PROSES PELAKSANAAN DIVERSI BAGI ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI UTARA

Leony Ghuusbertha Marpaung, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i04.p01

ABSTRAK

Tujuan dari studi ini untuk memberikan pemahaman mengenai proses pelaksanaan diversi secara langsung dilapangan (kepolisian daerah sulawesi utara) serta mengkaji apa saja yang menjadi hambatan dalam proses pelaksaan diversi. Studi ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris metode ini mengkaji ketentuan hukum yang ada dan juga mencari data berupa keterangan dalam bentuk data maupun informasi mengenai masalah yang akan diteliti untuk membuktikan fakta di lapangan, mengenai pengumpulan data penulis melakukan wawancara secara langsung kepada Kanit PPA Reskrim di Kepolisian Sulawesi Utara dengan tujuan mendapatkan informasi terperinci terhadap apa yang diteliti. Hasil studi menunjukkan bahwa pelaksanaan diversi pada umumnya dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang sistem peradilan Anak yang dalam proses pemeriksaan penyidik wajib mengupayakan adanya diversi seperti yang termaktub dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang tentang Sitem Peradilan Anak dan terdapat sanksi yang mengatur apabila penyidik tidak mengupayakan adanya upaya diversi maka penyidik akan dikenakan sanksi seperti yang termaktub dalam Pasal 96 Undang-Undang tersebut yang diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Kemudian dalam proses pelaksaannnya masih terdapat beberapa hal yang menjadi penghambat dalam proses upaya diversi ini yaitu seperti sulitnya penyidik untuk mempertemukan kedua belah pihak baik pelaku yang mengakibatkan kerugian maupun korban yang yang dirugikan serta mengenai tempat penahanan dimana kepolisian daerah sulawesi utara belum memiliki rumah tahanan bagi anak sehingga menyulitkan penyidik dalam proses pemeriksaan.

Kata Kunci: Anak, Diversi ,Kepolisian

ABSTRACT

The purpose of this study is to provide an understanding of the process of implementing diversion directly in the field (North Sulawesi Regional Police) and to examine what are the obstacles in the process of implementing diversion. This study uses a juridical empirical research method. This method examines existing legal provisions and also looks for primary data in the form of information in the form of data and information about the problem to be studied to prove facts in the field, regarding data collection the author conducts interviews directly with the Head of PPA Reskrim at North Sulawesi Police with the aim of obtaining detailed information on what was being investigated. The results of the study show that the implementation of diversion is generally carried out in accordance with Law No.11 of 2012 concerning the Juvenile Justice system, which in the process of examining investigators is obliged to seek diversion as contained in Article 29 paragraph (1) of the Law on Juvenile Justice Systems and There is a sanction which regulates that if the investigator does not attempt diversion, the investigator will be subject to sanctions as stipulated in Article 96 of the Law, which is punishable by imprisonment of up to 2 (two) years or a maximum fine of Rp.200,000,000.00 (two hundred. million rupiah). Then in the implementation process there are still several things that are obstacles in the process of this diversion attempt, such as the difficulty of the investigator to bring together the two parties, both the perpetrator

who caused the loss and the victim who was harmed and regarding the place of detention where the North Sulawesi police do not yet have a detention center for children. thus making it difficult for investigators in the examination process.

Keywords: Child, Diversion,Police

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Anak memegang peran penting sebagai harapan bangsa yang berharga. Anak memegang kedudukan sebagai generasi yang kedepannya nanti merekalah yang akan memajukan bangsa ini. Pengetahuan serta berbagai implikasi penunjang sangat dibutuhkan dalam proses pertumbuhan anak,sehingga anak membutuhkan dorongan serta dukungan yang positif dari keluarga maupun lingkungan masyarakat disekitarnya. Peran serta dari orang tua menjadi tolak ukur utama bagaimana anak itu berperilaku dalam masyarakat karena dari keluargalah karakter serta sikap anak terbentuk untuk diaplikasikannya di lingkungan masyarakat. Penjelasan tersebut menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi anak menjadi indikator penting untuk kita junjung tinggi keberadaannya.

Menurut seorang S.Rahardjo bahwa “perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu Hak Asasi Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut”. Pelindungan hukum terhadap anak merupakan proses dan hasil dari pengembangan kebenaran, kesejahteraan serta keadilan terhadap anak dengan dasar filosofis dari pancasila kemudian diatur secara teknis didalam peraturan hukum dibawahnya.1 Pada dasarnya sebagai warga negara Indonesia kita telah mempunyai perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara. Keberadaan Anak yang masih dianggap sangat kecil dalam lingkungan bermasyarakat membuka peluang terjadinya kejahatan baik itu menjadi korban maupun pelaku tindak pidana.2 Perlindungan hukum wajib diberikan kepada anak yang sedang berkonflik dengan hukum agar kedepannya tidak terjadi diskriminasi dalam proses penanganannya.3 Berdasarkan uraian diatas maka untuk itulah sangat diperlukannya pelindungan hukum terhadap anak dengan tujuan tercapainya kesejahteraan hidup bagi anak.4

Kedewasaan seseorang merupakan tolak ukur apakah seseorang dikatakan sudah cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum.5 Secara yuridis, pengertian anak dapat ditemukan dalam kententuan “No. 39 Tahun 1999 tetang Hak Asasi

Manusia” yang menegaskan bahwa anak merupakan setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan yang belum menikah.6

Negara Indonesia sangat menjunjung tinggi hak-hak setiap warga negaranya yang dilindungi oleh hukum, hal ini ditegaskan dalam “Pasal 1” ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyebutkan : “ Indonesia adalah negara hukum”. Begitu juga dengan hak anak yang ada di Indonesia untuk itu sebagai bentuk perlindungan terhadap Hak Anak maka Negara meratifikasi konvensi hak atas anak dalam Keppres No. 36 Tahun 1990 sebagai upaya untuk menciptakan rasa aman bagi anak. Dengan melihat beberapa kejahatan yang terjadi sekarang ini maka pengaturan dalam konvensi hak anak sangat dibutuhkan.

Pengaturan terhadap perlindugan Anak di Indonesia sendiri di atur dalam beberapa hukum nasional yang berlaku di Indonesia yaitu diatur dalam Undang-undang “No. 12 Tahun 2014 tentang sistem peradilan anak” yang telah menggantikan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 dimana tujuannya semata-mata demi menjamin perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengn hukum (ABH). Juga dalam “Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.” Termaktub dalam “Pasal 1 ayat (3)” Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa anak yag berkonflik dengan hukum adalah anak yang sudah berumur 12 (dua belas) tahun namun belum mencapai 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.

Mengikuti kemajuan IPTEK sekarang ini memang tidak dapat menutup kemungkinan menjadi faktor paling berpegaruh pada proses tumbuh kembang anak sekarang ini dengan adanya perkembangan tersebut banyak hal-hal positif yang berguna dalam proses pembelajaran anak mulai dari luasnya jangkauan pengetahuan yang dapat diperoleh oleh anak dalam mengasah soft skill maupun hard skill mereka. Namun yang sangat disayangkan dengan lajunya perkembangan IPTEK tersebut malah memberi dampak buruk bagi pertumbuhan anak baik secara psikis maupun mental, salah satu contoh nyata yaitu penggunaan handphone untuk hal-hal yang berpengaruh buruk dalam masa pertumbuhan mereka salah satu contoh kasusnya yaitu anak yang masih di bawah umur sering menonton vidio-vidio yang berbau pornografi maupun kekerasan hal ini sangat berpengaruh pada perilaku dan kebiasaannya di lingkungan tempat anak itu bergaul. Kenyataan membuktikan bahwa anak juga bisa melakukan kejahatan bahkan kini tindak pidana yang dilakukan oleh anak kian meningkat setiap tahunnya dengan beragam jenis kejahatan berupa penganiayaan, pencurian, percabulan bahkan pembunuhan. Kualitas kejahatan anak saat ini dapat dikatakan sudah hampir sama dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Berdasarkan hasil studi di Polda Sulawesi Utara perkara pidana yang dilakukan oleh anak saat ini sedang marak salah satunya ialah persetubuhan.

Berdasarkan kasus tersebut maka sangat diperlukan perlindungan bagi anak yang dalam hal ini bukan dalam hal melindungi saja namun juga sekaligus membina anak ini agar tidak melakukan hal tersebut. Diversi menjadi langkah besar dalam

menangani hal tersebut. Diversi ialah sebuah bentuk tata cara pengalihan proses peyelesaian pekara anak dari proses formal ke proses di luar peadilan.7 Menurut N.Djamil dalam bukunya “Anak Bukan Untuk Dihukum ” Diversi adalah :

“Suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka atau terdakwa atau pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.”8

“Diversi” merupakan suatu bentuk putusan dengan tujuan untuk menghindarkan anak dari efek buruk proses peradilan formal yang sekarang ini sedang marak terjadi, misalnya labeling akibat hukuman penjara. Tujuan Diversi tersebut merupakan bentuk nyata dilapangan dari keadilan restoratif yang mengupayakan adanya pemulihan, bukan sekedar pembalasan kepada pelaku yang biasa digunakan dalam hukum pidana.9 Pada dasarnya tujuan akhir dari pemidanaan anak bukan untuk menghukum anak melainkan untuk dibina agar anak dapat tumbuh dan dapat diterima di lingkungan sosialnya.10

Dalam tahap Penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana manangani hal tersebut ialah Penyidik Anak, yang dimana penyidik anak ini ditunjuk oleh Kepala Kepolisian berdasarkan dsurat ketetapan. Merujuk pada apa yang disebutkan dalam “Pasal 29 ayat (1)” Undang-Undang Sistem perdilan pidana anak menyebutkan bahwa Penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan itu dimulai dan jika penyidik dalam proses pemeriksaan tidak mengupayakan adanya diversi maka penyidik akan dikenai sanksi seperti yang termaktub dalam “Pasal 96” Undang-Undang Sistem peradilan pidana anak bahwa ketika penyidik dalam proses pemeriksaan tidak mengupayakan adanya Diversi maka diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa perlindungan terhadap anak yang berkonflik di hadapan hukum menjadi suatu hal yang penting demi tumbuh kembang anak kedepannya nanti agar terhindar dari stigma negartif oleh masyarakat. Dari masalah inilah penulis tertarik untuk mengangkat mengenai pelaksanaan diversi tersebut dengan judul Pelaksanaan Diversi Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak Di Kepolisian Daerah Sulawesi Utara”. Sebelumnya terdapat 2 (dua) penelitian yang mengulas mengenai Proses diversi bagi anak yang melakukan tindak pidana yakni berjudul “Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Melalui Upaya Diversi”yang ditulis oleh Ida Ayu Tri

Astuti Purwasari dan “Upaya Diversi Dalam Proses Peradilan Anak” yang ditulis oleh Hidayatullah Ramadhan.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis pembahasan Kedua penelitian tersebut hanya menitikberatkan pada penjelasan secara umum mengenai upaya diversi beserta pengaturan diversi dilihat dari pengaturan dalam hukum yang berlaku sekarang ini di Indonesia. Fokus penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah lebih mengacu kepada proses pelaksanaan diversi secara langsung di kepolisian Daerah Sulawesi Utara serta penjelasan secara jelas mengenai peran penyidik polisi dalam proses pelaksanaan diversi.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan pembahasan diatas maka penulis menarik dua permasalahan, yaitu:

  • a.    Bagaimana proses pelaksanaan diversi bagi anak yang melakukan tindak pidana di kepolisian daerah sulawesi utara?

  • b.    Apa saja hambatan dalam proses pelaksanaan diversi bagi anak yang melakukan tindak pidana di kepolisian daerah sulawesi utara?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan jurnal ini yaitu untuk memahami proses pelaksanaan diversi secara langsung dilapangan (kepolisian daerah sulawesi utara) serta mengkaji apa saja yang menjadi hambatan dalam proses pelaksaan diversi

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian sangat diperlukan dalam hal mengumpulkan data dan informasi atas sesuatu yang hendak diteliti. Berpatokan dengan pembahasan yang diangkat oloeh penulis diikuti dengan permasalahan yang akan digali dalam penelitian ini, maka dengan demikian penelitian penulisan penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis empiris yang dimana metode ini mengkaji ketentuan hukum yang ada juga mencari keterangan dalam bentuk data maupun informasi mengenai masalah yang menjadi pembahasan atau permasalahan yang di angkat dalam penulisan ini dengan menggunakan metode pendekatan normative dimana metode ini berpatojan pada kajian terhadap literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan topik yang di angkat penulis dalam penulisan ini.

Jenis penelitian yuridis empiris menekankan pada pemberlakuan atau (bentuk nayata) dari ketentuan hkum normatif secara in action di tengah-tengah masyarakat, atau suatu penelitian terhadap keadaan sebenarnya yang terjadi dimasyarakat untuk mengetahui serta dapat memecahkan fakta dan data yang dibutuhkan dslam penelitian, setelah data diperoleh dilanjutkan dengan mengidentifikasikan masalah dan langkah terakhir yaitu proses penyelesaian masalah dari apa yang diangkat dalam penelitan. Data serta informasi terhadap penelitian ini diperoleh penulis melalui sumber studi kepustakaan(library research) dan penelitian langsung dilapangan (Field Research). Mengenai pengumpulan data penulis melakukan wawancara secara langsung kepada Kanit PPA Reskrim di Kepolisian Sulawesi Utara dengan tujuan mendapatkan informasi terperinci terhadap apa yang diteliti. Kemudian dengan Studi

kepustakaan untuk memperoleh data sekunder yang masih berkaitan dengan objek penelitian dengan penelitian ini. Dalam pengolahan data penulis mengolah data-data yang telah terkumpul lalu dianalisis kemudian data tersebut penulis sajikan dalam bentuk deskriptif kualitatif dan sistematis.11

  • 3. Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Proses pelaksanaan diversi Bagi Anak yang Melakukan tindak Pidana di Kepolisian Daerah Sulawesi Utara

Dalam hal Tindak pidana sendiri anak diperlakukan secara khusus sehingga berbeda dengan perlakuan terhadap orang dewasa dalam proses pidana.12 Berkaitan juga dengan pengenaan sanksi pidana bagi anak tentu berbeda dengan pengenaan sanksi terhadap orang yang sudah dewasa.13

Polisi memegang peran untuk mengayomi dan memeberikan perlindungan kepada masyarakat sehingga dalam proses ini polisi menjadi pihak yang menangani paling awal saat terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anak sehingga jalan yang ditempuh oleh anak ini adalah dengan pendekatan restorative justice, yaitu adanya proses perdamaian atau diversi.14 Berhubungan dengan prosedur pelaksanaan diversi yang diatur Undang-Undang Sistem Perdilan Pidana Anak, yang dalam hal ini merujuk pada Pasal 8 disini ditentukan bahwa proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak berserta orang tuanya masing-masing kemudian dihadiri juga oleh Balai pemasyarakatan setempat dan pekerja sosial.15

Pelaksanan Diversi di Kepolisian Daerah sulawesi Utara dilakukan sebagai berikut: (Berdasarkan Hasil wawancara bersama Ibu Kompol Elisabeth P. Geroda SH sebagai Kanit PPA DIT RESKRIM UMUM POLDA Sulawesi Utara). Kepolisian daerah sulawesi utara menerapkan adanya diversi yang merupakan kewajiban bagi penyidik dalam penanganannya sendiri berdasarkan data kasus tahun 2020 jumlah kasus tindak pidana oleh anak lebih sedikit jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena adanya pandemi sekarang ini, berdasarkan data yang diperoleh kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang paling banyak masuk adalah mengenai kasus persetubuhan dan kasus prostitusi online.

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara di tahun 2020 ini kasus yang berhasil diselesaikan dengan diversi terdapat 4 (empat) kasus yang terabagi menjadi 2 (dua) kasus persetubuhan dan 2 (dua) kasus prostitusi online. Ketika dalam proses mengupayakan diversi tersebut kemudian mendapatkan titik temu maka kemudian hasil dari kesepakatan kedua belah pihak tersebut dituangkan dalam suatu surat kesepakatan yang menyatakan bahwa kedua belah pihak telah menyetujui adanya proses damai atau Diversi yang kemudian ditandatangani olah para pihak.

Berdasarkan hasil kesepakatan Diversi tersebut maka akan diteruskan dalam sebagai laporan kepada atasan langsung di tingkat pemeriksaan kepolisian (yang dalam hal ini kanit PPA Polda, Polres, Polsek tempat diajukannya perkara tersebut) 3 (tiga) hari sejak adanya persetujuan diversi tersebut maka ketua Pengadilan Negeri akan mengeluarkan surat penetapan yang dimana surat tersebut harus dikeluarkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. Jika hasil penetapan tersebut telah dikeluarkan maka kemudian akan disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut dan Hakim. Setelah surat tersebut sampai pada penyidik polisi maka akan dikeluarkan surat penghentian penyidikan.16

Dalam proses peradilan anak kesepakatan deversi yang telah dibuat harus mendapatkan persetujuan dari korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya. Dalam hal ini biasanya ketika adanya persetujuan diversi dari keluarga korban maka keluarga korban akan mengajukan syarat contohnya dengan mengajukan ganti rugi kepada pelaku. Namun ketika upaya diversi tersebut tidak mendapatkan titik temu maka berkas kasus tersebut dibawah ke kejaksaan dengan keterangan bahwa telah diupayakannya diversi namun tidak mendapatkan titik temu, maka dalam hal ini kasus tersebut diteruskan ke tingkat kejaksaan dan mengikuti proses peradilan secara formal di pengadilan.

  • 3.2    Hambatan Dalam Pelaksanaan Proses Diversi Bagi Anak yang Melakukan tindak Pidana di Kepolisian Daerah Sulawesi Utara

(Berdasarkan Hasil wawancara bersama Ibu Kompol Elisabeth P. Geroda SH sebagai Kanit PPA DIT RESKRIM UMUM POLDA Sulawesi Utara) dari keterangan yang diberikan dalam penyelesaian tindak pidana anak melalui diversi penyidik menemui beberapa faktor yang menjadi penghambat yakni :

  • 1.    Hambatan dari Para Pihak

Hambatan yang biasa di hadapi dalam proses penanganan yaitu ketika upaya diversi yang telah beberapa kali diupayakan antara kedua belah pihak baik terlapor maupun pelapor belum bisa dipertemukan atau salah satu pihak tidak dapat menghadiri atau tidak mengindahkan adanya diversi tersebut sehingga hal ini menghambat proses diversi, karena pada saat pihak kepolisian menahan pelaku yang dalam penulisan ini adalah anak. Pada umunya keluarga korbanlah yang sering tidak mengindahkan adanya upaya diversi tersbut karena menurut mereka pelaku harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Sehingga hal inilah yang menyulitkan penyidik dalam melakukan proses diversi terhadap kasus anak karena besarnya pengaruh keluarga korban yang menentang adanya proses diversi atau proses perdamaian.

  • 2.    Belum memadainya fasilitas

Belum memadainya fasilitas menjadi salah satu alasan terhambatnya proses diversi yaitu di kepolisian Daerah Sulawesi Utara Sendiri belum mempunyai rumah anak atau tahanan anak sehingga menyulitkan dalam proses pelaksanaan diversi, melihat juga jangka waktu penahanannya hanya 7 (tujuh) hari kemudian perpanjangan 8 (delapan) hari. Hambatan terjadi ketika misalnya kasus tersebut terjadi diluar daerah sehinggah dalam masa penahanan 7 (tujuh) hari itu pihak kepolisian sendiri mengalami masalah atau hambatan dalam proses penanganannya sehinggah ditiadakannya proses penahanan.

Berdarkan hasil uraian faktor-faktor penghambat di atas maka dapat dikatakan bahwa faktor yang paling berpengaruh sehingga pelaksanakan diversi selalu terhambat yaitu hambatan yang datang dari para pihak, karena pada dasarnya diversi ini merupakan suatu upaya damai sedangkan jika kita melihat kembali pada kenyataannya terutama bagi anggota keluarga korban dari suatu kejahatan memang tidak mudah menerima upaya diversi ini karena tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga korban menginginkan bahwa pelaku harus menerima hukuman dari kejahatan yang telah dia perbuat.

  • 4.    Kesimpulan

Penerapan Diversi di Kepolisian Daerah Sulawesi Utara dilaksanakan dengan melibatkan kedua belah pihak baik pelapor maupun terlapor yang dalam hal ini merupakan pelaku, orang tua kedua belah pihak, kemudian dari lapas (lembaga pemasyarakatan) dan dari pekerja sosial. Bawah pada dasarnya pelaksanaan diversi pada umumnya dilaksanakan sesuai dengan “Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang sistem perdilan Anak” bahwa dalam proses pemeriksaan penyidik wajib mengupayakan adanya diversi seperti yang termaktub dalam pasal “29 ayat (1)” Undang-Undang tentang Sitem Peradilan Anak dan terdapat sanksi yang mengatur apabila penyidik tidak mengupayakan adanya diversi maka penyidik akan dikenakan sanksi seperti yang termaktub dalam “pasal 96” Undang Undang tersebut.

Kemudian dalam proses pelaksaannnya masih ada beberapa hal yang menghambat dalam proses upaya diversi ini yaitu seperti sulitnya penyidik untuk mempetemukan kedua belah pihak baik pelaku maupun korban serta mengenai tempat penahanan dimana kepolisian daerah sulawesi utara belum memiliki rumah tahanan bagi anak sehingga menyulitkan penyidik dalam proses pemeriksaan maka dari itu pihak kepolisian sendiri meniadakan proses penahanan terhadap pelaku.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hamzah,A. (2016). Hukum Acara Pidana Indonesia,Jakarta : Sinar Grafika.

M.Nasir Djamil. (2013). Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta : Sinar Grafika.

R. Wiyono. (2016). Sistem Peradilan Pidana Anak,Yogyakarta : Sinar Grafika.

Jurnal Ilmiah

Adhyaksa, Satya Gita, and I. Gusti Ngurah Dharma Laksana. "Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pengemudi Transportasi Online Sebagai Kurir Narkotika." Jurnal Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana 8, No.4 (2019): 1-18.

Anggara, Gede Nyoman Gigih, and Made Subawa. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum: 1-14.

Bismantara, I. Putu Gede Titan, and I. Dewa Gede Dana Sugama. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 9, no. 6: 1-10.

Hirdayadi, Israr, and Hera Susanti. "Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Dan Tinjauannya Menurut Hukum Islam." LEGITIMASI: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Islam 6, no. 2 (2018).: 177-196

Liemena, Putu Tania, and I. Dewa Gede Dana Sugama. "Analisis Konsep Penyelesaian Diversi Dalam Peradilan Anak Menggunakan Restorative Justice (Studi Kasus Di Bapas Klas 1 Denpasar)." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 5: 1-17.

Mahayanti, Ni Made Ayu Dewi, and Putu Tuni Cakabawa Landra. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pelecehan Seksual." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 2 (2019): 1-17.

Putra, I. Gede Adi Pratama, and I. Gede Yusa. "Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme Perspektif Perundang-Undangan." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 9, no. 6: 1-12.

Pradana, I. Gusti Ngurah Yudha Adi, I. Gede Artha, and I. Ketut Sudjana. "Pelaksanaan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Di Kepolisian Resor Gianyar." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 7, No.4 (2018): 1-14.

Purwasari, Ida Ayu Tri Astuti, and I. Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti.“Perlindungan Terhadap Anak sebagai pelaku tindak pidana melalui upaya diversi.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 7, No.3 (2018): 1-10.

Riadi, Selamet. "Peran Penyidik Polri Dalam Penerapan Diversi Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (Studi di PPA Polres Lobar)." Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan 4, no. 2 (2016).

Setyaningrum, Anita Indah, and Umar Ma’ruf. "Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Perkara Pidana Anak Melalui Pendekatan Restorative Justice Oleh Penyidik Polda Jawa Tengah." Jurnal Hukum Khaira Ummah 12, no. 4 (2017): 975-980.

Sihotang, Tia Monica, and AA Ngurah Yudistira Darmadi. "Kedudukan Hukum Anak Dalam Upaya Diversi Terkait Tindak Pidana Narkotika." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 9, no. 6: 1-10.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3886)

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.4 Tahun 2021, hlm.287-296.