KEKUATAN NILAI KESAKSIAN DALAM PERKARA PIDANA MELALUI MEDIA VISUAL

TELECONFERENCE

Aryantha Wijaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penggunaan teknologi khususnya teleconference dalam memberikan keterangan saksi di dalam persidangan masih menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi penggunaan teleconference ini merupakan wujud lahirnya peradilan informasi yang berjangkauan lebih luas. Namun disisi lain menimbulkan perdebatan karena teleconference tidak atau belum diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), akan tetapi pada prakteknya sarana teleconference tetap digunakan untuk memeriksa saksi dalam persidangan perkara pidana. Tujuan dari penelitian ini dimaksud menyampaikan penjelasan mengenai regulasi dan praktik kesaksian yang penyampaianya dilakukan melalui media visual teleconference. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan menelaah suatu peraturan perundang-undangan serta prosedur hukum yang berfungsi dan bagaimana praktiknya menjumpai kebenaran secara logika hukum. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peraturan Peraturan Perundang-Undangan khusunya KUHAP wajib memberikan kepastian hukum tentang kesaksian melalui media teleconference.

Kata Kunci: Alat Bukti, Kesaksian, Teleconfrence.

ABSTRACK

The use of technology, especially teleconference in providing witness statement in court proceeding still raises pros and cons. On the one hand, the use of this teleconference is a form of the birth of broader information courts. However, on the other hand it has caused debate because it is not or has not been regulated in the Criminal Procedure Code (KUHAP), but in the practice it is still used to examine witnesses in criminal proceedings. The purpose of this study is to provide an explanation about regulation and practice of witnesses which are delivered through visual teleconference media. This study uses normative legal research methodes, namely research conducted by examining a statutory regulation and legal procedures that function and how the practice find the truth logically. The results of this study indicate that the laws and regulations especially the Criminal Procedure Code are required to provide legal certainty about testimony through teleconference media.

Keywords : Evidence, Testimony, Teleconference

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Abad ini manusia dihadapkan pada revolusi generasi ke-4, yakni revolusi industri dan teknologi. Tingkatan generasi ke-4 ini yang lebih dikenal revolusi 4.0 ini telah merubah keberlasungan hidup manusia. Manusia dihadapkan dengan teknologi yang masuk kesegala sisi kehidupan manusia. Di Indonesia saat ini telah berada di vase revolusi ini, dimana teknologi serta informasi terjadi dan berjalan sangat dinamis. Pengaruh dari revolusi 4.0 ini tentu terlihat sangat jelas dimana adanya perubahan dan

pola tingkah laku dari masyarakat. Mulai dari semua serba digital. Tidak dapat disanggah, berangsur-angsur semua telah berpindah ke arah digitalisasi. Sampai-sampai jalinan celah manusia dan teknologi sudah tidak terhindarkan. Segala penunaian keperluan kini sudah tersuguh secara digital (online). Faedah teknologi juga dapat dirasakan oleh semua orang. Masa kini dalam mengakses berita sangat mudah dan dapat dilaksanakan kapan dan di manapun dengan adanya internet. Segala sesuatunya bisa dikerjakan dengan daring atau online tak terkecuali hal yang berbau persidangan dan peradilan.

Nasib terdakwa sangat ditentukan oleh proses pembuktian di depan sidang khususnya dalam pemberian keterangan saksi dan melalui proses pembuktian juga suatu peristiwa pidana bisa dijatuhi hukuman pidana pada hukum acara pidana pelaksanaan pembuktian langsung di muka sidang. Sebelum menjatuhkan suatu hukuman pidana, majelis hakim selalu mengamati 2 (dua) ketentuan wajib yang di tentukan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni: Keyakinan hakim dan alat bukti yang sah. Pasal 184 ayat (1) KUHAP mengatur ketentuan alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana antara lain: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan dari terdakwa. Menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang dimaksud keterangan saksi selaku alat bukti yang sah adalah apa yang saksi katakan di depan persidangan. Determinasi Pasal 1 angka 27 KUHAP harus disampaikan saksi di dalam keterangannya yakni: yang saksi alami, yang saksi lihat, dan yang saksi dengar.

Di era revolusi 4.0 ini dimana segala aktivitas bisa diakses dengan digital dan hal ini berdampak langsung pada sistem peradilan yakni mengenai keterangan saksi telah mengalami pembaharuan sehingga di dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana akan peristiwa tertentu kesaksian tidak lagi harus di hadirkan langsung di depan sidang dalam menyampaikan kesaksianya namun bisa dengan digital. Masa ini, di kancah peradilan Indonesia sudah disosialisasikan sistem memeriksa saksi jarak jauh menggunakan pemanfaatan metode ilmiah khususnya media visual yaitu teleconference. Teleconference adalah pertemuan melalui media telepun atau koneksi jaringan internet antara dua orang atau lebih. Jenis teleconference ada dua yaitu: audio conference yang menggunakan suara saja dan video conference yang menggunakan visual yang dimungkinkan delegasi konfrensi saling bertatapan. 1

Pemeriksaan keterangan saksi melalui teleconference perdana dilaksanakan dalam peradilan di Indonesia di tahun 2002. Untuk kali pertama Mahkamah Agung (MA) memberi izin terhadap Presiden RI ke 3 setelah BJ Habibie setelah masa jabatanya berakhir untuk menyampaikan kesaksian melalui teleconference pada persidangan dalam perkara pidana dengan terdakwanya ialah Rahardi Ramelan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.2 Penggunaan teleconference tentunya mengandung pengertian bahwa saksi dalam memberi keterangan tidak berada dimuka sidang sebagaimana persidangan pada umumnya. Dalam teknologi teleconference ini dapat “menghadirkan” saksi di persidangan tetapi hal yang perlu ditekankan adalah keberadaan saksi yang akan menyampaikan keterangan hanya sebatas visualisasinya saja melalui layar televisi yang secara fisik saksi berada di tempat lain yang dikondisikan seperti berada dalam satu ruang persidangan. 3

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Penelitian ini memusatkan dalam dua (2) pembahasan pertanyaan:

  • 1.    Bagaimana regulasi dan praktik kesaksian yang penyampaianya dilakukan melalui media visual teleconference?

  • 2.    Bagaimana kekuatan nilai dalam pembuktian kesaksian melalui media visual teleconference?

  • 1.3.    Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini dimaksud menyampaikan penjelasan mengenai regulasi dan praktik kesaksian yang penyampaianya dilakukan melalui media visual teleconference. Serta untuk memberikan pengetahuan atas nilai kekuatan pembuktian kesaksian melalui media visual teleconference tersebut. Bahwasanya dalam praktik persidangan perkara pidana masih banyak perdebatan pro dan kontra mengenai penyampaian kesaksian melalui media teleconference tersebut. Maka di dalam jurnal ini akan dijelaskan hal tersebut guna menghindari ketidak pastian hukum.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan yakni metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilaksanakan melalui cara menelaah suatu peraturan perundang-undangan serta prosedur hukum yang berlaku dan bagaimana praktiknya menjumpai kebenaran secara logika hukum. Pada penelitian ini juga menggunakan metode pendekatan peraturan Perundang-Undangan (statute approach). Materi hukum yang digunakan dalam penlisan ini adalah materi hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi hukum seperti buku-buku hukum, kamus hukum, serta jurnal tentang hukum4 dan menggunakan teknik analisis kajian kualitatif. Peraturan Perundang-Undangan yang digunakan sebagai hukum primer yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Rancangan Kitab Undang-Undang Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pertentangan Penyampaian Alat Bukti Keterangan Saksi Menggunakan Media Teleconference

Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menganut pemahaman serupa seperti pendapat A.V. Dicey, mengatakan adanya supremasi hukum yang artinya segala permasalahan yang muncul baik dalam lingkup masyarakat ataupun dalam lingkup pemerintahan harus diselesaikan secara hukum. 5 Pemeriksaan kesaksian melalui media teleconference belum atau tidak adanya pengaturan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), melainkan hanya diatur secara implisit pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Pada hal ini tidak adanya tatanan di dalam KUHAP yang secara nyata mengatur perihal penyampaian

keterangan saksi melalui media teleconference melainkan ketentuan yang tegas terdapat pada yurisprudensi. Yurisprudensi di Indonesia memiliki sifat “Persuasive precedent” yang artinya yurisprudensi hanyalah selaku akar hukum dalam artian formal. Di Indonesia serta tidak mengenalnya asas “stare decisis et quitannon movere” yang artinya suatu landasan hukum menerangkan bahwa pengadilan berada dibawahnya harus menuruti keputusan pengadilan berada diatasnya. 6 Bahwasanya untuk mendayagunakan media teleconference pada pemeriksaan saksi di depan sidang menjadi sah, maka Majelis Hakim harus menemukan hukum dalam melaksanakan pemeriksaan alat bukti penyampaian kesaksian melalui media teleconference. Ini mengartikan bahwasanya penyampaian kesaksian melalui media teleconference tidak bisa langsung dipergunakan menjadi suatu peraturan yang langsung bisa diterapkan. 7 Kesaksian melalui media teleconference belum atau tidak diatur dalam KUHAP lantaran sistem saat itu tidak memahami akan pesatnya perkembangan informasi, teknologi, dan komunikasi yang sangat cepat yang menyebabkan perancang KUHAP tidak berupaya mengantisipasi hal tersebut. Secara legalistic formal media teleconference tidak bersesuaian dengan Pasal 160 ayat (1) huruf a dan Pasal 167 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengharuskan hadirnya saksi secara nyata di depan persidangan. Namun, majelis hakim berpatokan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim memiliki kewajiban selaku aparat penegak hukum dan keadilan bertujuan menemukan, mengikuti, memahami, serta mencari kebenaran materiil di dalam hukum pidana, dan dalam hal ini formalitas aspek bisa ditinggalkan secara hati-hati. Struktur pembuktian adalah aturan mengenai alat bukti yang bisa serta dapat dipakai, analisis alat bukti, dan seharusnya alat bukti itu dipakai juga bagaimana tafsir hakim mewujudkan keyakinan hakim pada persidangan. Terdapat dua struktur pembuktian yaitu adalah secara positif dan secara negative.8 Alat bukti kesaksian ialah apa yang saksi katakan di hadapan persidangan sesuai dengan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dan dikaitkan dengan Pasal 1 butir 27 KUHAP maka yang harus dijelaskan saksi ialah: Saksi dengar, saksi lihat, dan saksi alami sendiri. Berkat kemajuan teknologi, kesaksian yang dikemukakan di hadapan sidang mengalami perluasan pengertian dalam bidang hukum. Lantaran di dalam KUHAP tidak atau belum ada pasal yang mengatur, Pemeriksaan keterangan saksi melalui teleconference kemudian dijabarkan di dalam peraturan perundang-undangan lainnya Undang-Undang ITE Nomor 19 Tahun 2016 selaku langkah prediksi hukum atas kemajuan di bidang informasi, teknologi, dan komunikasi. Dalam praktek peradilan perkara pidana di persidangan penyampaian kesaksian tidak harus diberikan serta-merta (fisik) dalam hal menyampaikan kesaksianya.9 Saksi ialah orang yang menyampaikan keterangan demi keperluan di dalam tahap penyidikan, penuntutan, serta persidangan suatu perkara pidana yang ia

lihat, dengarkan, dan alami. Maka kesaksian ialah satu diantara alat bukti proses peradilan perkara pidana serta ia menyebut alasan dan pengetahuanya tersebut. 10

Sistem dunia peradilan di Indonesia sudah ditetapkan cara pemeriksaan keterangan saksi virtual dengan memanfaatkan teknologi yaitu teleconference. Tatanan Perundang-Undangan yang mengatur tentang penyampaian keterangan saksi secara jarak jauh ialah Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Dalam pasal tersebut ditegaskan ada 3 pilihan yaitu:

  • 1.    Saksi boleh memberikan informasi secara tertulis dihadapan pejabat hakim, notaris, dan camat.

  • 2.    Penyampaian kesaksian bisa diperiksa melalui teleconference.

  • 3.    Pemeriksaan saksi yang disampaikan keteranganya pada ruangan mengkhusus.11

Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga mengatur infomasi dan dokumen berbentuk elektronik dinyatakan sebagai alat bukti dan kecuali dalam undang-undang ini juga menyatakan aturan yakni hasil cetak merupakan alat bukti yang sah. Dalam hal inilah yang sering terjadi perdebatan pro-kontra dalam pembuktian suatu perkara pidana. meskipun UU ITE telah mengatur tentang alat bukti secara elektronik, tetap saja sistem pembuktian pada perkara pidana mengacu pada Pasal 183 KUHAP.12 Majelis Hakim yang menangani kasus pidana ini tentunya sudah menimbang seberapa penting substansi dalam suatu perkara yang ditangani sehingga keterangan saksi dapat disampaikan dari jarak jauh melalui teleconference, sehingga saksi perlu dihadirkan walaupun hanya sebatas visualisasi padahal di dalam KUHAP sudah diatur tentang penyampaian keterangan saksi yang berhalangan hadir pada pasal 162 ayat (1) KUHAP.

Penerapan penyampaian kesaksian melalui media teleconference merupakan suatu terobosan baru di bidang peradilan pidana Indonesia walaupun penyampaian keterangan saksi secara teleconference sudah pernah dipergunakan pada persidangan, namun sistem ini masih menjadi suatu perdebatan pada pelaksanaanya. Perdebatan ini timbul dengan argumentasi bahwa penyampaian keterangan saksi melalui teleconference tidak atau belum diatur dalam KUHAP yang merupakan hukum formil. Namun apabila menilik asas Trilologi Peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, bahwa praktik penyampaian keterangan saksi melalui media teleconference dapat mewujudkan prinsip terkandung. Kendatipun KUHAP tidak atau belum mengatur tentang penyampaian keterangan saksi melalui media teleconference tetapi kekuatan dan kualifikasi pembuktianya tetap berpedoman pada KUHAP yang merupakan acuan dalam beracara pidana di Indonesia. Dasar penyampaian kesaksian dengan media teleconference dalam klasifikasi alat bukti yang sah ialah berdasarkan metode interpretasi, yaitu dengan menafsirkan keterangan saksi melalui media teleconference berada dalam satu ruang sidang dengan Hakim, Jaksa, Kuasa Hukum

seperti layaknya persidangan pada umunya dan kesaksian melalui media teleconference juga tidak mengurangi pokok substansi dari keterangan yang disampaikan.

Walaupun penyampaian keterangan saksi melalui media teleconference memiliki keunggulan, namun pada praktiknya cukup sering terjadi perdebatan pada persidangan yang dikarenakan beberapa faktor yaitu:

  • 1.    KUHAP tidak mengatur tentang penyampaian keterangan saksi melalui teleconference.

  • 2.    Kebijakan formulatif serta kebijakan aplikatif di indonesia merujuk pada determinasi hukum positif. Keadilan yang diformulasikan kebijakan formulatif yaitu keadilan menurut undang-undang.

  • 3.    Keberadaan dari teleconference, dalam hal ini hakim menyetujuinya. Sudut pandang ini seharusnya dilakukan dalam peradilan Indonesia bilamana ingin di pandang positif masyarakat13

Pada intinya, hakekat digunakanya teknologi yang disebut teleconference untuk mendengarkan penyampaian keterangan dari saksi karena saksi tersebut berhalangan hadir di depan sidang sebagaimana persidangan pada umumnya tidak lepas dari target hukum acara pidana yakni ditemukanya kebenaran materil.

Hadirnya tatanan yang mengatur tentang penyampaian alat bukti kesaksian melalui media teleconference melambangkan suatu langkah maju dan menjadi sedikit solusi dalam mengisi kekosongan KUHAP. Ini merupakan tonggak dalam bidang hukum seiring kemajuan teknologi informasi, dan komunikasi. Terobosan ini seirama dengan hasil dari sebuah penelitian yang di lakukan Susan Ledray menyebut bahwa Montgomery Country Circuit Court di Maryland14 sudah menerapkan teknologi teleconference dalam penyampaian kesaksian secara jarak jauh beberapa tahun belakangan. Pertemuan yang menggunakan teleconference memiliki kemungkinan pembicaraan satu waktu dari sejumlah peserta melalui penerapan media komputer atau alat yang berisikan fitur kamera, speaker, serta mikrofon. Selain itu para peserta juga dapat membagikan layar desktop serta data, pembicaraan yang mempergunakan media yaitu dengan gambar, merecord serta menyimpan video/audio yang sedang berlangsung. Gabungan terbaik dan paling tepat dipergunakan dalam memastikan alat bukti yang memadai dan meyakinkan adalah pengalaman, keyakinan, dan analisis hakim untuk menguji pemakaian alat bukti dalam persidangan, hakim wajib memfokuskan kontribusi diantara alat bukti beserta sesuatu yang perlu dicari kebenaranya. Jika ketentuan saksi seperti yang diatur di dalam KUHAP dilaksnakan dalam pemberian kesaksian yang diberikan melalui teleconference, dapat dijelaskan seperti berikut: 1. Kesaksian di muka pengadilan. Dalam penggunaanya teleconference harus menampilkan gambar mendetail dan dengan mutu suara yang jelas serta tidak adanya gangguan untuk mempermudah Majelis Hakim menilai langsung kesaksian yang diberikan melalui sorot mata ataupun gerak anggota tubuh yang diperlihatkan saksi di depan sidang. Maka dari itu prinsip kehadiran seorang saksi di depan persidangan juga dapat terpenuhi melalui media teleconference.

  • 2.    Saksi disumpah sebelum menyampaikan kesaksianya. Pasal 160 ayat (3) KUHAP menetukan bahwa, pemanfaatan media teleconference tidaklah sangat berbeda dengan sidang pada umumya, sebelum seorang saksi menyampaikan keteranganya

diwajibkan mengucap sumpah menurut keyakinan atau agama yang dipercaya bahwa ia akan menyampaikan kesaksian dengan senyatanya dan tidak mengurangi atau melebihi dari yang ia ketahui.

  • 3.    Kejadian yang ia alami, dengar, dan lihat. Pada sidang perkara pidana, kesaksian adalah salah satu alat bukti yang berwujud informasi pada seseorang sebagai saksi akan sebuah kejadian dengan menyebut alasan yang ia ketahui saat peristiwa terjadi. Maka dari itu, penyampaian kesaksian melalui teleconference bakal menjadi alat bukti yang sah apabila pihak bersangkutan tidak menyanggahnya.

Dalam hal ini, syarat sahnya penyampaian kesaksian tersebut sudah terpenuhi maka keterangan yang disampaikan dalam persidangan sudah mempunyai kekuatan yang bisa diterima selaku alat bukti. Kesaksian tersebut menjadi bahan pemikiran oleh hakim dalam menjatuhkan vonis atas suatu perkara pidana yang terjadi. Dengan begitu, dasar hukum penyampaian keterangan saksi melalui media teleconference menjadi jelas.15

  • 3.2 Regulasi Penyampaian Kesaksian Melalui Teleconference

Kesaksian merupakan alat bukti yang amat penting pada sebuah persidangan, hal ini tercermin pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang juga mendetail pada Pasal 184 KUHAP menyatakan kesaksian menduduki rangkaian pertama diantara alat bukti sah lainya. Pada hal ini tiada persidangan perkara pidana terbebas dengan pembuktian alat bukti kesaksian serta mendekati keseluruhan pembuktian pada persidangan perkara pidana bersangga terhadap analisis alat bukti kesaksian. Ada tiga (3) pandangan secara garis besar yang berkaitan dengan adanya kemajuan penyampaian keterangan saksi melalui media teleconference. Tiga (3) pandangan tersebut memperdebatkan apakah penyampaian kesaksian tersebut selaku, alat bukti kesaksian, alata bukti petunjuk, atau sebatas keterangan di berikan untuk memperkuat keyakinan majelis hakim dalam memutuskan sanksi perkara tindak pidana.16 Walapun di dalam KUHAP tidak atau belum mengatur tentang penyampaian keterangan saksi melalui media teleconference, kekuatan dalam pembuktianya tetap ditinjau dari KUHAP yang merupakan hukum formil di Indonesia.

Pada pengertian yuridis yang diartikan bukti ialah sesuatu yang meyakinkan kebenaran dari suatu kasus pidana. Tahap pembuktian di persidangan hal pertama yang dihadapi oleh para pihak adalah menghadirkan alat bukti guna memastikan hakim akan dalil yang diajukan para pihak. Disebutkan Pasal 160 ayat (3): “Sebelum saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji, dan pengucapan sumpah dilakukan sebelum saksi menyampaikan keterangan, juga dimungkinkan apabila dianggap perlu oleh persidangan maka pengucapan sumpah atau janji dilakukan setelah saksi menyampaikan keterangan”. Namun jika saksi menentang dalam mengucap sumpah atau janji sebelum menyampaikan kesaksian di muka persidangan tanpa adanya alasan yang jelas dan logis, maka saksi itu dapat dijatuhkan sanksi berupa hukuman sandera badan (gijzelling), maksimal 14 hari sesuai dengan penetapan Hakim Ketua (Pasal 161 KUHAP). Dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa saksi berkewajiban mengucapkan sumpah serta merujuk pada

Pasal 185 ayat (7) menerangkan saksi tidak atau tanpa mengucap sumpah maka dari itu penyampaian kesaksian pada persidangan dikelompokan menjadi dua yaitu: 17

  • 1.    Alat bukti kesaksian disampaikan tanpa disumpah.

  • 2.    Alat bukti kesaksian disampaikan dengan disumpah.

Dalam hal ini alat bukti kesaksian memiliki kekuatan pembuktian yang berlainan.

  • a.    Kesaksian diberikan tanpa sumpah.

Mengenai alat bukti kesaksian yang disampaikan tanpa sumpah akan dipaparkan sebagai berikut:18

  • 1)    Saksi menolak untuk disumpah.

Dalam hal ini informasi yang disampaikan saksi bukan merupakan alat bukti, tapi penyampaian keterangan tertera bisa menjadi penguat intuisi Majelis Hakim bilamana pembuktian yang dilakukan batas minimal dalam pembuktian serasi dengan Pasal 161 ayat (2) KUHAP.

  • 2)    Saksi tidak dapat dihadrikan ke persidangan.

Pada hal ini kesaksian yang sudah disampaikan pada proses penyidikan dengan tidak mengucap sumpah juga tidak dapat dihadirkan dalam persidangan. Kesaksian disampaikan dalam penyidikan akan ada pada berita acara penyidikan dan selanjutnya akan dibacakan pada persidangan dan kekuatan pembuktianya bisa disamakan dengan penyampaian saksi yang disampaikan pada persidangan tanpa di sumpah.

  • 3)    Saksi memiliki hubungan darah.

Saksi yang memiliki hubungan darah dengan terdakwa tidak bisa menyampaikan kesaksian dengan disumpah. Tetapi saksi yang mempunyai hubungan keluarga juga dapat menyampaikan keterangan dibawah sumpah atas dasar disetujui oleh jaksa dan terdakwa sendiri yang pantas pada determinasi pasal 169 ayat (2). Keterangan saksi yang mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga hanya bisa bernilai dan digunakan meneguhkan alat bukti yang telah dinyatakan sah terlebih dahulu selama informasi disampaikan memiliki keserasian dengan alat bukti yang sah dan alat bukti yang sah sesudah terpenuhinya batasan minimal pembuktian.

  • 4)    Saksi pada penggolongan Pasal 171 KUHAP

Penilaian kekuatan dari pembuktian pada kesaksian masuk pada penggolongan Pasal 171 KUHAP menggambarkan tidak alat bukti sah. Tetapi atas penjelesanya pasal 171 KUHAP menyatakan nilai pembuktian menurut keterangan saksi tersebut bisa dipergunakan sebagai petunjuk Majelis Hakim.

Meneladan penjabaran sebelumnya maka dapat disimpulkan semua kesaksian yang disampaikan tanpa atau tidak disumpah dinilai:

  • a)    Keterangan yang disampaikan tidak mencerminkan alat bukti yang sah.

  • b)    Tidak menyandang kekuatan nilai pembuktian.

  • c)    Melainkan, kesaksian yang tanpa disumpah bisa dijadikan tambahan alat bukti yang sah bilamana terpenuhinya sejumlah unsur, yakni:

  • I.    wajib adanya terlebih dahulu alat bukti sah serasi ketentuan Pasal 184 KUHAP.

  • II.    Minimal ada 2 alat bukti yang sah.

  • III.    Terdapat kesesuaian diantara alat bukti yang sah atas kesaksian yang disampaikan tanpa disumpah.

Namun dalam halnya, hakim sama sekali tidak harus mempergunakan keterangan saksi tanpa disumpah tersebut, sema bergantung pada pendapat dan penilaian hakim dalam persidangan. Atau dalam arti yang berbebeda hakim dibebaskan untuk mempergunakanya atau mengesampingkan keterangan saksi yang tanpa disumpah tersebut.19

  • b.    Kesaksian yang disampaikan dengan disumpah.

Dalam menakar sah atau tidak kesaksian selaku alat bukti, tidak hanya faktor sumpah yang ada dalam kesaksian agar berkarakter sah, melainkan ada unsur lain yang harus dipenuhi dan diatur dalam undang-undang yaitu:

  • 1.    Saksi wajib mengucap sumpah.

  • 2.    Kesaksian yang disampaikan harus tentang tindak pidana yang saksi alami, dengar, dan lihat sendiri serta menyebutkan secara rinci akar yang diketahuinya.

  • 3.    Kesaksian wajib disampaikan di depan sidang.

  • 4.    Kesaksian wajib memenuhi batasan minimal pembuktian sesuai dengan Pasal 183 KUHAP.

Bilamana syarat tersebut sudah terpenuhi baru kemudian kesaksian tersebut memiliki nilai bukti dan dengan sendiri kesaksian tercantum tertuju nilai kekuatan pembuktian. Dalam hal ini sampai mana takaran kekuatan pembuktian kesaksian selaku alat bukti yang sah, yakni:20

  • 1)    Menyandang kekuatan pembuktian bebas.

Kesaksian memiliki nilai kekuatan bebas dalam arti lain kesaksian selaku alat bukti yang sah tanpa memiliki kekuatan pembuktian yang terbaik serta tidak menentukan. melalui kata lain keterangan saksi yang disampaikan selaku alat bukti yang sah ialah berkarakter bebas, tidak menentukan, tidak sempurna, dan juga tidak memaksa.

  • 2)    Kekuatan nilai pembuktian bersangga pada Majelis Hakim.

Kesaksian yang bebas sangat tidak mengikat hakim. Hakim memiliki kebebasan menentukan kesempurnaan juga kebenaranya terkait dalam anggapanya yang menyatakan sempurna atau tidak. Namun demikian dalam menggunakan kebebasanya menakar kekuatan pembuktian keterangan saksi, hakim wajib bertanggung jawab.

Kesaksian memiliki nilai dan juga kekuatan pembuktian dalam hakekatnya harus terpenuhinya ketentuan berikut:

  • I.    Syarat objektif

  • 1.    Tidak dibolehkan bersamaan selaku terdakwa.

  • 2.    Tidak diperbolehkan memiliki jalinan kekeluargaan.

  • 3.    Dapat bertanggung jawab, yaitu telah berumur 15 tahun atau telah kawin dan tidak menderita sakitapada ingatan.

  • II.    Syarat formal

  • 1.    Kesaksian wajib dinyatakan di depan sidang.

  • 2.    Kesaksian wajib dinyatakan dengan sumpah

  • III.    Syarat subjektif atau internal

  • 1.    Saksi menyampaikan keterangan yang ia alami, dengar, dan lihat sendiri.

  • 2.    Alasan kenapa saksi tersebut mengalami, mendengar, serta melihat sesuatu yang disampaikanya.

Bilamana ketentuan tersebut unsurnya sudah dipenuhi maka kesaksian tersebut memiliki kuantitas sebagai alat bukti dan merekat kuantitas kekuatan pembuktian. Tetapi kembali lagi kesaksian adalah bersifat bebas dan tidak mewajibkan Majelis Hakim.

  • IV.    Penutup

    4.1.    Kesimpulan

Pengaturan mengenai pemeriksaan keterangan saksi melalui teleconference diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Transaksi yang mengatur secara khusus menyangkut pembuktian dengan media elektronik. Hal ini juga diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur mengenai pemeriksaan saksi secara jarak jauh melalui komunikasi audio visual. Selain itu salah satu pertimbangan diselenggarakannya pemeriksaan saksi melalui teleconference antara lain untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil dan penggunaan teleconference ini disebabkan karena beberapa faktor yaitu jarak, kesehatan saksi, keamanan, psikologis, dan alasan lain yang dibenarkan oleh hukum.

  • 4.2.    Saran

Kualitas penegakan hukum yang kurang baik menimbulkan suasana yang kurang kondusif ditengah masyarakat. Pemerintah yang dalam hal ini yakni Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seharusnya membentuk peraturan perundang-undangan (hukum formil)yang baru untuk memberikan suatu kepastian terhadap pemeriksaan keterangan saksi melalui media teleconference agar tidak menimbulkan perdebatan di masyarakat.

Daftar Pustaka

Buku

Wahid, Fathul. “Kamus Istilah Teknologi Informasi”. Ed. I. Yogyakarta: Andi, 2002.

Mulyadi, Lilik. “Bunga Rampai Hukum PIdana: Perspektif, Teoritis dan Praktik”.

Bandung: Alumni, 2008.

Alfitra. “Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia”. Edisi Revisi. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011.

Subekti, R. “Hukum Pembuktian”. Cetakan ke-19. Jakarta: Balai Pustaka, 2015.

Marzuki, Peter Mahmud. “Penelitian Hukum”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017.

Jurnal Ilmiah

Salyzyn, Amy. “New Lens: Reframing the Conversation about the Use of Video Conferencing in Civil Trials in Ontario”. Osgoode Hall Law Journal, Vol. 50, No. 2, (2012).

Ledray, Susan. “Virtual Services Whitepaper”. Harvard Journal of Law & Technology, Occasional Paper Series—February, (2013).

Mariangi, Jemmy. "Tinjauan Yuridis Tentang Pemeriksaan Saksi Dipersidangan Melalui Teleconference." PhD diss., Tadulako University, 2013.

Suisno. “Keterangan Saksi Via Teleconference dalam Pembuktian Perkara Pidana di Indonesia”. Jurnal Independent, Vol. 2, No. 1, (2014).

Tintingon, Swindy A.J. “Kesaksian Saksi melalui Teleconference dalam Persidangan di Pengadilan”. Lex et Societatis, Vol. 2, No.8, (2014).

Siregar, Ruth Marina Damayanti. “Legalitas Keterangan Saksi melalui Teleconference sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana”. Jurnal jurisprudence, Vol. 5, No. 1, (2015).

Erdianto, Dian & Soponyono, Eko. “Kebijakan Hukum Pidana dalam Pemberian Keterangan Saksi melalui Media Teleconference di Indonesia”. Jurnal         Law

Reform, Vol. 11, No. 1, (2015).

Dwicahyono, Teguh. “Keabsahan Alat Bukti Keterangan Saksi melalui Teleconference dalam Pemeriksaan Perkara Pidana di Pengadilan”. Tesis. Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, (2015).

Wardani, Poetri Novendis Lindayang Kusuma. "Keabsahan Alat Bukti Keterangan Saksi yang Diberikan melalui Teleconference dalamSistem                Peradilan

Pidana." Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum (2015).

Mamulai, Muslim. "Hakikat pembuktian melalui media elektronik dalam prespektif sistem peradilan pidana Indonesia." Al-Ishlah: Jurnal Ilmiah Hukum 19, no. 1 (2017): 1-17.

Sharfina, Lulu Azmi. “Keabsahan Kesaksian (Keterangan Saksi) yang Disampaikan secara Teleconference di Persidangan”. Skripsi. Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, (2018).

Nurlatu, Samsul. “Kedudukan Anak sebagai Pemberi Keterangan Saksi dalam Perkara Pidana di Pengadilan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana”. Lex Crimen, Vol. 7, No.1, (2018).

Arifahhana, Farras. “Perspektif Yuridis terhadap Kekuatan Alat Bukti Elektronik dalam Perkara Pidana di Persidangan”. Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol. 26, No. 3, (2020).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Jurnal Kertha Wicara Vol 09 No. 10 Tahun 2020, hlm. 1-11