejalan dengan nilai Pancasila. Nilai ketuhanan yang terkandung dalam sila pertama akan dikesampingkan karena hubungan homoseksual pada dasarnya tidak diajarkan oleh seluruh agama yang ada di Indonesia. Berdasarkan Pasal 292 KUHP diberikannya ruang dalam hukum pidana agar hubungan seksual sesama jenis dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, namun rumusan pasal tersebut dapat dikenakan pada subjek hukum yang telah terbukti berhubungan seksual sesama jenis yang mana korbannya adalah anak atau seseorang yang belum dewasa menurut hukum pidana. Langkah ini merupakan salah satu kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk mengisi kekosongan norma terkait dengan hubungan seksual sesama jenis. Kebijakan kriminal di Indonesia dapat diwujudkan dengan 2 (dua) cara yaitu secara penal ataupun non penal. Kemudian di dalam Pasal 420 ayat (1) huruf b konsep KUHP 2019, secara garis besar diatur bahwa seseorang dapat diancam pidana maksimal 9 (sembilan) tahun jika ia terbukti telah melakukan perbuatan cabul kepada orang lain baik yang berbeda jenis kelamin ataupun sesama jenis kelamin dengan dilakukan secara paksa.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka telah terdapat rumusan pasal yang mengakomodir perilaku hubungan seksual sesama jenis sebagai tindak pidana namun rumusan ini bukanlah memenjarakan kaum homoseksual melainkan tindak pidana dengan adanya “unsur paksaan”. Dalam rangka kriminalisasi terhadap hubungan seksual sesama jenis melalui sarana penal fokus kepada tindakan apa yang dilarang serta bagaimana sanksi yang akan dikenakan kepada pelaku. Selain aspek teoritis, sosiologis, serta yuridis perlu memperhatikan aspek HAM terkait dengan subjek dari perbuatan tersebut. Dalam hal perbuatan seksual sesama jenis ini subjek hukumnya adalah kaum homoseksual. Sehingga jika nantinya perbuatan seksual sesama jenis akan ditetapkan sebagai suatu tindak pidana akan tetapi tidak melupakan esensi bahwa kaum homoseksual juga manusia yang tetap memiliki hak asasi dan bebas dari perlakuan diskriminasi.

  • 4.    Kesimpulan

Perilaku homoseksual yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan masih dalam ranah abu-abu. Dalam hierarki perundang-undangan terdapat beberapa aturan yang

bertautan dengan fenomena homoseksual di Indonesia. Konstitusi memberikan hak bagi tiap warga negara untuk memiliki kebebasan dalam mengekspresikan diri sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28 E UUD NRI 1945. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang HAM diatur pula mengenai hak atas kebebasan berekspresi termasuk juga hak bagi para homoseksual untuk mengekspresikan diri. Berkenaan dengan perkawinan juga tersirat ketentuan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan yang dianut di Indonesia ialah perkawinan heteroseksual atau perkawinan yang dilakukan oleh dua orang dengan jenis kelamin yang berbeda. Dalam hukum pidana aturan yang dapat dikenakan bagi pelaku homoseksual adalah ketentuan Pasal 292 KUHP akan tetapi, ketentuan pidana yang dapat dikenakan adalah disaat memenuhi unsur bahwa korban dari tindak pidana pencabulan seorang anak kecil yang berjenis kelamin sama dengan pelaku. Tentu secara tersirat menjelaskan bahwa perbuatan homoseksual tidak dapat dipidana manakala dilakukan tanpa paksaan dan dilakukan oleh seseorang yang telah dewasa menurut hukum pidana. Namun demikian, di dalam Undang-Undang Pornografi homoseksual dapat disangkakan telah melakukan tindak pidana karena dalam Undang-Undang ini homoseksual termasuk di dalam kategori persenggamaan yang menyimpang dan apabila homoseksual telah melakukan penyebaran konten asusila maka dapat dikenakan aturan dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang ITE.

Berbagai kebijakan kriminal telah diupayakan baik dalam bentuk non penal hingga penal. Salah satu wujud kebijakan penal adalah kriminalisasi perbuatan hubungan seksual sesama jenis. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat Indonesia merasa kaum homoseksual bertentangan dengan nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Rumusan Pasal 420 ayat (1) Konsep KUHP 2019 telah memberikan ruang agar perbuatan homoseksual dapat dikategorikan sebagai sebuah tindak pidana akan tetapi hanya jika memenuhi “unsur paksaan” yang ditentukan dalam pasal tersebut. Sehingga hal tersebut bukan sebuah tindakan memenjarakan kaum homoseksual yang merupakan bagian dari kaum LGBT. Sesuai dengan amanat konstitusi yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) bahwa Pemerintah dan DPR sebagai legislator tentu berwenang untuk merancang aturan terkait dengan fenomena homoseksual yang dirasa kian meresahkan masyarakat Indonesia. Tentu hal tersebut menjadi urgensi bagi pemerintah dikarenakan homoseksual di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam masyarakat (mala in se).

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hwian, Christianto.” Kejahatan Kesusilaan: Penafsiran Ekstensif Dan Studi Kasus.” Suluh Media, 2017.

Diantha, I. Made Pasek. “Metodologi penelitian hukum normatif dalam justifikasi teori hukum.” Prenada Media, 2016.

Nurmawati, M.,dan Suantra, I Nengah.” Ilmu Negara.”.Denpasar,Inspirasi Indonesia,2017.

Jurnal Ilmiah

Ali, T. M., Suhaidi, S., dan Mustamam, M.“Penanggulangan Penyimpangan Seksual Lgbt Dalam Perspektif Kebijakan Kriminal (Criminal Policy)”. Jurnal Ilmiah METADATA 1, No.3, (2019): 209-221.

Ammah, Dinda Maslahatul, dan Marwanto Marwanto."Perlindungan Internasional Terhadap Hak Asasi Manusia Orang-Orang Lgbt Dengan Bantuan Pbb.” Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 7, No. 7: 1-16.

Andina, Elga.” Faktor Psikososial dalam Interaksi Masyarakat dengan Gerakan LGBT di Indonesia.” Aspirasi: Jurnal Masalah-masalah Sosial 7, No.2: 173-185.

Aripin, Musa.“LGBT Dalam Takaran Sosiologi Hukum.” Yurisprudentia: Jurnal Hukum Ekonomi 2, No.1(2016): 52-64.

Astuti, Enggar Puji.” Pembatalan Nikah Sebab Kawin Sesama Jenis (Studi Putusan Pengadilan Agama Boyolali Nomor 1147/Pdt. G/2017/Pa. Bi).” Doctoral dissertation, IAIN Surakarta (2010): 1-138.

Basuki, Udiyo."Globalisasi, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Pengaruh Globalisasi terhadap Pengaturan HAM dalam Konstitusi Indonesia." Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 2, No. 2 (2013): 257-281.

Erfa, Riswan. "Kriminalisasi Perbuatan Cabul Yang Dilakukan Oleh Pasangan Sesama Jenis Kelamin (Homoseksual)." PhD diss., Brawijaya University (2015) : 1-23.

Jannah, Miftachul."Ritus Vivaha Pada Umat Buddha Theravada Di Vihara Suvanna Dipa Teluk Betung Selatan Bandar Lampung." PhD diss., UIN Raden Intan Lampung, (2017):1-201.

Lestari, Yeni Sri."Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) dan Hak Asasi Manusia (HAM)." Jurnal Community 4, No. 1 (2018): 105-122.

Luthan, Salman. "Asas Dan Kriteria Kriminalisasi." Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 16, No. 1 (2009): 1-17.

Maliarta, I. Nengah, Ida Bagus Surya Dharma Jaya, dan Sagung Putri ME Purwani. "Kriminalisasi Hubungan Seksual Sesama Jenis Yang Dilakukan Oleh Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender (Lgbt) Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum: 1-16.

Mawey, Andrey. G. “Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum.” Lex Crimen 5, No.2, (2016) : 82-90.

Murdiana, Elfa.“LGBT Perspektif Legal Reform (Sebuah Kajian Legal Substansi dalam Upaya Pembentukan Ius Constituendum).” Jurnal Mahkamah: Kajian Ilmu Hukum Dan Hukum Islam 2, No.2 (2017): 193-216.

Prayitna, Reza Diptha. “Analisis Yuridis Terhadap Keberadaan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Indonesia dalam Perspektif Hukum Positif.” Legal Spirit 2, No.2 (2019): 1-16.

Rasjidi, Ira Thania. "Penyerapan Istilah Asing Pada Terminologi Hukum Di Indonesia." LITIGASI 16, No. 2 (2016): 2875-2905.

Sirait, Timbo Mangaranap."Menilik Akseptabilitas Perkawinan Sesama Jenis di dalam Konstitusi Indonesia." Jurnal Konstitusi 14, No. 3 (2018): 620-643.

Sofyarto, Karlina. "Abu-Abu Regulasi LGBT Di Indonesia.Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) 3, No. 2 (2017): 84-94.

Sudibyo, Ateng. "Kebijakan Kriminal Terhadap, Gay, Biseksual Dan Transgender (LGBT) Dikaitkan Dengan Delik Kesusilaan Di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana." DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 1 (2019): 28-41.

Widayati,”Lidya Suryani. Kriminalisasi Perbuatan Cabul Lesbian, Gay, Biseksual,Dan Transgender (Lgbt).” Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI 10, No.3 (2018): 1-6.

Website

Andi Saputra, Di Forum PBB, Pemerintah Indonesia Tegas Tolak LGBT, diakses melaluihttps://news.detik.com/berita/d-3495638/di-forum-pbb-pemerintah-indonesia-tegas-tolak-lgbt.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1974 Nomor 1).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165).

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 181).

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251).

Putusan Pengadilan Agama Boyolali Nomor 1147/Pdt.G/2017/PA.Bi.

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.4 Tahun 2021, hlm. 297-311.