PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA TARI

ABUANG DI DESA TENGANAN PEGRINGSINGAN

SEBAGAI SATU BENTUK EKSPRESI BUDAYA

TRADISIONAL DALAM PERSPEKTIF HAK CIPTA

Putu Gede Vany Sandimas, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: putusandimas@yahoo.com

Anak Agung Sri Indrawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: sriindrawati447@gmail.com

ABSTRAK

Tujuan dari kajian ini yaitu untuk mengetahui pihak yang menjadi pemegang Hak Cipta atas karya ekspresi budaya tradisional yaitu pada karya Tari Abuang dan untuk mengetahui perlindungan hukum atas karya ekspresi budaya tradisional kajian terhadap karya Tari Abuang sebagai satu bentuk ekspresi budaya tradisional dalam perspektif Hak Cipta. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan penelitian yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum.Serta dengan teknik analisis data yang digunakan yaitu teknik analisis deskriptif kualitatif. Lebih lanjut dalam menarik kesimpulan dilakukan secara deduktif yakni dari menarik kesimpulan dari premis umum menuju premis khusus. Hasil penelitian ini yaitu bahwa pemegang Hak Cipta atas karya Tari Abuang sebagai salah satu bentuk ekspresi budaya tradisional masyarakat adat di suatu daerah di Bali yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh masyarakatnya adalah Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta perlu mendapatkan perlindungan hukum salah satu bentuk Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) sebaimana rezim Hak Cipta yang mengatur bahwa karya seni termasuk seni tari merupakan objek perlindungan Hak Cipta termasuk tari warisan turun temurun. Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah diatur perlindungan hukum mengenai karya Ekspresi Budaya Tradisional yakni dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 60.

Kata Kunci: Hak Cipta, Ekspresi Budaya Tradisional, Tari Abuang

ABSTRACT

The purpose of this study is to find out who is the Copyright holder of the work of traditional cultural expression, namely the Abuang Dance work and to know the legal protection of the traditional cultural expression work of the study of Abuang Dance as a form of traditional cultural expression in the Copyright perspective. In this study using a normative legal research method with a research approach that is the legislation approach and legal concept analysis approach. And the data analysis technique used is qualitative descriptive analysis technique. Furthermore the conclusion are deductively carried out, namely drawing conclusions from the general premise to be more specific. The results of this study are that the Copyright holder of the Abuang Dance works as a form of traditional cultural expression of indigenous peoples in an area in Bali which is still preserved by the people is the State as stipulated in Article 38 paragraph (1) of the Law Number 28 Of 2014 Concerning Copyright and needs to get protection the law is one form of EBT as the Copyright regime regulates that works of art including dance are objects of copyright protection including legacy dance. Whereas the Law Number 28 Of 2014 Concerning Copyright regulates the legal protection regarding the work of traditional cultural expressions in the Law Number 28 Of 2014 Concerning Copyright in Article 38, Article 39 and Article 60.

Keywords: Copyrights, Traditional Cultural Expressions, Abuang Dance

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Kekayaan budaya, tradisi dan adat istiadat yang beragam menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki museum hidup yang sangat berharga. Keragamanan budaya dan tradisi lahir dari proses hidup masyarakat Indonesia yang bergantung pada kondisi alamnya. Alam dan perkembangan hidup masyarakat Indonesia tidak dapat dilepaskan, hal ini karena kondisi alam mempengaruhi pola hidup masyarakatnya yang kemudian menghasilkan suatu kebudayaan yang beragam. Selain karena kondisi alam, kebudayaan yang lahir juga dihasilkan karena kemampuan intelektualitas masyarakat Indonesia sejak dulu yang sangat kreatif. Suatu budaya dan tradisi lahir karena adanya cipta rasa dan karsa manusia dalam suatu kelompok masyarakat, termasuk yang terjadi di Indonesia. Segala kreativitas itulah yang kemudian menghasilkan budaya dan tradisi sebagai bentuk karya-karya intelektual yang bernilai tinggi di tengah perkembangan dunia saat ini. Keadaan ini menjadi peluang terjadinya tindakan klaim oleh pihak lain ketika tidak dilakukan upaya perlindungan hukum oleh pemerintah. Mengingat kekayaan intelektual seperti budaya dan tradisi merupakan sebuah ekspresi budaya tradisional (selanjutnya disebut EBT) di Indonesia sangat banyak sehingga perlu upaya yang ekstra untuk mencegah adanya tindakan klaim oleh pihak asing sebagaimana yang pernah terjadi pada beberapa kesenian yang di klaim oleh Negara tetangga, Malaysia tahun 2010. Hal ini menandakan bahwa pemerintah itu belum maksimal melakukan upaya perlindungan hukum untuk melindungi kekayaan budaya yang tertuang dalam berbagai bentuk ekspresi budaya tradisional masyarakat.

Pasca kejadian tersebut, pemerintah akhirnya melakukan evaluasi terhadap beberapa kententuan peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan intelektual khususnya peraturan pada rezim Hak Cipta. Hal ini dikarenakan pada prinsipnya peraturan mengenai Hak Cipta mengatur mengenai perlindungan atas karya seni dan sastra sebagai objek perlindungannya. Akan tetapi, karya seni dan sastra yang merupakan warisan leluhurnya yang pada awalnya belum mendapatkan perlindungan hukum yang pasti di dalam rezim Hak Cipta sebagai bentuk EBT. Bahwa EBT merupakan karya-karya tidak mayoritas tidak diketahui Penciptanya dan telah diwariskan dari generasi ke generasi dalam suatu masyarakat pengembannya yaitu masyarakat adat di suatu daerah. Serta perlindungan hukumnya juga belum mampu mengikuti perkembangan zaman, sehingga atas dasar tersebut dilakukan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang Hak Cipta dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UUHC). Lahirnya peraturan ini menjadi awal perlindungan hukum bagi EBT yang sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini dan mencegah kejadian klaim oleh pihak asing terulang kembali. Hal ini karena, saat ini perkembangan industri kreatif termasuk seni dan kebudayaan yang menjadi komoditas perdagangan di bidang pariwisata.

Adanya jaminan perlindungan hukum atas karya-karya EBT dalam rezim Hak Cipta memberikan angin segar bagi pelestarian karya intelektual dari masyarakat adat di seluruh Indonesia, termasuk di Bali yang sarat akan warisan budaya dan tradisi adiluhungnya. Desa ini juga merupakan sebuah desa yang sangat kental tradisinya untuk menjaga warisan leluhurnya tak heran apabila desa ini terkenal sampai ke

seluruh dunia.1 Keadaan sosial dan budaya masyarakat adat di Bali yang tetap terjaga sampai detik ini menunjukkan bahwa masyarakat adat disana sangat menghormati warisan leluhurnya yang sarat akan makna dan filosofisnya, salah satunya Tari Abuang. Tarian ini merupakan tari yang biasanya ditarikan saat ada upacara atau piodalan tertentu di sebuah desa Bali Aga di Bali yang merupakan bentuk bhakti masyarakat adatnya disana kepada sang pencipta dan juga kepada leluhurnya yang telah memberikan begitu banyak warisan kepada anak cucunya dikehidupan sekarang.2 Tarian ini sebagai salah satunya warisan leluhur yang sarat akan nilai-nilai filosofi kehidupan patut untuk dilestarikan dan dilindungi sebagai bentuk EBT secara paripurna.

Perlu disadari bahwa suatu karya intelektual manusia yang bernilai ekonomis yaitu karya seni dan budaya sebagai hasil kreativitas manusia dalam melahirkan berbagai karya intelektualitasnya yang bermutu tinggi tidaklah dilahirkan begitu saja. Sehinga karya seni dan budaya patut mendapat perlindungan yang pada akhirnya dapat meningkatkan taraf kesejahteraan, tidak hanya untuk masyarakat adat dimana seni itu tumbuh dan berkembang, namun juga untuk bangsa dan negara Indonesia. Hasil karya intelektual itu lahir dari pengolahan dan proses dari cipta, karsa dan daya kreativitas manusia yang sedemikian mendalam dan bernilai ekonomis tinggi sudah selayaknya diberikan perlindungan hukum secara kolektif untuk mendapatkan hak ekslusif atas karya yang dilestarikan oleh masyarakat adatnya sampai saat ini. Adapun sebelumnya telah terdapat penelitian yang memiliki tema berkaitan dengan ekspresi budaya tradisional sebagai berikut:

Daftar Penulisan Sejenis

No

Judul Penelitian

Nama Penulis

Rumusan Masalah

1

Urgensi Pengaturan

Ekspresi Budaya (Folklore) Masyarakat Adat

Simona Bustani

1. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Budaya Tradisional Masyarakat Adat Di Indonesia?

2.Bagaimana Pemahaman Dan Ruang Lingkup Eskpresi Budaya Tradisional?

2

Perlindungan   Hukum

Terhadap      Ekspresi

Budaya      Tradisional

Masyarakat Adat Tolaki

Rahman Hasima

1.Bagaimana Ekspresi Budaya Tradisional Masyarakat Adat Tolaki?

2. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Masyarakat Adat Tolaki?

1 Sumunar, Dyah Respati Suryo, Suparmini, dan Sriadi Setyawati. “Masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan.” Jurnal Penelitian Humianiora 22, No. 2 (2017): 111-124.

2 Dasih, I Gusti Ayu Ratna Pramesti. “Pesan Komunikasi Tari Abuang Di Desa Pakraman Tenganan Pegringsingan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem.” Widya Duta 13, No. 2 (2018): 57-69.

Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa keunggulan penelitian yang diangkat ini dikarenakan fokus kajiannya yang aktual dan secara khusus meneliti Ekspresi Budaya Tradisional berdasarkan hak cipta terhadap Tari Abuang dalam perspekti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Adapun penelitian ini berjudul PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA TARI ABUANG DI DESA TENGANAN PEGRINGSINGAN SEBAGAI SATU BENTUK EBT DALAM PERPEKTIF HAK CIPTA.

  • 1.2.    Permasalahan

Permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana Pengaturan pihak yang menjadi pemegang Hak Cipta atas karya ekspresi budaya tradisional kajian pada karya Tari Abuang?

  • 2.    Bagaimana perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional kajian pada karya Tari Abuang dalam perspektif Hak Cipta?

  • II.     Metode Penelitian

Metode penelitian sebagai salah satu hal mendasar yang memberikan pedoman dalam memahami, menganalisis, dan mempelajari substansi hukum yang dimaksud. Dengan kata lain bahwa tujuan dari dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui pihak pemegang Hak Cipta atas karya ekspresi budaya tradisional kajian pada karya Tari Abuang beserta pengaturan perlindungan hukum ekspresi budaya tradisional pada karya Tari Abuang dalam perspektif Hak Cipta dapat dicapai melalui penelitian yang didasarkan dengan metode ilmiah. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian hukum yang membahas dan menganalisis dalam tataran norma, asas dan doktrin hukum.3 Lebih lanjut pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini untuk menunjang jenis penelitian hukum normatif adalah pendekatan perundang-undangan yaitu menelaah peraturan yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang diteliti dalam hal ini peraturan di bidang Hak Cipta serta digunakan juga pendekatan analisis konsep hukum yaitu merujuk pada asas hukum, konsep hukum dan doktrin ahli hukum yang memiliki keterkaitan pada permalahan yang diteliti.4 Pada penelitian ini digunakan analisis deskriptif kualitatif dalam menyusun hasil dari penelusuran bahan-bahan hukum baik bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang telah diperoleh untuk kemudian disusun dengan sistematis. Kemudian dalam menarik kesimpulan dilakukan dengan metode deduktif yakni menarik kesimpulan dari premis umum kepada premis khusus.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Pemegang Hak Cipta atas Karya Ekspresi Budaya Tradisional Kajian pada

Tari Abuang

Tari merupakan karya seni yang menjadi hasil karya kekayaan intelektual dibidang Hak Cipta tentu mendapat perlindungan hukum berdasarkan ketentuan hukum Hak Cipta yang berlaku termasuk di dalamnya tarian yang telah diwariskan oleh pendahulunya sampai saat ini. Salah satunya di daerah Bali khususnya pada desa-desa Bali Aga yang khas dengan dimilikinya warisan tarian yaitu Tari Abuang. Tari Abuang sebagai salah satu warisan tradisional leluhur masyarakat adat di Bali yang hingga saat ini masih tetap dilestarikan dan telah menjadi bagain tak terpisahkan dari masyarakat adatnya. Tari Abuang sebagai salah satu tari sakral yang selalu ditarikan untuk mengiringi upacara keagaaman seperti piodalan ataupun tradisi khas di desa tersebut yaitu, Ngusaba. Tarian ini memiliki gerakan yang indah serta ritmis dengan menjadi sebuah rangkaian gerakan satu kesatuan yang utuh dan padu dengan upacara Ngusaba yaitu upacara untuk menunjukkan raya syukur atas limpahan berkah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa pada wilayah desanya.5 Tarian ini dalam pementasannya ditarikan oleh sejumlah daha/gadis perawan serta sejumlah penari truna/lelaki perjaka.6

Saat tari ini ditarikan, para penari mengenakan pakaian khas yaitu kain tenun ikat gringsing. Tarian ini biasanya ditarikan setiap panglong ping lima pada sasih kasa di malam harinya atau masyarakat adat disana menyebutnya dengan Abuang Peteng. Serta ditarikan saat Abuang Lemah yaitu hari yang jatuh pada hari panglong ping nem sasih kasa di siang harinya. Tarian ini adalah warisan leluhur dari masyarakat adatnya sebagai salah satu bentuk janji atau “sesangi” yang masih dilestarikan generasi penerusnya sampai saat ini. Hal ini dikarenakan Tari Abuang mengandung nilai dan makna yang sangat harmonis dalam melestarikan sistem kekerabatan dan sosial masyarakat.7 Adapun gamelan pengiring Tari Abuang saat ditarikan adalah gamelan slonding. Gamelan ini adalah gamelan sakral yang langka dan susah ditemukan di daerah lainnya saat ini. Kesakralan ini terlihat dari adanya aturan bahwa hanya masyarakat desa adatnya yang boleh memainkan gamelan tersebut, dengan kata lain, orang diluar desa tersebut tidak diperbolehkan memainkan gamelan tersebut.8

Tari Abuang juga dianggap oleh masyarakat disana sebagai salah satu tarian cinta dan kasih yang sakral dan ditarikan oleh para teruna dan daha untuk mempersembahkan air mata sebagai persembahan tulus dan suci kehadapan-Nya dan menjadi identitas kekerabatan masyarakat. Tarian ini juga menjadi sarana untuk merekatkan hubungan harmonis antara para teruna dan daha dalam upaya menjaga tradisi sistem perkawinan yang telah dilestarikan sejak dulu dan dianut sampai sekarang oleh masyarakat adat pengembannya. Artinya, tarian menjadi salah satu tarian untuk meminta memperoleh pasangan yang direstui oleh-Nya. Lebih lanjut, para penari saat menarikan Tari Abuang menggunakan pakaian dari kain tenun ikat khas yaitu kain gringsing. Untuk para penari daha menggunakan kamben atau wastra gringsing, kampuh atau saput gringsing untuk di dada, anteng atau selendang

gringsing serta hiasan-hiasan di kepala yang sebelumnya rambut para daha sudah dipusung dan menggunakan gelungan serta bunga-bunga emas untuk menambah hiasan rambutnya. Aturan pakaian untuk para teruna yaitu menggunakan wastra atau kamben dan kampuh atau saput gringsing, destar atau udeng dengan bunga emas dan membawa keris dipunggungnya.9

Adapun ciri khas Tari Abuang sebagai salah satu ekspresi budaya tradisional juga terlihat dari gerakannya. Adapun gerakan Tari Abuang terdiri atas tenaga, tempo dan ruang. Pertama, tenaga di dalam Tari Abuang itu penting dan sangat diperhatikan bagi mereka yang menarikan Tari Abuang. Pengaturan tenaga oleh seorang penari Tari Abuang wajib untuk dilakukan agar mampu menari terus dalam kondisi konsentrasi. Hal ini mengingat bahwa durasi tariannya cukup lama. Kedua, mengenai tempo dalam Tari Abuang, bahwa tempo dalam sebuah tarian sangat terkait dengan irama gerakan tari yang senantiasa mengikuti kaidah iringan gamelan dalam mengatur tempo gerakan saat menari. Sesuai dengan tempo gamelan slonding yang mengiringinya. Ketiga, mengenai ruang di dalam Tari Abuang yang merupakan salah atau unsure pokok tari yang menentukan lahirnya gerak yang berasal dari ruang. Artinya, penari Tari Abuang semata-mata dapat bergerak karena adanya ruang itu sendiri. Sehingga Tari Abuang memiliki batas ruang yang membatasi gerak dari penari yang disesuaikan dengan warna-warni tariannya.10

Tarian ini juga memiliki pesan yang hendak disampaikan kepada generasi-generasi berikutnya di desa tempat dimana tarian ini diemban dan dilestarikan. Adapun pesan yang terkandung di dalam Tari Abuang lebih dekat dengan fungsi komunikasi masyarakat adatnya sejak dulu yang di visualisasikan melalu Tari Abuang sebagai media penerus pesan dari generasi sebelumnya ke generasi sekarang. Pertama, Tari Abuang dalam sebuah karakter yang mengandung nilai filosofis berupa nilai siwam, satyam dan sundaram yang berarti bahwa penampilan atau pementasan tarian tersebut tidak dapat dilepaskan dari nilai kebenaran, kesucian dan keindahan. Kedua, Tari Abuang sebagai bentuk keyakinan dan persembahan masyarakat desa atas karunia-Nya dengan mementaskan tarian ini dan hal ini sangat diyakini mempengaruhi serta mampu mengatur gerak kehidupan di dunia. Ketiga, tarian ini ingin menyampaikan pesa komunikasi kepada masyarakat desa untuk senantiasa meningkatkan sradha dan bhaktinya tidak hanya ke Ida Sang Hyang Wdhi Wasa, juga kepada sesama. Agar semakin memperat rasa “menyama braya” antar masyarakat desa.

Berdasarkan penjelasan tersebut, sampai saat ini eksistensi Tari Abuang sebagai salah satu bentuk ekspresi budaya tradisional dari suatu masyarakat adat di Bali masih tetap dilestarikan oleh masyarakatnya dan perlu mendapatkan perlindungan hukum sebagai karya intelektual manusia yang berhak atas jaminan perlindungan hukum. Perlindungan hukum atas karya Tari Abuang sebagai EBT dalam rezim Hak Cipta telah diatur secara eksplisit dalam UUHC sebagaimana kualifikasi karya Tari Abuang merupakan karya seni yang menjadi hasil karya kekayaan intelektual yang perlu dilindungi. Apabila mencermati ketentuan pada Pasal 38 ayat (1) UUHC yang menyatakan bahwa Hak Cipta atas EBT ada pada Negara untuk kepentingan Pencipta. Serta negara memiliki kewajiban untuk menginventarisasi, menjaga, dan memelihara

EBT sebagaimana amanat pada Pasal 38 ayat (2) UUHC.11 Dapat dikemukakan bahwa entitas Negara dalam hal ini dapat asosiasikan sebagai pemerintah khususnya Pemerintah Daerah karena berdasarkan tafsirnya bahwa perwujudan dari negara dimana karya EBT tersebut bertumbuh dan berkembang. Maka dalam hal ini, pemerintah daerah selaku representasi Negara baik pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota memiliki kewajiban untuk melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UUHC yakni Negara berkewajiban menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tradisional sebagaimana yang dimaksud ayat (1). Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) UUHC dijelaskan hal-hal yang mencakup EBT adalah salah satu atau kombinasi dari bentuk ekspresi sebagai berikut yaitu verbal, tekstual, baik lisan maupun tulisan, musik, gerak, teater, seni rupa, dan upacara adat. 12

  • 3.2.    Perlindungan Hukum Atas Karya Tari Abuang Di Desa Tenganan Pegringsingan Sebagai Satu Bentuk EBT Dalam Perpektif Hak Cipta

Masyarakat hukum adat merupakan masyarakat yang kuat dalam memegang teguh budaya, adat istiadat, kepercayaan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi sejak zaman dahulu. Guna memenuhi kebutuhan hidup, masyarakat tersebut sangat tergantung terhadap sumber daya alam. Hal ini mendorong musik bamboo, serta tari-tarian sebagai miliknya. Pemanfaatan hal serupa juga dialamai oleh Negara-negara sedang berkembang pemiliki EBT seperti India, Peru, Brasil dan beberapa Negara Afrika. Oleh karena itu, EBT penting untuk mendapatkan perlindungan yang mampu mengakomodir hak-hak masyarakat lokal, masyarakat tradisional dan masyarakat hukum adat yang selama ini masih menjadi masyarakat pengembannnya. Mengenai perlindungan terhadap EBT sudah terjadi sejak lama, ketika permasalahan EBT mendapatkan perhatian dan menjadi pembahasan secara internasional sejak empat puluh tahun. Pembahasan ini dimulai sejak revisi atas Konvensi Bern tahun 1967 di Stockholmdan di Paris 1971 yang kemudian diadaptasi ke TRIPs Agreement dan Konvensi PBB tentang Keragaman Hayati.13 Sehingga, Indonesia sebagai negara berkembang yang juga menjadi anggota TRIPs Agreement harus mampu menyesuaikan sistem hukum kekayaan intelektual yang disesuaikan dengan kondisi Negara mengenai perlindungan atas karya-karya EBT. Dalam hal ini, Indonesia menggabungkan konsep kepemilikan individual sekaligus konsep kepemilikan kolektif sebagaimana yang terdapat dalam konsep perlindungan Hak Cipta dalam UUHC sebagai bagian dari jenis kekayaan intelektual yang perlu dilindungi.14 Hukum Hak Cipta mengakui perlindungan Hak Cipta secara otomatis sejak selesai diwujudkan dalam bentuk nyata sebagaimana atur dalam Article 2 paragraph (2) Berne Covention menyatakan: “It shall, however, be a matter for legislation

in the countries of the Union to prescribe that works in general or any specific categories of works shall not be protected unless they have been fixed in some material form.” Ini berarti, bahwa suatu karya intelektual di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan mendapatkan perlindungan ketika telah diwujudkan secara nyata dan difiksasi sebagai suatu bentuk yang riil.15

Dalam konsep perlindungan suatu karya cipta dalam hukum hak cipta, terkandung dua muatan yang esensinya adalah adanya monopoli atas hak ekslusif yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak ekslusif inilah yang akan didapatkan oleh seorang pencipta ketika menghasilkan sebagai ciptaan yang berwujud nyata sebagai suatu expression work on intellectual property rights. Dalam UUHC telah diatur dalam Pasal 4 bahwa hak ekslusif dalam Hak Cipta terdiri atas dua yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi bermakna bahwa unsur hak yang dimiliki untuk mengumumkan suatu ciptaan dan hak untuk memperbanyak suatu ciptannya. Hak ini kemudian melahirkan keuntungan ekonomis yang bermanfaat bagi Pencipta atas inventasi yang dilakukannnya selama proses untuk melahirkan suatu karya cipta.16 Sedangkan hak moral merupakan hak yang memberikan hak kepada pencipta agar menjaga dan mengawasi tindakan pemanfaatan ciptannya dalam dimensi moralitas. Hak moral memberikan hak kepada pencipta untuk meminta atau/tidak untuk mencantumkan namanya pada ciptannya yang dimanfaatkan. Serta hak untuk pencipta melarang pihak lainnya agar tidak mengubah ataupun mengurangi bahkan menggunakan ciptannya secara tidak baik dan bertentangan dengan nilai-nilai moralitas dan kaidah dalam masyarakat. Lebih lanjut, hak moral berdasarkan beberapa referensi hukum Kekayaan Intelektual tercatat bahwa tidak semua negara mengakomodasi konsep hak moral secara tuntas dalam perundang-undangan nasionalnya. Misalnya Amerika Serikat meski memahami urgensinya, dalam praktik menerapkannya secara terbatas. Masalahnya konsepsi ini dianggap membatasi kreativitas dan kebebasan menciptakan. Pada tahun 1990, Amerika Serikat mengintroduksi aturan khusus yang hanya memberikan perlindungan Hak Moral secara terbatas bagi karya seni visual atau the Visual Artistic Right Act 1990/VARA. Selebihnya, negara-negara yang mengakui konsepsi hak moral, ternyata memiliki derajat penghargaan yang berbeda-beda. Prancis misalnya, mengakui konsep droit de suit, yang penjabarannya juga ditumbuhkan dari konsep hak moral.17 Sehingga dapat dikatakan bahwa ketika Tari Abuang mendapatkan perlindungan Hak Cipta tentu karya tersebut mendapatkan hak ekslusif, akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang berhak atas hak ekslusif tersebut mengingat bahwa Tari Abuang merupakan bentuk EBT dengan tidak ada penciptanya atau tidak diketahui siapa yang menciptakan tari tersebut yang kemudian dimiliki serta diwariskan secara turun temurun di dalam masyarakat hukum adatnya. Maka daripada itu, perlu dikaji kembali bentuk perlindungan hukum atas Tari Abuang sebagai salah satu bentuk ekspresi budaya tradisional masyarakat adat yang ada di Bali.

EBT diartikan sebagai karya yang telah diwujudkan dan dapat dilihat, didengar dan dirasakan sebagai bentuk ekspresi yang secara tunggal maupun hasil kombinasi beberapa unsur. Karya EBT ini diyakini oleh masyarakat pengembannya mengandung pesan moral dan nilai-nilai luhur yang berguna dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat di lingkungannya.18 Hal ini telah dituangkan ke dalam RUU PT-EBT pada Pasal 1 angka 3 RUU PT-EBT menyatakan bahwa suatu masyarakat yang menjadi pengemban suatu EBT itu terdiri dari masyarakat hukum adat, masyarakat lokal maupun masyarakat tradisional. Melihat dari penjelasan tersebut sebagai pemegang atas hak terhadap EBT maka subjek dari EBT merupakan masyarakat adat yang dalam hal ini adalah Pencipta atas suatu EBT. Maka, EBT harus dilestarikan masyarakat pengembannya agar tetap mampu diwariskan kepada generasi berikutnya sebagai warisan yang adiluhung karena nilai-nilai kehidupan dan moral yang terkandung di dalamnya agar tetap tegak sampai berakhirnya peradaban masyarakatnya.19 Dengan demikian, istilah EBT selalu merujuk pada suatu karya seni dan sastra hasil suatu kebudayaan masyarakat pengemabannya untuk tetap dimiliki, dilestarikan dilindungi sebagai suatu karya intelektualitas leluhurnya pada masanya hingga saat ini.20

Lebih lanjut, konsep dasar mengapa penting untuk melindungi EBT dalam bingkai hukum Hak Cipta sangat berkaitan dengan bagimana filosofi dari EBT sebagai bagaian dari budaya. EBT apabila ditelaah secara etimologis mengandung tiga unsur kata yaitu ekspresi, budaya dan tradsional. Makna dari kata ekspresi yaitu bentuk ungkapan perasaan batiniah yang ditunjukkan dalam bentuk suara, gerak ataupun gabungan keduanya. Kata budaya yang berasal dari bahasa sansekerta yaitu ‘budhayah’ artinya buah pikiran atau kemampuan intelektual dari seseorang.21 Sedangkan kata tradisional merujuk pada makna sesuatu hal yang ada sejak lama dan menjadi warisan yang diwariskan oleh pendahulunya secara turun temurun. Oleh karena itu, EBT dapat dirumuskan sebagai bagian dari kehidupan manusia yang hidup dalam masyarakat adat, lokal maupun tradisional yang menjadi pengembannya serta mengandung nilai spiritual, komunalitas dan moralitas serta nilai ekonomis.22 Bahwa jelas karya seni dan sastra merupakan bagian dari karya EBT karena memenuhi kualifikasi sebagai kegiatan intelektual kolektif dengan identitas suatu komunitas masyarakat yang telah dipelihara, dikembangkan dan dilaksanakan oleh komunitas masyarakat sampai saat ini. Bilamana merujuk pada penjelasan tersebut, Tari Abuang yang telah diwariskan sejak zaman dahulu oleh leluhur masyarakat adatnya hingga saat ini yang telah bagian kehidupan budaya dari masyarakat desanya telah memenuhi persyaratan sebagai salah satu wujud dari EBT dan patut untuk dilindugi secara hukum khususnya dalam rezim kekayaan intelektual.

Mengenai dasar hukum mengenai EBT yang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, melainkan dapat ditemui dalam UUHC, Permenkumham Nomor 13 Tahun 2017 tentang Data Kekayaan Intelektual Komunal dan beberapa instrumen internasional seperti WIPO, TRIPs, dan Protokol Nagoya, melihat dari belum adanya pengaturan tersendiri bagi EBT tersebut tentunya melemahkan perlindungan hukum bagi EBT itu sendiri. Apabila mencermati ketentuan pada Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) UUHC, bahwa dapat dikemukakan dalam lingkup yang lebih sempit, Pemerintah Daerah dapat ditafsirkan sebagai perwujudan dari negara dimana karya ekspresi budaya tradisional tersebut bertumbuh dan berkembang. Maka dalam hal ini, pemerintah daerah selaku reperesntasi Negara baik pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota memiliki kewajiban untuk melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UUHC. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) UUHC dijelaskan hal-hal yang mencakup EBT adalah salah satu atau kombinasi dari bentuk ekspresi sebagai berikut yaitu verbal, tekstual, baik lisan maupun tulisan, musik, gerak, teater, seni rupa, dan upacara adat.

Dalam hal ini, Tari Abuang dengan ciri khas gerakan, pakaian dan gamelan yang telah diwariskan secara turun temurun menjadi salah satu dari bentuk EBT yaitu dalam bentuk suatu karya seni tari sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 38 ayat (1) huruf c UUHC dan dijelaskan secara tegas dalam penjelasan pasal. Ditegaskan kembali bahwa Tari Abuang sebagai salah satu EBT masyarakat adat yang ada di Bali dengan Hak Ciptanya di pegang oleh negara tentu memiliki implikasi bahwa pemerintah melindung hak ekslusif komunal masyarakat dimana Tari Abuang tumbuh dan berkembang. Sehingga masyarakat lainnya pun dapat memanfaatkan Tari Abuang sesuai kebutuhan dan keperluannya dengan memperhatikan nilai kepatutan pada masyarakat adatnya sebagai pengemban EBT tersebut yang patut dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (3) UUHC. Bahwa perlindungan EBT yang bersumber dari adanya masyarakat tradisional dengan pengetahuan tradisionalnya menjadi sangat penting untuk dilakukan, karena tiga faktor yaitu EBT memiliki nilai ekonomis yang menguntungkan dari hasil karya-karyanya yang dimafaatkan, melihat pada sistem perdagangan dunia saat ini yang memerlukan pemenuhan atas hak keadilan, dan diperlukan perlindungan terhadap masyarakat pengembannya.23

Oleh karena itu, Tari Abuang sebagai salah satu bentuk EBT dan merupakan objek yang dilindungi UUHC tanpa batas jangka waktu perlindungan sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UUHC. Apabila menelaah kembali ketentuan pasal tersebut mengenai jangka waktu perlindungan atas EBT yang dipegang oleh Negara, jangka waktunya berlaku tanpa batas waktu. Artinya, selama ekspresi budaya tradisional itu hidup dan berkembang di masyarakatnya tetap di pegang oleh negara selamanya tanpa batas waktu sebagai dilakukan pengumaman atas Ciptaan tersebut dilindungi selama lima puluh tahun. Dalam hal ini, Tari Abuang sebagai bentuk ekspresi budaya tradisional yang tidak diketahui Penciptanya karena merupakan warisan turun temurun masyarakat adat dan belum dilakukan pengumuman oleh pihak lain sampai saat ini, sehingga negara memegang Hak Cipta atas karya Tari Abuang dalam jangka waktu yang tanpa batas sebagai bentuk perlindungan komunal atas Tari Abuang warisan turun temurun leluhur masyarakat adatnya.

  • IV.   Penutup

    4.1.   Kesimpulan

Mengenai pemegang Hak Cipta atas karya Tari Abuang sebagai salah satu bentuk EBT masyarakat adat di Bali yang masih eksis dan dilestarikan oleh masyarakat pengembannya ada pada Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UUHC. Bahwa di dalam UUHC telah diatur perlindungan hukum mengenai karya EBT sebagaimana diatur di dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UUHC. Dalam hal ini, Tari Abuang sebagai bentuk EBT yang tidak diketahui Penciptanya karena merupakan warisan turun temurun masyarakat adatnya dan belum dilakukan pengumuman oleh pihak lain sampai saat ini, sehingga negara memegang Hak Cipta atas karya Tari Abuang tanpa jangka waktu dengan kata lain tanpa batas waktu sebagaimana diatur pada Pasal 60 UUHC, sebagai bentuk perlindungan komunal atas Tari Abuang warisan turun temurun leluhur masyarakat adatnya.

  • 4.2.    Saran

Permasalahan efikitivitas suatu aturan dalam mencapai tujuan dari pada hukum itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari komponen budaya hukum. Dalam hal ini menumbuhkan ketaatan masyarakat terhadap suatu aturan yang berlaku harus dimulai dengan pengetahuan dan kesadaran hukum. Berdasarkan hal tersebut penting adanya dilakukan sosialiasasi yang lebih masif secara langsung kepada masyarakat desa mengingat tidak semua masyarakat desa memiliki akses atau pengetahuan untuk mengelola informasi melalui internet. Lebih lanjut adapun saran bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan kewajibannya melindungi karya-karya EBT di wilayahnya termasuk Tari Abuang melihat pada nilai khasanah serta manfaat lainnya di kemudia hari yang perlu dilindungi dengan melakukan inventarisasi atas Tari Abuang dan karya lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Lutviansori, Alif. Hak Cipta dan Perlindungan Foklor di Indonesia. (Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010).

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. (Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010).

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. (PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014).

Skripsi

Aryandari, Citra. “Ritual Usaba Sambah: Sebuah Babak Dalam Kehidupan Masyarakat Tenganan Pegringsingan, Bali.” Diss. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, (2013).

Jurnal

Asri, Dyah Permata Budi. "Implementasi Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2014 terhadap Ekspresi Budaya Tradisional di Kabupaten Sleman." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 23, No.4 (2016).

_______. "Perlindungan Hukum Preventif Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta." JIPRO: Journal of Intellectual Property 1, No.1 (2018).

Atsar, Abdul. "Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan dan Ekspresi Budaya Tradisional untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat ditinjau dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta." Law Reform 1, No.2 (2018).

Bustani, Simona. "Urgensi Pengaturan ekspresi Budaya (Folklore) Masyarakat Adat." Jurnal Hukum PRIORIS 2, No.4 (2016).

Dasih, I Gusti Ayu Ratna Pramesti. “Pesan Komunikasi Tari Abuang Di Desa Pakraman Tenganan Pegringsingan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem.” Widya Duta 13, No. 2 (2018).

Hasima, Rahman. "Perlindungan Hukum Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Masyarakat Adat Tolaki." Literasi Hukum 2, No.1 (2018).

Paramisuari, Anak Agung Sinta, and Sagung Putri ME Purwani. "Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Bingkai Rezim Hak Cipta." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, No.1 (2019).

Pratama, I. Gusti Made Dio Damalla. "Perancangan Film Dokumenter” Selonding; Nyanyianmu Semangat Kami” Sebagai Kebudayaan Khas Desa Tenganan Pegringsingan Bali." Jurnal Sains dan Seni ITS 4, No.2 (2016).

Roisah, Kholis. "Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Sistem Hukum Kekayaan Intelektual." Masalah-Masalah Hukum 43, No.3 (2014).

Sadevi, Luh Wina. "Perkembangan Ragam Hias, Motif, dan Warna Tenun Ikat Gringsing di Desa Tenganan Pegringsingan, Bali." Jurnal Tata Busana 4, No.2 (2015).

Senewe, Emma Valentina Teresha. "Efektivitas Pengaturan Hukum Hak Cipta Dalam Melindungi Karya Seni Tradisional Daerah." Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum 2, No.2 (2015).

Setyaningtyas, Ayu Citra, and Endang Sri Kawuryan. "Menjaga Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia." Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai 1, No.2 (2016).

Sukihana, Ida Ayu, and I. Gede Agus Kurniawan. "Karya Cipta Ekspresi Budaya Tradisional: Studi Empiris Perlindungan Tari Tradisional Bali di Kabupaten Bangli." Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 7, No.1 (2018).

Sumunar, Dyah Respati Suryo, Suparmini, dan Sriadi Setyawati. “Masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan.” Jurnal Penelitian Humianiora 22, No. 2 (2017).

Wedhitami, Bayangsari. "Upaya Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Dengan Pembentukan Peraturan Daerah." LAW REFORM 9, No. 2 (2014).

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5599)

Jurnal Kertha Wicara, Vol. 9 No. 6 Tahun 2020, hlm. 1-12