PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN

SEBAGAI KONSUMEN PENGGUNA JASA DI BIDANG KESEHATAN DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK Nyoman Ngurah Bagus Wiradharma Giri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: wiradharmagirirscc@gmail.com

I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dedy.priyanto333@gmail.com

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini untuk memberikan pemahaman tentang bentuk perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen pengguna jasa di bidang kesehatan dalam transaksi terapeutikditinjau melalui UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan mengetahui kewajiban seorang dokter dalam transaksi terapeutik agar pasien sebagai konsumen pengguna jasa di bidang kesehatan merasa terjamin kesehatannya. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah metode bola salju (snow ball method) dan metode studi Pustaka. Teknik pengolahan bahan hukum yang digunakan adalah Teknik Deskripsi.Hasil dan analisis menunjukan bahwa perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen pengguna jasa di bidang kesehatan dalam transaksi terapeutik ditinjau melalui Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah pasien dapat menggugat dokter untuk meminta ganti rugi selama dapat membuktikan bahwa tindakan yang telah dilakukan dokter ada unsur kelalaian atau melanggar prosedur yang telah dijanjikan serta mengakibatkan kerugian dan agar pasien sebagai konsumen pengguna jasa di bidang kesehatan merasa terjamin akan kesehatannya, dokter dalam melakukan transaksi terapeutik harus memegang teguh kewajiban dokter yang ditekankan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Transaksi Terapeutik, Kewajiban Dokter

ABSTRACT

The purpose of this study is to provide an understanding of the form of legal protection for patients as consumers of users of services in the health sector in therapeutic transactions reviewed through Law Number 36 of 2009 concerning Health and to know the obligations of a doctor in therapeutic transactions so that patients as consumers of service users in the health sector feel health guaranteed. The research method used is a normative legal research method. The approach used in this study uses a statutory approach and a conceptual approach. The legal material collection technique used is the snow ball method and the literature study method. The legal material processing technique used is the Description Technique. The results and analysis show that the legal protection of patients as consumers of health service users in therapeutic transactions is reviewed through Law No. 36 of 2009 concerning Health is a patient can sue the doctor to ask for compensation as long as it can prove that the actions taken by the doctor have an element of negligence or violate the promised procedures and cause harm and so that patients as consumers of service users in the health sector feel assured of their health, doctors in conducting therapeutic transactions must uphold the obligations of doctors emphasized in Article 51 of Law Number 29 Year 2004 concerning Medical Practices.

Key Words: Legal Protection, Therapeutic Transactions, Doctor Obligations

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1.   Latar Belakang

Definisi pasien berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merupakan setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya, pengertian konsumen secara umum didefinisikan sebagai seluruh pihak pemakai barang dan/atau jasa yang

digunakan untuk tujuan tertentus sebagaimana dimaksud dalam pengertian konsumen pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan demikian Pasien dapat dikatakan sebagai konsumen. Selain itu, menurut Ida Marlinda (peneliti YLKI) pada dasarnya pasien memiliki kedudukan sebagai konsumen yang mendapatkan pelayanan jasa dari dokter, namun fraksi dokter kurang setuju jika profesi kedokteran dikaitkan kedalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen1. Kedudukan pasien yang merupakan konsumen pemakai jasa pelayanan kesehatan, maka ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku juga bagi pasien. Konsumen sebagai pemakai jasa pelayanan kesehatan2 sering merasa dirugikan baik materi maupun non materi. Apabila kesalahan dengan menimbulkan akibat kerugian, maka pasien berhak menuntut adanya penggantian kerugian berdasarkan Pasal 4 huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu3: “Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”. Agar tidak terjadinya hal itu, pihak rumah sakit yang bersangkutan sebagai sarana penyedia jasa seharusnya mampu memberikan bantuan yang tidak hanya mengutamakan faktor kenyamanan akan tetapi juga keamanan bagi para konsumen selaku pengguna jasa kesehatan di rumah sakit tersebut. Dengan demikian, untuk dapat menerima pelayanan kesehatan di rumah sakit, seorang pasien terlebih dahulu harus menjalin hubungan dengan dokter. Hubungan dokter dan pasien berawal saat pasien datang ke dokter untuk meminta pertolongan mengenai permasalahan kesehatannya, sehingga dengan adanya hal tersebut sudah terdapat suatu kontrak atau perjanjian antara pasien dengan dokter yang disebut dengan Perjanjian atau Transaksi Terapeutik.

Transaksi Terapeutik merupakan perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yakni antara dokter dan pasien, berupa hubungan hukum yang menghasilkan hak dan kewajiban yang harus ditaati oleh kedua belah pihak. Transaksi antara dokter dengan pasien ini berbeda dengan transaksi maupun perjanjian yang ada pada umumnya, perbedaan dapat dilihat pada letak obyek perjanjiannya, jika pada perjanjian pada umumnya hasil dari perjanjian lah yang menjadi tujuan utamanya. Namun, dalam transaksi terapeutik terletak pada upaya maksimal yang akan dilakukan demi kesembuhan seorang pasien4. Dalam pelaksanaan Transaksi Terapeutik ini sejatinya didahulukan dengan adanya persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien atau yang lazim dikenal dengan informed consent5.Adapun salah satu kasus pelanggaran terhadap perjanjian antara dokter dan pasien yang pernah terjadi yaitu, dimana Dokter Aucky Hinting berjanji kepada pasiennyaterkait kelahiran bayi berjenis kelamin laki-laki, melalui program bayi tabung di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Ferina Surabaya.Namun, saat usia kandungan sudah mencapai 6 bulan ternyata diketahui hasilnya adalah bayi perempuan, dimana tidak seperti janji diawal yaitu bayi laki-laki.6

Hubungan hak dasar antara pasien dan dokter dilandasi oleh perjanjian terapeutik, maka setiap pasien hanya mempunyai kebebasan untuk menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap dirinya atau tubuhnya, tetapi juga ia terlebih dahulu berhak mengetahui hak-hak mengenai penyakitnya dan tindakan-tindakan atau terapi apa yang dilakukan dokter terhadap tubuhnya untuk menolong dirinya serta segala risiko yang mungkin timbul kemudian. Atas kesepakan bersama untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian yang mendasarkan atas suatu persetujuan untuk melakukan hal-hal tertentu akan berakibat munculnya hak dan kewajiaban. Apabila hubungan dokter dengan pasien tidak berjalan dengan baik, maka akan menyebabkan ketimpangan antara hak dan kewajiban pada keduanya sehingga akan menimbulkan akibat hukum, biasanya pihak pasiem dalam hal ini yang merasa lebih banyak merasa dirugikan, sehingga menuntut tanggung jawab dokter.Tanggung jawab dokter dapat dituntut, karena dalam hal ini seorang dokter dalam menjalankan profesi kedokterannya harus bersifat professional dengan memenuhi standar profesi kompetensi dan wewenangnya serta izin untuk bekerja sesuai dengan standar dan profesionalismenya7. Secara umum pertanggungjawaban diartikan sebagai suatu akibat atau konsekuensi atas perbuatan yang telah dilakukan. Pertanggungjawaban perdata tujuannya adalah untuk mendapatkan kompensasi dari kerugian yang telah diderita selain mencegah hal-hal yang tidak dikehendaki8.

Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata, jika dokter dalam menjalankan profesinya melakukan perbuatan melanggar hukum dan membawa kerugian terhadap pasiennya mewajibkan seorang dokter harus mengganti kerugian tersebut serta harus bertanggung jawab mengenai kerugian yang telah ditimbulkan oleh kelalaian dokter tersebut. Melihat penjeleasan diatas dengan demikian pasien yang merasa dirugikan oleh kinerja dokter yang telah memberikannya pelayanan dapat menuntut pertanggung jawaban melalui tuntutan ganti rugi. Setiap perjanjian sejatinya dilandaskan dengan niat dan itikad baik, tanpa adanya penipuan, paksaan, tekanan atau kekhilafan. Adapun berdasar pendapat dari Komalawati9 yaitu pada saat dokter melakukan pelayanan praktek kedokteran, maka dia harus mempunyai atau memenuhi semua persyaratan yang sudah ditentukan, yaitu sudah menyelesaikan pendidikannya sesuai dengan tingkatannya dengan mendapatkan ijazah, lulus uji kompetensi dengan mendapatkan sertifikat kompetensi, melakukan registrasi untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi dan memiliki Surat Izin Praktek, kesemuanya ini diatur dalam Pasal-Pasal 29, 36, dan 38 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

Syarat sahnya untuk membentuk perjanjian atau transaksi terapeutik sesuai dengan syarat sahnya perjanjian pada pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan “untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat” yaitu10:

  • 1.    Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

  • 2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

  • 3.  Suatu pokok persoalan tertentu;

  • 4.  Suatu sebab yang halal.

Pelanggaran terhadap transaksi terapeutik merupakan segala bentuk perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dalam diadakannya perjanjian antara dokter

dengan pasien11. Pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter dalam memberikan pelayanan terhadap pasien, jika melihat dari kacamata Hukum Pidanatermasuk dalam unsur kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Sebagaimana diatur dalam Pasal 359 dan 360 KUHP, dalam hal ini seorang dokter karena kesalahannya (kealpaannya) meyebabkan pasien mati atau mengalami luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Dengan demikian, jika seorang dokter tidak memenuhi syarat-syarat diatas maka dokter tersebut dianggap mengadakan sebuah praktek secara tidak sah atau dikatakan illegal.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen pengguna jasa di bidang kesehatan dalam transaksi terapeutikditinjau melalui UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan?

  • 2.    Bagaimana kewajiban seorang dokter dalam transaksi terapeutik agar pasien sebagai konsumen pengguna jasa di bidang kesehatan merasa terjamin akan kesehatannya?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan dari karya ilmiah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

  • 1.    Untuk memberikan pemahaman tentang bentuk perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen pengguna jasa di bidang kesehatan dalam transaksi terapeutikditinjau melalui UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

  • 2.    Untuk dapat mengetahui kewajiban seorang dokter dalam transaksi terapeutik agar pasien sebagai konsumen pengguna jasa di bidang kesehatan merasa terjamin akan kesehatannya.

  • II.   METODE PENELITIAN

    • 2.1.   Metode Penelitian

Karya ilmiah ini menggunakan Metode Penelitian hukum normatif atau nama lainnya disebut dengan penelitian hukum doktriner, yakni penelitian yang bertujuan untuk meneliti norma hukum atau kaedah12. Penelitian ini menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, hasil suatu penelitian serta pendapat dari para pakar. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang diartikan sebagai pendekatan yang menelaah berbagai aturan hukum atau peraturan perundang-undangan, serta menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) yakni pendekatan yang merujuk pada konsep, pandangan, maupun doktrin dalam ilmu hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode bola salju (snow ball method) yaitu, metode pengambilan data dari satu sumber data dengan secara berantai dan Teknik Studi Pustaka yaitu, teknik pengumpulan bahan-bahan hukum melalui buku-buku, karya ilmiah, internet, dan literatur lain. Teknik pengolahan bahan hukum yang digunakan adalah Teknik Deskripsi yaitu, teknik menguraikan fenoema apaadanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisihukumataunonhukum.

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 3.1.    Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Pengguna Jasa Di Bidang Kesehatan Dalam Transaksi Terapeutik Ditinjau Melalui UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Dewasa ini kebutuhan akan kesehatan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia, setiap manusia akan selalu berupaya untuk memenuhi kebutuhan itu untuk terhindar dari segala penyakt, yang nantinya dalam menjalani kehidupan ini menjadi lebih terjamin. Untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang optimal bagi masyarakat perlu ditunjang oleh adanya sarana kesehatan13. Dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien untuk memberi perlindungan bagi pasien sebagai konsumen pemakai jasa pelayanan kesehatan dari kesalahan dan kelalaian yang terjadi dalam pelayanan kesehatan, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Mengenai kedudukan pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan dan dokter/tenaga kesehatan sebagai pelaku usaha dalam bidang jasa pelayanan kesehatan sebenarnya masih menjadi perdebatan oleh beberapa pihak.

Pihak yang berpendapat bahwa kedudukan pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan dan dokter/tenaga kesehatan sebagai pelaku usaha dalam bidang jasa pelayanan kesehatan yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Sebaliknya, dipihak lain berpendapat bahwa hubungan terapeutik pada dasarnya merupakan hubungan perikatan yang khusus, oleh karena itu apabila terjadi konflik antara penyedia jasa dengan penerima jasa pelayanan kesehatan maka masing-masing pihak harus tunduk pada konsep hukum yang mengaturnya. Dalam transaksi terapeutik, karakteristik perikatannya adalah bahwa yang tidak didasarkan pada hasil akhir akan tetapi didasarkan pada upaya yang sungguh-sungguh dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Dalam hal ini dokter atau rumah sakit tidak diwajibkan memberikan atau menciptakan suatu hasil yang diinginkan pasien, karena dalam transasksi medis banyak hal yang berpengaruh dan merupakan faktor yang ada diluar jangkauan kemampuan dokter, seperti daya tahan tubuh pasien, usia, kondisi fisik, tingkat penyakit yang diderita, kepatuhan pasien, kualitas obat serta tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu perikatan ini tunduk pada asas-asas umum perikatan sebagaimana diaturdalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Dalam KUHPerdata diatur berbagai kaidah-kaidah yang berkaitan dengan hubungan-hubungan hukum dan masalah-masalah pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dan konsumen pengguna barang atau jasa tersebut, dalam hal ini pasien sebagai konsumen pemakai jasa pelayanan kesehatan. Hubungan antara pasien dengan dokter maupun rumah sakit yang bersangkutan adalah apa yang dikenal sebagai perikatan (verbintenis). Dasar dari perikatan yang berbentuk antara dokter pasien biasanya adalah perjanjian, tetapi dapat saja terbentuk perikatan berdasarkan undang-undang. Perjanjian yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan yaitu perjanjian (transaksi) terapeutik. Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.

Objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya memberi kesehatan atau memberikan upaya penyembuhan terhadap pasien yang menderita penyakit tertentu..Untuk membuktikan ketidakcakapan seorang dokter merupakan hal yang sulit, karena dokter adalah pihak yang memiliki keahlian dibidang kedokteran, sedangkan pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakitnya14. Selain itu terhadap

kelalaian/kesalahan dari dokter maupun tenaga kesehatan di dalam melaksanakan tugasnya, tentu saja sangat merugikan pihak pasien selaku konsumen.

Jika ada dokter yang tidak cakap dalam menangani masalah kesehatan tentu saja sangat merugikan pihak pasien. Kerugian bisa saja dari segi fisik, yang dimaksud adalah jika anggota tubuh pasien hilang atau tidak dapat beroperasi sebagaimana mestinya, sedangkan kerugian dari segi non fisik yang dimaksud adalah berkaitan dengan harga diri seseorang15. Kerugian yang dialami pasien dapat diminta ganti kerugian terhadap tenaga ksehatan yang melakukan kelalaian/kesalahan. Tetapi tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian. Undang-Undang dalam hal ini mengadakan pembatasan, dengan menetapkan hanya kerugian yang dapat dikira-kirakan atau diduga pada waktu perjanjian dibuat dan yang sungguh dianggap sebagai suatu akibat langsung dari kelalaian si pelaku saja dapat dimintakan penggantian.

Dokter yang melakukan penyimpangan berupa ingkar janji atau cedera janji atas Perjanjian terapeutik, maka dokter tersebut memliki tanggung jawab secara perdata. Seorang pasien atau keluarganya yang menganggap bahwa dokter tidak melakukan kewajiban-kewajiban kontraktualnya dapat menggugat dengan alasan wanprestasi dan menuntut agar mereka memenuhi syarat-syarat tersebut. Pasien juga dapat menuntut kompensasi atas kerugian yang dideritanya. Akan tetapi, jika perbuatan atau tindakan dokter yang bersangkutan berakibat merugikan pasien dan merupakan perbuatan yang melawan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1370 dan 1371 KUHPerdata, maka dokter tersebut bertanggung jawab untuk mengganti kerugian kepada pasien walaupun tidak adanya hubungan kontraktual.

Apabila terjadi perbuatan melawan hukum, dalam arti dokter melakukan kesalahan/kelalaian, tetapi kesalahan/kelalaian itu tidak menimbulkan kerugian, maka dokter yang melakukan kesalahan/kelalaian tidak perlu bertanggung jawab hukum terhadap pasien, dalam arti tidak perlu membayar ganti rugi kepada pasien. Kerugian yang dialami seseorang akibat dari perbuatan melawan hukum, dapat berupa:

  • 1.    Kerugian materiil, kerugian ini dapat terdiri dari kerugian yang nyata- nyata diderita dari kerugian berupa keuntungan yang seharusnya diterima.

  • 2.    Kerugian non materiil, kerugian yang bersifat non materiil berupa rasa takut, rasa sakit dan kehilangan kesenangan hidup.

Dalam Aspek Hukum Pidana, akibat malpraktik kedokteran yang dapat menjadi tindak pidana (Malpraktik Pidana) harus berupa akibat sesuai denganyang ditentukan dalam Undang-Undang. Hal ini disebabkan Malpraktik Pidana hanyadapat terjadi pada tindak pidana materiil, dimana timbulnya akibat menjadisyarat selesainya tindak pidana itu (kematian, luka berat, dan lainnya)16 sebagaimana tercantum dalam Pasal 359 dan 360 KUHP.Dalam pelaksanaan ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan, Pasien yang merasa dirugikan akibat pelayanan atau kelalaian dari tenaga kesehatan akan mendapat biaya ganti rugi, baik itu ganti rugi materiil atau non materiil. Pada penentuan bersalah atau tidaknya dokter dan pembayaran ganti rugi harus dibuktikan terlebih dahulu dan ditentukan oleh hakim di Pengadilan17. Sebelum itu jika menilik pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dinyatakan bahwa “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam mejalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui

mediasi”18. Namun bila jalur penyelesaian melalui mediasi dinilai kurang efektif maka berdasarkan pemahaman diatas seorang pasien dapat menggugat seorang dokter untuk meminta ganti rugi selama dapat membuktikan bahwa tindakan yang telah dilakukan dokter tersebut ada unsur kelalaian dan melanggar prosedur yang telah dijanjikan serta mengakibatkan kerugian. Hal ini sejalan dengan pengertian pada Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu, Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

  • 3.2.    Kewajiban Seorang Dokter Dalam Transaksi Terapeutik Agar Pasien Sebagai Konsumen Pengguna Jasa Di Bidang Kesehatan Merasa Terjamin Kesehatannya

Dalam pelaksaan perjanjian atau Transaksi Terapeutik terjadi kesetaraan antara dokter dan pasien yang berjanji dari segi hukum. Sehingga walaupun pasien sebagai konsumen pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sama sekali tidak mengetahui mengenai ilmu kesehatan atau medis, tetapi oleh peraturan yang diatur dalam undang-undang seorang pasien dijamin haknya untuk mendapatkan perlakuan yang terbaik dari dokter yang memberikan pelayanan kesehatan tersebut. Karena dokter sejatinya terikat oleh aturan yang sama yang dimana harus menjalankan kewajibannya sesuai dengan keilmuannya untuk memperlakukan pasien seakan-akan dokter itu berada pada posisi pasien yang menderita mengenai kondisi kesehatanannya. Karena sifatnya hukum itu mengikat kesemuanya dengan memberikan kepastian dan keadilan hukum, maka pada saat salah satu pihak merasa dirugian oleh pihak lain, maka pihak yang merasa dirugikan berhak untuk mengajukan tuntutan atau gugatan kepada pihak yang dianggap merugikan

Hak dan kewajiban antara dokter dengan pasien telah ditetapkan dalam peraturan perundang-ndangan, yang dimana kedua belah pihak antara dokter dan pasien harus taat dalam menjalankannya. Karena dalam kesalahan atau kelalain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan bisa berupa bentuk kriminal ataupun wanpretasi19. Saat terjadinya perjanjian atau Transaksi Terapeutik, kedua belah pihak yaitu dokter dan pasien harus saling memberikan prestasi atas perjanjian yang telah dibuatnya.

Seperti yang telah dibahas diatas maka dalam transaksi terapeutik seorang dokter memiliki kewajiban agar pasien sebagai pemakai jasa pelayanan kesehatan haruslah merasa aman dan terjamin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Adapun kewajiban seorang dokter dalam transaksi terapeutik telah dijabarkan didalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran meliputi20:

  • 1.    Dokter wajib memiliki Surat Izin Praktek (SIP)

Kewajiban memiliki Surat Izin Praktek pada tempat praktik kedokteran merupakan kewajiban pertama oleh seorang dokter yang akan memulai menjalankan praktiknya, seperti yang diatur pada Pasal 36 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan “Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik.”

Surat Izin Praktek dapat diperoleh seorang dokter dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setelah mendapatkan rekomendasi dari organisasi profesi. Adapun

syarat untuk mendapatkan rekomendasi dari organisasi profesi adalah apabila seorang dokter telah masuk dalam registrasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) setelah mendaftar dan lulus pendidikian atau mendapatkan ijazah. Mengenai tata cara registrasi untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) dan SIP dapat dilihat di Permenkes Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran.

Untuk melindugi hak pasien agar mendapatkan pelayan kesehatan oleh dokter yang cakap atau ahli, maka aturan hukum memberikan sanksi bagi dokter yang tidak memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktek yang melayani praktek kedokteran. Sanksi mengenai dokter yang tidak memeuhi syarat praktek sesuai ketentuan diatas maka akan dikenakan pidana penjara atau denda seperti yang sudah ditetapkan pada Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

  • 2.    Dokter wajib melaksanakan standar yang berkaitan mengenai praktik kedokteran

Standar profesi dokter, standar pelayanan, dan standar operasional prosedur adalah 3 hal dinyatakan krusial, karena kesemuanya itu sebagai bentuk prestasi dalam kesepaktan yang dibuat seorang dokter dengan pasien dalam rangka melaksanakan praktik kedokteran. Kewajiban ini ditetapkan pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi ”Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan”.

Dengan demikian apabila setelah terjalinnya kesepakatan dan telah terlaksananya transaksi terapeutik, maka itu menjadi kewajiban dokter untuk selalu berpegang teguh pada 3 standar-standar yang disebutkan diatas, sehingga jika ditemukan terjadinya penyimpangan dan menimbulkan kerugian pada pasien, maka pasien berhak mendapakan ganti rugi atas kerugian yang diterimanya tersebut.

  • 3.    Dokter wajib memperkenalkan identitas

Identitas dalam hal ini adalah seperti papan nama praktik kedokteran bagi dokter yang telah membuka jasa pelayanan kesehatan secara mandiri sebagaimana telah ditetapkan pada pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran maka hal ini merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi dengan atau kepada siapa pasien itu berobat, jenis atau bidang dokternya, izin praktek dokter dan jadwal kunjungan.

  • 4.    Dokter wajib memberikan persetujuan tindakan medis

Segalah tindakan medis yang akan dilakukan kepada pasien harus mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana sudah ditegaskan pada pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Persetujuan terhadap pasien ini dapat berupa tertulis maupun secara lisan. Dalam penerapan kewajiban ini, selain pasien dibutuhkan untuk memberikan persetujuan tindakan medis, pasien juga memiliki hak untuk menolak sebagian atau semua tindakan yang disarankan oleh dokter.

  • 5.    Dokter wajib memberikan informed consent

Informed Consent adalah persetujuan seorang pasien atau keluarganya pasca memperoleh informasi tentang tindakan penyembuhan oleh dokter atau dokter gigi yang akan dilakukan kepada pasien21. Persetujuan pada tindakan medis seperti penjelasan diatas sejatinya harus didahulukan dengan sebuah penjelasan oleh dokter yang disebut dengan informed consent. Selain informasi yang dapat diberikan oleh seorang dokter terhadap pasien yang menerima pelayan kesehatan. Sejatinya pasien

memiliki hak untuk meminta pendapat atau solusi dari dokter lain apabila yang sudah diterangkan oleh dokter yang memberikan jasa pelayanan kesehatan sebelumnya menurut pasien belum meyakinkan. Hak pasien mengenai pendapat kedua dari dokter lain ini diterangkan dalam Pasal 52 huruf b Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

  • 6.    Dokter wajib mempersiapkan rekam medis

Kewajiban mengenai rekam medis yang telah tercantum pada pasal 46 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Rekam medis yang berisikan catatan mengenai pasien dibuat setelah dokter melakukan pemeriksaan dan pengobatan terhadap pasien maupun tindakan dalam bentuk catatan medis.

  • 7.    Dokter wajib menjaga rahasia pasien

Segala hal yang diketahui oleh seorang dokter tentang informasi pasien yang berhubungan dengan permasalahan mengenai kesehatan pasien tersebut hal ini merupakan rahasia pasien yang krusial sehingga tidak sembarang pasien menaruh kepercayaan kepada dokter. Seorang dokter harus selalu mampu menjaga rahasia itu hingga pasien tersebut menginginkan dokter untuk membeberkannya dan kecuali bila diperbolehkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Walaupun nantinya pasien telah meninggal dunia rahasia ini harus tetap perlu dijaga selamanaya. Kewajiban ini diatur dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

  • 8.    Dokter wajib menyelenggarakan kendali mutu dan biaya

Pasien sebagai konsumen pemakai jasa pelayanan kesehatan pastinya selalu ingin mendapatkan pelayan yang terbaik dan terjamin. Dengan begitu dengan diselenggarakannya audit medis menjadi kewajiban seorang dokter terhadap mutu dan biaya pelayan medis yang diberikan kepada pasien.

  • 9.    Dokter wajib merujuk pasien

Salah satu hak pasien adalah medapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal. Dengan begitu disaat kondisi kesehatan pasien sudah sulit atau tidak mampu lagi ditangani oleh seorang dokter. Sehingga dokter harus mampu merujuk pasien seperti memeriksakan penyakit yang dialami pasien ke penyedia fasilitas kesehatan lain atau ke dokter lain yang mampu dalam bidang tersebut. Kewajiban dokter ini telah ditetapkan dalam pasal 51 huruf b Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

  • 10.    Dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar peri kemanusiaan Pertolongan darurat atas dasar peri kemanusiaan ini dilakukan apabila terjadi kondisi kritis atau gawat darurat yang terjadi pada pasien yang menderita penyakit tertentu dalam sebuah rumah sakit, sedangkan dokter yang seharusnya menangani pasien tersebut sedang tidak bisa bertugas. Dokter lain yang juga ahli atau mampu dalam bidang keilmuan mengenai penyakit pasien itu, berkewajiban langsung turun tangan menangani pasien atas dasar peri kemanusiaannya. Dokter itu wajib memberikan pertolongan darurat hingga kondisi pasien mulai membaik sampai dokter yang seharusnya menangani pasien tersebut mengambil alih tanggung jawabnya. Adapun aturan mengenai kewajiban ini dicantumkan dalam pasal 51 huruf d Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

  • 11.    Dokter wajib memperbaharui dan mengikuti perkembangan terkini terhadap ilmu kedokteran

Dengan berkembangnya zaman tentu saja terjadinya perubahan terhadap ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu kedokteran, baik itu mengenai perubahan teori, pengobatan maupun tindakan. Bila seorang dokter tidak mampu mengikuti perkembangan terkini terhadap perkembangan ilmu, maka dokter akan tertinggal terhadap metode-metode pengobatan terbaru dan seandainya dia masih memakai metode lama yang sudah ketinggalan atau sudah tidak direkomenasikan bisa saja terjadi kerugian yang akan dialami pasien yang ingin menggunakan jasa pelayanan

kesehatan kepada dokter itu. Dengan begitu apabila pasien mengalami kerugian maka pasien berhak mengajukan tuntutan atau melayangkan gugatan kepada dokter yang melalaikan standarnya dengan tidak mengikuti perkembangan pengetahuan ilmu kedokteran. Kewajiban dokter ini dituangkan dalam pasal 51 huruf e Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

  • IV.   PENUTUP

    • 4.1.   Kesimpulan

  • 1.    Dalam transaksi terapeutik apabila perbuatan atau tindakan dokter yang bersangkutan berakibat merugikan pasien dan merupakan perbuatan yang melawan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1370 dan 1371 KUHPerdata, maka dokter tersebut bertanggung jawab untuk mengganti kerugian kepada pasien walaupun tidak adanya hubungan kontraktual, apabila terjadi kerugian materiil berupa kematian atau luka berat seperti yang tercantum dalam 359 dan 360 KUHP maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.Dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dijelaskan jika tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam mejalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi, jika mediasi dianggap kurang efektif maka seorang pasien dapat menggugat seorang dokter untuk meminta ganti rugi selama dapat membuktikan bahwa tindakan yang telah dilakukan dokter tersebut ada unsur kelalaian dan melanggar prosedur yang telah dijanjikan serta mengakibatkan kerugian. Hal ini sudah sejalan dengan peraturan yang telah dicantumkan pada Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

  • 2.    Untuk mewujudkan rasa terjaminnya kesehatan oleh pasien, seorang dokter memiliki Kewajiban dalam melaksanakan transaksi terapeutik sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran meliputi memiliki Surat Izin Praktek (SIP), melaksanakan standar yang berkaitan mengenai praktik kedokteran, memperkenalkan identitas, memberikan persetujuan tindakan medis, memberikan informed consent, membuat rekam medis, menjaga rahasia pasien, menyelenggarakan kendali mutu dan biaya, merujuk pasien¸ melakukan pertolongan darurat atas dasar peri kemanusiaan, dan menambah ilmu dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.

  • 4.2.    Saran

Berdasar hasil dan analisis pembahasan diatas, saran yang dapat diberikan oleh penulis yaitu:

  • 1.    Seorang dokter dalam melakukan upaya pelayanan kesehatan atau upaya penyembuhan penyakit terhadap pasien haruslah dengan professional dan selalu mengikuti aturan-aturan yang berlaku di dunia kedokteran, karena melakukan pelayanan yang bertaruh akan nyawa merupakan tanggung jawab yang sangat krusial dan tidak bisa disepelekan.

  • 2.    Seorang dokter harus cakap dalam melakukan kewajibannya agar suatu saat nanti tidak ada pasien yang mengeluh atau meminta pertanggung jawaban hukum atas kelalaian yang telah dilakukan oleh dokter.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    BUKU

Isfandyarie, Anny, (2006), Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Jakarta: Prestasi Pustaka.

Jayanti, Nusye KI, (2009), Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran, cet 1, Jakarta: Pustaka Yustisia.

Nasution, Bahder Johan, (2005), Hukum Kesehatan: Pertanggungjawaban Dokter, cet 1, Jakarta: PT Rineka Jaya.

Ratman, Desriza, (2018), Aspek Hukum Informed Consent Dan Rekam Medis Dalam Transaksi Terapeutik, cet 2, Bandung: Keni Media,

  • 2.    JURNAL

Dewantari, Sagung Ayu Yulita, dan Putu Tuni Cakabawa Landra. "Perspektif Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Serta Pertanggungjawaban Atas Pelanggaran Perjanjian Terapeutik Berdasarkan Hukum Perdata." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum: 1-16.

Erlina, Erlina. "Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Kontrak Terapeutik." Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum 3, No. 2 (2016): 73-82.

Feryna, Yohanna, I. Gusti Ayu Puspawati, dan Dewa Gde Rudy. "Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Pelayanan Kesehatan Non Medis Tukang Gigi." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum.

Hendrayasa, I. Made, And Ida Bagus Putra Atmadja. "Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pasien Dalam Transaksi Terapeutik Di Rumah Bali Royal Hospital Denpasar." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, No. 3.

Jayarajendra, Anak Agung Gede, dan Anak Agung Sri Indrawati. "Informed Consent Dalam Penanganan Pasien Penyandang Disabilitas Mental." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, No. 3: 1-16.

Mukti, Hari Baru, Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Jasa Di Bidang Pelayanan Medis Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jurnal Hukum Mimbar Keadilan, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2016.

Novianto, Widodo Tresno. "PENAFSIRAN HUKUM DALAM MENENTUKAN UNSUR-UNSUR KELALAIAN MALPRAKTEK MEDIK (MEDICAL MALPRACTICE." Yustisia Jurnal Hukum 4, no. 2 (2015): 488-503.

Pradnya, I. Gusti Ayu Agung Mas, dan Ida Bagus Putu Sutama. "Perlindungan Terhadap Hak Pasien Dalam Memperoleh Ganti Kerugian Oleh Tenaga Kesehatan Yang Melakukan Kesalahan Atau Kelalaian." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum: 1-5.

Pramadianthi, Dewa Ayu Mas Candra, Ida Bagus Putra Atmadja, dan Aa Sri Indrawati. "Pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Antara Klinik Kesehatan Padma Bahtera Medical Centre Denpasar Dengan Dokter." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum: 115.

Pratiwi, Intan, Ida Bagus Putra Atmadja, dan I. Nyoman Bagiastra. "Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) Pada Proses Persalinan Yang Dilakukan Oleh Bidan Di Klinik Citra Asri Yogyakarta." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum: 1-15.

Sari, Mudiana Permata, dan Bayu Wijanarko. "Tinjauan Yuridis Sahnya Perjanjian Terapeutik Dan Perlindungan Hukum Bagi Pasien." Privat Law 2, No. 4 (2014): 26562.

Setiawan, Made Hadi, dan Aa Gede Agung Dharma Kusuma. "Tanggung Jawab Perdata Dokter Kepada Pasien Dalam Transaksi Terapeutik." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2015).

Suhardini, Eni Dasuki. "Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Pengguna Jasa Pelayanan Rumah Sakit Swasta." Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum 15, No. 1 (2016).

Trisnawijayanti, Aa Istri Agung Nindasari, dan I. Dewa Gede Dana Sugama. "Mediasi Penal Sebagai Penyelesaian Perkara Alternatif Dalam Malpraktik Di Bidang Kedokteran." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, No. 9: 1-16.

  • 3.    INTERNET

Pramesti, Tri Jata Ayu 2013, Apakah Pasien Termasuk Konsumen?, Diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt51d4ff5bca8e5/apakah-pasien-termasuk-konsumen/ pada tanggal 8 Maret 2020 pukul 16.04 WITA.

Rochma, Masfiatur, 2017, Sidang Kasus Bayi Tabung, saksi ahli sebut hakim tak bisa batalkan perjanjian, Diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/sidang-kasus-bayi-tabung-saksi-ahli-sebut-hakim-tak-bisa-batalkan-perjanjian.html      pada

tanggal 22 April 2020 pukul 23.29.

  • 4.    KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

Jurnal Kertha Wicara, Vol. 9 No. 5 Tahun 2020, hlm. 1-12