TINDAK PIDANA PENIPUAN DALAM JUAL BELI ONLINE

Bonifasius Purba, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

A. A. Ngurah Wirasila, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

DOI : KW.2020.v10.i01.p05

ABSTRAK

Tujuan penulisan ini untuk mengetahui substansi hukum apakah yang akan digunakan saat memproses tindak pidana penipuan jual beli online. Fokus analisis dalam penulisan ini adalah Pasal 28 ayat (1) UU ITE dan Pasal 378 KUHP. Pasal-pasal tersebut di khawatirkan menimbulkan kekaburan norma pada unsur-unsur yang ada di dalamnya. Metode penelitian yang digunakan adalah Normatif, yaitu penelitian yang menggunakan pendekatan perundang-undangan sesuai dengan permasalahan dalam jurnal ini. Setelah melakukan analisis terkait Pasal 28 ayat (1) UU ITE dan Pasal 378 KUHP maka hasil yang di dapat yaitu kedua pasal mengatur hal yang berbeda namun ada hal identik yamg kedua pasal tersebut miliki. Kedua pasal tersebut memiliki satu kesamaan yaitu mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Tapi, rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tidak mensyaratkan adanya unsur “ menguntungkan diri sendiri atau orang lain” sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur mengenai kerugian konsumen dalam transaksi jual-beli online yang diakibatkan oleh berita bohong, sedangkan pasal 378 KUHP mengatur perihal penipuan. Hal tersebut dapat di atasi dengan menerapkan asas atau doktrin hukum lex specialis derogate legi generalis. Hal ini dikarenakan pasal 28 ayat (1) UU ITE memiliki karakteristik unsur yang lebih spesifik dibandingankan pasal 378 KUHP dalam konteks pemidanaan pada tindak pidana penipuan online, dapat dikatakan bahwa pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan lex specialis derogat legi generalis dari pasal 378 KUHP.

Kata Kunci: Jual beli, Penipuan, Tindak Pidana.

ABSTRACT

The purpose of this paper is to determine what legal substance will be used when processing criminal acts of online buying and selling fraud. The focus of analysis in this paper is Article 28 paragraph (1) of the ITE Law and Article 378 of the Criminal Code. It is feared that the articles will cause obscure norms to the elements in them. The research method used is Normative, namely research that uses a statutory approach in accordance with the problems in this journal. After analyzing Article 28 paragraph (1) of the ITE Law and Article 378 of the Criminal Code, the results obtained are that the two articles regulate different things but there are identical things that the two articles have. The two articles have one thing in common, namely causing harm to others. However, the formulation of Article 28 paragraph (1) of the ITE Law does not require an element of "benefiting oneself or others" as stipulated in Article 378 of the Criminal Code concerning fraud. Article 28 paragraph (1) of the ITE Law regulates consumer losses in online buying and selling transactions caused by fake news, while Article 378 of the Criminal Code regulates fraud. This can be overcome by applying the principle or legal doctrine of lex specialis derogate legi generalis. This is because article 28 paragraph (1) of the ITE Law has more specific element characteristics compared to Article 378 of the Criminal Code in the context of punishment for online fraud crimes, it can be said that article 28 paragraph (1) of the ITE Law is lex specialis derogat legi generalis from article 378 Criminal Code.

Key Words: Buy and sell Fraud, Crime.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Dewasa ini manusia dimanjakan dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, disebut dengan istilah Globalisasi. Menurut Wikipedia Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan. Saat ini apapun yang ingin kita lakukan sangat mudah dijangkau, dunia ini seperti dalam genggaman manusia. Pada sebuah negara globalisasi dapat artikan secara berbeda tergantung kesiapannya. Globalisasi dapat dipandang sebuah tantangan apabila negara tersebut mampu bersikap optimis namun, ada pula negara yang menganggap globalisasi sebagai kesempatan apabila negara tersebut siap menghadapi globalisasi dengan sumber daya manusia berkualitas yang memiliki wawasan kebangsaan.1

Perkembangan teknologi yang sangat pesat telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek hukum yang berlaku. Kemajuan teknologi informasi tersebut antara lain ditandai dengan maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone hingga komputer yang semakin canggih. Penggunaan media elektronik yang menyangkut teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses mengumumkan, menganalisa dan atau menyebarkan informasi merupakan hal yang sudah lazim dilakukan seseorang di zaman modern ini.

Sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar Indonesia tidak terlepas dari adanya pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Indonesia bahkan menjadi salah satu pusat terbesar pengguna media internet online. Tercatat dari hasil APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) terjadi peningkatan jumlah penggunaan Internet antara tahun 2019-2020, pada tahun 2019 pengguna internet di Indonesia mencapai angka 171,17 juta jiwa penduduk atau sekitar 64,8 persen dari total penduduk Indonesia 264 juta, sedangkan tahun 2020 terdapat 175,4 juta orang yang diketahui aktif menggunakan internet, sementara total jumlah penduduk Indonesia sekitar 272,1 juta. Terjadi peningkatan 17 persen atau sebesar 25 juta pengguna.

Pada saat ini dunia telah memasuki babak baru dalam peradaban setelah munculnya internet, yang dikenal dengan sebutan ekonomi digital. Ekonomi digital mampu menjangkau seluruh pelosok didunia selama daerah tersebut memiliki kjaringan internet maka dapat terhubung dan melampui batas-batas negara. Sesuatu yang dalam dunia nyata jauh dari hadapan, dalam dunia maya dapat dihadirkan seolah-olah dunia itu dekat. Sebagai suatu catatan awal, seseorang dapat memahami bahwa penjual dan pembeli adalah konsumen dari penyelenggaraan suatu sistem elektronik yang telah dikembangkan oleh suatu pihak tertentu (developer) atau diselenggarakan oleh suatu pihak tertentu (provider). Jadi sebagai suatu kajian awal, maka sepatutnya tanggung jawab dan si pengembang dan/atau si penyelenggara sistem elektronik tersebut adalah bersifat mutlak (strict liability), yakni sepanjang sistem yang ada telah dapat diyakini berjalan sebagaimana semestinya, maka risiko baru dapat dikatakan beralih secara fair kepada para penggunanya.

Kemajuan globalisasi ini pun menciptakan kreativitas baru contohnya jual beli online, dimana para pedagang tidak perlu membuka toko pada umumnya melainkan diberikan ruang di sebuah platform untuk menjual barang-barang kebutuhan; baik itu kecantikan, perabotan rumah tangga dan aksesoris. Bisnis online adalah kegiatan yang paling banyak digunakan masyarakat pada zaman sekarang ini, kegiatan perdagangan dengan memanfaatkan internet atau media online sering disebut dengan istilah ecommerce (electronic commerce) yang mana merupakan suatu proses perubahan pola interaksi dalam masyarakat.2

E-commerce merupakan suatu proses jual beli barang dan jasa yang dilakukan secara online atau melalui jaringan komputer yaitu internet. Perdagangan secara online memiliki dampak positif pada pemenuhan kebutuhan manusia, hal itu dikarenakan perdagangan secara online lebih efektif dan mengefisiensikan waktu, yang berarti bahwa seseorang dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus bertemu atau bertatap muka melainkan hanya menggunakan media internet sebagai media dalam bertransaksi jual beli kapan dan dimanapun. Dalam transaksi jual beli online para pihak haruslah didasari adanya saling percaya antara penjual dan pembeli sehingga transaksi jual beli dapat dilakukan.

Kemajuan teknologi yang kita rasakan saat ini memiliki dampak positif bagi tatatan kehidupan namun, dampak positif yang kita rasakan tidak berlangsung lama. Dikarenakan terdapat dampak negative seiring berjalannya waktu yang ditandai dengan adanya kejahatan. Kejahatan yang saat ini marak terjadi adalah melakukan serangkaian penipuan kegiatan jual beli online di berbagai E-Commerce.3

Penipuan merupakan tindakan yang dilakukan seseorang dengan menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri. Pelaku penipuan melancarkan aksi nya dengan memanfaatkan kelemahan korban menggunakan nama palsu lalu menceritakan kebohongan dengan cara mengaku sebagai seseorang yang memiliki kedudukan atau jabatan dan pada akhirnya melakukan penipuan. Hal ini sungguh meresahkan terutama pada tahun 2020 ini Indonesia sedang terpuruk yang dapat menimbulkan banyaknya aksi penipuan dikarenakan perekonomian penduduk sedang tidak stabil.

KUHP terdiri dari beberapa bab salah satu nya adalah tentang penipuan, penipuan dalam KUHP bisa kita temukan di Buku II Bab XXV. Perbuatan curang atau bedrog merupkan istilah untuk pasal-pasal penipuan yang terdapat dalam KUHP. Bentuk pokok dari bedrog atau perbuatan curang adalah Pasal 378 KUHP tentang penipun. Berdasarkan rumusan tersebut diatas, maka Tindak Pdana Penipuan memiliki unsur pokok, yakni :

  • •    Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Secara sederhana penjelasan dari unsur ini yaitu tujuan terdekat dari pelaku artinya pelaku hendak mendapatkan keuntungan. Keuntungan itu adalah tujuan utama pelaku dengan jalan melawan hukum, jika pelaku masih membutuhkan tindakan lain, maka maksud belum dapat terpenuhi. Dengan demikian maksud ditujukan untuk menguntungkan dan melawan hukum, sehingga pelaku harus mengetahui bahwa keuntungan yang menjadi tujuannya itu harus bersifat melawan hukum.

  • •    Dengan menggunakan salah satu atau lebih alat penggerak penipuan (nama palsu, martabat palsu/ keadaan palsu, tipu muslihat dan rangkaian kebohongan). Maksudnya adalah sifat penipuan sebagai tindak pidana ditentukan oleh cara-cara dengan mana pelaku menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang. Adapun alat-alat penggerak yang dipergunakan untuk menggerakkan orang lain adalah sebagai berikut :

^ Nama Palsu, pelaku akan mengganti nama nya dengan milik orang lain yang mempunyai kedudukan atau jabatan, walaupun perbedaan nama tersebut mungkin terlihat kecil hal tersebut sudah termasuk menggunakan nama palsu

^ Tipu Muslihat, kejahatan ini menggunakan cara dengan meyakinkan korban atas cerita yang di sampaikan pelaku seakan-akan korban terkena hipnotis dan menuruti apa yang pelaku katakan.

^ Martabat / keadaan Palsu, penggunaan martabat atau keadaan palsu adalah saat seseorang memberikan pernyataan bahwa ia berada dalam suatau keadaan tertentu, yang mana keadaan itu memberikan hak-hak kepada orang yang ada dalam keadaan itu.

^ Rangkaian Kebohongan, alat penggerak tidak cukup dikualifikasikan dengan satu atau dua kata bohong, pernyataan ini kemukakan oleh Hoge Raad yakni : “Terdapat suatu rangkaian kebohongan jika antara berbagai kebohongan itu terdapat suatu hubungan yang sedemikian rupa dan kebohongan yang satu melengkapi kebohongan yang lain sehingga mereka secara timbal balik menimbulkan suatu gambaran palsu seolah-olah hal tersebut merupakan sebuah kebenaran. Inti dari pernyataan tersebut bahwa rangkaian kebohongan harus di ucapkan secara tersusun yang memiliki runutan cerita sehinggadapat diterima secara logika. Sehingga kata per kata dalam kebohongan tersebut memperkuat kata yang orang sampaikan.

Tulisan ini akan membahas tentang penggunaan pasal dalam mendakwa pelaku penipuan online, apakah menggunakan Pasal 28 ayat (1) UU ITE atau Pasal 378 KUHP. Pasal-pasal tersebut di khawatirkan menimbulkan kekaburan makna norma pada unsur-unsur yang ada di dalamnya, sehingga penulis ingin membahas nya di dalam tulisan ini. Apabila hal ini tidak di tindak lanjuti maka akan terjadi konflik hukum yaitu konflik aturan dalam hal ini terdapat dua pasal dalam dua undang-undang mengatur hal yang identik. Serta konflik hukum tersebut mengkibatkan disfungsi hukum yang artinya hukum tersebut tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis buat maka bisa ditarik rumusan masalah sebagai berikut :

  • a.    Bagaimana tindak pidana penipuan dalam konsep hukum pidana?

  • b.    Bagaimana penerapan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang ITE dan Pasal 378 KUHP pada tindak pidana penipuan jual beli secara online?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui substansi hukum apakah yang akan digunakan saat memproses tindak pidana penipuan jual beli online.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah Normatif, yaitu penelitian yang menggunakan pendekatan perundang-undangan sesuai dengan permasalahan dalam jurnal ini.4 Langkah pertama yang dilakukan penulis dalam penelitian ini mengumupulkan bahan hukum sekunder yaitu mencakup dokumen perundang-undangan, dokumen resmi, buku-buku, yurisprudensi yang berkaitan dengan analisa hukum pidana.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Tindak Pidana Penipuan Dalam Konsep Hukum Pidana

Pembahasan mengenai tindak pidana penipuan tidak lepas dari peraturan yang mengatur perbuatan tersebut yakni, hukum pidana. Berasal dari kata “pidana” yaitu hal yang dipidanakan, Pidana diberikan oleh negara melalui alat hukum nya yaitu berupa penderitaan kepada seseorang karena ulahnya melanggar larangan hukum pidana.5

Hukum Pidana dibuat secara tertulis, berbentuk undang-undang yang bertujuan untuk memberikan hukuman berupa hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan, hukuman denda, hukuman tutupan bagi pelanggarnya. Sehingga terciptanya keamanan, ketertiban, ketenangan dan perlindungan kepentingan tertentu dalam masyarakat, serta menghindarkan main hakim sendiri terhadap pelaku tindak pidana. Strafbaar feit ialah bahasa belanda yang di terjemahkan Tindak pidana merupakan konsekuensi yaitu berupa sanksi pidana yang didasari atas perbuatan melawan hukum, bagi yang bertanggung jawab atas perbuatannya. 6

Tindak Pidana penipuan merupakan suatu perbuatan yang dilarang/tindak pidana sebagaimana tertulis di pasal 378 KUHP buku II tentang kejahatan. Sifat delik penipuan merupakan delik formal dan materil. Delik formal memiliki pengertian, bahwa telah penuh apabila telah terjadi perbuatan yang dilarang. 7 Delik formal yang lain adalah Pasal 242 KUHP tentang sumpah palsu.

Unsur Tindak Pidana Penipuan

Mengenai penipuan sendiri pengaturannya dalam KUHP terdapat dalam pasal 378 KUHP Bab XXV yang berbunyi: “Barang Siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu maupun keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan bohong, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum penjara karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”

Pasal 378 sendiri menjelaskan terdapat dua klasifikasi, objektif dan subjektif. Beberapa contoh yang digunakan membujuk atau menggerakan orang dalam unsur objektif memakai nama palsu, martabat/keadaan palsu, rangkaian kata bohong, tipu muslihat, menyerahkan barang, membuat utang, menghapuskan piutang. Sedangkan unsur subjektif lebih kepada perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja atau atas dasar kesengajaan. Pengertian identitas palsu atau martabat palsu ialah menggunakan identitas yang bukan aslinya melainkan milik orang tak dikenal, martabat atau kedudukan yang tidak sesuai berdasarkan kondisi sesungguhnya, identitas tambahan yang tidak dikenal pun salah satunya. 8

Mengenai tipu muslihat merupakan keadaan dimana pikiran picik memperdaya korban sehingga ada kemauan dalam diri korban menuruti keinginan pelaku, mengakibatkan dirinya menjadi percaya terhadap kebenaran dari suatu peristiwa, bahkan pelaku menunjukan surat-surat yang palsu dan korban mengiyakan karena sudah terpedaya.9 Perkataan tipu muslihat pertama kali dipakai pada komisi de Wal oleh Modderman untuk merumuskan tindak pidana penipuan Perkembangan mengenai tipu muslihat terdapat perbedaan pendapat oleh para sarjana hukum. Sehingga dalam merumuskan penipuan seringkali terjadi perbedaan yang mengakibatkan putusan antara hakim tingkat pertama dan tingkat selanjutnya terdapat perbedaan. Perbedaan ini sangat krusial dalam pembuktian di persidangan yang nantinya mengakibatkan putusan Terdakwa apakah terbukti melakukan penipuan atau tidak.

Mengenai Rangkaian kebohongan adalah satu perbuatan yang bukan hanya perkataan bohong saja, melainkan kebohongan yang dibuat secara sengaja sehingga siapapun terpengaruh atau terpedaya olehnya, kebohongan dirangkai menjadi sebuah cerita logis dan benar yang dapat diterima, dalam cerita kata per kata membenarkan ataupun memperkuat kata yang lainnya sehingga kebohongan menjadi terstruktur. Siasat tipu daya dalam perkembangannya bersikukuh masih digunakan karena dianggap efektif saat melakukan perbuatan pidana tidak mengucapkan sepatah kata. Pinto berpendapat bahwa, rangkaian kebohongan yang demikian menimbulkan banyak korban tidak terkecuali yang berakal sehat. 10

Mengenai hal “menggerakan orang lain” sebagaimana terdapat Pasal 378 KUHP yakni serupa dengan “membujuk” orang lain, yaitu mempengaruhi orang melalui cara-cara picik ataupun rayuan yang bisa mengelabui, barang tersebut di serahkan oleh korban ke pelaku dikarenakan rasa iba dan kasihan.11 Saat menyerahkan barang dibutuhkan ikatan perasaan ketika melakukan perbuatan menggerakkan orang, dengan begitu orang normal sekalipun bisa terpedaya oleh alat yang diciptakan untuk menggerakkan situasi tertentu. 12

Dewasa ini ada 2 jenis barang, bersifat berwujud dan tidak berwujud. Pakaian, uang dan mobil tergabung dalam jenis barang berwujud sedangkan listrik dan gas

masuk kategori tidak berwujud. Diserahkannya barang dalam konteks penipuan, pencurian bukanlah alasannya, melainkan akal picik pelaku memperdaya korban sehingga tergerak hatinya menyerahkan barang tersebut. Kerugian materil terjadi jika seseorang menimbulkan utang ataupun menghapuskan piutang kepada orang, yaitu korban yang di perdaya dengan tindakan pelaku dengan mempengaruhinya, yang nantinya barang tersebut berpindah tangan ataupun utang atau piutangnya dihapuskan.

Syarat subjektif dalam perumusan Pasal 378 KUHP perihal penipuan yakni melawan hukum dalam hal ini memberikan manfaat bagi pribadi dan juga orang lain. Berkenaan makna kesengajaan dalam rumusan Pasal tersebut mengandung rumusan kesalahan (sculd) dalam bentuk kesengajaan (dolus/opzet) atau tidak pada bentuk ketidaksengajaan (culpa). Definisi mengenai kesengajaan pada hukum positif di Indonesia belum ada yang dapat memberikan definisi. Definisi kesengajaan yang tepat dalam Wetboek van Strafrecht 1809, yaitu: “kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang.”

  • 3.2    Bagaimana penerapan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang ITE dan Pasal 378

    KUHP terhadap tindak pidana penipuan jual beli secara online ?

Pada dasarnya Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak secara khusus mengatur perihal tindak pidana penipuan. Mungkin masyarakat pada umumnya mengetahui bahwa tindak pidana penipuan diatur dalam buku II Bab XXV Pasal 378 dengan rumusan sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan suatu barang kepadanya atau supaya menghapus piutang maupun memberikan utang, diancan karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

Unsur penipuan tersebut belum dapat menjangkau penipuan secara online karena hanya mengatur penipuan secara konvensional yaitu penipuan yang dilakukan dalam dunia nyata sedangkan transaksi online merupakan transaksi di dunia maya.13 Sehingga Pasal 378 KUHP kurang tepat apabila digunakan dalam kasus penipuan secara online yang disebabkan KUHAP membatasi alat bukti secara limitatif dan permasalahan yuridiksi saat menangani perkara penipuan online.14

Sedangkan UU ITE tidak mengatur secara khusus tentang tindak pidana penipuan namun dalam UU ITE telah mengatur bukti, media elektronik dan ada perluasan yurisdiksi. UU ITE mengatur perihal kerugian yang dialami konsumen akibat penipuan yang terjadi saat transaksi elektronik yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE :

“Setiap orang secara sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumen pada saat transaksi elektronik”

Perubahan UU ITE mengatur perihal jeratan hukuman yang dikenakan bagi pelaku yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.

Berdasarkan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE dan Pasal 378 KUHP dapat ditarik benang merah yaitu kedua pasal mengatur hal yang berbeda namun memiliki identik. Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur mengenai kerugian konsumen dalam transaksi jual-beli online yang diakibatkan oleh berita bohong, sedangkan pasal 378 KUHP mengatur perihal penipuan.15 Walaupun objek pengaturannya berbeda namun kedua pasal tersebut memiliki satu kesamaan yaitu mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Tapi, rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tidak mensyaratkan adanya unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Pasal-pasal tersebut di khawatirkan menimbulkan kekaburan makna norma pada unsur-unsur yang ada di dalamnya, apabila hal ini tidak di tindak lanjuti maka akan terjadi konflik hukum yaitu konflik aturan dalam hal ini terdapat dua pasal dalam dua undang-undang mengatur hal yang identik. Serta konflik hukum tersebut mengkibatkan disfungsi hukum yang artinya hukum tersebut tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur.

Masalah diatas dapat di atasi dengan menerapkan asas atau doktrin hukum lex specialis derogate legi generalis. Hal ini dikarenakan pasal 28 ayat (1) UU ITE memiliki karakteristik unsur yang lebih spesifik dibandingankan pasal 378 KUHP dalam konteks pemidanaan pada tindak pidana penipuan online, dapat dikatakan bahwa pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan lex specialis derogat legi generalis dari pasal 378 KUHP. Selain karena memiliki karakteristik unsur yang lebih spesifik dalam konteks pemidanaan pada tindak pidana penipuan online, pasal 28 ayat (1) UU ITE telah memenuhi beberapa prinsip dalam asas lex specialis derogate legi generalis yaitu:

  •    Ketentuan-ketentuan yang ada dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.

  •    Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (Undang-undang dengan Undang-undang).

  •    Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum yang sama dengan lex generalis.

Penegak hukum dalam hal ini hakim maupun jaksa dituntut jeli perihal memutuskan akan menjerat pelaku menggunakan Pasal 378 KUHP atau Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Namun bukan berarti penegak hukum tidak bisa menggunakan kedua pasal tersebut sekaligus atau pasal berlapis, apabila suatu tindak pidana tersebut

memenuhi unusr-unsur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 378 KUHP dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE maka hal tersebut bisa dilakukan.

  • IV Penutup

Setelah melakukan analisis pasal 28 ayat (1) UU ITE dan Pasal 378 KUHP maka penulis menyimpulkan Pasal 28 ayat (1) undang-undang ITE hanya dapat di gunakan pada tindak pidana penipuan online yang khusus pada aktivitas jual beli online, sementara pasal 378 KUHP hanya dapat di gunakan untuk mendakwa pelaku tindak pidana penipuan konvensional. Yang intinya pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan lex specialis dari pasal 378 KUHP yang merupakan lex generalis dari tindak pidana penipuan, meskipun keduanya juga memiliki kekaburan makna norma dalam unsur-unsur tindak pidananya. Apabila melihat kilas balik modus operandi penipuan online yang dewasa ini mengikuti perkembangan jaman, tepat rasa nya menggunakan pasal 28 ayat (1) UU ITE mendakwa tersangka berdasar perbuatan dan konsekuensi hukum yang setimpal. Saran yang bisa penulis sampaikan ialah diharapkan adanya penyempurnaan terhadap KUHP disebabkan sudah tidak relevan dalam mengatur kejahatan-kejahatan yang ada saat ini. UU ITE pun dirasa perlu ada nya revisi terhadap beberapa pasal yang tidak relevan khususnya pada pasal tindak pidana penipuan online yang masih terbatas hanya mengatur kegiatan jual beli online. Hal ini bertujuan mengembalikan 3 fungsi hukum terhadap masyarakat yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Zainuddin. “Metode Penelitian Hukum.” (Jakarta: Sinar Grafika, 2016).

Yahman, “Karakteristik wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan.” (Surabaya, Kencana Prenada, 2014).

Jurnal

Dani Ihkam, Muhammad. “Tindak Pidana Cyber Bullying Dalam Perspektif Hukum

Pidana Di Indonesia. Kertha Wicara : Jurnal Ilmu Hukum 9, No. 11 (2020): 1-2.

Dudung, Mulyadi. “Unsur-unsur Penipuan Dalam Pasal 378 KUHP Dikaitkan Dengan Jual Beli Tanah.” Jurnal Ilmiah Galuh Justisi 5, No. 2 (2017): 214.

Eka Budiastanti, Dhaniar. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Penipuan Melalui Internet.” Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang 8, No. 1 (2017): 11.

Juliawan Saputra, I Ketut Gde. “Perbedaan Wanprestasi Dengan Penipuan Dalam Perjanjian Hutang Piutang. Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 4, No.3 (2015): 4.

Kurniawan, Oktriadi. “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual-Beli Online (E-ommerce) Yang Mengarah Pada Penipuan.” Jurnal Syntax Transformation 1, No. 7 (2020): 4.

Maadia, Roknel. "Tindak Pidana Penipuan Dalam Hubungan Kontraktual Menurut Hukum Pidana Indonesia. " Lex Crimen 4, No. 2, (2015): 20.

Puspita Sari, Ikka. “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Penipuan Online Dalam Hukum Positif Di Indonesia.” Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 8, No. 1 (2018): 10.

Prasetyo, Rizki D. "Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Penipuan Online Dalam Hukum Pidana Positif Di Indonesia." Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 1, No. 1 (2014): 12.

Pomounda, Ika. “Perlindungan Hukum Bagi Korban Penipuan Melalui Media Elektronik.” Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion 4, No. 3 (2015): 5.

R.B. Sularto, Purwanto. “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penipuan Dalam Pembelian Barang Secara Online.” Diponegoro Law Review 6, No. 2 (2017): 1-7.

Solim Jevlin, “Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Penipuan Situs Jual Beli Online Di Indonesia”. Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia 14, No. 1 (2019): 97.

Sumenge, Melisa Monica. “Penipuan Menggunakan Media Internet Berupa Jual-Beli Online.” Lex Crimen II, No. 4 (2013): 1-2.

Yudik, Putra. “Tinjauan Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Penipuan Jual Beli Melalui Online.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 6, No. 5 (1017): 8.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

(LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 251)

Jurnal Kertha Wicara Volume 10, No.1 Tahun 2020, hlm.61-70