Tinjauan Yuridis Pemberian Grasi Oleh Presiden Terhadap Terpidana Kejahatan Narkotika Menurut Hukum Positif di Indonesia
on
Tinjauan Yuridis Pemberian Grasi Oleh Presiden Terhadap Terpidana Kejahatan Narkotika Menurut Hukum Positif di Indonesia
Oleh :
Adhyaksa Mahasena
Pembimbing :
I Made Walesa Putra
Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstract:
Narcotics crime is a crime that is growing very rapidly along with the development of social and economic life of the international community, which is very detrimental to state crime and society itself. But the trouble is that when the polemics of granting clemency to convicted narcotics President made widely public tantrum. One side of the apparatus to work with communities to fight drug trafficking, but on the other hand the specific reasons need to forgiveness as outlined in the clemency decision.
Keywords : Clemency, President, Crime Narcotics, Public
Abstrak :
Kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang berkembang sangat pesat seiring dengan perkembangan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Internasional, dimana kejahatan ini sangat merugikan Negara dan masayarakat itu sendiri. Namun yang menjadi masalah adalah ketika adanya polemik dari pemberian grasi oleh Presiden terhadap terpidana kejahatan narkotika yang membuat geger publik secara meluas. Satu sisi aparat bekerja sama dengan masyarakat untuk melawan peredaran narkoba, namun di sisi lain dengan alasan-alasan tertentu perlu dilakukan pengampunan yang dituangkan dalam keputusan grasi tersebut.
Kata Kunci : Grasi, Presiden, Kejahatan Narkotika, Publik
Kejahatan narkotika sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan keadaan ini akan berpotensi mengganggu kestabilan pilar-pilar keamanan nasional dalam rangka pembangunan nasional menuju masyarakat yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan Negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD NRI tahun 1945 alinea keempat. Kejahatan narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang
termasuk dan atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut1, dimana kejahatan narkotika merupakan kejahatan yang bersifat transnasional dan terorganisir.
Namun demikian, walaupun kejahatan narkotika sangat merugikan Negara dan kehidupan masyarakat, kondisi dan perilaku terpidana kasus narkotika menjadi pertimbangan dalam pemberian pengampunan hukuman yang sesuai dengan paradigma pemidanaan yang lebih mengedepankan pemasyarakatan daripada penghukuman melalui grasi. Permasalahan yang dihadapi adalah apakah layak terpidana kejahatan narkotika diberikan grasi oleh presiden dan bagaimana keabsahan mengenai keputusan oleh presiden dalam hal pemberian grasi tersebut, mengingat terdapat beberapa konvensi PBB mengenai perlawanan terhadap narkotika telah diratifikasi oleh Indonesia melalui penerapan hukum positifnya yaitu UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun limitasi pemberian grasi yang diatur dalam konvensi tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai pelarangan terhadap pemberian pengampunan yang dituangkan dalam grasi. Demikian halnya dengan UU Narkotika yang berlaku di Indonesia tidak tertuang sebuah larangan pemberian grasi terhadap terpidana kejahatan narkotika.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana kelayakan dan keabsahan pemberian grasi oleh Presiden terhadap terpidana kejahatan narkotika menurut hukum positif di Indonesia.
-
II. ISI MAKALAH
A. Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan undang-undang (act approach). Pendekatan undang-undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang 2 sedang ditangani.2
Grasi diatur dalam UU No. 22 tahun 2002 tentang Grasi, dimana di dalam Bab 1 Ketentuan Umum khususnya Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden. Selain UU, grasi juga dicantumkan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai hak eksklusif dari seorang presiden yang biasa disebut hak prerogratif. Alasan-alasan diberikannya grasi adalah kepentingan keluarga dari terpidana; terpidana pernah sangat berjasa bagi masyarakat; terpidana menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan; terpidana berkelakuan baik selama dipenjara dan diperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya.3
Kejahatan Narkotika sudah dianggap sebagai kejahatan serius di kancah hukum internasional maupun hukum nasional. Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Narkotika dengan salah satu bentuk implementasinya terhadap hukum positif di Indonesia yaitu telah dibentuknya UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tindak pidana narkotika termasuk tindak pidana transnasional yang terorganisasi, yaitu kejahatan yang mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan dan perdamaian dunia.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di samping memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari satu Negara ke Negara lain, juga menuimbulkan dampak negatif berupa tumbuh, meningkat, beragam dan maraknya tindak pidana. Tindak pidana tersebut pada saat ini telah berkembang menjadi tindak pidana yang terorganisasi yang dapat dilihat dari lingkup, karakter, modus operandi dan pelakunya.4 Hubungan antara bandar, pengedar dan pemakai akan menciptakan pasar gelap peredaran narkotika yang tentu saja merugikan banyak pihak.
Masyarakat yang rawan narkotika tidak akan memiliki daya tahan sosial sehingga kelanjutan pembangunan akan terancam. Negara pun menderita kerugian akibat produktivitas dari masyarakat menurun secara drastis serta mengakibatkan angka kejahatan akan meningkat.
Salah satu potret yang masih diperdebatkan adalah pemberian grasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Corby yang merupakan salah satu terpidana kejahatan narkotika jenis Mariyuana. Beberapa konvensi yang telah diratifikasi Indonesia yaitu United Nations Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substance, 1988 dan United Nations Against Transnational Organized Crime, 2000, yang salah satu bentuk pelaksanaanya tertuang dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Politik hukum dalam limitasi pemberian grasi yang diatur dalam konvensi tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai pelarangan pemberian grasi kepada terpidana kejahatan narkotika, demikian juga halnya dengan UU Narkotika yang berlaku di Indonesia. Oleh karena hal tersebut, maka dapat dikatakan Presiden sebagai kepala Negara tetap berhak untuk memberikan pengampunan dalam bentuk grasi kepada terpidana narkotika.
Pemberian grasi oleh Presiden terhadap terpidana kejahatan narkotika harus dilakukan secara prosedural berdasarkan permohonan dan mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Tidak adanya suatu larangan untuk memberikan grasi terhadap terpidana kejahatan narkotika yang dipandang sebagai kejahatan serius yang bersifat transnasional dan terorganisasi, membuat substansi keputusan tersebut tidak menunjukkan ketimpangan terhadap aturan hukum yang berlaku. Namun opini bahwa Presiden inkonsisten dalam pemberian keputusan tidak dapat dihindari pula. Pasalnya, di satu sisi menyatakan ‘against’ terhadap narkotika namun di sisi lain memberikan keringanan hukuman bagi terpidana narkotika. Jelas opini ini hanya dapat dipatahkan dengan transparansi penjelasan fakta-fakta yang ada serta argumentasi tajam yang melatarbelakangi pengambilan keputusan grasi tersebut. Presiden harus menjelaskan keadaan ataupun kondisi terpidana yang sebenarnya sehingga harus diberikan grasi atas dasar kemanusiaan. Kalaupun pemberian grasi terhadap terpidana kejahatan narkotika merupakan bentuk dari diplomasi Internasional, pemerintah seharusnya mengambil 4
langkah untuk menjelaskan manfaat yang diperoleh dari keputusan itu bagi bangsa Indonesia sendiri. Dengan demikian akan timbul sebuah mindset bahwa keputusan tersebut lahir dari pertimbangan seksama yang cukup kuat hingga mengesampingkan sifat serius dari kejahatan narkotika.
Pemberian grasi oleh Presiden terhadap terpidana kejahatan narkotika adalah tindakan yang sah. Presiden berhak untuk memberikan keputusan grasi terhadap terpidana kejahatan Narkotika berlandaskan Pasal 14 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan diperkuat lagi oleh Pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi dengan beberapa limitasi di dalamnya. Pemberian grasi oleh Presiden tersebut dilakukan secara prosedural berdasarkan permohonan dan telah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung dengan beberapa alasan kelayakan pemberian grasi seperti alasan kemanusiaan ataupun sebagai bentuk diplomasi Internasional.
BUKU
Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Siswanto, H., 2012, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009), Rineka Cipta, Jakarta.
Taufik Makaro, M., Suhasril, dan H. Moh. Zakky A.S., 2005, Tindak Pidana Narkotika, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Widnyana, I Made, 1992, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Yayasan Yuridika Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No.22 Tahun 2002 Tentang Grasi
Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
5
Discussion and feedback