EFEKTIVITAS JALUR LITIGASI DAN JALUR NON

LITIGASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
BATAS LAUT INDONESIA BERDASARKAN UNCLOS

1982

I Gusti Ayu Kade Harry Adhisukmawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Made Maharta Yasa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

DOI : KW.2020.v09.i12.p07

ABSTRAK

Pada penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan membahas faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa batas laut Indonesia serta efektivitas penyelesaian sengketa batas laut melalui ITLOS. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilakukan melalui pendekatan terhadap perundang-undangan serta pendekatan terhadap kasus. Suatu perselisihan atau sengketa batas antara negara-negara, pulau-pulau, serta laut merupakan suatu sengketa yang dapat diselesaikan melalui peranan hukum internasional oleh pengadilan internasional. Sengketa terkait batas laut masih sering terjadi, misalnya sengketa di Selat Malaka antara Malaysia dan Indonesia, sengketa di wilayah Laut Natuna antara Indonesia dan Vietnam, sengketa batas laut ZEE (Zone Ekonomi Eksklusif), Sengketa di Laut Cina Selatan, dan sengketa batas laut lainnya. Adanya konflik dalam suatu hubungan antarnegara diakibatkan karena adanya klaim secara sepihak. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan belum selesainya negosiasi antarnegara, salah satu pihak (negara) melakukan pelanggaran, tidak jelasnya batas laut, dan lain-lain. UNCLOS 1982 merupakan Konvensi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan ruang lingkup internasional yang dapat diterapkan serta hanya berlaku bagi negara yang sudah meratifikasinya. Ada dua jalur dalam menyelesaikan sengketa batas laut yaitu melalui jalur litigasi dan melalui jalur non-litigasi, ITLOS menjadi solusi terakhir dari jalur litigasi dalam penyelesaian sengketa batas laut. Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi lebih efektif untuk dilaksanakan daripada penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi dalam menyelesaikan sengketa batas laut di Indonesia.

Kata Kunci: Penyelesaian Sengketa, Sengketa Batas Laut, UNCLOS 1982

ABSTRACT

This study aims to examine and discuss the factors that cause Indonesian maritime boundary disputes and the effectiveness of maritime boundary dispute resolution through ITLOS. The author uses normative legal research methods carried out through an approach to legislation and an approach to cases. A dispute or border dispute between countries, islands, and the sea is a dispute that can be resolved through the role of international law by an international court. Disputes related to maritime boundaries are still frequent, for example disputes in the Malacca Strait between Malaysia and Indonesia, disputes in the Natuna Sea area between Indonesia and Vietnam, disputes over the sea boundaries of the EEZ (Exclusive Economic Zone), disputes in the South China Sea, and other maritime boundary disputes. The existence of conflict in a relationship between countries is caused by a claim unilaterally. This can occur due to the incomplete negotiation between countries, one party (state) committing violations, unclear sea boundaries, and others. UNCLOS 1982 is a Convention from the United Nations with an international scope that can be applied and only applies to countries that have ratified it. There are two routes in resolving maritime boundary disputes, namely through the litigation route and through the non-litigation route, ITLOS is

the final solution for the litigation route in resolving maritime boundary disputes. Dispute resolution through litigation is more effective than dispute resolution through non-litigation in resolving maritime boundary disputes in Indonesia.

Key Words: Settlement of Disputes, Sea Border Disputes, UNCLOS 1982

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara yang berbentuk kepulauan dengan mempunyai berbagai ragam kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam. Sumber daya alam yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tidak hanya dapat dijumpai di daratan saja, namun ada pula yang terdapat di perairan laut teritorial yang sangat luas dan besar. Indonesia mempunyai 17.499 pulau dengan perairan laut teritorialnya yang mencapai 5,8 juta km2, serta panjang garis pantai sepanjang 81.900 km.1 Indonesia hanya mempunyai tiga perbatasan wilayah darat, mempunyai dua pertiga wilayah laut dan sisanya merupakan perbatasan wilayah laut. Negara Kesatuan Republik Indonesia ini mempunyai sepuluh perbatasan wilayah laut yang termasuk ke dalam sepuluh negara yang terdiri dari Malaysia, Singapura, Timor Leste, Australia, Papua Nugini, Vietnam, Thailand, Filipina, Palau, dan India. Selain itu, Indonesia juga mempunyai wilayah daratan dengan panjang perbatasan darat sepanjang 2914.1 km. yang secara keseluruhan berbatasan dengan tiga negara yakni Timor Leste, Malaysia, serta Papua Nugini.

Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933, penduduk yang permanen, wilayah tertentu, suatu pemerintahan, serta kemampuan untuk berhubungan dengan negara-negara lain merupakan syarat-syarat atau unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk menerapkan istilah “negara” pada kesatuan tersebut. Untuk menunjukkan supremasi negara yang memerlukan suatu wilayah, penting diterapkannya suatu konsep serta kedaulatan oleh suatu negara tersebut. Untuk mempertahankan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari daratan serta perairan laut teritorial, Negara harus dapat mengamankan wilayah berdasarkan UUD 1945.2 Dari hal tersebut, untuk menjaga integritas negara, kedaulatan, serta untuk melindungi wilayah paling luar dari negara Indonesia yang langsung berbatasan dengan negara tetangga, maka diperlukan suatu sistem manajemen di wilayah perbatasan darat maupun laut, sehingga wilayah perbatasan Indonesia dapat terorganisir dengan baik serta sistem manajemen yang professional dapat direalisasikan dengan baik.

Batas laut teritorial, batas landas kontinen, batas air, dan batas zona tambahan merupakan wilayah perbatasan laut antara Indonesia dengan negara-negara tetangga Indonesia. Laut teritorial yakni jalur laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal Kepulauan Indonesia. Zona tambahan yakni zona sampai dengan 24 mil laut yang diukur dari garis pangkal di mana laut teritorial diukur. Zona Ekonomi Eksklusif yakni suatu wilayah di luar serta berbatasan dengan laut teritorial Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur tentang perairan Indonesia dengan batas luar 200 mil laut dari garis pangkal pengukuran perairan teritorial. Landas kontinen terdiri atas dasar samudra serta lapisan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan Laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang perpanjangan alami wilayah daratan hingga batas luar benua atau sampai dengan 200 mil laut dari garis pangkal di mana laut teritorial diukur; dalam hal batas luar benua tidak mencapai jarak tersebut atau maksimum 350 mil laut atau sampai 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2.500 meter.3

Suatu negara yang hidup berbatasan atau bedekatan langsung dengan negara lain sering menimbulkan suatu perselisihan atau sengketa terkait batas darat maupun batas laut misalnya penyelundupan, ekstraksi sumber daya alam, terorisme, penangkapan ikan secara illegal, serta tertangkapnya nelayan dari negara lain yang melanggar perbatasan wilayah laut dari negara lain. Kedaulatan, pertahanan nasional, serta keamanan nasional merupakan beberapa hal penting dalam hal perbatasan suatu wilayah karena perbatasan adalah suatu batas wilayah yang mempunyai suatu pengaruh terhadap pertahanan dari suatu negara. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 77 ayat 1 UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) bahwa terkait dalam batas teritorial, negara mempunyai hak berdaulat seperti melakukan eksplorasi serta pemanfaatan sumber daya alam baik di batas landas kontinen, Zona Ekonomi Eksklusif, maupun zona tambahan.

Semakin pesat dan majunya perkembangan dari teknologi kelautan, seperti digunakannya teknologi modern dalam memancing, digunakannya teknologi dalam penambangan tanah terdasar dan dasar laut, dan teknologi kelautan yang lainnya yang membuat negara bersaing dan saling mengklaim untuk mengeksploitasi sumber daya alam dalam laut.4 Adanya klaim tersebut yang mengakibatkan munculnya sengketa batas wilayah laut dikarenakan negara-negara di dunia mengklaim secara sepihak wilayah laut tersebut. Dari hal tersebutlah yang menghasilkan pandangan bahwa hukum laut internasional yang mengatur mengenai sengketa terkait batas wilayah laut antarnegara kurang jelas. Maka dari itu, lahirlah Konvensi Hukum Laut yang membahas tentang Hukum Laut pada tahun 1960 dan pada tahun 1978 yang dibentuk oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Dikarenakan sebelumnya ditemukan adanya ketidakpastian serta permasalahan terkait hukum laut, membuat terbentuknya dasar bagi diadakannya Konvensi PBB yang ketiga pada tahun 1982 yang melahirkan UNCLOS 1982 yaitu Konvensi tentang Hukum Laut yang dibentuk oleh PBB yang telah ditandatangani pada 10 Desember 1982. Muncul batas perairan baru di dalam konvensi ini yakni Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Indonesia sudah mulai membahas berbagai permasalahan terkait sengketa maritim dan penyelesaian sengketa tersebut. Terdapat dua jalur untuk menyelesaikan sengketa tersebut yaitu melalui jalur litigasi serta jalur non-litigasi. Indonesia telah meratifikasi dan tunduk terhadap UNCLOS 1982 dalam Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia Nomor 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982.5 UNCLOS

1982 mengatur mengenai hukum laut internasional terkait perbedaan dalam demarkasi pada negara-negara yang mempunyai pulau-pulau serta pantai. Suatu negara memiliki wilayah batas laut teritorial sejauh 12 mil laut, zona tambahan sejauh 24 mil laut, dan zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal pengukuran perairan teritorial. Titik-titik terluar suatu negara atau garis-garis yang menghubungkan pulau-pulau terluar dengan titik-titik yang ditarik secara tegak lurus adalah perbatasan negara bagian wilayah daratan. Sedangkan garis paralel antara kurva pantai yang diukur dari jarak dalam mengukur garis pantai ketika air pantai sedang surut adalah perbatasan negara bagian pantai.

Berbagai macam sengketa yang mengancam disintegrasi suatu Negara masih sering terjadi di suatu wilayah perbatasan, seperti sengketa antara Malaysia dengan Indonesia di Selat Malaka, sengketa terkait pengklaiman batas Laut Natuna antara Vietnam dengan Indonesia, sengketa di Laut Cina Selatan, dan sebagainya. Berbagai macam sengketa tersebut dapat terjadi dikarenakan pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap pengawasan di wilayah perbatasan yang menyebabkan negara lain yang berada di sekitar wilayah negara yang sedang bersengketa juga merasakan maupun mengalami dampak yang ditimbulkan dari adanya sengketa tersebut.

Terdapat cara-cara penyelesaian dan pengaturannya apabila di wilayah batas laut, wilayah batas landas kontinen, serta Zona Ekonomi Eksklusif terjadi suatu sengketa, dan sebagainya dalam UNCLOS 1982. Apabila terdapat pendapat terkait interpretasi terhadap UNCLOS yang berbeda antarnegara, penyelesaian sengketa tersebut dapat diserahkan ke ruang pengadilan internasional khusus untuk hukum laut sesuai dengan permintaan atau kesepakatan para pihak yang bersengketa untuk dibentuk sesuai dengan Pasal 15 dan Pasal 17 pada lampiran VI, atau dapat pula diajukan sesuai dengan permintaan dari salah satu pihak yang bersengketa. Hal tersebut sesuai dengan pasal 187 UNCLOS. Pihak-pihak yang bersengketa ke ruang ad-hoc, sengketa dasar laut yang akan ditetapkan adalah sesuai dengan Pasal 36 pada lampiran VI. Penyelesaian sengketa diatur di dalam Bab XV UNCLOS. Dalam penyelesaian suatu sengketa diperlukan untuk dilakukan dengan cara damai, tanpa kekerasan. Hal tersebut sesuai dengan pasal 279 UNCLOS. 6 Kendatipun, 160 negara di dunia telah mengakui UNCLOS 1982 dan 1 organisasi internasional yaitu European Community pula telah mengakui UNCLOS 1982, masih terdapat klaim yang berbeda antarnegara terkait garis pangkal yang digunakan oleh masing-masing negara. Hal tersebut menyebabkan masih terjadinya sengketa-sengketa terkait batas-batas laut antara negara-negara anggota. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UNCLOS 1982 harus dipatuhi oleh negara-negara tersebut, walaupun secara umum telah ditentukan perjanjian perbatasan laut antarnegara dengan cara negosiasi ataupun dengan cara negosiasi secara bilateral.7 Jika dengan cara negosiasi maupun dengan cara negosiasi secara bilateral sengketa batas laut tersebut tidak dapat diselesaikan, penyelesaian

sengketa batas laut tersebut dapat diselesaikan dengan cara sengketa tersebut diajukan melalui proses pengadilan ke pengadilan internasional (ITLOS).

Karya tulis ilmiah ini merupakan ide maupun hasil pemikiran yang murni ditulis oleh penulis. Berdasarkan pengamatan penulis, belum ditemukan karya tulis ilmiah atau tulisan yang membahas mengenai efektivitas jalur litigasi dan jalur non-litigasi dalam penyelesaian sengketa batas laut Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982. Kendati demikian, ada beberapa karya tulis ilmiah yang mempunyai konsep yang mirip namun fokus penulisannya berbeda. Adapun karya tulis ilmiah lain yang memiliki kemiripan dengan karya tulis ilmiah ini yaitu, karya tulis yang berjudul Peradilan Internasional dan Diplomasi Sengketa Lingkungan Hidup Maritim oleh Andreas Pramudito tahun 2017 yang memiliki keterkaitan dengan karya tulis ilmiah ini yakni dalam hal penyelesaian sengketa laut atau maritim dengan mendeskripsikan kasus lingkungan hidup maritim melalui jalur diplomasi dan peradilan internasional. 8 Karya tulis ilmiah tersebut mempunyai hasil analisis serta tujuan yang berbeda dengan karya tulis ilmiah ini, sehingga penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dan menganalisa secara lebih spesifik pada karya tulis ilmiah ini dengan judul Efektivitas Jalur Litigasi dan Jalur Non-Litigasi dalam Penyelesaian Sengketa Batas Laut Indonesia Berdasarkan UNCLOS 1982.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang masalah diatas, penulis menemukan beberapa permasalahan yang akan dibahas pada karya tulis ilmiah ini, yakni:

  • 1.    Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa batas laut Indonesia?

  • 2.    Bagaimanakah efektivitas penyelesaian sengketa batas laut melalui ITLOS?

  • 1.3.    Tujuan

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dari penulisan karya tulis ilmiah ini, yakni:

  • 1.    Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa batas laut Indonesia.

  • 2.    Untuk mengetahui efektivitas penyelesaian sengketa batas laut melalui ITLOS.

  • II.    Metode Penelitian

Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilakukan melalui pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan serta pendekatan terhadap kasus. Adapun yang menjadi latar belakang penulis untuk memilih metode penelitian normatif pada karya tulis ilmiah ini, karena masih ditemukan kekosongan hukum terkait penyelesaian sengketa batas laut Indonesia. Pada penelitian ini memiliki kaitan dengan kepustakaan karena penelitian hukum normatif ini memerlukan bahan hukum primer yakni UNCLOS 1982 (Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) dan Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, serta bahan hukum sekunder yaitu buku, publikasi jurnal yang berkaitan dengan hukum laut internasional baik nasional maupun internasional, dan artikel hukum lainnya sesuai dengan penelitian ini.9 Digunakan studi pustaka serta dokumen dalam teknik pengumpulan bahan hukum yang yang diperlukan untuk menulis karya tulis ilmiah ini. Selanjutnya bahan-bahan hukum tersebut dianalisis dengan mengidentifikasi fakta, interpretasi, serta penalaran hukum secara logis, yuridis, serta sistematis.10

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1.    Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa Batas Laut Indonesia.

Sengketa mengenai batas laut di suatu negara kepulauan terutama yang menyinggung tentang hak kedaulatan suatu Negara bukanlah suatu hal baru, seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mempunyai wilayah yang berbatasan dengan wilayah laut dan wilayah daratan negara lain. Lautan Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman alam berupa fauna dan flora yang berlimpah serta terdapat gas alam yang merupakan sumber daya energi. Laut juga dapat digunakan sebagai rute atau jalur perdagangan dengan ruang lingkup internasional, salah satu contohnya yaitu Laut Cina Selatan di Asia Tenggara yang digunakan sebagai jalur pelayaran untuk mobilitas orang antarnegara maupun untuk perdagangan.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa batas laut Indonesia yakni:11

  • a.    Adanya pengklaiman perairan territorial oleh tiap-tiap negara yang dianggap sebagai wilayah territorialnya.

  • b.    Tidak adanya kepastian atau kejelasan mengenai batas negara antar negara, terutama yang menyangkut wilayah laut.

  • c.    Tidak adanya kejelasan pada kesepakatan antarnegara yang saling mengklaim terkait batas-batas wilayah negara mereka masing-masing.

  • d.    Di wilayah laut yang disengketakan tersebut terdapat sumber daya alam yang beranekaragam.

Adapula faktor penyebab lain selain beberapa faktor yang telah dipaparkan di atas, diantaranya:

  • a.    Dilanggarnya hukum maupun perjanjian internasional oleh salah satu negara.

  • b.    Adanya kesengajaan melakukan pelanggaran terhadap hak maupun kepentingan dari negara lain oleh suatu negara.

  • c.    Antara negara yang bersengketa, terjadi kesalahpahaman.

Sesuai dengan Lampiran VII Pasal 296 ayat (1) UNCLOS menyatakan bahwasanya setiap keputusan yang dibuat oleh pengadilan pada umumnya atau pengadilan khusus yang mempunyai yurisdiksi berdasarkan Bagian XV, Bagian 2 UNCLOS akan bersifat final dan mengikat diikuti oleh semua pihak yang bersengketa. Selanjutnya, berdasarkan pasal 296 ayat (2) UNCLOS menyatakan bahwa masing-masing keputusan ini tidak mempunyai kekuatan yang mengikat kecuali antara para pihak dan para pihak yang menghormati sengketa tertentu. Pada pasal tersebut berlaku untuk keputusan bagi semua sengketa, badan penyelesaian mempunyai yurisdiksi berdasarkan bagian 2. 12

Pada UNCLOS bagian XV pula menjelaskan bahwa ada dua jenis solusi yaitu melalui jalur litigasi atau melalui jalur non-litigasi, yang keduanya dapat digunakan sesuai dengan kesepakatan dari pihak atau negara yang bersengketa.

  • a.    Jalur Litigasi

  • 1.    Pengadilan Internasional ( Mahkamah Internasional/International Court of Justice)

Sengketa antar negara atau sengketa internasional dapat diselesaikan di bawah badan peradilan internasional yakni Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang berbasis di Den Haag, Belanda yang merupakan salah satu organ dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mahkamah Internasional mempunyai yurisdiksi subyek umum, terutama terkait Hukum Laut Internasional yakni memutuskan masalah kedaulatan maritim berdasarkan UNCLOS 1982 pada Pasal 287 serta pada Pasal 288, serta pada tidak terbatasnya masalah hukum kelautan. Mahkamah Internasional menyelesaikan suatu sengketa berdasarkan hukum internasional yang berlaku, berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh negara-negara yang beradab, serta hukum kebiasaan internasional. Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional dinyatakan bahwa pihak yang berhak mengajukan kasus perelisihannya atau sengketa ke Mahkamah Internasional adalah hanya Negara. Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa kasus-kasus yang dapat diajukan ke Mahkamah Internasional merupakan kasus-kasus yang bukan atas permintaan individu, perusahaan, organisasi nonpemerintah, ataupun yang lainnya.

Berdasarkan Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional bahwa keputusan Mahkamah Internasional bersifat mengikat para pihak yang bersengketa dan hanya berhubungan dengan perjara khusus itu saja. Mahkamah Internasional mempunyai yurisdiksi yang terdiri dari dua jenis kasus yaitu, mengeluarkan pendapat bersifat tidak mengikat yang memberikan alasan ataupun jawaban hukum dari penasihat sesuai dengan pertanyaan yang diajukan dalam ruang lingkup hukum internasional, serta kasus bersifat kontroversial dengan keputusan bersifat mengikat para pihak serta sebelumnya telah setuju untuk tunduk kepada keputusan pengadilan tersebut.13

Sengketa antara Malaysia dengan Indonesia yakni sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002 merupakan sengketa yang telah terjadi di Indonesia dan sengketa tersebut telah diputuskan oleh Mahkamah Internasional. Hasil putusannya yaitu bahwa Pulau Sipadan serta Ligitan telah masuk ke dalam wilayah kedaulatan Malaysia setelah kasus tersebut telah terdaftar di Mahkamah Internasional selama 5 (lima) tahun. 14 Berdasarkan Paragraf 135 International Court of Justice Reports of Judgments, Advisory Opinions and Orders Case Concerning Sovereignty Over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan, 17 December 2002 bahwa diterapkan prinsip efektivitas oleh Pengadilan Internasional dalam memutuskan kedaulatan atas kedua pulau tersebut.

Sinagoge Inggris serta penjanjah Malaysia telah dipastikan untuk menerapkan prinsip efektevitas terhadap sengketa tersebut oleh Pengadilan Internasional. Hal tersebut telah terbukti dari adanya penegakan serta penerapan aturan yang memiliki kaitan dengan pembentukan suatu cagar alam untuk perlindungan terhadap burung, pengumpulan telur penyu yang setelah kemerdekaan dilanjutkan oleh Malaysia, serta di pulau tersebut dilaksanakan pembangunan mercusuar yang dianggap cukup untuk mendukung peklaiman Malaysia terhadap kedua pulau tersebut oleh Inggris. Adapun putusan-putusan tentang hukum laut dari Mahkamah Internasional sejak tahun 1994 diantaranya:15

  • a)    Tahun 1998, antara Spanyol dengan Kanada mengenai Yurisdiksi Perikanan.

  • b)    Tahun 2001, antara Qatar dengan Bahrain mengenai Delimitasi Maritim dan Pertanyaan Regional.

  • c)    Tahun 2002, antara Kamerun dengan Nigeria mengenai Intervensi Guinea Ekuatorial-Batas Darat dan Maritim.

  • d)    Tahun 2007, antara Nikaragua dengan Honduras mengenai Sengketa Wilayah dan Maritim di Laut Karibia.

  • e)    Tahun 2009, antara Romania dengan Ukraina mengenai Pembatasan Maritim di Laut Hitam.

  • f) Tahun 2012, antara Nikaragua dengan Kolombia mengenai Sengketa

Regional dan Maritim.

  • g)    Tahun 2014, antara Australia dengan Jepang mengenai Perburuan paus di Antartika-Intervensi Selandia Baru.

  • h)    Tahun 2014, antara Peru dengan Chile mengenai Sengketa Maritim.

  • 2.    Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut/Mahkamah Laut Internasional (ITLOS/International Tribunal Law of the Sea)

Suatu sengketa maritim internasional dapat diselesaikan melalui ITLOS yang berbasis di Humburg, Jerman. ITLOS didirikan berdasar pada UNCLOS (United Nations on the Law of the Sea) tahun 1982 yang terdiri dari 21 Hakim serta sejak

tahun 1997 sudah mulai menangani berbagai macam kasus terkait hukum laut. Yurisdiksi ITLOS terdiri atas seluruh sengketa serta seluruh aplikasi yang diajukan ke ITLOS merupakan hal-hal yang berkaitan dengan interpretasi ataupun penerapan dari konvensi, tergantung pada ketentuan bagian 297 serta deklarasi yang dibentuk berdasarkan Pasal 289 UNCLOS 1982.

Tetapi berdasarkan pada Pasal 297 serta pada Pasal 298 UNCLOS 1982 bahwa tidak mencegah para pihak yang setuju untuk mengajukan sengketa peradilan sesuai yang dinyatakan dalam UNCLOS 1982. Selain itu, ITLOS mempunyai hak memberikan pendapat atau saran kepada Dewan atau Majelis Otoritas Dasar Laut Internasional terkait pernyataan hukum yang timbul terhadap ruang sengketa dasar laut. Berdasarkan pada Pasal 138 Peraturan ITLOS bahwa Pengadilan juga memberikan pendapat penasihat tentang pertanyaan hukum jika ini diberikan oleh lembaga internasional terkait dengan tujuan konvensi.

Terdapat 29 kasus telah terdaftar hingga tahun 2020 ini. Diantara 29 kasus, terdapat dua kasus terkait sengketa penentuan batas laut yakni Case No. 16, ITLOS (14 Desember 2009 - 14 Maret 2012) yang merupakan sengketa tentang penetapan batas laut di Teluk Bengal, antara Myanmar dan Bangladesh, serta Case No. 23, ITLOS (3 Desember 2014 - 23 September 2017) yang merupakan sengketa tentang Batas Maritim di Samudra Atlantik, antara Ghana dan Côted 'Gading. Jadi, posisi ITLOS belum sesuai harapan dalam penyelesaian kasus sengketa batas laut. 16

  • b.    Jalur Non-Litigasi

    1.    Negosiasi

Salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa secara damai yang penting untuk dilakukan jika timbul ataupun terjadinya suatu sengketa antarnegara dengan dipertemukannya para wakil diplomatik ataupun lembaga pemerintah yang dalam suatu perundingan tersebut mempunyai suatu kepentingan yakni melalui negosiasi.17 Negosiasi ini digunakan untuk menyelesaikan sengketa bilateral atau sengketa multilateral terkait sengketa batas laut ataupun mengenai sengketa lain-lain. Penyelesaian dengan cara ini paling sering digunakan negara-negara bersengketa serta terlepas dari apakah nantinya negosiasi tersebut akan macet atau tidak serta apakah mempunyai keuntungan yang besar bagi pihak-pihak yang sedang bersengketa. Semua hal melewati negosiasi tidak disebut pihak ketiga. Persyaratan, waktu perjanjian, serta cara-cara perjanjian dipersiapkan dan selanjutnya diserahkan kepada para pihak bersengketa. Selain itu, para pihak juga bebas untuk memilih serta membentuk suatu negosiasi seperti yang diinginkan para pihak serta akan dilakukan tanpa adanya pemaksaan kepada para pihak.

Para pihak bersengketa lebih banyak memilih menyelesaikan sengketa dengan cara negosiasi dibandingkan melalui jalur litigasi karena mereka percaya bahwa risiko besar akan selalu timbul jika mereka menyelesaikan sengketanya melalui jalur litigasi, hukum yang tersedia memiliki ruang lingkup yang relatif terbatas dibandingkan dengan adanya kesempatan terbukanya untuk melakukan negosiasi yang lebih mudah untuk dijangkau adanya suatu kesepakatan terkait keputusan tentang batas laut suatu negara tersebut.

Negosiasi dapat mengalami kegagalan, jika ditolaknya untuk melaksanakan suatu perundingan atau pertemuan dalam satu meja oleh negara yang bersengketa. Kegagalan melalui negosiasi ini bisa menimbulkan resiko yang sangat besar karena biasanya tidak melibatkan pihak ketiga, hanya melibatkan negara-negara bersengketa.18

Indonesia dengan Australia juga telah melaksanakan negosiasi seperti yang telah diatur dalam Perjanjian Perth 1997 terkait penentuan kembali perbatasan negara di Laut Timur terpanjang karena pada awal tahun 2018, Australia dan Timor Leste telah menyetujui perjanjian perbatasan maritim melalui komisi konsiliasi antara Australia dan Timor Timur yang dilakukan di New York, Amerika Serikat berdasarkan mekanisme dalam UNCLOS 1982. Timor Leste masih menjadi bagian dari Negara Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan Perjanjian Perth 1997 tersebut. Namun sejak tahun 2002, Timor Leste memilih untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia serta mempunyai klaim laut sendiri.19

Adanya renegosiasi antara Australia dan Indonesia dapat mengganggu kerjasama antara Australia dengan Indonesia yang sudah berlangsung lama, sehingga renegosiasi tersebut perlu dilaksanakan dengan hati-hati. Tetapi, untuk kelanjutannya belum membuahkan hasil dari dilaksanakan negosiasi ini. Lain halnya dengan negosiasi yang sudah selesai dilaksanakan antara Indonesia dengan Filipina terkait batas laut maritim. Laporan dari laman kemlu.go.id pada 23 September 2019, diskusi tentang ratifikasi batas ZEE antara Indonesia dan Filipina telah selesai dilaksanakan, selanjutnya dilaksanakan instrumen ratifikasi dipertukarkan yang dilaksanakan di Jakarta oleh menteri luar negeri Indonesia dan Filipina pada Agustus 2019.20

  • 2.    Mediasi

Mediasi dapat dilakukan jika negosiasi mengalami kegagalan. Berdasarkan Pasal 33 Piagam PBB menjelaskan bahwa mediasi adalah salah satu cara alternatif penyelesaian sengketa internasional dengan menghadirkan pihak ketiga yang tidak berpihak pada salah satu pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut disebut sebagai mediator yang biasanya bertindak lebih aktif dengan menawarkan ataupun mengajukan proposal kepada para pihak yang bersengketa. Dihadirkannya mediator di dalam mediasi ini tergantung dari kemauan para pihak bersengketa melalui suatu persetujuan. Mediasi masih jarang digunakan dalam penyelesaian sengketa tentang penerapan batas negara lain. Seperti halnya dalam mediasi sengketa pada tahun 2015 terkait Perbatasan OAS Belize-Guatemala yang belum terselesaikan serta para pihak diminta untuk membawa sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional.21

  • 3.    Konsiliasi

Cara penyelesaian sengketa secara damai yang lain yang dibentuk oleh pihak ketiga untuk menyelesaikan sengeketa terkait batas-batas laut sesuai yang diatur dalam Bagian XV Pasal 284 UNCLOS 1982 serta dibatalkannya prosedur konsiliasi yang diatur dalam Lampiran 15 UNCLOS 1982. Pihak mana pun dapat memulai proses konsiliasi dengan memberikan pemberitahuan tertulis yang ditujukan kepada pihak lain ataupun para pihak yang bersengketa. Di dalam konsiliasi, tahap penyelidikan terhadap sengketa serta pemberian rangkaian usulan formal penyelesaian terhadap sengketa tersebut dilaksanakan oleh pihak ketiga. Usulan atau putusan dari penyelesaian dengan cara konsiliasi ini tidak mengikat para pihak yang bersengketa.22 Karena tingkat konsiliasi (perdamaian) mengenai sengketa batas laut sangat kecil, mayoritas negara-negara di dunia jarang serta tidak tertarik untuk berdamai menggunakan konsiliasi ini atas sengketa yang sedang terjadi. Adapun alasan konsiliasi ini tidak banyak diminati oleh negara-negara yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya adalah karena keputusannya itu yang sifatnya tidak mengikat dan para pihak tidak mau berada di posisi sebagai pihak yang kalah sehingga mereka takut menyelesaikan sengketanya melalui konsiliasi ini. Salah satu konsiliasi yang tercatat sampai sekarang yaitu pada tahun 1981, Pertikaian Kontinental Islandia/Norwegia tentang Pulau Jay Mayen (UN 1981).

  • 4.    Arbitrase

Salah satu cara alternatif dalam menyelesaikan sengketa batas laut melalui badan arbitrase sebagai pihak ketiga yang ditunjuk serta disepakati oleh negara-negara sebagai para pihak yang secara sukarela memutus sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat final dan mengikat. Cara ini merupakan cara yang digunakan atau diterapkan setelah implementasi UNCLOS pada tahun 1994 yang dipandang paling populer dan sukses. Arbitrase ini dapat dibentuk dengan mendasarkan pada penyerahan penyelesaian sengketa kepada pihak-pihak tertentu yang disebut arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak bersengketa. Penunjukkan suatu komisi atau perorangan dari warga negara masing-masing pihak ditambah dengan pihak netral merupakan cara umum yang dipakai. Selain itu, dapat pula dibentuk arbitrator tunggal yang berasal dari negara netral. Berdasarkan Lampiran VII Pasal 3 UNCLOS 1982, pengadilan ini terdiri dari 5 arbiter dengan masing-masing pihak yang bersengketa menunjuk seorang arbiter dan mereka sama-sama menunjuk tiga arbiter lainnya. Jika diperlukan, Presiden ITLOS memiliki wewenang untuk menunjuk arbiter. Para pihak akan beralih menggunakan penyelesaian arbitrase ini, jika para pihak gagal menyelesaikan sengketa namun sengketa tersebut penting diselesaikan untuk mengekspolitasi sumber daya lautnya. Banyak negara yang dapat menyelesaikan sengketa jangka panjang tentang batas maritim mereka.

India dan Bangladesh (1974-2014) telah menyelesaikan sengketa batas maritim aritmatika. Melalui arbitrase LOSC Annex VII, ada pula beberapa sengketa batas laut yang telah diselesaikan diantaranya:23

  • a.    4 Agustus 2000, Southern Bluefin Tuna Arbitration (Australia dan Selandia Baru v. Jepang).

  • b.    1 September 2005, Arbitrase Reklamasi Tanah (Malaysia v. Singapura).

  • c.    11 April 2006, Arbitrase Pembatasan Maritim (Bardados v. Trinidad dan Tobago).

  • d.    17 September 2007, Arbitrasi Pembatasan Maritim (Guyana v. Suriname).

  • e.    6 Juni 2008, Arbitrase Tanaman Mox (Irlandia v. Britania Raya).

  • f.    11 November 2013, ARA Libertad Arbitration (Argentina v. Ghana).

  • g.    23 September 2014, Atlanta Arbitration Herring Scandinavia (Denmark v, Federasi Rusia).

  • h.    18 Maret 2015, Arbitrase Chagos Kepula (Mauritius v. UK).

  • i.    12 Juli 2016, Arbitrasi Laut Tiongkok Selatan/Filipina Barat (Filipina v. Tiongkok).

  • 3.2. Efektivitas Penyelesaian Sengketa Batas Laut Melalui ITLOS.

Untuk melihat efektifnya penyelesaian sengketa batas laut melalui ITLOS, penulis membandingkannya dengan Pengadilan Internasional/Mahkamah Internasional (ICJ). ITLOS dan ICJ adalah dua organ peradilan internasional terkemuka yang didirikan untuk menyelesaikan sengketa internasional dengan cara-cara damai. Mereka adalah badan independen dan permanen yang didedikasikan untuk mengadili kasus perdebatan dan memberikan pendapat penasehat.

ICJ didirikan oleh Piagam PBB sebagai salah satu dari enam organ utama organisasi dan organ peradilan utamanya. Memulai kegiatannya pada tahun 1946. Sejak awal, 177 kasus telah dibawa ke pengadilan, 27 dari mereka melalui permintaan untuk saran pendapat. Di antara kasus 150 yang kontroversial, 28 hal yang berkaitan diatur oleh hukum laut. ITLOS didirikan pada 1994 oleh mandat Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS), yang menganugerahkan ke atasnya yurisdiksi atas sengketa mengenai interpretasi dan penerapan UNCLOS dan instrumen terkait. Ini secara resmi mengambil pekerjaan di 1996 setelah pemilihan hakim pertama tahun itu. Sejak pendiriannya, 29 kasus, termasuk dua permintaan untuk pendapat Penasehat, telah diserahkan kepada Majelis. Sedangkan ICJ dapat menjalankan yurisdiksi yang kontroversial dalam kasus antar-negara saja, ITLOS dapat menangani kasus yang disebabkan oleh atau terhadap organisasi internasional, perusahaan, dan orang-orang alami atau yuridis. Karena meningkatnya permintaan untuk pertambangan dasar laut dalam yang terkait dengan tidak hanya negara tetapi juga entitas non-negara, yurisdiksi tersebut cenderung menjadi lebih relevan, terutama untuk majelis pengadilan sengketa dasar laut.24

Bahkan setelah pendirian ITLOS, ICJ terus mengadili masalah yang berkaitan dengan hukum laut, misalnya, perbatasan Maritim delimitasi. Akibatnya, kedua badan tersebut berbagi beberapa peran peradilan pada jenis kasus tertentu dan dapat memperoleh manfaat dari dialog peradilan yang didasarkan pada saling menghormati. ICJ memiliki pengalaman yang cukup dan pengetahuan bahwa bisa diteruskan ke ITLOS dari tahun Ajudikasi sebagai organ peradilan utama Perserikatan Bangsa-

bangsa, sementara ITLOS, untuk bagiannya, memiliki keahlian khusus pada hukum laut yang bisa berharga untuk ICJ.

  • IV.   Penutup

    4.1.   Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah tertuang di bagian hasil dan pembahasan di atas, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa batas laut Indonesia, yakni adanya pengklaiman perairan teritorial oleh tiap-tiap negara yang dianggap sebagai wilayah teritorialnya; Tidak adanya kepastian atau kejelasan mengenai batas negara antar negara, terutama yang menyangkut wilayah laut; Tidak adanya kejelasan pada kesepakatan antarnegara yang saling mengklaim terkait batas-batas wilayah negara mereka masing-masing; Di wilayah laut yang disengketakan tersebut terdapat sumber daya alam yang beranekaragam; Dilanggarnya hukum maupun perjanjian internasional oleh salah satu negara; Adanya kesengajaan melakukan pelanggaran terhadap hak maupun kepentingan dari negara lain oleh suatu negara; serta antara negara yang bersengketa, terjadi kesalahpahaman. Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi lebih efektif untuk dilaksanakan daripada penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi dalam menyelesaikan sengketa batas laut di Indonesia. Dengan menyelesaikan sengketa melalui jalur litigasi tersebut, keputusan yang telah diputuskan oleh ICJ ataupun ITLOS akan dipatuhi oleh setiap negara yang bersengketa dengan Indonesia. Namun, masih perlu dilakukan negosiasi sebelum sengketa tersebut diajukan untuk diputuskan ke yurisdiksi pengadilan internasional karena ada pula beberapa negara yang melanggar Indonesia. Sebagian besar negara yang bersengketa dengan Indonesia dan semua negara mematuhi UNCLOS 1982 bagi negara-negara yang telah meratifikasi UNCLOS 1982, sehingga penyelesaian sengketa batas laut melalui jalur litigasi ini lebih efektif dan mempunyai kepastian hukum serta adil dalam memutuskan sengketa dalam lingkup internasional.

  • 4.2.    Saran

Untuk menyelesaikan sengketa terkait batas laut, yang pertama, sengketa tersebut dapat diselesaikan dengan cara negosiasi, mediasi, arbitrase, serta mengajukan sengketa tersebut ke lembaga peradilan internasional seperti ITLOS dan ICJ. Yang kedua, dengan cara negosiasi bilateral, dengan kelebihannya yakni keseluruhan perkara terletak pada kendali para pihak yang bersengketa, berbeda halnya bila diajukan ke pengadilan internasional yang mempunyai kemungkinan dimana satu pihak akan tidak memperoleh hasil yang baik sementara pihak lain akan memperoleh seluruh yang diinginkannya. Jadi, untuk menyelesaikan sengketa batas laut sebaiknya tetap diselesaikan secara damai baik melalui jalur litigasi maupun jalur non-litigasi oleh masing-masing negara dengan tetap menjunjung perdamaian dengan cara saling menghargai dan saling menghormati.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Budiardjo, Miriam. Fundamentals of Political Science (Jakarta, Gramedia Reader, 2010) Parthiana, I Wayan. Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia (Bandung,

Publisher Yrama Widya, 2014).

Qamar, Nurul, Muhammad Syarif, Dachran S. Busthami, M. Kamal Hidjaz, Aan Aswari, Hardianto Djanggih, dan Farah Syah Rezah. Metode Penelitian Hukum (Legal Research Methods). (Makassar, CV. Social Politic Genius (SIGn), 2017).

Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. (Jakarta, Prenada Media Group, 2016).

Sefriani. Hukum Internasional: Suatu Pengantar (Jakarta, Rajawali Pers, 2016).

Jurnal:

Abidin, H. Z., Sutisna, S., Padmasari, T., Villanueva, K. J., dan Kahar, J. “Geodetic Datum of Indonesian Maritime Boundaries: Status and Problems.” Marine Geodesy 28, No. 4 (2005): 291-304.

Yuseini, Maulidya, Dian Rachmawati, Fransiska Yuardini, dan Hafidh Lukmam Syaifuddin. “Penyelesaian Sengketa Laut Antara Indonesia dan Malaysia di Wilayah Selat Malaka Menurut Hukum Laut Internasional." Lentera Hukum 5, No. 3 (2018): 457-464.

Natalia, Kiki. “Penyelesaian Permasalahan Batas Wilayah Antara Indonesia dan Malaysia di Perairan Selat Malaka Ditinjau dari UNCLOS 1982.” Calyptra: University of Surabaya Student Scientific Journal 2, No. 2 (2013): 1-13.

Patmasari, Tri, Eko Artanto, dan Astrit Rimayanti. "Perkembangan Terakhir Batas Maritim Indonesia dengan Negara Tetangga." Seminar Nasional Geomatika, (2016): 3-21.

Masfiani, Ismi Yulia, L. Tri Setyawanta R., Nanik Trihastuti. “Penyelesaian Sengketa Batas Maritim Antara Costa Rica dan Nicaragua di Laut Karibia dan Samudera Pasifik dalam Perspektif UNCLOS 1982.” Diponegoro Law Journal 5, No. 3 (2016): 1-19.

Thomas, Marilin."Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Tentang Penetapan Batas Wilayah Laut Negara (Studi Kasus Sengketa Wilayah Ambalat Antara Indonesia dengan Malaysia)." Lex et Societatis 1, No. 2 (2013): 160-168.

Phan, Hao Duy, dan Ngoc Nguyen, Lan."The South China Sea Arbitration: Bindingness, Finality, and Compliance with UNCLOS Dispute Settlement Decisions." Asian Journal of International Law 8, No. 1 (2018): 36-50.

Kalalo, Julianto Jover Jotam."Penyelesaian Sengketa Terhadap Kasus Imunitas Negara Melalui    ICJ    (International    Court    of    Justice)/Mahkamah

Internasional." Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum 3, No. 2 (2016): 98-109.

Colson, David A. "Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia)." American Journal of International Law 97, No. 2 (2003): 398-406.

Hasan, Md. Monjur, He Jian, Md. Wahidul Alam, dan Chowdhury, K. M. Azam. “Protracted Maritime Boundary Disputes and Maritime Laws.” Journal of International Maritime Safety, Environmental Affairs, and Shipping 2, No. 2 (2019): 89-96.

Pramudianto, Andreas. “Peradilan Internasional dan Diplomasi dalam Sengketa Lingkungan Hidup Maritim.” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia 4, No. 1 (2017): 111-137.

Risal, Muhammad. "Dinamika Keamanan Maritim Indonesia Pasca Kemerdekaan Timor Leste." Jurnal Hubungan Internasional Interdependence 5, No. 1 (2017): 3749.

United Nations. “The ICJ and ITLOS - Is There A Place for Judicial Dialogue Between Them?”. Concept Note (2019): 1-2.

Website:

Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia. (2019). Indonesia dan Filipina Telah

Selesaikan Ratifikasi Perjanjian Batas ZEE. Available   from:

https://kemlu.go.id/portal/id/read/389/berita/indonesia-dan-filipina-haveresolveratification-program-batas-zee diakses pada 2 Mei 2020.

Law, Aceris.  (2015).  Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Laut, Arbitrase

Internasional. https://www.international-arbitration-attorney.com/lawofthe-sea-dispute-settlement-mechanism/

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (LNRI Tahun 1983 No. 44; TLNRI No. 3260).

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea 1982).

Konvensi Montevideo tentang Hak dan Tugas Negara 1933 (Montevideo Convention on Rights and Duties of States 1933).

Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice Statute)

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 12 Tahun 2020, hlm. 1-15