TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBAKARAN MATA UANG RUPIAH DALAM PROSESI NGABEN DI BALI*

Oleh :

Wishwanata Adi Darma** A.A Ngurah Oka Yudistira Daramadi*** Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Indonesia merupakan negara hukum dimana mulai dengan seluruh perbuatan diatur oleh hukum serta memiliki kebudayaan yang beraneka ragam. Bali memiliki sebuah tradisi ngaben yaitu prosesi pembakaran mayat atau jenazah juga terdapat beberapa sarana yang ikut di bakar, seperti kwangen dan uang kepeng seiringin berjalannya waktu terdapat pergeseran makna dimana uang kepeng berubah menjadi Rupiah, namun dengan dimunculkan UU tentang Mata Uang terdapat sebuah kontradiksi hukum karena menurut UU mata uang seorang pembakaran Rupiah dapat dipidana karena dianggap merendahkan Rupiah. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui seseorang yang membakar Rupiah dalam prosesi ngaben tergolong sebagai tindak pidana atau tidak dan mengetahui pertanggungjawaban pidana apabila perbuatan tersebut perbuatan pidana. Metode penelitian ini merupakan penelitian normatif untuk mengkaji kekaburan norma tentang perusakan mata uang Rupiah. Hasil penelitian ini dimana pelaku pembakran uang dalam prosesi ngaben tidak dapat dipidana karena Indonesia menganut sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif bermakna apabila suatu tindakan tersebut sudah memenuhi rumusah delik dalam undang-undang  dapat

dikesampingkan karena nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pertanggungjawaban pidana apabila perbuatan ini merupakan perbuatan pidana maka pelaku dikenakan pidana paling lama 5 tahun dan pidana denda 1.000.000.000 miliar karena dianggap merendahkan martabat Rupiah sebagai simbol negara.

Kata Kunci : Pembakaran, Mata Uang, Ngaben, Rupiah, Bali.

Abstract

Indonesia is a country of law which all-the aspect of live have to follow by the rule. Bali have a lot of diverse and cremation tradition is one of that part which cremation is the procession of burning corpses, there are also some means that are burned, such as kwangen and Uang Kepeng as time goes by there is a shift in meaning where Uang Kepeng turns into Rupiah, but with the emergence of the Law on Currency there is a legal contradiction because according to The law on a person burning a Rupiah can be convicted. The aim of this research is to find out someone who burned Rupiah in the cremation procession is classified as a criminal act or not and know criminal liability if the act is a criminal act. Normative method used in this research. The results of this study where the perpetrators of money burning in the cremation process can not be convicted because Indonesia adheres to the nature of material law in a meaningful negative function if an action has fulfilled the criminal offenses in the law can be set aside because of the values that live in society. Criminal liability if this act is a criminal offense then the perpetrators are subject to a maximum of 5 years and a criminal fine of 1,000,000,000 billion because they are considered to demean Rupiah as a symbol of the state.

Keywords: Burning, Currency Law, Ngaben, Rupiah, Bali.

I.


PENDAHULUAN


  • 1.1    Latar Belakang

Berdasarkan pasal 1 ayat (3) UUD Republik Indonesia 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa Republik Indonesia merupakan negara hukum. Berbentuk negara hukum Pancasila yang mempunyai karakteristik tersendiri yakni dengan adanya pembagian kekuasaan, negara berdasarkan atas hukum dapat dilihat yang diantaranya dengan semua perbuatan seseorang atau individu juga golongan, rakyat dan pemerintah harus didasari oleh peraturan perundang-undangan yang terbentuk agar tidak terjadinya kesewenang-wenangan dalam melakukan tindakan. Dapat disimpulkan bahwa seluruh organisasi atau perlengkapan suatu negara apa pun namanya wajib menjunjung tinggi hukum tanpa terkecuali, termasuk juga pada masyarakat sebagai warga negara.

Selain negara berdasarkan hukum, Indonesia memiliki keanekaragaman budaya setiap daerah ini dan pasti memiliki budaya serta adat istiadat masing masing. Khususnya di Pulau Bali, terdapat suatu tradisi yang sering kita jumpai yaitu upacara Ngaben. Ngaben adalah tradisi kremasi atau pembakaran jenazah yang dilakukan oleh masyarakat yang beragama hindu. Ngaben berasal dari kata beya memiliki arti bekal dan ngabu berarti abu terdapat pula pendapat bahwa Ngaben merupakan penyucian dengan menggunakan sarana Api. Fungsi dilakukannya upacara ngaben adalah suatu katalisator kembalinya unsur panca mahabhuta yang terdapat pada badan (tubuh manusia) untuk menyatu dengan panca mahabhuta di bhuana agung (alam semesta)

ini, serta mengantarkan atma dari duniawi ke alam Pitara dengan cara memutuskan ikatannya dengan duniawi.1

Selain pembakaran jenazah didalam prosesi ngaben terdapat beberapa sarana yang ikut dibakar seperti uang kepeng, kwangen, dan benda lainnya. Seiring berjalannya waktu uang kepeng semakin minim keberadaannya serta semakin meningkatnya nilai uang maka terjadi pergeseran makna dimana uang kertas atau Rupiah pun ikut dibakar dalam hal ini uang memiliki makna sebagai simbol memberikan bekal atau dana kepada sang atman dalam perjalanannya menuju alam akhirat.2 Sarana uang yang dipergunakan saat ini lebih banyak menggunakan mata uang kertas (Rupiah) dan pada umumnya hal ini merupakan perbuatan yang tidak wajib untuk dilaksanakan karena bergantung pada kerelaan hati nurani dari pemberi uang tersebut. Disini terdapat kontradiksi hukum dimana negara memiliki atribut kedaulatan dari setiap negara wajib dihormati oleh keseluruhan warga negara adalah mata uang dan mata uang yang dikeluarkan serta digunakan oleh pemerintah Indonesia ialah Rupiah. Kepala lembaga yang mengurus dibidang pengelolaan uang Bank Indonesia Suhedi mengatakan bahwa seseorang yang berbuat dengan sengaja merusak Rupiah akan di penjara maksimum 5 tahun dan pidana denda Rp 1 Miliar.3 Hal tersebut merujuk kepada UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang, dimana menurut pasal 25 UU Mata Uang pada intinya

menyatakan bahwa dilarang melakukan perusakan terhadap mata uang. Maka dari hal tersebut topik dari penulisan ini adalah “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBAKARAN MATA UANG RUPIAH DALAM PROSESI NGABEN DI BALI”.

  • 1.2    Rumusan Masalah.

  • 1.    Apakah perbuatan seseorang yang melakukan pembakaran amata uang Rupiah dalam prosesi merupakan perbuatan pidana ?

  • 2.    Bagaimana pertanggung jawaban pidana (jika perbuatan tersebut merupakan tindak pidana)?

  • 1.3    Tujuan.

  • 1.    Untuk mengetahui seseorang yang membakar Rupiah dalam prosesi ngaben tergolong sebagai tindak pidana atau tidak.

  • 2.    Untuk mengetahui Pertanggungjawaban pidana apabila perbuatan tersebut perbuatan pidana.

II Isi Makalah

2.1    Metode Penelitian

Penulisan ini berjenis normatif, yang mengkaji peraturan tertulis diberbagai macam aspek. Penelitian normatif dalam tulisan ini digunakan untuk mengkaji kekaburan norma tentang Perusakan mata uang Rupiah.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Perbuatan seseorang melakukan Pembakaran mata uang Rupiah dalam prosesi ngaben merupakan perbuatan pidana

Untuk melakukan suatu pemenuhan kewajiban lainnya yang harus menggunakan uang, melakukan suatu transaksi yang

memiliki tujuan pembayaran, serta pembayaran suatu hal lainnya dilaksanakan di wilayah Republik Indonesia sangat mewajibkan menggunakan Rupiah demi melahirkan kemakmuran untuk seluruh masyarakat. Dengan adanya uang tindakan perekonomian negara melangkah dengan baik sehingga membantu menggapai arahan suatu negara yakni untuk menggapai masyarakat adil dan makmur. Selain itu, jika dilihat secara khusus dari bidang moneter, jumlah uang yang beredar dalam suatu negara harus dikelola dengan baik sesuai dengan kebutuhan perekonomian. Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Rupiah akan berdampak pada kepercayaan masyarakat internasional terhadap Rupiah dan perekonomian nasional pada umumnya sehingga Rupiah memiliki martabat, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan Rupiah terjaga kestabilannya.

Moeljatno menyatakan Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.4 Salah satu bentuk untuk melaksanakan pengendalian kejahatan dengan memanfaatkan hukum pidana yang memiliki sanksi berbentuk pidana.5 Pola hukum pidana menyampaikan petunjuk bahwa ketentuan pidana dapat mengarah dan sungguh-sungguh berguna untuk merapaikan dan mengatur tata tertib hukum pada masyarakat, untuk melindungi tegaknya rasa keadilan masyarakat atas tindakan seseorang maupun sekelompok orang.6 Jika melihat

dari penjelasan Pasal 25 UU Mata Uang, merusak memiliki pengertian yaitu “merusak adalah mengubah bentuk, atau mengubah ukuran fisik dari aslinya, antara lain membakar, melubangi, menghilangkan sebagian, atau merobek.” tindakan pasal diatas termasuk pada delik materiil yang menganggap perbuatan tersebut telah selesai dan menimbulkan akibat yang dilarang yang memiliki ancaman sanksi yang tercantum menurut peraturan perundang-undangan.

Seseorang dapat disebut melangsungkan sebuah tindakan pidana andaikan sudah memenuhi unsur-unsur delik. Sifat melawan hukum (wederrechttelijkheid) ialah unsur mutlak dari setiap tindak pidana. Reoslan Saleh berpendapat, bahwa tidak memiliki arti apapun apabila memidanakan perbuatan yang tidak melawan hukum.7 Untuk dapat disebut sebagai tindakan pidana maka perbuatannya tersebut harus memiliki sifat melawan hukum, karena betapa canggungnya jika seseorang dipidana apabila melaksanakan perbuatan tidak melawan hukum.8 Tanpa adanya unsur melawan hukum sekalipun memenuhi rumusan delik, perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana.9 Kaidah sifat melawan hukum tidak hanya berpacu pada ketentuan-ketentuan peraturan saja namun berpacu pula pada asas-asas yang hidup dalam masyarakat.

Secara garis besar sifat melawan hukum terdapat dua macam yakni pertama sifat melawan hukum formil adalah suatu tindakan dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang memiliki ancaman sanksi pidana baru dapat disebut bersifat melawan hukum. Hal tersebut memiliki pengertian bahwa semua unsur-unsur dari rumusan delik yang terpenuhi. 10 Kedua sifat melawan hukum materiil memiliki dua fungsi, fungsi pertama adalah fungsi yang positif memiliki arti kendatipun tindakan tersebut tidak tersusun menurut peraturan perundang-undangan andaikata tindakan tersebut sangat buruk dikarena tidak serasi dengan rasa keadilan atau asas-asas yang hidup dalam masyarakat dapat dipidanakan.11 Fungsi yang negatif memiliki makna apabila sebuah tindakan tersebut memenuhi rumusan delik namun tidak bertentangan dengan rasa keadilan atau asas-asas yang hidup di dalam masyarakat jadi perbuatan itu tidak dipidana.12 Sudarto pun memberikan pernyataan dimana kaidah sifat melawan hukum materiil menurut fungsi negatif dianut oleh negara Indonesia. Para sarjana Austria, Eugen Ehrlich berpendapat bahwa hukum yang dibuat oleh negara bukanlah sesuatu hal independen menurut faktor kemasyarakatan, namun hukum suatu negara harus melihat pula dari hukum yang hidup dalam masyarakat. 13

Kemudian bila dikaitkan atas dasar dapat atau tidaknya dipidanakan perbuatan pembakaran uang dalam prosesi ngaben jika diperhatikan dari sifat melawan hukum materiil dari fungsi negatif julukan terhadap hukum bukanlah hanya menurut undang-undang saja namun mengacu juga kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang tidak tertulis sering disebut dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini nilai-nilai masyarakat yang tidak diatur menurut undang-undang dibenarkan keberadaanya sebagai suatu hal untuk dapat menghilangkan maupun menghapus sifat melawan hukumnya yang memenuhi rumusan atau unsur-unsur suatu peraturan, artinya perbuatan secara formil yang dirumuskan dalam undang-undang mampu dinegatifkan atau dihilangkan sifat melawan hukumnya dikarenakan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat ini disebut dengan alasan pembenar.14

  • 2.2.1    Pertanggungjawaban pidana apabila perbuatan pembakaran uang dalam prosesi ngaben merupakan tindak pidana

Dapat disalahkannya seseorang atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya, sehingga seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan pidana. Dengan adanya perbuatan bersifat melawan hukum belum menentukan suatu perbuatan dan sipelaku perbuatan tersebut dapat dipidana. Konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang perlukan untuk mengenakan pidana terhadap seseorang pembuat tindak pidana.15 Ada dua

syarat yang harus dipenuhi untuk memidana seseorang, yaitu perbuatan lahirliah yang terlarang atau perbuatan pidana (actus reus) harus bersifat melawan hukum tanpa adanya alasan pembenar dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).16 Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan pidana kalua dia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu dia dapat dipidana.17 Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya adalah asas kesalahan.

Kesalahan mengandung pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana, yaitu pencelaan terhadap hukum yang telah berlaku. Secara normatif kesalahan seseorang tidak hanya ditentukan oleh sikap batinnya saja tetapi juga ditentukan dengan adanya unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatan tersebut. Pada hakikatnya pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk mekanisme yang diciptakan untuk bereaksi atas pelanggaran suatu perbuatan tertentu yang telah disepakati.18 Perbuatan pembakaran mata uang Rupiah dalam prosesi ngaben dikatakan sebagai tindak pidana dan juga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila telah memenuhi unsur kesalahan yang meliputi tiga unsur :

  • 1.    Adanya kemampuan Bertanggungjawab, dalam hal ini sepelaku mampu mengerti nilai dari akibat perbuatannya

serta menyadari bahwa perbuatannya dilarang oleh undang-undang juga memnentukan kehendak atas perbuatan-perbuatan tersebut.

  • 2.    Adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya, dimana sipelaku pembakaran mata uang Rupiah mengehendaki adanya suatu tindakan dan

kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan

tersebut.

  • 3.    Tidak adanya alasan penghapus kesalahan. Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut:

  • a.    Mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu;

  • b.    Mengenai daya memaksa;

  • c.    Mengenai pembelaan terpaksa;

  • d.    Mengenai melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah.

Berdasarkan uraian tersebut pelaku pembakaran uang dalam prosesi ngaben apabila merupakan tindak pidana pelaku dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana karena pelaku sudah memenuhi unsur kesalahan dan pertanggungjawaaban pidana bermakna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana rumusan undang-undang maka orang tersebut dapat dipidana sesuai dengan kesalahannya. Jadi pelaku dalam hal ini telah melanggar Pasal 25 ayat 1 dan 35 ayat 1 UU mata uang, sesuai peraturan tersebut maka pelaku perusakan uang dipidana paling lama 5 tahun dan dipidana denda paling banyak 1.000.000.000 (satu miliar Rupiah) karena dianggap merendahkan Rupiah sebagai simbol negara.

  • III. Penutup

    3.1    Kesimpulan

  • 1.    Melakukan pembakaran Rupiah dalam prosesi ngaben tidak dapat dipidana karena Indonesia menganut sifat melawan hukum materiil dalam fungsi negatif dimana nilai-nilai masyarakat yang tidak diatur menurut undang-undang dibenarkan keberadaannya sebagai suatu hal untuk dapat menghilangkan maupun menghapus sifat melawan hukumnya yang memenuhi rumusan atau unsur-unsur suatu peraturan, artinya perbuatan secara formil yang dirumuskan dalam undang-undang mampu dinegatifkan maupun dihilangkan sifat melawan hukumnya dikarenakan asas-asas yang hidup dalam masyarakat hal ini dapat disebut sebagai alasan pembenar.

  • 2.    Pertanggungjawaban Pidana apabila pembakaran mata uang Rupiah dalam prosesi ngaben merupakan tindak pidana, dimana pelaku dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena telah memenuhi unsur kesalahan, serta dua syarat yang harus dipenuhi untuk memidana seseorang yaitu perbuatan lahirliah yang terlarang atau perbuatan pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea). Dimana pelaku perusakan mata uang Rupiah dapat dipidana sesuai dengan Pasal 25 ayat 1 dan 35 ayat 1 karena telah dianggap merendahkan Rupiah sebagai simbol negara.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Farid, Zaenal, Abidin, 2010, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta.

Hiariej, Eddy, O.S, 2015, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahya Atma Pusaka, Yogyakarta.

Chairul Huda, 2015, Dari Tindak Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung jawab Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan ke IV, Kencana, Jakarta.

Lamintang, Theo dan P.A.F Lamintang, 2017, Hukum Penitensier Indonesia, Cet. 3, Sinar Grafika, Jakarta.

Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2011

JURNAL

Afifah, Wiwik, 2014, Pertanggungjawaban Pidana Anak Konflik Hukum, Dih; Jurnal Ilmu Hukum, Volume 10 No. 19.

Aji, Mas Toha Wiku, dkk. 2017, Analisis Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan No:174/Pid.B/2009/PN.Pwt), Diponegoro Law Jurnal, Volume 6 No.2.

Apriani, Luh Rina, 2011, Relevansi Fakta Hukum dalam Penggunaan Sifat Melawan Hukum Negatif kajian Putusan nomor 29/Pid.B/2007/Pn/Pl.R, Jurnal Yudisial, Volume 4 No.1.

Arpiani, Ni Wayan, 2016 “Makna Simbolik Uang Kepeng Dalam Upacara Ngaben di Bali”, Lamphuyang Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama dan Kebudayaan Volume 7 No.2.

Candra, Septa, 2013 Pembaharuan Hukum Pidana; Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Nasional yang Akan Datang, Jurnal Cita Huku, Volume. 1 No. 1.

Elanora, Fransiska Novita, 2012, Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Penyuapan, Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat Volume 9 No.2.

Hadi, Syofian, 2017, “Hukum Positif dan The Living Law Eksistensi dan keberlakukannya dalam masyarakat, DiH Jurnal Ilmu Hukum Volume 13 No. 26

Nurhayati Ratna, Seno Wibowo, 2015, Perbedaan Pandangan Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Tindak Pidana

Korupsi, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 No. 2.

Puspa, Ida, Ayu, Tary, 2019, “Ngaben Sebagai daya tari

pariwisata “, Jurnal Ilmiah Pariwisata Agama dan Budaya Fakultas Dharma Duta Institut Hindu Dharma Denpasar, Volume 4 No. 1.

Prastowo, RB Budi, 2006, Delik Formil/Materiil, Sifat Melawan Hukum Formil/ Dan Pertanggung jawaban Pidana Dalam tindak Pidana Korupsi Kajian Hukum Pidana Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 003/PUU-IV/2006, Jurnal Hukum Pro Justitia Volume 24 No.3.

Rahim, Abdul Jabar, 2019, Tinjauan Hukum Terhadap Penyelesaian Pidana Menurut Adat Tolaki Dalam Perkara Tindak Pidana Penganiayaandi Desa Tirawuta Kecamatan Pondidahakabupaten Konawe, Jurnal Hukum Responsif, Volume 7 No. 2.

Septri Yustisiani, 2015, Pemberlakuan Sifat Melawan Hukum Materiil Berfungsi Negatif dalam Tindak Pidana Korupsi, Dialogia Iuridicia ; Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi, Volume 7 No. 1.

SURAT KABAR

Purwanto, Budi, 2016, “Merusak Rupiah Bisa Dipenjara 5 Tahun      dan      Denda      Rp.1      Miliar”,

https://bisnis.tempo.co/read/741552/merusak-Rupiah-bisa-dipenjara-5-tahun-dan-denda-rp-1-miliar

PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Undang – Undang Dasar 1945

UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang [Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 64]