PENGATURAN SANKSI KEBIRI KIMIA BAGI PELAKU PEDOFILIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK
on
PENGATURAN SANKSI KEBIRI KIMIA
BAGI PELAKU PEDOFILIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK
Ni Kadek Raimadani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: raimadani12@gmail.com
I Gusti Ngurah Parwata, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: parwatangr@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis konsep dari pemidanaan terhadap pelaku pedofilia sertapengaturan mengenai teknis pelaksanaan sanksi kebiri kimia. Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif, yang menggunakan 2 jenis pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut (1) pemidanaan sama artinya dengan penghukuman yang bertujuan untuk membalas suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Penjatuhan hukuman ataupun sanksi dimaksudkan agar si pelaku dapat diperbaiki dan diterima Kembali ke tengah masyarakat. Dasar hukum dari penerapan hukuman kebiri dimuat dalam Pasal 81 ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang Perlindungan Anak. Dilihat dari konsep pemidanaan sanksi kebiri digunakan sebagai pembalasan dan pertanggungjawaban kepada korban oleh pelaku pedofilia. (2) teknis pelaksanaan sanksi kebiri kimia belum diatur secara khusus dalam sebuah peraturan organik yang memuat teknis pelaksanaan aturan materil.
Kata Kunci : kebiri kimia, pemidanaan, pelecehan anak
ABSTRACT
This study aims to study and analyze the concepts of criminal prosecution against pedophilia and also regarding the technical implementation of chemical castration sanctions. This research belongs to normative legal research, which uses 2 types of discussion, namely renewal of invitation and conceptual (conceptual approach). Based on the results of the study, the following conclusions can be obtained (1) the same punishment with punishment intended for revenge committed by someone. Return to the community. The legal basis for implementing castration punishment is contained in Article 81 paragraph (6) and paragraph (7) of the Child Protection Act. Judging from the concept of castration punishment is used as retaliation and accountability to victims by pedophiles. (2) the technical implementation of chemical castration regulations has not been specifically regulated for organic materials.
Key Words: chemical castration, criminalization, child abuse
Sejalan dengan hal pesatnya pola pikir manusia serta kemajuan teknologi yang sangat amat beragam dan modern, menimbulkan banyaknya bermunculan jenis-jenis tindak kejahatan yang semakin berkembang salah satunya yakni yang paling membuat resah masyarakat adalah kekerasan seksual atau lebih dikenal
oleh masyarakat luas sebagai pemerkosaan. Maraknya informasi dilini massa terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak sangat membuat masyarakat tercengang. Kasus Yuyun pada tahun 2016 silam merupakan salah satu gambaran pelik yang pernah terjadi yakni kejahatan seksual dan pembunuhan terhadap Yuyun. Kejahatan semacam ini merupakan hal yang kian hari mempunyai beragam bentuk dan motif, hal ini seolah-olah sebagai kenyataan mengenai kriminalitas di lingkungan sosial yang sulit untuk dihindari dan akan bermunculan di lingkungan masyarakat yang menyebabkan kesejahteraan, ketertiban serta kenyamanan kehidupan menjadi terganggu.
Kejadian seperti ini merupakan isu yang sangat sensitif, hal tersebut dikarenakan isu ini sangat penting dan rumit. Di Indonesia kasus seperti kekerasan seksual tiap tahunnya meningkat, pada umumnya hal seperti ini terjadi terhadap perempuan baik dari kalangan anak hingga dewasa, kendati demikian hal ini sudah sering terjadi namun hanya sedikit masyarakat yang memahami, menyadari, dan melaporkan kasus tersebut. Umumnya suatu kasus kekerasan seksual pelakunya berasal dari lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial. Golongan yang rentan akan kekerasan seksual merupakan anak, hal ini karena anak-anak diasumsikan lemah dibandingkan orang dewasa. Kekerasan terhadap anak dapat meliputi suatu tindakan mencium, menyentuh organ yang dilarang, tindakan seksual pada anak, memberikan tayangan porno, maupun memperlihatkan alat vital pelaku kejahatan. Pemerkosaan acap kali dipandang sebagai kejahatan yang berkaitan atau melanggar kesusilaan saja, hal ini ditambah dengan muatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwasannya pemerkosaan tersebut kejahatan kekerasan seksual dianggap sebagai pelanggaran kesusilaan. Hal ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yang dilakukan, namun juga memunculkan stigma di masyarakat bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas saja.1
Seharusnya dunia anak terasa bahagia dan aman namun dengan kemunculan kasus kekerasan seks pada anak dibawah umur membuat dunia mereka sempit dan sulit ditemui keceriaan. Masa yang seharusnya diisi dengan pembinaan, dan mengajarkan kebaikan, terbalik menjadi potret muram dan gelap bagi anak yang menjadi subjek pelecehan seksual oleh pedofilia. Kekerasan seksual pada anak tidak mengenal waktu, kapanpun dapat terjadi. Kejahatan seks terhadap anak ini akan berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan juga mental anak yang nantinya akan menimbulkan trauma mendalam bagi korban.2 Maka dari itu perlindungan bagi anak sangat diperlukan untuk menjamin mereka dalam menunaikan hak serta kewajibannya.3
Penandatanganan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo di tahun 2016 yang sudah ditetapkan menjadi UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak memuat tentang
pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yaitu hukuman pidana mati, seumur hidup, dan maksimal 20 tahun penjara disertai pidana tambahan yakni pengumuman identitas si pelaku.4 Selanjutnya para pelaku pedofilia juga akan dikenai tindakan kebiri kimia dan pemasangan pendeteksi elektronik.5 Tidak berselang lama muncul berbagai pro kontra di masyarakat tentang kebiri kimia tersebut.6 Pihak yang menyetujui dengan pemberlakuan kebiri kimia mendukung hal ini dengan alasan sebagai bentuk pencegahan serta memberikan pelajaran agar si pelaku jera, namun disisi lain kelompok yang menolak beralaskan bahwasanya Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Committee Against Torture (CAT) tidak seharusnya memberlakukan hukuman yang dimana membuat tidak berfungsinya organ manusia. Disamping hal tersebut dikemukan pula bahwa dalam penerapan hukuman tambahan kebiri kimia haruslah memperhatikan aspek biaya serta persetujuan dari pelaku sendiri. Penetapan sanksi dalam suatu tindak pidana tidak dapat dihindarkan dari tujuan pemidanaan yang ingin dicapai, meskipun jenis sanksi setiap kejahatan berbeda namun semua penerapan sanksi di dalam hukum pidana harus tetap berorientasi pada apa tujuan pemidanaan itu sendiri.
Karya tulis ilmiah ini ditulis murni dari ide maupun hasil pemikiran penulis. Sepengamatan penulis belum ditemukan tulisan yang membahas mengenai sanksi kebiri kimiawi bagi pelaku pedofilia. Kendati demikian ada beberapa tulisan yang memiliki konsep yang mirip namun berbeda pada fokus penulisannya. Adapun karya tulis yang memiliki kemiripan dengan studi ini yakni, karya tulis dengan judul Kebijakan Hukum Pidana Sanksi Kebiri Kimia Dalam Perspektif HAM dan Hukum Pidana Indonesia oleh Nur Hafisal Hasanah tahun 2018, kaitannya dengan studi ini adalah dalam hal pandangan HAM terhadap sanksi kebiri. Selanjutnya tulisan dari Liliana Listiawati tahun 2017 dengan judul Penjatuhan Hukuman Kebiri Kepada Para Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak Dibawah Umur tulisan tersebut juga mempunyai keterkaitan dalam hal penjatuhan sanksi kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Namun seluruh karya tulis tersebut memiliki hasil analisis serta tujuan yang berbeda. Sehinga menarik untuk dibahas lebih dalam pada studi ini dengan judul Pengaturan Sanksi Kebiri Kimia Bagi Pelaku Pedofilia Ditinjau Dari Undang-Undang Perlindungan Anak.
Berdasarkan pada pembahasan di atas maka penulis menemukan suatu permasalahan yang akan dibahas yakni :
-
1. Bagaimanakah konsep sanksi kebiri sebagai bentuk pemidanaan bagi pelaku pedofilia di Indonesia?
-
2. Bagaimanakah pengaturan mengenai teknis pelaksanaansanksi kebiri kimia di Indonesia?
Dengan penulisan karya ilmiah ini adapun tujuan yang ingin dicapai penulis adalah :
-
1. Untuk mengetahui serta menganalisis tentang konsep pemidanaankebiri kimia yang termuat dalam Undang-Undang Perlindungan anak, khususnya terhadap pelaku tindak pidana pedofilia.
-
2. Untuk mengetahui serta menganalisispelaksanaan dari hukuman sanksi kebiri kimia yang berlandaskan pada Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia.
Pada penulisan karya ilmiah ini digunakan metode penelitian hukum normatif, karena karya tulis ini meneliti serta mengkaji beralaskan dari asas-asas hukum dan peraturan-peraturan tertulis.7Adapun yang melatarbelakangi penulis untuk memilih metode penelitian normatif, karena masih ditemukan kekosongan hukum terkait teknis pelaksanaan kebiri kimia di Indonesia. Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangandengan mengkaji PERPU No 1 Tahun 2016 dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Selain hal tersebut adapun bahan hukum yang penulis gunakan diantaranya berupa bahan hukum primer, yakni undang-undang, serta bahan hukum sekunder yang berupa buku dan/atau literatur serta artikel hukum di internet. Pengumpulan bahan hukum dalam karya ilmiah ini menggunakan teknik studi pustaka. Bahan hukum yang telah sepenuhnya terkumpul selanjutnya di analisis secara kualitatif.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 KonsepSanksi Kebiri Sebagai Bentuk Pemidanaan Bagi Pelaku Pedofilia Di Indonesia
-
Tindakan yang berupa kekerasan seksual terhadap anak, yang dilakukan oleh seorang pedofilia tidak hanya sebatas pada hubungan seks saja, namun juga tindakan-tindakan yang mengarah terhadap aktivitas seksual anak seperti dengan halnya menyentuh tubuh anak secara seksual baik saat menggunakan pakaian maupun telanjang, melakukan aktivitasseksual dihadapan anak, serta menampilkan gambar maupun video yang menunjukkan tindakan tidak senonoh. Menurut Adrianus E. Meliala, ada beberapa kategori pedophilia yakni: 8
-
1. Infantophilia, merupakan ketertarikan seseorang terhadapanak
berusia 5 tahun.
-
2. Hebophilia, merupakan seseorang yang mempunyai daya tarik terhadap anak perempuan dengan usia 13 sampai dengan 16 tahun.
-
3. Ephebohiles, merupakan seseorang yang tertarik dengan anak laki-laki yang berusia 13 hingga 16 tahun.
Sementara itu berdasarkan perilakunya ada seseorang yang disebut dengan exhibitionism yakni orang yang suka memamerkan serta suka menelanjangi anak,
selain itu adapula yang disebut dengan voyeurism yaitu seseorang yang mempunyai kelainan dengan perbuatan mesum dihadapan anak atau suka meremas bagian tubuh yang dilarang. Pedofilia adalah kelainan perilaku pada pelaku, hal ini bisa saja disebabkan karena trauma akan hal yang sama, gaya hidup, perilaku yang menyimpang, ataupun kebiasaan menonton video yang tidak senonoh sehingga membentuk hasrat berlebihan dalam konteks seksual.9 Sehingga pedofilia ini kerap kali disimpulkan sebagai ketertarikan orang dewasa dengan anak-anak yang digunakan sebagai pemuas birahi orang dewasa.
Jika kita berbicara mengenai pidana sudah barang tertentu tidak dapat terlepas dari hal yang disebut pemidanaan. Sudarto menyatakan bahwasanya pemidanaan mempunyai arti yang sama dengan penghukuman.10 Para ahli hukum maupun para sarjana menyadari betul bahwasanya masalah pemidanaan bukan hanya mengenai bagaimana mekanisme maupun prosedur agar dapat mempidana seseorang kedalam penjara. Dengan ini penting halnya memberikan pengertian mengenai apa itu pemidanaan sebelum memberikan sebuah putusan ke berbagai elemen. Prof. Jerome Hall memberi pernyatan sebagaimana di kutip oleh Gerber dan Mac Anany dalam memberi batasan konsep pemidanaan sebagai berikut: 1) pemidanaan merupakan kehilangan sesuatu hal yang diperlukan oleh manusia; 2) pemidanaan bersifat memaksa dengan kekerasan, 3) pemidanaan sendiri diberikan dengan atas nama Negara; 4) pemidanaan mengharuskan adanya peraturan, pelanggaran, dan ketentuannya, yang dituangkan dalam bentuk putusan; 5) pemidanaan sendiri diberikan terhadap seseorang yang melanggar (telah melakukan sebuah kejahatan); dan 6) jenis pemidanaan ditentukan oleh perbuatan kejahatan.11 Penggunaan hukum pidana sendiri merupakan cara untuk mengatasi permasalahan sosial demi mencapai kesejahteraan masyarakat sendiri.
Di Indonesia dasar hukum atau legal standing dari penerapan hukuman kebiri dimuat dalam Pasal 81 ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang Perlindungan Anak. Yang mana kebiri kimia menjadi sanksi tambahan disamping pidana pokok. Didalam Pasal 81 ayat (6) dijelaskan bahwa : selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Serta dalam Pasal 81 ayat (7)berbunyi : terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Hukuman kebiri adalah suatu hal yang masih sangat baru di Indonesia. Jika dilihat didalam teori tujuan pemidanaan, ada 3 macam teori pemidanaan yaitu:12
-
1. Teori absolut, pada dasarnya teori ini meletakkan hukuman sebagai hal yang bersifat pembalasan atas perbuatan pelaku yang telah melakukan suatu tindak kejahatan. Hal tersebut sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan.
-
2. Teori relative, pada teori ini bahwa pidana dipandang sebagai suatu alat untuk menegakkan ketertiban dalam masyarakat.
-
3. Teori gabungan, pada teori ini antara pembalasan maupun pertahanan tata tertib dipandang sama dalam masyarakat.
Dengan demikian diadakannya penjatuhan sanksi pidana untuk membalas perbuatan yang dilakukan pelaku dengan maksud agar si pelaku bisa diperbaiki dan agar dapat kembali serta diterima masyarakat luas. Selain itu tujuan pemidanaan juga serta merta untuk memulihkan keadilan (restorative justice) yaitu suatu bentuk pendekatan penyelesaian perkara menurut hukum pidana yang melibatkan korban, keluarga dari korban maupun keluarga dari pelaku dan pelaku kejahatan sendiri, dan juga pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan dalam memperoleh penyelesaian perkara secara adil dengan menekankan terhadap pemulihan keadaan seperti semula dan bukan pembalasan.13
Jika berkaca pada dasar hukum dari penerapan hukuman kebiri masuk kedalam kategori teori gabungan. Hal tersebut dikarenakan pada satu sisi hukuman kebiri digunakan sebagai pembalasan dan pertanggungjawaban kepada korban oleh pelaku pedofilia. Sedangkan di sisi lain hukuman ini dapat dijadikan edukasi kepada masyarakat agar tidak melakukan perbuatan yang serupa demi terciptanya ketertiban umum serta memberikan efek jera.
Kehadiran hukuman kebiri kimia menimbulkan polemik di tengah masyarakat, yang mana hal tersebut haruslah segera diformulasikan solusinya, terutama terhadap penegakan hukuman kebiri di lapangan. Mengingat kembali kejadian di masa lalu yakni kasus kejahatan seksual yang menimpa Yuyun seorang anak berusia 14 Tahun di Bengkulu, lalu siswi SMP di Palembang yang berusia 13 tahun diperkosa 5 orang sampai korban tak bernyawa, dan masih banyak kasus lainnya. Guna menangani kasus seperti itu pemerintah harus membuat suatu regulasi atau aturan untuk menjamin kepastian hukum. Hal ini akan berakibat terhadap menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah maupun institusi penegak hukum.14
Secara tegas Presiden Jokowi mangatakan bahwasanya kejahatan terhadap seksual yang terjadi pada anak dibawah umur sudah sampai level darurat. Dan ini pula yang membuat Presiden menyetujui disahkannya PERPU Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan kedua Undang-Undang Perlindungan Anak yang bermuatkan tentang pemasangan alat pendeteksi elektronik serta sanksi kebiri kimia.15 Dengan demikian disimpulkan bahwa sanksi tersebut dapat diterapkan di
Indonesia karena telah memiliki aturan yang tetap, namun aturan pelaksanaannya yang sampai saat ini masih menjadi kendala karena belum adanya tata cara pelaksanaan dari kebiri kimia. Menurut jajaran Pemerintah Indonesia sanksi kebiri kimia sudahlah setara antara perbuatan pelaku dengan hukumannya.16
Sudah menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah saat ini untuk segara membuat aturan yang baku tentang tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia. Sebelum abad ke-19 hukuman sendiri dapat dicerminkan menjadi 2 yakni pertama, hukuman yang lebih berorientasi terhadap hukuman fisik yang melibatkan hukuman yang kejam sehingga berakibat kematian serta penderitaan, kedua hukuman tersebut dilakukan didepan khalayak umum dan masyarakat bebas melihat bagaiamana proses penghukumannya. Secara sosiologis penghukuman merupakan tonggak dari penegakkan hukum sendiri. Menurut Foucalt terdapat 4 jenis perubahan metode hukuman pada masyarakat modern yakni : pertama, proses penghukuman tidak lagi dilakukan didepan khalayak ramai melainkan dilakukan ditempat yang tertutup, kedua penegakkan hukum memfokuskan pada hal yang menjadi latar belakang peristiwa tersebut terjadi, ketiga seorang ahli yang berhak menentukan sifat dan lamanya hukuman yang akan dijatuhi, keempat penghukuman digunakan dengan tujuan memperbaiki diri pelaku dan merehabilitasi.
Berdasarkan uraian tersebut pemberlakuan hukuman kebiri kimiawi bagi pelaku pedofilia menunjukkan cara penghukuman dengan balas dendam dan sudah lama ditinggalkan. Hal ini dianggap tidak memiliki hubungan dengan berkurangnya kejahatan seksual pada anak. Sejalan dengan hal tersebut Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengutarakan bahwa mereka menolak sebagai eksekutor kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dimana justru mereka menyarankan agar dilakukannya rehabilitasi secara meluas dan lengkap jadi kebiri kimia bukan digunakan sebagai bentuk hukuman. Mereka menolak hal ini dilaterbelakangi oleh Sumpah Dokter serta KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia). Dimana setiap Dokter diwajibkan untuk menghayati, menjunjung tinggi, mengamalkan sumpah dan atau janji dokter. Dalam Pasal 1 KODEKI khususnya angka 1 dan 5 menyatakan bahwa seorang dokter akan membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan dan seorang dokter tidak akan pernah menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk hal yang bertentangan dengan perikemanusiaan sekalipun mereka diancam. Terlebih dalam melakukan tindakan medis, seorang dokter terlebih dahulu harus memperoleh persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 PERMENKES Nomor 290/Menkes/Per/III/2008, yang dimaksud persetujuan dalam hal ini adalah kesediaan yang diberikan secara langsung baik oleh pasien maupun keluarga terdekat pasien setelah diberikan secara lengkap terkait tindakan yang diambil oleh dokter. Dengan terikatnya Dokter dengan Sumpah serta KODEKI membuat pelaksanaan hukuman kebiri kimia tidak memungkinkan dilakukan oleh seorang Dokter.17
Secara normatif penolakan yang dilakukan IDI sebagai eksekutor dari hukuman kebiri kimia tidak dapat halnya dikatakan melawan hukum dikarenakan norma yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hukuman kebiri kimia sendiri belum ditetapkan. Akan tetapi tentu saja hal ini masih menjadi perdebatan karena eksekutor dalam hukuman kebiri sampai saat ini belum ada kejelasan. Sedangkan dalam UU Praktik kedokteran dijabarkan dengan jelas bahwasannya profesi dokter adalah profesi yang khas, dilihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum dalam hal ini diperkenankannya melakukan tindakan medis pada tubuh seseorang dalam rangka pemeliharaan dan meningkatkan orang tersebut. Begitu pula sebaliknya tindakan medis yang bukan dilakukan oleh Dokter terhadap tubuh manusia dapat digolongkan kedalam tindakan pidana.
Berdasarkan hasil analisis dari pokok bahasan yang dijabarkan di dalam karya ilmiah ini, adapun kesimpulan yang dapat ditarik kesimpulan bahwa pemidanaan sama artinya dengan penghukuman yang bertujuan untuk membalas suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Penjatuhan hukuman ataupun sanksi dimaksudkan agar si pelaku dapat diperbaiki dan diterima Kembali ke tengah masyarakat. Dasar hukum dari penerapan hukuman kebiri dimuat dalam Pasal 81 ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang Perlindungan Anak. Dilihat dari konsep pemidanaan sanksi kebiri digunakan sebagai pembalasan dan pertanggungjawaban kepada korban oleh pelaku pedofilia.Teknis pelaksanaan sanksi kebiri kimia belum diatur secara khusus dalam sebuah peraturan organic yang memuat teknis pelaksanaan aturan materil. Inilah bentuk kekosongan norma yang dimaksud dan nantinya dapat berujung pada ketidakpastian hukum.
Adapun beberapa saran yang penulis dapat berikan yakni :
Demi keadilan dan kepastian hukum disarankan dilakukannya penelitian lanjutan mengenai kebutuhan terhadap sanksi kebiri kimia mengingat sanksi pidana pokok yang ada sangatlah cukup untuk menjerat pelaku kejahatan seksual. Seyogyanya pemerintah menentukan batasan-batasan tegas didalam menentukan penjatuhan sanksi kebiri kimia terhadap pelaku pedofilia serta bagi orang tua hendaknya lebih memberikan pengawasan yang ketat bagi putra putri mereka, hal ini dikarenakan para pelaku predator anak acap kali tidak pernah pandang bulu didalam mencari korbannya.
Kepada pemerintah beserta jajarannya disarankan agar segera membuat peraturan pelaksana dari sanksi kebiri kimia, agar tidak sampai terjadi ketidakpastian hukum karena kekosongan normayang akan menimbulkan multi tafsir atau keragu-raguan yang nantinya menyebabkan proses peradilan menjadi sia-sia. Selain itu agar pengawasan terhadap pelaku pedofilia lebih ditingkatkan, sebaiknya sarana dan prasarana yang hendak digunakan baik untuk penyidikan ataupun penangkapan perlu ditambah guna mencapai hasil yang maksimal di dalam proses pemeriksaan yang bertujuan untuk melengkapi berkas-berkas persidangan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Gultom,Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak (Bandung, Refika Aditama, 2013).
Noviana, Ivo. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya Child Sexual Abuse: Impact and Hendling (Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, 2015).
Prasetyo, Teguh dan Barkatullah, Abdul Halim. Politik Hukum Pidana Kajian Kriminalisasi dan Dekriminalisasi (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005).
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta, UI-Press, 1986)
Jurnal:
Dirgantara, Muhammad Andi, Syafruddin Kalo, Alvi Syahrin, and Chairul Bariah. "Analisis yuridis kebijakan pemidanaan dengan hukuman kebiri terhadap pelaku pedofilia." USU Law Journal 5, No. 1 (2017): 119-127.
Friandy, Bob. "Sanksi Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kejahatan Seksual terhadap Anak (Analisis Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Studi Komparatif Hukum Pidana di Indonesia dan Hukum Pidana Islam)." Justicia Islamica Jurnal Kajian Hukum dan Sosial 14, No. 2 (2017): 152-173.
Faried, Femmy Silaswaty. "Optimalisasi Perlindungan Anak melalui Penetapan Hukuman Kebiri." Serambi Hukum 11, No. 01 (2017): 41-55.
Hasanah, Nur Hafizal, and Eko Soponyono. "Kebijakan Hukum Pidana Sanksi Kebiri Kimia dalam Perspektif HAM dan Hukum Pidana Indonesia." Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 7, no. 3 (2018): 305-317.
Handayani, Trini. "Peningkatan Ketahanan Keluarga melalui Optimalisasi Pola Asuh Maternalistik dalam Pencegahan Kejadian Pedofilia." Padjadjaran Journal of Law 3, No. 3 (2016): 547-564.
Januel, Hor. "Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Mempersiapkan Resosialisasi Warga Binaan (Diteliti Di Lembaga Pemasyarakatan Paledang Kelas Ii A Bogor)." Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Hukum 1, No. 1 (2016).1-18.
Krismiyarsi, Krismiyarsi. “Kebijakan Sanksi Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak Kajian Politik Hukum Pidana.”In Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 4, No. 1 (2018): 90-109.
Mardiya, Nuzul Qur’aini. "Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual." Jurnal Konstitusi 14, No. 1 (2017): 213-233.
Raharja, Ahmad Fahmi. "Episteme Hukuman Kebiri (Analisis Yuridis Penolakan Idi Sebagai Eksekutor Hukuman Kebiri Kimia)." Prosiding Semnas Hasil Penelitian Hukum Kesehatan 1, No. 1 (2016): 201-221.
Soetedjo, Soetedjo, Julitasari Sundoro, and Ali Sulaiman. "Tinjauan Etika Dokter sebagai Eksekutor Hukuman Kebiri." Jurnal Etika Kedokteran Indonesia 2, No. 2 (2018): 67-71.
Wati, Emy Rosna. "Penanganan Anak yang Berkonflik Dengan Hukum." Justitia Jurnal Hukum 1, No. 2 (2017): 279-294.
Website:
http://ksp.go.id/ketidakpastian-hukum-tak-boleh-dibiarkan/index.html.(dikutip pada tanggal 03 maret 2020 pukul 08.29 WITA ).
http://www.rappler.com/indonesia/101820-komnas-pa-sebut-indonesia-darurat-kejahatan-seksual. (diakses pada tanggal 14 Februari 2020, pukul 10.30 WITA)
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5946)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431).
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5882).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 29/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 7 Tahun 2020, hlm. 1-10.
Discussion and feedback