VISTA HUKUM PIDANA TERHADAP PROSES “TOE-EIGENING” DAN “LEVERING” KADAVER UNTUK TUJUAN PENDIDIKAN

Anak Agung Ayu Anaya Widya Sukma, Fakulatas Hukum Universitas Udayana, e-mail: ayuanaya2017@gmail.com

Sagung Putri M. E. Purwani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: sg.putri@yahoo.co.id

Abstrak

Pendidikan merupakan sebuah tahap pembelajaran ilmu pengetahuan melalui proses pengajaran yang dibantu dengan pelatihan dan penelitian. Pendidikan pada tahap perguruan tinggi, proses pembelajaran semakin dikhususkan seperti didalam Fakultas Kedokteran yang mempelajari ilmu anatomi mengenai fungsi serta struktur tubuh. Dalam membantu proses pembelajaran anatomi para mahasiswa menggunakan kadaver sebagai penunjang dalam proses pembelajaran. Kadaver sendiri merupakan mayat yang telah diawetkan. Untuk memperoleh kadaver dapat dilakukan dengan dua proses yakni proses pemilikan (toe-eigening”) dan penyerahan (“levering”). Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui proses pemilikan (toe-eigening) dan penyerahan (“levering”) kadaver dikaji dari PP Nomor 18 Tahun 1981.

Penelitian ini menggunakan metode jenis yuridis normatif serta digunakannya pendekatan peraturan perundang-undangan (The Stattute Approach). Masalaha yuridis yang dibahas di dalam jurnal ialah bagaimana proses pemilikan (“toe-eigening”) dan penyerahan (“levering”) kadaver berdasarkan vista hukum pidana khususnya PP Nomor 18 Tahun 1981.

Setelah dilakukan penelitian diperoleh hasil penelitian bahwa Proses toe-eigening kadaver merupakan proses pemilikan kadaver yang diperoleh dari rumah sakit. Dimana proses ini telah diatur pada pasal 5 PP Nomor 18 Tahun 1981. Proses penyerahan (levering) kadaver merupakan proses penyerahan kadaver yang dilakukan aspiran kadaver melalui hibah-wasiat semasa hidup. Proses levering kadaver belum ada ketentuan secara absolut yang mengaturnya.

KatakKunci :Vista Hukum Pidana, Proses Toe-eigening dan Levering Kadaver, Tujuan Pendidikan

Abstract

Education is step of scientific learning through a research process that is assisted with training and research. Education at the tertiary level, the learning process is more specialized as in the Faculty of Medicine which contains anatomy about function and body structure. In helping the learning process, students using cadaver as support in the learning process. Cadaver itself is a corpse that has been preserved. To receive cadaver there are two ways to obtain it, namely the ownership process ("toe-eigening") and submission ("levering"). This research’s purpose is to study the process of ownership (toe-eigening) and submission ("levering") cadaver reviewed from Government Regulation Number 18/1981.

Normative juridical research types is the method that I use in this research along with using the statutory approach (The Stattute Approach). This journal discusses Juridical issues regarding how the process of ownership ("toe-eigening") and submission ("levering") cadaver based on vista of criminal law, especially Government Regulation Number 18/1981.

After the research has been done, the results shows that cadaveric toe-eigening process is a cadaver ownership process obtained from the hospital. Where this process has been regulated in article 5 Government Regulation Number 18/1981.The cadaver levering process is a cadaveric handover process carried out by cadaveric aspirants through a will while living. The cadaver levering process has no absolute provisions governing it.

Keywords : Criminal Law Vista, Toe-eigening and Levering Cadaver Process, Education Purpose

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Melihat proses perkembangan dunia, salah satu faktor penunjang di dalamnya adalah Pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah tahap pembelajaran ilmu pengetahuan yang diiringi dengan keterampilan serta kebiasaan sekumpulan manusia kemudian diwariskan dari angkatan ke angkatan selanjutnya melalui proses pengajaran serta pelatihan dan penelitian. Terdapat 3 (tiga) macam atau jenisdar Pendidikan, yakni : Pendidikan bersifat informal; Pendidikan bersifat non-formal dan terakhir adalah Pendidikan formal. Ketiga jenis Pendidikan tersebut tidak hanya diterapkan dalam jenjang sekolah dasar namun diterapkan hingga pada tahap perguruan tinggi.

Pendidikan pada tahap perguruan tinggi, proses pembelajaran semakin dikhususkan seperti jurusan/fakultas hukum, ilmu politik, sastra dan kedokteran. Di dalam Fakultas Kedokteran terdapat banyak hal yang dipelajari, seperti fisiologi, psikologi, histologi, anatomi dan lainya. Anatomi sendiri ialah cabang ilmu yang mempelajari fungsi serta struktur tubuh1. Anatomi mengkaji tentang sistem tubuh manusia yang saling terikat

membentuk kompleks fungsional.2 Di masa ini, pembelajaran anatomi memanfaatkan 3(tiga) metode utama, yakni buku-buku, preparat kering dan preparat basah (kadaver)3. Pada pembahasan jurnal ini akan dikhususkan mengenai preparat basah (kadaver).

Kadaver atau preparat basah merupakan jenazah atau mayat manusia yang telah diawetka secara resmi atau legal dapat dipergunakan untuk keperluan Pendidikan khususnya dalam pembelajaran anatomi. Kadaver sebagai instrument ketiga dalam pembelajaran anatomi sangat diperlukan guna menunjang keberhasilan Pendidikan bagi mahasiswa kedokteran. Penggunaan kadaver dalam dunia Pendidikan Ilmu Kedokteran dapat dilakukan dengan proses pembedahan mayat. Terkait pembedahan mayat sendiri telah di atur dalam pasal 134 KUHAP.4 Kadaver sebagai penunjang pembelajaran anatomi didapatkan melalui 2 (dua) proses yakni proses “toe-eigening” (pemilikan) dan “levering” (penyerahan). Proses “toe-eigening” merupakan proses yang terjadi ketika kadaver ditinggalkan atau ditelantarkan oleh pemiliknya atau “eigenaar”-nya sedangkan proses “levering” yakni proses yang akan terjadi apabila ahli waris dari cadaver bersangkutan selaku pemilik atau “eigenaar”-nya menyerahkan tersebut ke fakultas kedokteran.

Berdasarkan data Kemenristekdikti pada tahun 2017, telah tercatat dan terdaftar 83 Fakultas Kedokteran yang tersebar di seluruh Indonesia.5 Dari data tersebut, dapat diketahui jumlah Fakultas Kedokteran semakin meningkat makandariyitu kebutuhan akan kadaver sebagai penunjang

proses pembelajaran anatomi dalam dunia Pendidikan dokter ikut meningkat. Kebutuhan yang meningkat kemudian tidak diimbangi dengan pemenuhan akan ketersediaan kebutuhan akan melahirkan banyak upaya-upaya melawan hukum seperti kasus jual beli jaringan, organ hingga mayat manusia dapat dilakukan. Ramainya kasus perdagangan manusia yang telah berdapak pula dengan terjadinya perdagangan organ maupun mayat manusia.6 Selain itu untuk menghindari pelanggaran hukum dalam masyarakat menyangkut tubuh dan nyawa manusia.7 Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka penulis menari judul : “Vista Hukum Pidana Terhadap Proses Pemilikan (“Toe-Eigening”) Dan Penyerahan (“Levering”) Kadaver Untuk Tujuan Pendidikan”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Menelaah pembahasan eksplikasi latar belakang tercantum diatas , hingga dijumpai permasalahan dari penelitian atau pengkajian ini sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimana proses pemilikan (toe-eigening) kadaver dikaji dari Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia ?

  • 2.    Bagaimana proses penyerahan (levering) kadaver dikaji dari Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Melihat fenomena saat ini, arah tujuan dari pengkajian atau penelitian yakni, sebagai berikut :

  • 1.    Untuk mengetahui proses pemilikan (toe-eigening) kadaver dikaji dari Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis

Dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia.

  • 2.    Untuk mengetahui proses penyerahan (levering) kadaver dikaji dari Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia.

  • II.    ISI

    • 2.1    Metode Penelitian

      1.    Jenis Penelitian

Notulis pada metode penelitian atau pengkajian menggunakan jenis metode penelitian yakni yuridis normatif. Jenis dari penelitian yuridis normative iyalah suatu penelitian hukum melalui sudut pandang internal yang objek penelitiannya yakni norma hukum.8

  • 2.    Jenis Pendekatan

Pada penelitian atau pengkajian ini notulis telah menggunakan jenis pendekatan peraturan perundang - undangan (The Statute Approach) yakni dengan menggunakan PP Nomor 18 Tahun 1981 (Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia) serta notulis menggunakan jenis pendekatan konsep hukum (Conseptual Approach) pada pengkajian pemasalahan diatas.

  • 3.    Sumber Bahan Hukum

Notulis menggunakan sumber bahan hukum data sekunder dalam pengkajian atau penelitian ini. Pada penelitian ini data sekunder yang digunakan, antara lain:

  • a.    Notulis menggunakan bahan hukum primer pada penilitian terdiri dari Wetboek van Stafrecht (KUHP), UU Kesehatan (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan) dan PP Nomor 18/1981

Tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia.

  • b.    Notulis menggunakan bahan hukum sekunder pada pengkajian ini, yakni sumber bahan hukum yang membentangkan tentang bahan hukum primer seperti hasil dari sebuah penelitian hukum, hasil karya ilmiah maupun bahan kepustakaan yang penting atau relevan dengan permasalahan yang dihadapi dalam penelitian.9

  • c.    Notulis menggunakan bahan hukum tersier, yakni sumber atau basis bahan hukum yang akan mengantarkan berupa ciri berhubungan dengan bahan hukum primer (mendasar atau pokok) serta sekunder (inferior) seperti kamus, buku, ensiklopedia dan sebagainya.10

  • 4.    Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Berdasarkan permasalahan yang telah penulis angkat pada penelitian ini, penulis mempergunakan penelitian hukum yuridis normatif melalui studi kepustakaan. Tahapan-tahapan yang dilaksanakan yakni menghimpunkan atau mengumpulkan, membaca kemudian mempelajari bahan kepustakaan yang berhubungan dengan permasalahan serta memetik beberapa pernyataan serta pendapat yang relevan untuk menjawab permasalahn untuk kemudian dirangkai secara sistematis sebagai bentuk landasan hukum dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

  • 5.    Teknik Analisa Bahan Hukum

Pengkajian ini, penulis memakai metode analisis deskriptif serta metode sistematisasi. Teknik deskriptif merupakan teknik yang mejelaskan apa adanya terhadap suatu kondisi terhadap premis-premis hukum ataupun non-hukum sedangkan teknik sistematisasi merupakan teknik yang mengusut hubungan suatu premis hukum antara peraturan

perundang-undangan yang setingkat maupun antara peraturan perundang-undangan yang tidak setingkat.

  • 2.2    Pembahasan

    • 2.2.1    Proses Pemilikan (Toe-Eigening) Kadaver Dikaji Dari Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Dan Atau Jaringan Tubuh Manusia

Kadaver sebagai penunjang Pendidikan dibidang anatomi, dalam proses mendapatkan donor mayat atau jenazah tersebut diperoleh dengan 2 (dua) proses yakni: Proses Toe-eigening dan Levering. Proses Toe-eigening Kadaver dapat disebut sebagai proses pemilikan kadaver. Proses Toe-eigening sendiri merupakan istilah asing yang diambil dari Bahasa Belanda. Pada proses ini, untuk memperoleh kadaver lebih di khususkan kepada kadaver (donor mayat/jenazah) yang berada di rumah sakit dengan keadaan identitasnya tidak dapat diverifikasi identitas dirinya. Sehingga dari itu, proses toe-eigening dapat di interprestasi sebagai “proses yang akan terjadi apa bila kadaver ditinggalkan atau ditelantarkan tanpa penjelasan atau pemberitahuan kepada pihak rumah sakit oleh pemiliknya (eigenaar) dalam hal ini adalah ahli waris (ahli waris sendiri merupakan orang yang dapat menerima warisan dari si pewaris , dapat dikatakan sebagai ahli waris karena telah diberikan hak secara hukum agar dapat menerima kewajiban maupun harta ataupun hutang yang telah ditinggalkan oleh si pewaris) atau sanak keluarga dari kadaver, maka kepemilikan atas kadaver akan berpindah tangan kepada pihak rumah sakit untuk selanjutnya didonorkan kepada fakultas kedokteran”.

Dikaji dari perspektif criminal law (hukumnpidana) ketentuan yang mengupas mengenai pencakokan organ diatur dalam UU Kesehatan serta PP nomor 18/1981, lebih ekslusif jika dibandingkan dengan yurisdiksi yang dicantumkan dalam Wetboek

van Stafrecht (KUHP). Kemudian apabila diulas dalam PP Nomor 18/1981 telah mengkatagorikan penggunaan kadaver termasuk bedah mayat anatomis yang tercantum dalam pasal 1 huruf (b) yang membahaskan tentang “pemeriksaan dengan cara autopsi guna menunjang pendidikan dalam bidang kedokteran”11.

Selanjutnya pengaturan mengenai proses toe-eigening kadaver telah dimuat dalam pasal 5 PP Nomor 18/1981 yang memuat mengenai “kadaver hanya dapat diperoleh di rumah sakit melalui izin dari kadaver semasa hidupnya atau ahli waris atau keluarga kadaver yang bersangkutan dan apa bila dalam kurun waktu 2 X 24 jam tidak ada konfirmasi dari pihak keluarga mengenai identitas dari orang yang meninggal , maka orang yang meninggal tersebut dapat menjadi kadaver milik rumah sakit”12. Melihat dari pengaturan-pengaturan kadaver tersebut walaupun telah diatur mengenai proses pemilikan dari kadaver namun tetap di jumpai kekaburan yang terdapat dalam pengaturan tersebut. Seperti pada fase klinis donor mayat (kadaver) sama seperti fase yang dilaksanakan pada donor hidup. Agar dapat dilaksanakannya usaha pengambilan (eksplantasi) organ tubuh baik kepada donor hidup maupun donor mayat atau jenazah dibutuhkan suatu kesepakatan atau izin sebelumnya, namun hingga saat ini persetujuan dalam bentuk kesepakatan dari donor mayat yang sudah dituangkan dalam PP Nomor 18/1981.13. Perihal tersebut mengangkat bahwa tidak dapat dilakukan proses pembedahan organ dari badan tanpa diperolehnya izin ataupun persetujuan secara jelas serta nyata yang telah diberikan oleh sang donor atau pendonor. Izin yang diperkenankan oleh seorang donor mayat adalah ketika sang donor dalam keadaan hidup dengan baik dan

dengan ataupun tanpa sepengetahuan dari pihak keluarga sang donor atau adanya izin dari keluarga sang donor, apabila semasa hayatnya sang donor tidak pernah memberikan izinnya, maka hal tersebut dapat menjadikan suatu perkara yang dapat berpengaruh dikarenakan meskipun badan/jasad sudah tidak berjiwa lagi, lamun dalam halnya keadaan seperti ini kita wajib untuk memulihkan setiap hak pribadi/personal dari setiap pendonor yang telah meninggal dunia atas badan/jasad yang telah ditinggalkannya.

  • 2.2.2    Proses Penyerahan (Levering) Kadaver Dikaji Dari Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Dan Atau Jaringan Tubuh Manusia

Proses levering kadaver sama halnya dengan proses toe-eigening kadaver yang merupakan istilah asing dalam Bahasa Belanda. Berbeda dengan proses toe-eigening kadaver, proses levering kadaver atau yang dapat disebut proses penyerahan cadaver merupakan proses untuk dapat memperoleh kadaver yang berfondasikan atas hibah (hibah mrupakan suatu bentuk persetujuan oleh seseorang semasa hidupnya dengan menyerahkan sesuatu dengan cara Cuma-Cuma tanpa bisa menarik kembali) -wasiat (wasiat merupakan suatu pemberian sesuatu dari si pewaris kepada seseorang atau suatu Lembaga yang akan berlaku seteah si pewaris meninggal dunia) aspiran kadaver yang menyatakan bahwa ketika aspiran kadaver meninggal dunia tubuhnya akan dihibahkan ke fakultas kedokteran sebagi penunjang pendidikan, namun hibah – wasiat tersebut belum dapat mengalihkan eigendom (hak milik) secara absolut. Eigendom dapat berpindah tangan kepada pihak fakultas kedokteran apabila telah dilaksanakan penyerahan jasad aspiran kadaver dari ahli waris kadaver kepada pihak fakultas. Dengan keberadaan hibah-wasiat tersebut aspiran

kadaver telah menghibahkan haknya kepada pihak fakultas untuk dapat menagih penyerahan atau pemberian jasad aspiran kadaver dari sang ahli waris, pada kala itu sang ahli waris patut untuk memberikan jasad aspiran kadaver kepada pihak fakultas yang bersangkutan14.

Berbeda dengan proses toe-eigening, proses levering kadaver belum dapat dijumpai pengaturannya tersendiri. Baik di telaah pada PP Nomor 18/1981 , UU Tentang Kesehatan maupun Wetboek van Stafrecht (KUHP), dan apa bila kita pahami proses levering kadaver melanggar ketentuan pada PP Nomor 18/1981 tepatnya pada pasal 5 yang memuat secara jelas bahwa kadaver hanya dapat diperoleh di rumah sakit, yakni kepada bedah mayat secara anatomis hanya dapat diperuntukan oleh sebuah mayat yang diterima melewati RS (rumah sakit) serta memperhatikan pengaturan-pengaturan yang terkandung dalam pasal 2 huruf a dan c15.

Bunyi pasal 2 huruf a dan c, menyatakan :16

“Pelaksanaan bedah mayat secara klinis semata-mata dapat dilaksanakan tatkala kondisi:

  • a. Berserta adanya penyetujuan berbentuk tertulis dari pasien dan atau pihak keluarga terdekat selepas pasien meninggal dunia, bilamana penyebab kematiannya tidak dapat ditemukan dengan definit.

  • c. Dengan tidak adanya persetujuan oleh pasien atau keluarga terdekat pasien, bilamana selama kurun waktu 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam tiada keluarga terdekat pasien yang telah meninggal dunia hadir ke rumah sakit.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

  • 1.     Proses pemilikan (toe-eigening) kadaver merupakan proses

pemilikan kadaver yang diperoleh dari rumah sakit. Proses toe-eigening kadaver telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tepatnya pada pasal 5, namun apabila di telaah lebih lanjut pasal tersebut masih banyak dijumpai kekaburan norma didalamnya sehingga membuka celah bagi dilakukannya tindakan-tindakan yang dapat melanggar hukum.

  • 2.    Proses penyerahan  (levering)  kadaver merupakan proses

penyerahan kadaver yang dilakukan aspiran kadaver melalui hibah-wasiat semasa hidup. Proses levering kadaver belum ada ketentuan secara absolut yang mengaturnya.

  • 3.2    Saran

Melihat permasalah dan hasil pembahasan diatas, menurut penulis penyelesaian dari permasalahan kadaver ini adalah sebagai berikut :

  • 1.    Pengaturan proses memperoleh kadaver dengan proses toe-

eigening walaupun telah diatur dalam pasal 5 PP Nomor 18 Tahun 1981 perlu dibuat pengaturannya lebih jelas, baik itu pengaturan mengenai cara mendapatkan, cara menggunakan dan setelah digunakannya kadaver agar kedepanya penggunaan kadaver sebagai penunjang pendidikan itu sendiri tidak menimbulkan konflik berkepanjangan.

  • 2.     Melihat dimasa sekarang proses levering kadaver juga telah

banyak dilakukan, maka perlu dibuat ketentuan-ketentuan hukum yang memuat secara sah mengenai proses levering kadaver agar tidak menghambat proses pembelajaran melalui kadaver tersebut tanpa melanggarnya hak seseorang.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Handoko, R.P. Skabies.Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Klamin (Edisi V). (Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2009),122-125.

Prodjodikoro, W. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. (Bandung, Repika

Aditama, 2003).25.

Snell, R. S. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem, Dialih bahasakan oleh Sugarto L. (Jakart, EGC, 2012),22.

Jurnal

Adila Syahnaz. “Tingkat Keefektifan Penggunann Cadaver Sebagai Media Pembelajaran Anatomi Di Fakultas Kedokteran universitas Sebelas Maret”.(Juni2019),

https://www.researchgate,..net/publication/334004093_Tingkat_Keef ektifan_Penggunaan_Cadaver_Sebagai_Media_Pembelajaran_Anatomi _di_Fakultas_Kedokteran_Universitas_Sebelas_Maret. 3 November 2019.

Ardian Prima Putra I.M, Marwanto. “Pidana Pengawasan Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesa”. Journal Ilmu Hukum Unud 6, No.4, (2017).3.

Demak, I. P. K., Sari, P., dan Tandirerung, F. J. “Perbedaan Tingkat Pemahaman Dalam Pembelajaran anatomi yang menggunakan Preparat Basah (Kadaver) dengan Preparat Kering pada Mahasiswa Kedokteran Universitas Tadulako”. Jurnal Kesehatan Tadulako 4, No.3, (2018).1.

Dwi Krisnawan I. M, Ngurah Wairocana I. Gst. “Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Euthanasia Di Indonesia Dikaji Dari Perspektif Hukum Pidana Indonesia”. Journal Ilmu Hukum Unud 7, No.2, (2018).6.

Laki, Y. A. “Tindak Pidana Perdagangan Organ Tubuh Manusia Menurut Ketentuan Hukum Positif Indonesia”.Lex et Societatis 3, No.9, (2015).117.

Rompas, A. F. “Kajian Yuridis Pasal 134 KUHAP Tentang Bedah Mayat Dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia”. Lex et Societatis 3, No.1, (2015).141.

Rustyadi, D., Suartha, I. D. M., dan Keneng, I. K. “Implementasi Otopsi Forensik Di Instalasi Kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar”. Journal Ilmu Hukum Unud 5, No.1, (2016).1.

Sukarya, F., dan Priyanto, I. M. D. “Pertanggungjawaban pidana Terhadap Pelaku Penyalahgunaan Obat Dumolid Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Indonesia”, Journal Ilmu Hukum Unud 7, No.5, (2018).5.

Internet

Website     Resmi     Kementrian     Riset     dan

https://lldikti1.ristekdikti.go.id/details/apps/1235, pukul 16.00 WITA pada tanggal 10 Oktober 2019

Teknologi, diakses pada

Peraturan Perundang-Undangan

Wetboek van Stafrecht (Kitab Undang-Undang Hukum pidana/KUHP)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan (Lembar negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Dan Atau Jaringan Tubuh Manusia.

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 7 Tahun 2020, hlm. 1-13.