GANTI KERUGIAN DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN BAGI TERDUGA TERORIS YANG TERTEMBAK MATI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA

Oleh:

Ni Putu Riyani Kartika Sari I Nyoman Suyatna Bagian Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Prapradilan dapat disamakan artinya dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan1. Praperadilan merupakan suatu perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang bagi tersangka atau terdakwa maupun keluarganya untuk menuntut keadilan apabila terjadi kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum. Permohonan praperadilan dapat diajukan oleh keluarga atau ahli waris terduga teroris yang mendapat tindakan dari aparat ketika berlangsungnya penggerebekan teroris. Dengan menggunakan metode normatif, tulisan ini akan membahas mengenai Praperadilan dan beberapa aspek yang berkaitan dengan terduga teroris yang mati karena tindakan aparat; seperti kaitan Praperadilan dengan Hak Asasi Manusia dan ganti kerugian yang didapat berdasarkan putusan Praperadilan. Ganti kerugian dalam putusan Praperadilan melalui penetapan berupa ganti rugi materiil dan immateriil. Dimana hal tersebut sebagai bentuk perlindungan HAM terhadap pelaku tindak pidana.

Kata kunci: Praperadilan, Hak Asasi Manusia, Ganti Kerugian, Terorisme

ABSTRACT

Pre-trial shall be defined as preparatory investigation before the court trial held. Pre-trial shall be considered as a means of protection derived from Law towards the defendant or alleged ones or their relatives with the justice-seeking motives when arbitrary measures were committed by the authorized officials. Option to deliver a pretrial motion shall also be provided towards the relatives or inheritor of alleged terrorist who experienced arbitrary measures during the ambush conducted by the authorized officials. Given the normative legal research to be applied within this writing, it shall also illustrate the pre-trial and certain aspects related alleged terrorist who deceased due to the action constituted by the authorized officials; for instance, the relation between Pre-trial and Human Rights and Compensation derived from the court’s verdict. Compensation within this judgment shall be applied both in material and immaterial means. Such mechanism also promotes the human rights especially towards the offender itself.

Keywords: Pre-trial, Human Rights, Compensation, Terrorism

  • I.    Pendahuluan

    1.1. Latar Belakang

Pelaku tindak pidana terorisme memang harus diberi hukuman sebagai ganjaran atas tindak pidana yang ia lakukan. Tetapi, sekalipun ia melakukan tindak pidana yang tergolong extraordinary crime yang keberadaannya sangat tidak diinginkan oleh setiap orang, pelaku tindak pidana terorisme selayaknya masih diberikan perlindungan hukum dalam sistem peradilan pidana, khususnya di Indonesia. Sering kali dalam penggerebekan yang dilakukan oleh Tim Densus 88 dalam rangka menumpas Tindak Pidana Terorisme langsung melakukan tindakan berupa penembakan kepada para terduga teroris yang menyebabkan tewasnya terduga teroris. Sehingga proses penyelesaian perkara pidana di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum tidak dapat dilaksanakan. Hukum Acara Pidana mengenal adanya asas praduga tak bersalah yakni seorang tersangka tetap dianggap tidak bersalah sebelum dijatuhi putusan atas perbuatan yang dilakukannya. Oleh karena itu selagi terduga teroris tersebut dilindungi asas praduga tak bersalah tersebut, tidak dapat dilakukan tindakan semena-mena terhadapnya, yang mana menyebabkan hak-hak dari tersangka atau terduga teroris tersebut sebagaimana ditentukan dalam KUHAP menjadi hilang.

Hal ini menimbulkan kerugian bagi keluarga terduga teroris tersebut karena ia kehilangan sanak saudaranya akibat tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Salah satu bentuk perlindungan bagi pelaku terorisme atau terduga teroris tersebut yakni dengan adanya wewenang pengadilan negeri untuk melakukan Praperadilan.

  • 1.2. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini secara untuk memberikan gambaran mengenai praperadilan, hubungan praperadilan jika dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia, dan bentuk ganti rugi bagi terduga teroris yang dituangkan dalam penetapan Putusan Praperadilan.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang dengan menganalisis peraturan perundang-

undangan atau hukum positif di Indonesia serta berbagai literatur yang terkait dengan praperadilan serta hak asasi manusia.

  • 2.2. Hasil dan Pembahasan

    • 2.2.1.    Pengertian dan Wewenang Praperadilan serta Hubungannya dengan Hak Asasi Manusia

Praperadilan secara terminologi terdiri dari dua kata yakni “pra” yang artinya sebelum dan peradilan artinya proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Prapradilan bukan lembaga peradilan yang berdiri sendiri jika ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilannya. Praperadilan juga bukan sebagai instansi peradilan yang mempunyai wewenang member putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana2. Pengaturan mengenai Praperadilan diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 83 KUHAP. Disamping itu, praperadilan juga memiliki kewenangan lain yakni memeriksa dan memutus tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan 97 KUHAP3. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP, disebutkan bahwa Praperadilan merupakan wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan; ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan. Dengan demikian praperadilan merupakan suatu upaya pemeriksaan yang dilakukan didepan Hakim sebelum perkara pokoknya diperiksa dalam sidang Pengadilan.

Sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 5, Pasal 8, dan Pasal 9, pada intinya menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh dijatuhi tindakan sewenang-wenang berupa penyiksaan, penangkapan, penahanan, atau dibuang; serta berhak memperoleh pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional atas tindakan yang melanggar hak-hak dasar manusia. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa adanya hubungan antara praperadilan dengan Hak Asasi Manusia. Praperadilan merupakan pengejawantahan dari ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Sehingga praperadilan menjadi perwujudan perlindungan terhadap

Hak Asasi Manusia. Menurut Andi Hamzah, “praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran hak-hak asasi manusia sebab niat praperadilan adalah sebagai terjemahan habeas corpus4 yang merupakan substansi HAM”5.

  • 2.2.2.    Bentuk ganti rugi yang dapat diberikan melalui penetapan hakim dalam Putusan Praperadilan kepada keluarga atau ahli waris terduga teroris

Putusan perkara pidana pada umumnya akan menyatakan bahwa terdakwa dinyatakan bersalah dan adanya penjatuhan pidana baik berupa penjara atau denda maupun kewajiban terdakwa membayar ganti rugi atas perbuatan yang dilakukan dalam tindak pidana tertentu. Namun dalam putusan praperadilan selain menyatakan sah atau tidaknya tindakan aparat penegak hukum sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 77 mengenai wewenang pengadilan tersebut, putusan praperadilan juga berisi jumlah besarnya ganti kerugian yang diberikan.

Berbicara mengenai perlindungan hukum bagi terduga teroris yang telah dikenai tindakan penembakan oleh aparat, selagi ia dilindungi oleh asas praduga tak bersalah ia masih memiliki perlindungan yang diberikan oleh Sistem Peradilan Pidana. salah satunya melalui Praperadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat 2 KUHAP terduga teroris tersebut dapat mengajukan permohonan praperadilan beserta gugatan ganti rugi yang diajukan oleh tersangka atau ahli waris. Tuntutan tersebut diajukan oleh ahli waris terduga teroris kepada Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Yang mana akan diproses dalam sidang praperadilan yang dilakukan sesuai prosedur sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 82 KUHAP.

Bentuk tuntutan ganti kerugian tersebut dapat berupa ganti rugi materiil dan inmateriil. Praperadilan secara eksplisit hanya memberikan kompensasi terhadap gugatan ganti rugi materiil antara Rp. 5.000,- sampai dengan Rp.3.000.000,- dan ganti rugi inmateriil berupa rehabilitasi nama. Bentuk ganti kerugian tersebut jika dikabulkan

dalam putusan praperadilan dalam bentuk penetapan yang memuat semua hal yang dipertimbangkan bagi putusan tersebut.

Menurut hemat penulis berdasarkan pemaparan diatas keberadaan praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana sangat dibutuhkan, salah satunya dalam kasus terorisme seperti ini, karena hal tersebut dapat melindungi kepentingan hukum terduga teroris terutama yang menjadi korban salah tangkap, sebab setiap orang memiliki kedudukan yang sama di muka hukum dan berhak diadili dalam peradilan yang terbuka untuk umum.

III.KESIMPULAN

Praperadilan merupakan perwujudan dari ketentuan dari DUHAM dan Undang-Undang HAM terkait tindakan penangkapan, penahanan, dan penjatuhan hukuman secara sewenang-wenang dalam sistem peradilan pidana. Praperadilan merupakan sarana penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia dalam proses penyelesaian perkara pidana. Praperadilan bagi terduga teroris dapat dilakukan dengan mengajukan permohonon kepada pengadilan negeri yang dilakukan oleh ahli waris (keluarga atau kuasa hukum) beserta tuntutan ganti kerugian. Jika dikabulkan ganti kerugian akan diputus oleh hakim dalam penetapan berupa ganti rugi materiil dengan penggantian sejumlah uang dan inmateriil berupa rehabilitasi nama. Urgensi adanya ganti kerugian dalam praperadilan mengingat banyaknya korban salah tangkap yang bisa saja terjadi dalam kasus terorisme seperti ini, sehingga diperlukannya suatu perlindungan hukum bagi terduga terorisme mengingat setiap orang memiliki kedudukan yang sama dimuka hukum dan berhak untuk diadili dalam sidang yang terbuka untuk umum.

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi,2009,Hukum Acara Pidana Edisi Kedua,Jakarta,Sinar Grafika.

Harahap, M.Yahya, 2012,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi

Kedua,Jakarta,Sinar Grafika

Pangaribuan,Luhut, 2008, Hukum Acara Pidana, Jakarta,Djambatan.

5