PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PERKOSAAN YANG MELAKUKAN ABORSI
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PERKOSAAN YANG MELAKUKAN ABORSI
Anggun Kharisma Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: anggunkharisma125@gmail.com
Sagung Putri M.E. Purwani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: sg_putri@yahoo.co.id
ABSTRAK
Anak sebagai makhluk yang lemah, kerap menjadi korban kejahatan seksual sampai menyebabkan hamil. Tidak jarang aborsi dipilih sebagai jalan pintas dalam mengatasi Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana melarang tindakan aborsi, tetapi Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memungkinkan melakukan aborsi namun dengan memberikan syarat yang termuat pada Pasal 76 UU Kesehatan. Apabila aborsi tidak sesuai dengan syarat dalam Pasal 76 UU Kesehatan, maka anak korban pemerkosaan yang melakukan aborsi dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 194 UU Kesehatan. Isu hukum dalam penelitian ini adalah kekosongan hukum dalam hal perlindungan anak korban pemerkosaan yang melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 76 UU Kesehatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum yang dikumpulkan melalui teknik studi pustaka, yang kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis desktiptif teknik analisis sistematisasi. Menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan dan pendekatan komparatif. Anak korban pemerkosaan yang melakukan aborsi diluar syarat-syarat Pasal 76 UU Kesehatan, dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 194 UU Kesehatan. Mengingat anak sebagai generasi penerus bangsa, sudah sepatutnya anak korban pemerkosaan diberikan perlakuan khusus berupa pemberian jaminan dalam peraturan perundang-udangan, bahwa anak korban pemerkosaan yang melakukan tindakan aborsi, kendati perbuatan tersebut tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam Pasal 76 UU Kesehatan, tidak dapat dikenakan pemidanaan.
Kata Kunci : Anak, Korban, Pemerkosaan, Aborsi
ABSTRACT
Children as weak creatures, often become victims of sexual crimes to cause pregnancy. Not infrequently, abortion is chosen as a shortcut in overcoming unwanted pregnancy (KTD). The Criminal Code prohibits acts of abortion, but Law No. 36 of 2009 concerning Health allows to have an abortion but by providing the conditions contained in Article 76 of the Health Act. If an abortion is not in accordance with the provisions in Article 76 of the Health Act, then a child victim of rape who has an abortion may be subject to criminal sanctions under Article 194 of the Health Act. The legal issue in this study is the legal vacuum in the protection of child victims of rape who have abortions that are not in accordance with the provisions in Article 76 of the Health Law. The method used in this study is a normative legal research method using primary legal materials, secondary legal materials and non-legal materials collected through literature study techniques, which are then analyzed using descriptive analysis techniques systematization analysis techniques. Use a type of regulatory approach. Child victims of rape who have an abortion outside the provisions of Article 76 of the Health Act, may be subject to criminal penalties under Article 194 of the Health Act. Considering that children are the next generation of the nation, it is appropriate for children of rape victims to be given special treatment in the form of guarantees in the laws
and regulations, that children of rape victims who carry out acts of abortion, even though such actions are not in accordance with the conditions specified in Article 76 of the Health Law, cannot subject to punishment.
Keywords: Child,Victim, Rape, Abortion
Anak merupakan amanah Tuhan yang perlu diasuh, dididik dan dirawat sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Menurut pandangan religius, anak bukan hanya keturunan biologis dari orangtuanya melainkan anugrah dari Tuhan sehingga anak bukan hanya menjadi tanggungjawab pribadi melainkan tanggungjawab manusia kepada Tuhan.1 Pengertian anak belum diatur secara jelas sehingga masih terdapat banyak perbedaan dalam mendefinisikan Anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) dalam Pasal 1 angka 1 memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) dalam Pasal 45 disebutkan bahwa yang disebut anak yang belum dewasa apabila seseorang tersebut belum berumur 16 (enam belas) tahun.
Anak sebagai makhluk yang dianggap lemah sering menjadi sasaran empuk kejahatan mulai dari penculikan, penipuan hingga kekerasan seksual.2 Kekerasan seksual yang meliputi pelecehan seksual, pencabulan hingga pemerkosaan terhadap anak marak terjadi pada jaman sekarang, yang pelakunya adalah orang terdekat seperti ayah, paman, kakak, kakek, teman sekolah atau orang yang sering berinteraksi dengan korban.3Bentuk kekerasan seksual tidak selalu berupa persetubuhan melainkan segala bentuk serangan berupa pemaksaan bersetubuh yang melibatkan alat kelamin. Pasal 81 UU Perlindungan Anak menyebutkan beberapa unsur pemerkosaan yaitu adanya “kekerasan atau ancaman kekerasan”, “memaksa melakukan persetubuhan”, “melakukan tipu muslihat, kebohongan dan mengajak melakukan” yang dalam pasal ini dilakukan terhadap anak. 4
Sebagai salah satu contoh kekerasan seksual pemerkosaan terhadap anak yang menimpa seorang anak bernama WA berumur 15 tahun di Jambi, yang merupakan korban pemerkosaan yang dilakukan oleh kakak kandungnya sendiri berinisial AS yang berumur 17 tahun. Setiap kali melancarkan aksinya AS selalu mengancam WA dengan berbagai ancaman yang membuat WA takut dan tidak berdaya sehingga pasrah dirudapaksa oleh kakak kandungnya sendiri. Akibatnya WA mengalami trauma serta depresi yang menyebabkan WA tidak lagi berani untuk berinteraksi
dengan masyarakat luas karena takut ada orang lain yang mengetahui kejadian tersebut.5
Seorang anak yang menjadi korban pemerkosaan dapat menderita kesakitan fisik dan kesakitan psikis.6Aborsi dilakukan sebagai bentuk untuk menghindari perasaan trauma karena harus mengandung anak yang merupakan hasil dari hubungan yang tidak dikehendaki.7Aborsi atau dikenal dengan istilah Abortus Provocatus merupakan menggugurkan kandungan secara sengaja. Aborsi merupakan pengeluaran janin secara sengaja dengan bantuan tangan manusia baik secara mekanis atau menggunakan obat-obatan atau dengan cara lainnya. Aborsi yang dilakukan dengan alasan apapun akan berkaitan dengan aspek norma moral serta hukum dalam kehidupan masyarakat, apalagi aborsi dilakukan oleh anak dibawah umur yang menjadi korban pemerkosaan akan menjadi perdebatan pelik dalam masyarakat. Seringkali tindakan penegak hukum dan masyarakat cenderung lebih memperhatikan sisi pelaku aborsi oleh anak sebagai penjahat atau kriminalis dari suatu kasus dan tidak melihat dari perspektif Victim atau korban. Anak korban pemerkosaan ini secara tidak langsung mengalami Secondary Victimization atau viktimisasi sekunder atau menjadi korban kedua kalinya dari reaksi lingkungan sekitar tempat ia bertempat tinggal.8
Korban pemerkosaan merupakan pihak yang dirugikan, menderita dan perlu mendapatkan perlindungan lebih justru diabaikan hak-haknya. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) Pasal 50 hingga Pasal 68 hanya disebutkan perlindungan terhadap hak tersangka atau terdakwa. Kehadiran Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut UU LPSK) memberikan jaminan perlindungan hukum dalam sistem peradilan pidana. Anak sebagai golongan rentan memerlukan perlindungan terhadap hak-haknya dan kesejahteraannya sehingga menjadi alasan bagi pemerintah untuk membuat aturan sebagai wujud perlindungan istimewa yang diatur secara khusus dalam UU Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (2) yang menjamin melindungi hak-hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang secara optimal dan terbebas dari kekerasan serta diskriminasi.9 Sebagaimana disebutkan pada UU Perlindungan Anak, anak yang menjadi korban kejahatan kesusilaan mempunyai hak atas perlindungan khusus dari negara agar dapat melindungi setiap hak-hak anak dan mencegah anak dijatuhi hukuman pidana.10
Tindakan aborsi diluar alasan indikasi kedaruratan medis dan kahamilan akibat pemerkosaan merupakan suatu tindak pidana yang diatur dan dilarang dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP serta Pasal 194 UU Kesehatan. Kendati demikian, tindakan aborsi bagi korban pemerkosaan, jika tidak memenuhi syarat yang ditentukan berdasarkan Pasal 76 UU Kesehatan, juga dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 194 UU Kesehatan. Salah satu syarat agar korban pemerkosaan dapat melakukan tindakan aborsi adalah sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Terjadi persoalan kemudian adalah, ketika seorang anak korban pemerkosaan tidak melakukan tindakan aborsi dalam kurun waktu kehamilan berumur 6 (enam) minggu tersebut atau tidak memenuhi syarat yang ditentukan berdasarkan Pasal 76 UU Kesehatan, yang dikarenakan anak tersebut tidak mengetahui dirinya sedang hamil, atau karena takut/malu menyampaikan kondisinya kepada keluarga terdekat, sangat disayangkan anak tersebut dikenakan pidana, mengingat ia merupakan korban pemerkosaan. Peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dikatakan belum memiliki praturan lebih lanjut mengenai anak yang menjadi korban pemerkosaan yang kemudian melakukan aborsi, adanya UU Kesehatan dan PP Kespro dapat dikatakan belum maksimal dalam melindungi setiap hak anak korban pemerkosaan yang merupakan anak dibawah umur. Untuk itu, perlu diteliti lebih lanjut perihal “Perlindungan hukum terhadap Anak Korban Pemerkosaan Yang Melakukan Tindakan Aborsi”.
-
1.2. Rumusan Masalah
-
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban perkosaan yang melakukan aborsi ditinjau dari aspek pidana berdasarkan hukum yang berlaku?
-
2. Bagaimana pengaturan perlindungan anak korban perkosaan yang melakukan tindakan aborsi dimasa yang akan datang (ius constituendum) ?
-
1.3. Tujuan Penulisan
-
1.3.1. Tujuan Umum
-
Untuk memenuhi persyaratan formal bagi semua mahasiswa dalam memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
-
1.3.2. Tujuan Khusus
-
1 .Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum anak dibawah umur yang menjadi korban pemerkosaan yang kemudian melakukan tindakan aborsi ditinjau dari aspek pidana berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
-
2 .Untuk mengetahui bagaimana sebaiknya pengaturan anak korban perkosaan yang melakukan aborsi dimasa mendatang (Ius Constituendum)
Sejauh ini belum ada karya tulis mengenai anak dibawah umur korban pemerkosaan yang melakukan tindakan aborsi. Hal ini sangat menarik untuk diteliti lebih mendalam sehingga diperlukan data pendukung yang diperoleh dari berbagai literatur, media online serta jurnal-jurnal yang berkaitan. Penulisan ini dapat dikatakan orisinal dikarenakan sangat berbeda dengan berbagai fokus kajian yang pernah dilakukan.
Jenis Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah Metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai bangunan dengan sistem norma.
-
2.2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (Statue Approach). Pendekatan undang-undang merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menelusuri peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian yang dibahas. Penulisan ini juga menggunakan Pendekatan komparasi, komparasi berasal dari Bahasa inggris compare yang artinya membandingkan untuk menemukan persamaan dari dua konsep atau lebih.
-
2.3. Analisis
Sebelum melakukan pengolahan dan menganalisa, penulis mengumpulkan bahan-bahan hukum yang telah berhasil dikumpulkan selanjutnya melalui metode deskriptif kualitatif, pengolahan data dilakukan dengan menguraikan dan menggambarkan data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan dan studi ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai kejahatan yang diatur dalam KUHP untuk selanjutnya dibahas dan disajikan secara kualitatif dalam uraian yang mendalam dan sistematis sebagai suatu karya tulis ilmiah yang berbentuk skripsi.
-
3 .Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Perlindungan Hukum Anak Korban Pemerkosaan Yang Melakukan Aborsi Ditinjau Dari Aspek Pidana Berdasarkan Hukum Positif Yang Berlaku
-
Secara umum kedudukan hukum aborsi di Indonesia bisa menjadi ilegal dan legal dilihat dari sudut pandang serta tujuan dari perbuatan aborsi tersebut.11 Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), pengaturan aborsi disebutkan dalam Pasal 299, 346, 347, 348 dan 349 KUHP. Pasal-pasal ini dengan tegas dan jelas melarang praktik aborsi dengan alasan apapun. Tindakan menggugurkan kandungan yang diatur dalam KUHP terdiri dari empat macam delik diantaranya;
-
1. Pasal 346 KUHP Yang Mengatur Tentang Tindak Pidana Pengguguran Atau Pembunuhan Kandungan Yang Dilakukan Sendiri:
-
2. Pasal 347 Mengatur Tentang Tindak Pidana Pengguguran Kandungan Yang Dilakukan Oleh Orang Lain Tanpa Persetujuan Wanita Yang Mengandung; Pasal;
-
3. 348 Mengatur Tentang Tindak Pidana Pengguguran Dan Pembunuhan
Kandungan Atas Persetujuan Wanita Yang Mengandung;
-
4. Pasal 349 Mengatur Tentang Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Orang Lain Dengan Kemampuan Tertentu. 12
Secara eksplisit, praktik aborsi juga dilarang dalam UU Kesehatan, tetapi pada kondisi tertentu praktik aborsi diperbolehkan. Praktik aborsi dalam UU Kesehatan diatur dalam Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77 dan Pasal 194.
-
1. Pasal 75 UU Kesehatan berisi larangan tentang aborsi kecuali dengan indikasi medis dan korban pemerkosaan yang menyebabkan trauma psikologi, serta wajib melakukan pra konseling dan pasca konseling tindakan oleh konselor.
-
2. Pasal 76 UU Kesehatan menjelaskan lebih lanjut ketentuan pada Pasal 75, bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang ditetapkan oleh menteri, dengan
persetujuan ibu hamil yang bersangkutan, dengan izin suami, kecuali korban perkosaan dan di tempat pelayanan kesehatan yang telah di tentukan.
-
3. Pasal 77 UU Kesehatan menjelaskan bahwa Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan dalam UU Kesehatan tentang aborsi diatur lebih lanjut dalam PP Kespro Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37 yang isinya sebagai berikut :
-
1. Pasa Pasal 31 PP Kespro mengatur lebih lanjut aturan Pasal 75 dan 76 UU
Kesehatan dengan memberikan batasan usia kehamilan yaitu paling lama 40 hari setelah hari terakhir haid.
-
2. Pasal 33 berisi tentang penentuan indikasi medis yang dilakukan oleh minimal 2 dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan, dilakukan sesuai standar dan membuat surat kelayakan aborsi.
-
3. Pasal 34 menjelaskan kehamilan akibat pemerkosaan dan pembuktian adanya pemerkosaan.
-
4. Pasal 35 PP Kespro berisi ketentuan bahwa aborsi harus dilakukan secara aman, bermutu dan bertanggungjawab yang dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar, dilakukan di klinik atau fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat dari Menteri Kesehatan, permintaan dan persetujuan wanita yang hamil, tidak diskriminatif serta tidak berkaitan dengan materi.
PP Kespro bertujuan memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum, serta penjelasan lebih lanjut dari UU Kesehatan. 13Praktik aborsi dapat dilakukan dengan aman, bermutu dan bertanggungjawab sebagaimana disebutkan dalam PP Kesehatan Reproduksi bahwa tindakan aborsi harus dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar, dilakukan di klinik atau fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat dari Menteri Kesehatan, permintaan dan persetujuan wanita yang hamil, tidak diskriminatif serta tidak berkaitan dengan materi. 14
UU Perlindungan Anak juga melarang tindakan aborsi yang terdapat pada Pasal 45A UU Perlindungan Anak:
“Setiap Orang dilarang melakukan aborsi terhadap Anak yang masih dalam kandungan, kecuali dengan alasan dan tata cara yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Tindakan aborsi jika dilihat secara umum merupakan perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun UU Kesehatan dan PP Kesehatan Reproduksi memberikan peluang pelegalan aborsi dapat dilakukan karena adanya indikasi kedaruratan medis dan akibat pemerkosaan dengan memenuhi beberapa syarat di dalamnya. 15Kemudian timbul persoalan bagaimana jika korban pemerkosaan adalah anak dibawah umur dan kemudian melakukan aborsi? apakah anak korban tersebut akan dikenai pemidanaan sesuai peraturan yang ada. Penyelesaian perkara anak dibawah umur tidak dapat dipersamakan dengan orang
yang sudah dewasa karena anak memiliki kondisi mental dan fisik dengan orang dewasa. Anak korban pemerkosaan yang melakukan aborsi berada dalam dua situasi, yaitu sebagai korban pemerkosaan dan juga pelaku aborsi. 16
Anak yang melakukan tindak pidana aborsi dapat dikualifikasikan sebagai anak yang berhadapan dengan hukum karena sudah melakukan aborsi yang merupakan kejahatan. Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) wajib dilindungi hak-haknya berdasarkan dan mengutamakan kepentingan bagi anak berdasarkan UU Perlindungan anak dan UU system Peradilan Pidana Anak (UU SPPA)17 Pasal 64 UU Perlindungan Anak
Perlindungan Khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui:
-
a. perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
-
b. pemisahan dari orang dewasa;
-
c. pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
-
d. pemberlakuan kegiatan rekreasional;
-
e. pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya;
-
f. penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup;
-
g. penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
-
h. pemberian keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
-
i. penghindaran dari publikasi atas identitasnya.
-
j. pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;
-
k. pemberian advokasi sosial;
-
l. pemberian kehidupan pribadi;
-
m. pemberian aksesibilitas, terutama bagi Anak Penyandang Disabilitas;
-
n. pemberian pendidikan;
-
o. pemberian pelayanan kesehatan; dan
-
p. pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 2 UU SPPA
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
-
a. pelindungan;
-
b. keadilan;
-
c. nondiskriminasi;
-
d. kepentingan terbaik bagi Anak;
-
e. penghargaan terhadap pendapat Anak;
-
f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
-
g. pembinaan dan pembimbingan Anak;
-
h. proporsional;
-
i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
-
j. penghindaran pembalasan.
Pasal 3 UU SPPA
setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:
-
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
-
b. dipisahkan dari orang dewasa;
-
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
-
d. melakukan kegiatan rekreasional;
-
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
-
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
-
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
-
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
-
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
-
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;
-
k. memperoleh advokasi sosial;
-
l. memperoleh kehidupan pribadi;
-
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
-
n. memperoleh pendidikan;
-
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
-
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
-
(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.
-
(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
b.persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan
-
c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
-
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.
Perbuatan aborsi secara umum adalah perbuatan yang dilarang karena tidak sesuai dengan norma agama, kesusilaan, social dan hukum yang berlaku. KUHP secara tegas melarang perbuatan aborsi dengan alasan apapun. Perlindungan hukum yang diberikan terhadap perempuan yang melakukan aborsi merupakan salah satu hak dari korban hal itu terdapat dalam isi Pasal 72 UU Kesehatan bahwa setiap orang berhak menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi dan paksaan. Anak yang terdapat dalam tubuh perempuan merupakan bagian dari tubuhnya sehingga perempuan korban pemerkosaan berhak untuk memutuskan. UU Kesehatan dan PP Kespro menjelaskan bahwa tindakan aborsi dapat dilakukan karena alasan indikasi kedaruratan medis yang mengancam ibu dan bayi jika dilahirkan dan
korban pemerkosaan dengan memberikan batas usia kehamilan, yaitu 40 hari atau 6 minggu dari haid terakhir. UU Kesehatan dan PP Kespro juga mengatur syarat aborsi yaitu melalui konseling pra tindakan dan konseling pasca tindakan yang dilakukan konselor yang kompeten dan berwenang. Adapun kehamilan akibat pemerkosaan harus dapat dibuktikan baik secara medis maupun secara hukum. Untuk membuktikan, korban perkosaan harus menyertakan surat keterangan dokter, keterangan penyidik kepolisian, psikolog dan ahli kejiwaan tentang adanya tindakan pemerkosaan. PP Kespro menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan secara kasuistik, bukan karena alasan tabu, malu, melainkan dapat dilakukannya aborsi akibat tindakan pemerkosaan disertai dengan berbagai macam persyaratan.
Syarat-syarat yang diberikan oleh UU Kesehatan dan PP Kespro dapat menjadi batu sandung dalam memberikan keadilan dan perlindungan bagi korban pemerkosaan. Korban pemerkosaan yang merupakan anak dibawah umur akan mengalami trauma yang membuatnya takut untuk melaporkan dan menceritakan kembali kejadian perkosaan yang dia alami sehingga anak yang menjadi korban pemerkosaan membutuhkan waktu untuk mengakui bahwa dia adalah korban pemerkosaan. Batas waktu 40 hari atau 6 minggu menjadi titik lemah perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan. Pelarangan aborsi dalam undang-undang secara umum menggunakan subjek perempuan dan tidak mengatur secara khusus jika pelaku aborsi adalah seorang anak dibawah umur atau anak dibawah umur yang merupakan korban pemerkosaan. Pelaku aborsi dengan alasan apapun akan dianggap sebagai perempuan yang sudah dewasa dan akan dijatuhkan pidana seperti orang dewasa jika melihat undang-undang yang ada, sedangkan anak dibawah umur dan orang yang sudah dewasa tidak dapat dipersamakan dari segi mental dan fisik, sehingga anak korban pemerkosaan yang melakukan aborsi kemudiaan selanjutnya disebut dengan anak yang berhadapan dengan hukum hanya memiliki perlindungan berdasarkan UU Perlindungan Anak. Dalam keadaan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa belum ada aturan hukum yang secara jelas dan tegas memihak kepada anak sebagai korban pemerkosaan, karena belum adanya harmonisasi antara UU Kesehatan, PP Kespro dan KUHP yang berisi tentang pembelaan yang melindungi anak korban pemerkosaan.
-
3.2. Pengaturan Hukum Perlindungan Anak Korban Pemerkosaan Yang Melakukan Tindakan Aborsi Dimasa Yang Akan Datang (Ius Constituendum)
Perihal kejahatan seksual yang terjadi dan tindakan aborsi masih menjadi kajian menarik dalam memberikan keadilan hukum. Lika liku perjalanan tentang legalisasi aborsi dalam beberapa kasus belum dapat dikatakan mencapai final, pembahasan tentang legalisasi aborsi selalu menjadi bahasan yang sangat hangat dari waktu ke waktu.Perlu diketahui bahwa pada kasus tindak pidana pemerkosaan, pihak korban biasanya terabaikan dari jangkauan hukum, hal ini tercermin dalam beberapa kasus yang dimana korbanya adalah perempuan yang tidak terselesaikan secara adil dan memuaskan.18 Adanya UU Kesehatan dan PP Kespro yang memberikan peluang pelegalan aborsi nyatanya belum dapat melindungi korban pemerkosaan sebagai pelaku aborsi terbebas dari ancaman pemidanaan, kemudian KUHP juga belum merumuskan di dalamnya bagaimana jika pelaku pengguguran kandungan adalah anak dibawah umur yang merupakan korban pemerkosaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa belum adanya aturan hukum yang secara tegas dan jelas berisi
pembelaan yang melindungi anak sebagai korban perkosaan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum terhadap anak sebagai korban perkosaan.
UU Kesehatan yang menyebutkan batas kehamilan yaitu 6 minggu, kemudian dalam PP Kespro diatur lebih lanjut dengan menyebutkan batas kehamilan adalah 40 hari sejak hari terakhir haid. Ketentuan tersebut dapat menjadi batu sandung penegakan keadilan terhadap korban pemerkosaan. Batas waktu 40 hari atau 6 minggu dapat dikatakan sebagai waktu yang sangat singkat, sebagai perbandingan dengan Negara lain yang melegalkan aborsi dan menetapkan batas waktu kehamilan diatas 6 minggu, beberapa diantaranya yaitu Singapura, Aborsi dapat dilakukan selama usia kehamilan belum mencapai 24 minggu dan kebanyakan dokter memilih untuk tidak melakukan aborsi pada saat kandungan sudah mencapai usia 23 minggu; Vietnam juga melegalkan aborsi selama dilakukan oleh tenaga medis professional. Hal ini berkaitan dengan kebijakan dari pemerintah yang membatasi setiap pasangan hanya memiliki dua anak.
Berdasarkan National Standards and Guidelines (NSGs) for Reproductive Health Service, aborsi di Vietnam boleh dilakukan sampai usia kehamilan 22 minggu; Prancis melegalkan aborsi apabila dilakukan hingga minggu ke-10 kehamilan; Rusia mengatakan bahwa aborsi legal dilakukan sampai usia kehamilan 12 minggu dan harus dilakukan oleh dokter yang berlisensi; Swedia termasuk salah satu Negara yang paling vocal mendukung hak untuk melakukan aborsi. Aborsi boleh dilakukan hingga minggu ke 18; Situs Pemerintahan Kerajaan Belanda mengatakan bahwa aborsi boleh dilakukan hingga minggu ke-24; Irlandia mengizinkan ibu yang hamil akibat perkosaan karena dianggap mengancam kesehatan mental serta memungkinkan ibu hamil melakukan tindakan bunuh diri. Irlandia memberikan kebebasan tanpa syarat untuk aborsi dengan batas usia kehamilan masih 12 minggu; India telah melegalkan aborsi sejak tahun 1971, umumnya aborsi dapat dilakukan jika usia kandungan tidak lebih dari 20 minggu karena alasan janin yang telah sekarat atau aborsi akibat perkosaan; Turki telah melegalkan aborsi sejak tahun 1983 dengan memberikan usia kandungan maksimal 10 minggu; Italia merupakan salah satu Negara di eropa yang melegalkan aborsi sejak tahun 1978 dengan batas usia kandungan maksimum 90 hari; Afrika Selatan juga melegalkan aborsi sejak 1997 dengan syarat usia kandungan 13 minggu.
Negara-negara lain di dunia sudah banyak yang melegalkan aborsi dengan syarat usia kehamilan paling sebentar adalah 90 hari dan paling lama adalah 26 minggu, sehingga apabila dicermati, dalam UU. No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU. No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang memberikan batas usia kehamilan adalah 40 hari merupakan batas yang terlalu pendek untuk memenuhi syarat pelegalan aborsi yang di tentukan UU Kesehatan dan PP Kespro, dalam proses pembuktian adanya indikasi kehamilan akibat pemerkosaan perlu adanya visum dan pemeriksaan usia kehamilan serta harus melakukan konseling pra tindakan, syarat-syarat tersebut cukup memakan waktu, sedangkan rata-rata korban baru mengetahui kehamilannya setelah minggu kedelapan atau kesembilan. Hal yang melatar belakangi keterlambatan anak yang menjadi korban pemerkosaan mengetahui usia kehamilannya adalah kondisi psikis korban yang membutuhkan waktu untuk melaporkan kepada pihak berwajib dan mengakui bahwa dia adalah seorang korban pemerkosaan. Tidak semua anak korban perkosaan berani untuk melaporkan bahwa dirinya telah hamil atau telah menjadi korban perkosaan, perasaan takut, malu, trauma dan cemas berlebihan yang melatar belakangi keterlambatan untuk melapor.
Dalam kasus anak korban pemerkosaan yang melakukan aborsi dapat dikatakan tidak terdapat suatu Pasal (kekosongan hukum) yang dapat dijadikan rujukan untuk melindungi secara utuh anak korban pemerkosaan saat melakukan tindakan aborsi. Lantaran, tindakan aborsi yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 76 UU Kesehatan, masih membuka kemungkinan anak korban pemerkosaan dikenakan pemidanaan berdasarkan Pasal 194 UU Kesehatan. Singkatnya, tidak ada alasan pembenar bagi anak korban pemerkosaan yang melakukan tindakan aborsi yang tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh Pasal 76 UU Kesehatan. Padahal, disisi lain melalui UU Perlindungan Anak, secara tegas Pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Anak menentukan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak. Ada berbagai alasan yang dapat dikaji menjadi alasan bahwa perlu adanya perlindungan khusus yang memihak dan membela anak sebagai korban perkosaan yang melakukan aborsi.
Anak dibawah umur korban pemerkosaan yang kemudian mengalami kehamilan memiliki kondisi fisik dan psikis berbeda dengan perempuan dewasa.19 Secara fisik anak dibawah umur yang mengalami kehamilan yang ditimbulkan akibat tindak pidana perkosaan memiliki resiko kehamilan yang tinggi karena keadaan Rahim yang belum waktunya atau belum mampu untuk dibuahi dan mengandung sehingga beresiko mengalami perdarahan dan keguguran, berbeda dengan keadaan perempuan dewasa yang memiliki keadaan fisik yang sudah matang serta keadaan rahim yang sudah siap dan kuat untuk dibuahi dan mengandung. Secara psikis anak dibawah umur akan mengalami trauma 2 kali lipat lebih berat dari perempuan dewasa, keadaan tersebut akan memicu seorang anak sebagai korban pemerkosaan untuk mengakhiri kehamilannya atau bahkan mengakhiri hidupnya.
Survei Pusat Unggulan Asuhan Terpadu Kesehatan Ibu dan Bayi tahun 2013 yang dikutip dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperkirakan bahwa tiap tahun ada sekitar 50.000 remaja perempuan meninggal pada masa kehamilan dan saat proses kehamilan, bayi dari seorang ibu dibawah usia 18 tahun, 60 persen meninggal dibawah usia satu tahun diseluruh dunia terutama di negara berkembang. Semakin muda remaja perempuan mengalami kehamilan maka makin beresiko bagi dirinya saat persalinan. Dampak lain dari hamil di usia dini yaitu risiko kelainan pada bayi, tekanan darah tinggi dan bayi lahir prematur, bayi lahir dengan berat badan dibawah normal, penyakit menular seksual, depresi pasca melahirkan.20
Keadaan sosial dan psikis anak dibawah umur tidak dapat diabaikan begitu saja, sehingga perlu adanya aturan hukum yang dapat melindungi dan membela anak sebagai korban perkosaan yang melakukan aborsi. Pasal 49 KUHP memberikan peluang anak sebagai korban perkosaan yang melakukan aborsi untuk tidak dijatuhkan pidana sebagai alasan pemaaf. Pasal 49 KUHP bunyinya :
(1)Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta
benda sendiri maupun oraang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2)Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Andi Hamzah dalam bukunya memberikan pendapatnya mengenai isi Pasal 49 KUHP ayat (2) yaitu pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwear exces), pembuat melampaui batas yaitu karena keguncangan jiwa yang hebat. Oleh karena itu maka perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum, hanya orangnya yang tidak dipidana karena guncangan jiwa yang hebat, lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf.
Pada kasus korban pemerkosaan yang melakukan aborsi, dalam keadaan ini dapat dipersamakan dengan Pasal 49 ayat (2) yaitu pembelaan terpaksa yang melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat. Anak sebagai korban perkosaan akan mengalami trauma psikologis, tidak mampu berkehendak bebas dalam kehidupan karena adanya ketakutan di singkirkan dari kehidupan sosialnya sehingga melakukan upaya pembelaan terpaksa yang melampaui batas dan mendorong dirinya pada tindakan aborsi. Korban pemerkosaan yang merupakan anak dibawah umur sesungguhnya tiada pidana yang dapat dijatuhan kepadanya. Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman terhadap Hak-hak manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.21
Sangat ironis, ketika seorang anak dibawah umur yang merupakan korban pemerkosaan, yang mengalami trauma psikologis yang berat, dimana negara diwajiban untuk memberikan perlindungan hukum dan perlakuan khusus terhadap anak tersebut berdasarkan UU Perlindungan anak, pada saat yang bersamaan harus menghukum anak tersebut karena melakukan tindakan aborsi yang secara legal formal tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan Pasal 76 UU Kesehatan. Hal itu karena belum adanya pengaturan khusus yang dapat memberi keadilan bagi anak sebagai korban perkosaan yang melakukan aborsi, untuk itu maka pemerintah perlu membuat aturan khusus yang isinya mengatur bagaimana jika korban perkosaan sekaligus pelaku aborsi adalah anak dibawah umur, banyak hal yang perlu dikaji berdasarkan UU Perlindungan anak dan dampak secara fisik, psikis, dan sosial bagi anak.
Sebagai generasi penerus bangsa, kendatipun seorang anak melakukan tindakan tercela in case suatu tindak pidana, hal tersebut tidak menghapuskan tanggungjawab negara dalam melakukan perlindungan dan perawatan khusus terhadap anak.22 Bahkan di tingkat Internasional, untuk mencegah adanya dampak negatif dari proses peradilan yang formal terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) sudah merilis suatu patokan/pedoman sebagai ikhtiar untuk mencegah/menghindari adanya dampak negatif tersebut yaitu, dengan cara memberikan ruang/otoritas kepada aparatur penegak hukum agar dapat mengambil tindakan-tindakan tertentu dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum (pidana) yang dilakukan oleh anak, seperti tindakan untuk tidak mengambil jalan formal dalam penyelesaian perkara anak, menghentikan atau tidak meneruskan perkara anak, menyerahkan anak
kepada masyarakat untuk menjalankan suatu kegiatan misalnya kegiatan pelayanan sosial.
4.Penutup
-
4.1. Kesimpulan
-
1. Di Indonesia saat ini sudah terdapat aturan yang melegalkan aborsi yang terdapat pada UU Kesehatan dan PP Kespro yang melegalkan karena adanya indikasi kedaruratan medis dan akibat korban pemerkosaan, namun UU Kesehatan dan PP Kespro memberikan batasan usia yang dapat menjadi batu sandung dalam memberikan perlindungan terhadap korban pemerkosaan. Dalam kasus anak di bawah umur korban pemerkosaan yang melakukan aborsi, KUHP, UU Kesehatan dan PP Kespro, tidak terdapat suatu aturan (kekosongan hukum) yang dapat dijadikan rujukan untuk membela dan melindungi secara utuh anak korban pemerkosaan saat melakukan tindakan aborsi.
-
2. Terdapat kekosongan hukum dalam KUHP, UU Kesehatan, UU Perlindungan Anak dan PP Kespro, yang secara tegas memberikan jaminan bahwa anak korban pemerkosaan yang melakukan tindakan aborsi tidak akan dikenakan pemidanaan, saat tindakan aborsi tersebut dilakukan tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 76 UU Kesehatan. Padahal jaminan tersebut sangat penting, sebagai pembeda antara pemidanaan orang dewasa dan anak-anak, dimana anak merupakan generasi penerus bangsa yang patut diberikan perlakuan khusus dalam penegakan hukum. Syarat usia kehamilan yang terdapat dalam UU Kesehatan dan PP kespro merupakan batas waktu yang sangat sebentar jika dibandingkan dengan batas usia maksimum yang ada diluar negeri memberikan batas waktu paling sebentar adalah 90 hari dan maksimum paling lama adalah 26 minggu.
-
4.2. .Saran
-
1. Pemerintah sebaiknya merumuskan secara jelas mengenai praktik aborsi oleh korban pemerkosaan yang terdapat dalam KUHP, UU Kesehatan dan PP Kespro agar menjadi instrument hukum yang harmonis agar dapat memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat yang ingin melakukan aborsi jika masyarakat tersebut merupakan korban dari tindak pidana pemerkosaan.
-
2. Pemerintah sebaiknya membahas lebih lanjut mengenai praktik aborsi terhadap korban pemerkosaan dalam peraturan pemerintah atau dalam RUU KUHP sebagai pelaksana dari UU No. 36 Tahun 2009 yang mengatur aborsi terhadap wanita korban pemerkosaan dan bagaimana jika korban pemerkosaan sekaligus pelaku aborsi merupakan anak dibawah umur. Pemerintah juga diharapkan mempertimbangkan lebih lanjut mengenai batas usia kehamilan dengan melihat pada standar usia kehamilan paling lama yang terdapat di beberapa Negara lain di dunia yang juga melegalkan praktik aborsi seperti Singapura, Vietnam, Amerika dan India. Hal ini untuk memperjelas aborsi terhadap korban tindak pidana pemerkosaan agar praktik aborsi benar-benar dilakukan oleh korban pemerkosaan bukan untuk mempermudah praktik aborsi karena alasan diluar peraturan perundang-undangan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ekotama, suryono, Harum Pudjiarta dan Widiartana. Abortus Provocatus, Bagi KorbanPerkosaan Perspektif: Viktimologi dan Widiartana, (Yogyakarta, Universitas Atmajaya
Yogyakarta,2010), 104
Marlina. Peradilan Pidana Anak di Indonesia : Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice (Bandung, Refika Aditama, 2012), 42.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000), 69.
Yuliatiningsih, Erwin. Kebutuhan Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Tindak Pidana Perkosaan di
Indonesia (Bandung, Rajawali, 2013), 18
JURNAL
Afifah,W. “Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Perkosaan Yang Melakukan Aborsi”. Jurnal Ilmu Hukum 9, No. 18 (2013) : 93-109
Budiarta, I., & Parwata, I. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan Selaku Korban Kejahatan Seksual”. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 8, No. 6 (2019): 1-15.
Hardiyanti, H., & Markeling, I. “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Aborsi Dibawah Umur Akibat Perkosaan”. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 7, No. 3 (2018): 1-13
Lestari, Rinna Dwi. “Perlindungan Hukum Perempuan Pelaku Aborsi Dari Korban Perkosaan Terhadap Ancaman Tindak Pidana Aborsi”. Jurnal Program Studi Hukum Program Magister Universitas 17 Agustus 1945 Semarang Indonesia 1, No. 1 (2020) : 1-22
Lule, Meriska. "Kajian Yuridis Tentang Pemidanaan Terhadap Perempuan Dibawah Umur
Yang Melakukan Aborsi Terhadap Bayi Hasil Perkosaan Menurut KUHP". Lex Crimen 8, No. 3 (2019): 106-113
Marlina, I., Ariawan, I., & Wirasila, A. “Perlindungan Hukum Bagi Anak Sebagai Korban Kejahatan Seksual”. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 7, No. 5 (2018): 1-13
Mordekai, Ronald. "Tinjauan Yuridis Pengecualian Aborsi Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan." Legal Opinion: Jurnal Ilmu Hukum 5, no. 1 (2017): 1-19
Oktafian, I., & Ariawan, I. “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Pencabulan Yang Disertai Kekerasan(Penelitian di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Tabanan)”. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 8, No. 6 (2019): 1-14.
Putra, A., & Ariawan, I. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Studi Kasus Di Polda Bali)”. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 7, No. 2 (2018): 1-12
Putra, K., & Subawa, I. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia”. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 7, No. 3 (2018) : 1-6
Sania, G., & Utari, A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pemerkosaan”. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 8, No. 8 (2019): 1-15
Solehuddin, Solehuddin. "Pelaksanaan Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Anak yang Bekerja di Bidang Konstruksi (Studi di Proyek Pembangunan CV. Karya Sejati Kabupaten Sampang)." Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum 1, No. 2 (2013): 1-24
Susanti, Y. “Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Tindak Pidana Aborsi (Abortus Provocatus) Korban Perkosaan”. Syiar Hukum 14, No. 2 (2012): 79-93
Suwandewi, N., & Nurmawati, M. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum”. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 7, No. 4 (2018): 1-15
Wiweka, G., Jaya, I., & Suardana, I. “Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Berdasarkan Hukum Adat Bali Di Desa Sudaji Kecamatan Sawan Buleleng”. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum8, No. 7 (2019): 1-15
Website
Adrian, Kevin.(2017) “Hamil di Usia Muda Akibat Hubungan Intim Dini”, Retrieved from https://www.alodokter.com/hamil-muda-akibat-hubungan-intim-dini (diakses tanggal 29 juli 2019)
Liputan 6. (2018). Alasan Jaksa Tetap Tuntut Anak Korban Pemerkosaan di Jambi Dihukum Bui. Available from https://m.liputan6.com/regional/read/3607430/alasan-jaksa-tetap-tuntut-anak-korban-pemerkosaan-di-jambi-dihukum-bui, (diakses 28 Februari 2019)
Setyawan, D. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan Perkosaan Dalam Pemberitaan Media Massa. Available from
https://www.kpai.go.id/artikel/perlindungan-hukum-terhadap-anak-korban-kejahatan-perkosaan-dalam-pemberitaan-media-massa. (Diakses 25 juli 2019)
Jurnal Kertha Wicara Vol…, hlm. xxx-xxx
Discussion and feedback