Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
on
URGENSI PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Ni Putu Yulita Damar Putri Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Sagung Putri M.E Purwani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penulisan ini bertujuan menganalisis permasalahan dalam KUHP saat ini dalam penegakan hukum pidana masih menggunakan KUHP peninggalan Belanda, yang berakibat pada banyaknya jenis perbuatan pidana yang belum diatur dalam KUHP , Pembaharuan yaitu dengan menyusun RUU KUHP. Rumusan masalah yang dapat ditarik dari penulisan ini adalah apakah urgensi untuk dilakukan pembaharuan hukum pidana di Indonesia dan apa saja pembaharuan yang dilakukan dalam RUU KUHP. Metode penulisan yang digunakan adalah metode yuridis normative karena adanya kosong norma yaitu karena penegakan hukum pidana masih menggunakan KUHP lama peninggalan belanda sehingga banyak jenis perbuatan pidana yang belum di atur dalam KUHP yang berlaku saat ini. Pentingnya dilakukan pembaharuan hukum pidana memiliki tujuan untuk memperbaharui baik dari segi tindak pidana, pemidanaan dan pertanggung jawaban.
Kata kunci: Hukum pidana, Pembaharuan, RUU KUHP
ABSTRACT
This writing aims to analyze the problem in the current criminal CODE in the enforcement of criminally still use the Dutch heritage criminal CODE, which resulted in the number of criminal acts that have not been regulated in the Penal Code, the renewal is by drafting a criminal CODE. The issue of problems that can be withdrawn from this writing is whether the urgency to do the renewal of criminal law in Indonesia and any renewal made in the penal CODE. The method of writing used is normative juridical method because of the empty norm is because criminal law enforcement still use the old criminal CODE of the Netherlands, so many types of criminal acts that have not been set in the current CODE. The importance of renewal of criminal law has a purpose to renew both in terms of criminal acts, pipetting and liability.
Keywords: criminal law, renewal, BILL of PENAL code
-
1. PENDAHULUAN
-
1.1 Latar Belakang Masalah
-
Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar serta aturan-aturan
untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang telah dilarang dan disertai dengan ancaman pidana, menentukan kapan dalam dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melakukan tindak pidana dapat dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan, dan menentukan dengan cara begaimana pengenaan pidana tersebut dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka melakukan tindak pidana.1 Sehingga dapat dikatakan hukum pidana menurut pendapat Mertokusumo disebut sebagai ultimum remedium yang artinya sebagai alat terakhir.2
Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang memiliki aturan hukum. Hukum bersifat yang memaksa dan mengikat, maka mempunyai akibat dari pelaksanaanya. Akibat tersebut berupa sanksi baik sanksi pidana maupun sanksi tindakan (maatregel).3 Jika kita melihat dari sejarah hukum pidana di Indonesia, hukum pidana merupakan warisan hukum kolonial Belanda yang diterapkan di indonesia ketika Belanda melakukan penjajahan di Indonesia selama 350 Tahun. Akibatnya hukum pidana Indonesia sampai saat ini masih mempergunakan hukum pidana warisan Belanda yang produknya yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP). Sehubungan dengan adanya fakta tersebut maka pembaharuan hukum pidana dalam rangka menciptakan sistem hukum pidana nasional menjadi sangat penting dan mendesak untuk dikedepankan.4
Oleh sebab itu, saat ini mulai dilakukan suatu upaya untuk melakukan pembaharuan hukum pidana yang pada hakekatnya mengandung beberapa makna, suatu upaya untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofi dan sosiokultural
masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan social, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.5 Upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia mempunyai suatu makna yakni untuk menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial belanda yakni Wetboek van Strafrecht Voor Nederlands Indie 1915, yang merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda tahun 1886.6 Hal tersebut di atas, terkandung tekat dari bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu pembaharuan hukum pidana yang dapat diartikan sebagai suatu upaya dalam melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofi, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi sisi terhadap muatan normative dan substansi hukum pidana yang dicita-citakan. Dimasukannya asas legalitas materiel dalam RUU KUHP diteruskan dengan dianutnya sifat melawan hukum materiel, disamping melawan hukum formil.7 Upaya yang saat ini telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia yaitu dengan membuat RUU KUHP yang merupakan wujud dari pembaharuan hukum pidana Indonesia.
Di samping itu fakta semakin banyaknya kejahatan-kejahatan baru yang muncul saat ini yang belum diatur dalam KUHP juga membuat KUHP menjadi lemah dalam mengatasi kejahatan-kejahatan jenis baru tersebut. Dengan kata lain, KUHP terkesan ketinggalan jaman dan sering menyebabkan adanya kekosongan hukum bagi jenis-jenis kejahatan baru. Kondisi ini tentunya dapat membahayakan proses penegakan hukum pidana.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka perlu dikaji lebih dalam lagi mengenai URGENSI PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA.
-
1. Apakah urgensi untuk dilakukan pembaharuan hukum pidana di Indonesia?
-
2. Apa saja pembaharuan yang dilakukan dalam RUU KUHP?
-
1. Untuk mengetahui urgensi untuk dilakukan pembaharuan hukum pidana di Indonesia
-
2. Untuk mengetahui pembaharuan yang dilakukan dalam RUU KUHP
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau bisa disebut sebagai penelitian hukum doktrinal.8
Penelitian normatif ini dipilih karena terjadinya suatu permasalahan dalam norma hukum yaitu konflik norma, yaitu adanya perbandingan antara isi dari KUHP dengan RUUKUHP baik dari segi tindak pidana maupun pemidanaan setelah dilakukan pembaharuan hukum pidana. Pendekatan yang digunakan di penulisan jurnal ini yaitu pendekatan analitis (Analytical Approach) yaitu melakukan pemeriksaan atas urgensi perlunya dilakukan pembaharuan hukum pidana dan pendekatan historis (Historical Approach) yaitu melihat sejarah dari hukum pidana itu sendiri.
Urgensi untuk dilakukannya pembaharuan hukum pidana bisa dilakukan tinjau dari berbagai aspek seperti aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural atau bisa juga dari berbagai aspek lainnya seperti kebijakan sosial, kebijakan kriminal serta kebijakan penegakan hukum yang memiliki arti bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang menjadi landasan pembaharuan.9
Menurut pendapat Barda Nawawi bahwa makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dapat:
-
1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan:
-
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial bahwa pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial.
-
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal bahwa pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat.
-
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum bahwa pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari upaya pembaharuan substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
-
2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosio politik, sosio filosofis dan sosio kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif serta substansi hukum pidana.10
Pembaharuan hukum pidana sudah menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk adanya perubahan mendasar dalam rangka mencapai cita-cita dari pidana yang lebih baik dan lebih melihat aspek hak asasi manusia11. Kebutuhan tersebut sejalan dengan keinginan yang kuat untuk mewujudkan suatu penegakan hukum yang seadil-adilnya. Sebagaimana diketahui, penegakan hukum bukanlah aktivitas yang netral, melainkan memiliki struktur sosialnya sendiri, sehingga berbeda dari waktu ke waktu, dari sistem ke sistem dan dari satu tempat ke tempat lain.12
Penegakan hukum di era globalisasi sangat membutuhkan adanya keterbukaan, demokrasi, perlindungan hukum terhadap Hak Asasi Manusia, penegakan hukum dan keadilan pada keseluruhan aspek dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.13
Menurut pendapat Sudarto bahwa setidaknya ada tiga argumentasi utama mengapa diperlukannya pembaharuan hukum pidana, yaitu:
-
1. Alasan politis yaitu bahwa kelayakan Indonesia sebagai negara merdekan memiliki KUHP yang bersifat nasional sehingga dipandang merupakan kebanggaan tersendiri sebagai negara telah melepaskan kedudukannya dari penjajahan Belanda.
-
2. Alasan sosiologis yaitu bahwa pada dasarnya KUHP adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa.
-
3. Alasan praktis yaitu bahwa pada kenyataannya teks asli Wetboek van Strafrecht merupakan bahasa Belanda
-
4. sehingga jumlah penegak hukum yang memahami bahasa Belanda semakin lama semakin sedikit.14
Maka berdasarkan hal tersebut di atas maka upaya melakukan pembaharuan KUHP bukan hanya merupakan tuntutan nasional tapi juga merupakan kecenderungan Internasional. 15
Sehingga dengan hal tersebut diatas pembaharuan hukum pidana Indonesia merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar kembali dalam bentuk alasan apapun. Problematika yang muncul terkait dengan usangnya KUHP secara internal dan berkembangnya persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara eksternal menambah
dorongan yang sangat kuat dari masyarakat untuk menuntut kepada negara agar segera merealisasikan kodifikasi hukum pidana yang bersifat nasional sebagai hasil jerih payah dan pemikiran bangsa Indonesia sendiri.
Usaha dalam pembentukan KUHP baru telah cukup lama dilakukan. Ada beberapa hal dalam konsep KUHP baru dapat dikemukakan sebagai berikut :
-
a. Keseimbangan asas legalitas dan asas kesalahan
-
• KUHP yang direncanakan bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan monodualistis dalam arti memerhatikan keseimbangan dua kepentingan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Karena bertolak dari prinsip keseimbangan monodualistis maka konsep tetap mempertahankan dua asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana yaitu asas legalitas dan asas kesalahan. Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku yang hanya merumuskan asas legalitas , konsep KUHP 1993 merumuskan kedua asas itu secara eksplisit.
-
b. Keseimbangan asas legalitas formal dan materiil serta sifat melawan hukum formal dan materiil
-
• Berbeda dengan perumusan asas legalitas di dalam KUHP yang sekarang berlaku, konsep memperluas perumusannya dengan mengakui eksistensi berlakunya hukum yang hidup (hukum tidak tertulis/hukum adat) sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak diatur dalam undang-undang. Perluasan perumusan asas legalitas dan sifat melawan hukum ini pun tidak dapat dilepaskan dari pokok pemikiran asas keseimbangan (antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, antara kepastian hukum dengan keadilan, antara kriteria/ sumber hukum formil dan materiil). Pemikiran
demikian merupakan hal yang baru apabila dibandingkan dengan perumusan KUHP yang saat ini berlaku 16
-
c. Masalah Kesalahan/Pertanggungjawaban Pidana
-
• Konsep merumuskan asas kesalahan secara tegas/eksplisit. Perumusan eksplisit ini baru dimulai dalam konsep 1993, yang tidak ada dalam KUHP dan belum pernah ada dalam konsep konsep sebelumnya ( Konsep 1964, 1968, dan 1971/1972). Hal ini juga menunjukan hal/aspek baru dalam konsep KUHP Baru.
-
• Walaupun konsep mengakui secara tegas asas kesalahan, namun dalam hal-hal tertentu memberikan kemungkinan adanya penyimpangan atau perkecualian seperti yang dikenal dalam Common Law System; yaitu doktrin pertanggungjawaban yang ketat atau “Strict Liability” dan pertanggungjawaban pengganti atau Vicarious Liability. Dianutnya Strict Liability terlihat dalam pasal 37 dan dianutnya vicarious Liability terlihat dalam pasal 36 (Konsep 1993). Kedua perumusan pasal ini merupakan hal baru pula karena selama ini tidak dikenal dalam KUHP yang berlaku.
-
• Namun ada pendapat dari para Guru Besar Belanda bahwa dianutnya doktrin Strict Liability dan Vicarious Liability bertentangan dengan asas kesalahan. Terhadap pendapat demikian perlu dikemukakan, bahwa perkecualian atau penyimpangan dari suatu asas jangan dilihat sebagai suatu pertentangan tetapi dapat dilihat juga sebagai pelengkap. Disamping perumusan asas kesalahan secara umum seperti dikemukakan diatas, konsep juga menegaskan suatu prinsip bahwa hanya tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja saja dapat dipidana. Apabila suatu perbuatan yang dilakukaan dengan kealpaan akan dinyatakan sebagai tindak pidan,maka hal iti harus dinyatakan dengan tegas dalam perumusan delik
-
16 Tabiu, R. “Pertentangan Asas Legalitas Formil dan Materil dalam Rancangan Undang-Undang KUHP.” Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum UGM 2, No. 1 (2015): 28
yang bersangkutan. Dengan demikian konsep memandang kesengajaan dan kealpaan pada hakikatnya merupakan unsur kesalahan/pertanggungjawaban pidana bukan unsur delik. Hal baru lainnya adalah dirumuskannya ketentuan umum mengenai pertanggungjawaban terhadap akibat (Erfolgsha Ftung). 17
-
• Konsep memisahkan alasan penghapus pidana yang berupa “alasan pembenar” dengan alasan pemaaf” dalam kelompok alasan pembenar dimasukan Empat Hal namun disamping keempat alasan pembenar terdapat juga lima alasan pemaaf. Dalam hal tersebut dapat diuraikan beberapa hal baru yang selama ini tidak dirumuskan secara tegas di dalam KUHP, yang kemudian dimasukan dalam konsep KUHP baru sebagai alasan penghapusan pidana yaitu :
Keadaan darurat, Tidak adanya sifat melawan hukum secara materiil, kesehatan baik berupa error facti maupun error iuris, tidak adanya kesalahan sama sekali dan Anak dibawah umur.
-
e. Masalah pertanggungjawaban Korporasi
-
• Berbeda dengan KUHP (WvS), dalam konsep 1993 ada ketentuan yang menyatakan bahwa korporasi merupakan subjek tindak pidana. Penuntutan dan Pemidanaan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh atau untuk suatu korporasi, dapat dilakukan atau dijatuhkan kepada:
-
a. Korporasi itu sendiri
-
b. Korporasi dan pengurusnya; atau
-
c. Pengurusnya saja.
-
• Sistem pemidanaan yang bertolak dari paham individu dualisasi pidana tidak berarti memberi kebebasan sepenuhnya kepada hakim dan aparat-aparat lainnya tanpa pedoman atau kendali.
-
• Konsep merumuskan beberapa pedoman pemidanaan yaitu :
-
1. Adanya pedoman yang bersifat umum untuk
memberikan pengarahan kepada hakim mengenai hal-hal apa yang sepatutnya dipertimbangkan dalam
menjatuhkan pidana;
-
2. Adanya pedoman yang bersifat khusus untuk memberi pengarahan pada hakim dalam memilih atau menjatuhkan jenis jenis pidana tertentu.
-
3. Adanya pedoman bagi hakim dalam menerapkan system perumusan ancaman pidana yang digunakan dalam perumusan delik.
Diadakannya pedoman untuk menerapkan system perumusan ancaman pidana ntara lain juga dimaksudkan untuk memberikan sifat fleksibilitas
-
g. Jenis Pidana dan Tindakan
-
• Jenis pidana pokok menurut konsep tidak banyak berbeda dengan KUHP yang berlaku saat ini. Yang agak menonjol adalah dimasukannya “pidana kerja social” yang selama ini tidak dikenal dalam KUHP. Hal yang menonjol lainnya yaitu di gesernya kedudukan pidana mati dari paket pidana pokok yang bersifat khusus atau eksepsional. Alasan utama dari pergeseran kedudukan pidana mati itu didasarkan pada pemikiran, bahwa dilihat dari tujuan pemidanaan dan tujuan diadakannya hukum pidan, maka pidana mati memang pada hakikatnya bukanlah sarana utama untuk mencapai tujuan tersebut. Berbeda dengan KUHP sekarang, konsep juga menyediakan jenis jenis tindakan untuk orang normal untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat berupa tindak-tindakan seperti berikut :
-
a. Pencabutan surat izin mengemudi (SIM);
-
b. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
-
c. Perbaikan akibat-akibat tidak pidana;
-
d. Latihan kerja;
-
e. Rehabilitasi;
-
f. Pengawasan di dalam suatu lembaga.
Jenis jenis tindakan diatas dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok (pasal 98: 2/2004; pasal
101:2/2005/2006/2007.
-
h. Jumlah dan Lamanya pidana
-
• Ada beberapa hal baru dalam konsep mengenai jumlah lamanya
pidana, adalah sebagai berikut :
-
a. Minimal khusus untuk pidana penjara dan pidana denda.
-
b. Jumlah pidana denda yang diancamkan dalam
perumusan delik menggunakan system kategori (ada enam kategori denda)
-
c. Maksimum pidana untuk delik-delik permufakatan jahat dibuat seragam dan sebanding dengan delik dolusnya masing-masing. 18
4. Kesimpulan
Urgensi perlunya untuk dilakukan pembaharuan hukum pidana di Indonesia yaitu karena muculnya problematika yang terkait dengan usangnya KUHP saat ini secara internal dan berkembangnya persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Pembaharuan hukum pidana dalam RUU KUHP yaitu terdiri atas Keseimbangan Asas Legalitas dan Asas Kesalahan, Keseimbangan Asas Legalitas Formal dan Materiil serta sifat melawan Hukum Formal dan Materiil, Kesalahan dan Pertanggungjawaban
Pidana, Alasan Penghapusan Pidana, Pertanggungjawaban Korporasi, Pedoman Pemidanaan, Jenis Pidana dan Tindakan dan Masalah Jumlah dan Lamanya Pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis dan Praktik, PT. Alumni, Bandung.
Moeljatno, 2015, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Muladi, 2005, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung.
Mertokusumo, Sudikno, 2006, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Jurnal:
Amalia, M. “Masalah Pidana Mati dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia.” Jurnal Wawasan Yuridika 27, No. 2 (2014): 10.
Ardian Prima Putra, I Made. “Pidana Pengawasan dalam Persfektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”. Udayana Law Journal 6, No. 4, (2017): 2.
Candra, S. “Pembaharuan Hukum Pidana Konsep Pertanggungjawaban Pidana dalam
Hukum Pidana Nasional yang akan Datang.” Jurnal Cita Hukum 1, No. 1 (2013): 8
Ibrahim, Jonny. “Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”. Journal ilmu hukum 4, No. 1 (2016). 4.
Krisnan, J. “Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.” Law diponegoro jurnal 18, No. 1 (2019) 11.
Made Suartha, I Dewa. “Pergeseran Asas Legalitas Formal ke Formal dan Material dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional”. Yustisia Jurnal Hukum 4, No. 1, (2015): 12.
Ramadhani, G.S, danArief P Barda Nawawi. “Sistem Pidana dan Tindakan Double Track System dalam Hukum Pidana di Indonesia”. Diponegoro Law Journal 1, No. 4 (2012): 10.
Sudarsono, S dan Surbakti N. “Hukum Pidana Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP.” Journal ilmu Hukum 4 No. 1 (2017): 10
Sudiarawan, Kadek Agus, Putu Edgar Tanaya, and Bagus Hermanto. "Discover the Legal Concept in the Sociological Study." Substantive Justice International Journal of Law 3, no. 1 (2020): 94-108.
Suhariyanto, B. “Kedudukan Perdamaian Sebagai Penghapus Pemidanaan Guna Mewujudkan Keadilan dalam Pembaharuan Hukum Pidana.” Jurnal Rechts Vinding Media Pembinaan Hukum Nasional 6 No. 1 (2017): 6
Sri Endah Wahyuningsih. “Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Material Indonesia berdasarkan Nilai-Nilai Ketuhanan yang Maha Esa.” Jurnal Pembaharuan Hukum 1, No. 1 (2014): 20.
Tabiu, R. “Pertentangan Asas Legalitas Formil dan Materil dalam Rancangan Undang-Undang KUHP.” Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum UGM 2, No. 1 (2015): 28.
Wiharyangti. “Implementasi Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan dalam kebijakan Hukum Pidana di Indonesia.” Pandecta Law Journal 6, No. 1 (2011): 8
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76).
Jurnal Kertha Wicara Vol 9 No.8 Tahun 2020, hlm. 1-13.
Discussion and feedback