PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PERBUATAN SUMBANG (INCEST) DALAM KONSEP KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) BARU

Oleh

Nyoman Mahadhitya Putra I Wayan Sutara Djaya Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

Incest is one of the criminal perpetration which regulated in article 294 paragraph (1) of the Indonesian Criminal Code. However, this regulation still limited to the requirement that the incestuous relationship is done with his biological children who are not old enough. Whereas, incest itself contains a broad sense, so that on the Indonesian Criminal Code Bill, criminalizing incest to be one attention through the establishment of new regulations on this matter. Such changes certainly would inflict of change also in determining of criminal responsibility against the offender.

Keywords: Incest, Criminal Responsibility, Criminal Code Bill

ABSTRAK

Inses merupakan salah satu tindak pidana yang diatur dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP. Namun, peraturan tersebut masih terbatas pada persyaratan bahwa hubungan inses tersebut dilakukan dengan anak kandungnya yang belum cukup umur. Padahal, inses itu sendiri mengandung pengertian yang luas, sehingga dalam RUU KUHP, kriminalisasi inses menjadi salah satu perhatian melalui pembentukan ketentuan baru mengenai hal ini. Perubahan tersebut tentu akan mengakibatkan perubahan pula dalam menentukan pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya.

Kata kunci: Inses, Pertanggungjawaban pidana, RUU KUHP

  • I.    PENDAHULUAN

    1.1.    LATAR BELAKANG

Tindak pidana incest atau biasa disebut sebagai perbuatan sumbang merupakan salah satu perbuatan yang oleh KUHP dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Incest atau inses menurut Nina Surtiretna adalah hubungan seks antara seseorang dengan keluarga sedarah atau orang-orang yang tidak sah menikah, baik adik atau kakak kandung, bibi, paman bahkan ibu atau ayah sendiri.1 Dalam hal ini, Incest dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu yang sifatnya sukarela atau suka sama suka dan ada yang bersifat paksaan.

Incest itu sendiri merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai agama, susila yang dianut oleh masyarakat. Namun, tindak pidana incest oleh KUHP cenderung dibatasi oleh persyaratan usia korbannya dan unsur bahwa korban merupakan anak kandungnya. Padahal tindak pidana incest dalam perkembangannya tidak hanya terjadi antara seseorang dengan anak yang belum cukup umur, maupun antara ayah dengan anak kandungnya, begitu pula tidak hanya dilakukan dengan tekanan fisik maupun psikis tertentu, tetapi juga dapat dilakukan secara volunter atau sukarela, hal ini memperlihatkan adanya kekosongan norma di dalam KUHP. Oleh sebab itu kriminalisasi tindak pidana incest menjadi salah satu perhatian dalam konsep KUHP baru. Dalam RUU KUHP tahun 2010, tindak pidana incest mengalami beberapa perubahan baik penambahan maupun pengurangan dalam rumusannya. Sejalan dengan adanya kriminalisasi tindak pidana incest tersebut, tentu masalah pertanggungjawaban pidana terhadap pelakunya-pun mengalami perubahan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka menggugah penulis untuk membahas permasalahan mengenai “pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perbuatan sumbang (incest) dalam konsep KUHP baru”.

  • 1.2.    TUJUAN

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana incest dalam konsep KUHP yang baru, dan mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana incest menurut RUU KUHP tersebut.

  • 1.3.    METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu jenis penelitian hukum normatif yang dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.2 Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum dari penelitian normatif yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik analisis terhadap hasil penelitian dilakukan melalui teknik deskripsi dan teknik argumentasi.

  • II.    HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya mengarah pada pemahaman pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Dalam hal ini, pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan dapat atau tidaknya seseorang dimintakan pertanggungjawabannya atas suatu tindak pidana yang terjadi. Di dalam hukum pidana dikenal asas yang berkaitan erat dengan pertanggungjawaban pidana, yaitu asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” yang merupakan dasar dipidananya pembuat.3 Oleh karena itu, dalam sebuah pertanggungjawaban pidana terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yakni tindak pidana dan pelaku tindak pidana.

Di dalam KUHP memang tidak diberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana, namun dalam RUU KUHP Tahun 2010, pertanggungjawaban pidana sudah diatur dalam Bab II, yaitu pada Pasal 36, yang menyatakan bahwa “pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaaan yang obyektif yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu”.

Mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku incest, sehingga terhadapnya dapat dipidana, maka pelakunya haruslah memenuhi unsur-unsur: (1) melakukan perbuatan pidana, (2) mampu bertanggung jawab; (3) dengan sengaja atau karena kealpaan; (4) tidak adanya alasan pemaaf.4 Dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP, bentuk incest terbatas pada melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum cukup umur, sehingga terhadap hubungan incest yang dilakukan dengan orang dewasa maupun yang dilakukan terhadap anggota keluarga sedarah selain anak kandungnya tidak dapat dituntut berdasarkan pasal ini. Berbeda dengan KUHP, dalam RUU KUHP bentuk perbuatan pidana incest diatur dalam Pasal 496 ayat (1), yaitu melakukan perbuatan cabul dengan anak kandungnya, tanpa mensyaratkan bahwa anak tersebut belum cukup umur. Dalam RUU KUHP ini juga terdapat penambahan Pasal incest, yaitu Pasal 489 ayat (1) dengan bentuk perbuatan pidananya adalah melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya masih anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga. Adanya ketentuan baru ini,

membuat hubungan incest yang didasarkan kesukarelaan atau suka sama suka, maupun dilakukan oleh pasangan dewasa menjadi dapat dipersalahkan menurut pasal ini. Sedangkan, menurut Pasal 489 ayat (2), perbuatan pidananya adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin.

Adanya perbuatan pidana tersebut, belumlah cukup untuk dapat dipertanggungjawabkannya pelaku incest, sehingga harus ada unsur kesalahan pelaku. Mengenai unsur kesalahan itu sendiri, dalam RUU KUHP diatur secara tegas dalam Pasal 37, yakni mencakup kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan, kealpaan dan tidak ada alasan pemaaf. Dalam tindak pidana incest, unsur kesalahan ini merupakan unsur-unsur yang mengarah pada unsur subyektif dari pelakunya. Dalam Pasal 489 RUU KUHP, unsur kesengajaan memang tidak dicantumkan dengan tegas, namun dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan kesalahan disini adalah (1) adanya kehendak, maksud, atau niat pelaku untuk mengadakan persetubuhan; dan (2) adanya kehendak pengetahuan pelaku bahwa seseorang yang disetubuhinya masih anggota keluarga sedarah. Dengan kata lain, pelaku incest dapat dipertanggungjawabkan pidana apabila dalam melakukan perbuatannya, ia mempunyai bentuk kesengajaan berupa pengetahuan bahwa seseorang yang disetubuhinya tersebut adalah anggota keluarga sedarahnya dalam garis lurus maupun ke samping sampai derajat ketiga.

Apabila dicermati prihal pertanggungjawaban pidana pelaku incest menurut RUU KUHP tersebut, masih terdapat kelemahan yang mungkin dapat menjadi hambatan saat diberlakukan, yaitu:

  • 1.    Adanya unsur “yang diketahuinya” dalam Pasal 489 ayat (1) sebagai unsur yang harus dipenuhi guna dapatnya pelaku dipertanggungjawabkan pidana. Hal ini disisi lain dapat dijadikan alasan bagi pelaku untuk mengelak dari tuntutan hukum telah melakukan incest dengan alasan ia tidak mengetahui bahwa yang disetubuhinya masih anggota keluarga sedarah, sehingga bila unsur pengetahuan terdakwa tersebut tidak dapat dibuktikan, maka hakim akan memberikan putusan bebas bagi terdakwa.5

  • 2.    Adanya penentuan pelaku dalam Pasal 489 ayat (2), yaitu dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin. Unsur ini jika dicermati, maka akan berakibat apabila pelakunya adalah seorang perempuan,

terhadapnya justru tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 489 ayat (2) tersebut.

III. KESIMPULAN

Pertanggungjawaban pidana timbul dengan diteruskannya celaan obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, dan secara subyektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Sehingga, pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku incest menurut RUU KUHP timbul bilamana ia telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam pasal-pasal incest dalam RUU tersebut dan secara subyektif ia memiliki unsur kesalahan dalam melakukan perbuatannya. Unsur kesalahan yang menjadi syarat dapat dipertanggungjawabkannya pelaku tindak pidana incest tersebut terdiri dari mampu bertanggung jawab, adanya bentuk kesengajaan berupa (1) kehendak mengadakan persetubuhan atau perbuatan cabul, dan (2) pengetahuan pelaku bahwa yang disetubuhi atau dicabulinya adalah anak kandungnya atau seseorang yang masih anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga, serta tidak adanya alasan yang memaafkan perbuatan pelaku.

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Lamintang, P.A.F., dan Theo Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan Dan Norma Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1968, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Djawab Pidana (Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana), Centra, Jakarta.

Surtiretna, Nina, 1997, Bimbingan Seks Bagi Remaja, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Undang-Undang:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Terjemahan Moeljatno, 2008, Bumi Aksara, Jakarta).

Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU

KUHP) Tahun 2010, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/prolegnas-2010-

2014/133-daftar-rancangan-undang-undang.html, (diakses 30 April 2013).

5