PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI WILAYAH

HUKUM PENGADILAN NEGERI DENPASAR

Putu Vani Anidya Pramesti, email: vanianidya@gmail.com, Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali

I Ketut Rai Setiabudhi, email: , raisetiabudhi_fhunud@yahoo.com Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara yang sadar akan pentingnya memberikan perlindungan terhadap anak. Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 16 sampai 18 menyatakan bahwa seorang anak yang kebebasannya dirampas sesuai dengan hukum yang berlaku, berhak mendapat upaya hukum yang layak sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu pemidanaan terhadap anak pada masa kini diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak sebagai integral dan kesejahteraan sosial yang kemudian diatur dalam sistem peradilan khusus yang disebut Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Lahirnya UU SPPA memberikan perlindungan hukum terhadap anak dengan menghadirkan konsep diversi dan keadilan restorative. Tetapi masih banyak penyelesaian kasus tanpa ada yang melalui upaya diversi salah satunya mengenai kasus narkotika anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar, sehingga diperlukan adanya kajian penegakan hukum terhadap anak yang menyalahgunakan narkotika. Adapun metode yang penulis gunakan adalah metode penelitian hukum empiris dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen dan wawancara. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa proses penegakan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar belum dapat dikatakan berjalan efektif dengan tujuan UU SPPA karena beberapa faktor seperti adanya perbedaan perspektif aparat hukum, kurangnya tenaga fasilitator, dan keterbatasan sarana prasarana.

Kata kunci : Narkotika, Penegakan Hukum, Perlindungan Hukum

ABSTRACT

Indonesia is a country that is aware of the importance of providing protection for children. Regulation Number (No). 35 of 2014 on Child Protection in article 16 until 18 states that: “seorang anak yang kebebasannya dirampas sesuai dengan hukum yang berlaku, berhak mendapat upaya hukum yang layak sesuai dengan hukum yang berlaku.” Hence, criminalization of children in this era is directed to realize the welfare of children and to prioritize the best interest of the child as an integral and social welfare that would be arranged in a special justice system called Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). SPPA act provides legal protection for children by presenting the concept of diversion and restorative justice. But there are still many cases to be solved without one through diversion, one of them is the case of child narcotics in The District Court of Denpasar, so it is necessary to have a law enforcement study of children who abuse narcotics. There is method that is applied in this thesis: empirical legal research method with techniques of qualitative data analysis. Documentation method by doing interviews is the method that is used in the technique of collecting data. Based on the research, it can be seen that the progress of law enforcement for the children who commit a crime acts of narcotics abuse in The District

Court of Denpasar is still not going well because due to several factors such as differences in the perspective of the legal apparatus, lack of facilitators, and limited infrastructure.

Keywords: Narcotics, Law Enforcements,Children Protection

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang yang berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus sebagai cerminan sikap hidup bangsa pada masa mendatang.1 Konstitusi Indonesia menyatakan anak memiliki peran sebagai generasi penerus bangsa yang akan melanjutkan perjuangan bangsa untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita sebagaimana terdapat dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) sehingga pentingnya sebuah perlindungan terhadap anak.

Indonesia merupakan negara yang sadar akan pentingnya perlindungan terhadap anak. Hal ini tercantum dalam Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 dan diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang memberikan perlindungan dan menjaga terjaminnya hak-hak yang harus didapatkan seorang anak. UU Perlindungan Anak juga menjamin bagaimana perlindungan terhadap seorang anak yang melakukan tindak pidana.2 Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum juga tetap dilindungi oleh negara dan diatur dalam sebuah sistem peradilan pidana yang bersifat khusus yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut SPPA).

Anak yang dimaksud dalam UU SPPA ini merupakan seorang anak yang berhadapan dengan hukum (selanjutnya disebut ABH).3 ABH dalam UU SPPA bukan hanya sebatas seorang anak yang melakukan kejahatan ataupun pelanggaran hukum (pelaku), melainkan juga sebagai korban dan saksi. UU SPPA menyatakan secara tidak langsung bahwa anak dianggap dapat bertanggungjawab atas perbuatan dan perkataanya dengan renta usia 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun. Namun dalam penanganannya tetap memiliki perlakuan khusus sebagai bentuk perlindungan terhap anak dan bentuk pemikiran bahwa undamg – undang telah memikirkan hal terbaik bagi anak.4

Dewasa ini banyak kasus penyalahgunaan narkotika, tidak oleh orang dewasa saja tetapi juga anak-anak. Dalam data Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali tahun 2016, keterlibatan anak sebagai penyalahguna narkotika menduduki peringkat IX (sembilan) dan VI (enam), dengan renta umur 0 (nol) hingga 15 (lima belas) tahun dan

16 (enam belas) hingga 20 (dua puluh) tahun. Tetapi dalam kasus ini masih didominasi oleh penyelesaian kasus anak dengan litigasi. Anak yang terlibat dalam penyalahgunaan narkotika tentunya tidak lahir dengan sendirinya, melainkan melalui proses pertimbangan dari organisasi - organisasi kejahatan atau sindikat peredaran narkotika.5 Sejalan dengan hal tersebut, anak yang menyalahgunakan narkotika tidak dapat dilihat hanya sebagai pelaku tindak pidana, tetapi juga harus dilihat sebagai korban karena pada hakikatnya bahwa penyalahgunaan narkotika dapat dikualifikasikan sebagai crime without victim.6 Kekaburan norma yang secara khusus mengatur perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika menyebabkan batasan antara pelaku dan korban sudah tidak lagi terlihat jelas. Hal ini menyebabkan hakim memiliki diskresi atau pandangan tersendiri untuk menjatuhkan pidana. Konsep diversi dalam UU SPPA merupakan sebuah proses pembaharuan hukum pidana anak, yang mana diversi merupakan pengalihan proses peradilan biasa (litigasi) ke proses di luar peradilan pidana (non litigasi).7 Upaya diversi wajib dilakukan disetiap proses peradilan pidana anak, baik dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka sidang. Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak untuk menindaklanjuti pelaksanaan diversi tersebut.8

Penerapan Peraturan Mahkamah Agung atau Perma ini sudah dilakukan oleh beberapa hakim di Pengadilan Negeri Denpasar. Tetapi berdasarkan data Pengadilan Negeri Denpasar terdapat belum optimalnya pelaksanaan diversi. Hal ini dapat dilihat pada tahun 2018 terdapat 24 kasus narkotika anak dan semuanya menempuh jalur ligitimasi dan terhitung sejak 2014 sampai 2018 dari 47 perkara hanya 6 yang melewati jalur diversi atau non ligitimasi. Sehingga dapat dilihat ketidakoptimalan jalannya diversi mengingat SPPA yang sudah diatur oleh Perma Pedoman Pelaksanaan Diversi.

Berdasarkan hal tersebut diperlukan adanya kajian penegakan hukum terhadap anak yang menyalahgunakan narkotika serta diperlukan pembahasan yang lebih jauh sehingga penulis tertarik untuk mengadakan sebuah penelitian dengan judul “Penegakan Hukum bagi Anak yang Melakukan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar.

  • 1.2    Permasalahan

  • 1.    Bagaimanakah proses penegakan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar?

  • 2.    Apa yang menjadi faktor penghambat dan pendukung penegakan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Denpasar?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

    1.3.1    Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penulisan jurnal ini yaitu dalam rangka pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang dalam hal ini mengkhususkan di bidang penelitian ilmu pengetahuan yang menekankan bidang ilmu hukum pidana. Adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu hukum pidana tentang penegakan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Denpasar.

  • 1.3.2    Tujuan Khusus

  • 1.    Untuk mengetahui proses penegakan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar.

  • 2.    Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat dan mendukung proses penegakan hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar.

  • 1.4    State of The Art

Adapun penelitian yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini yaitu sebagai berikut:

JUDUL

PENULIS

TAHUN

RUMUSAN MASALAH

1. Tinjauan    Yuridis

Tindak     Pidana

Penyalahgunaan Narkotika     Oleh

Anak (Study Kasus Putusan       No.

Nomor:96/Pid.Sus Anak           /

2017/PN.Mks).

Andi   Dipo

Alam      (

Skripsi Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar)

2017

  • 1.    Bagaimanakah  penerapan

hukum   pidana   materiil

terhadap   anak   sebagai

pelaku    penyalahgunaan

narkotika      berdasarkan

Putusan              No.

96/Pid.Sus.anak/2017/PN. MKS ?

  • 2.    Apa pertimbangan hukum oleh majelis hakim dalam tindak pidana terhadap anak sebagai              pelaku

penyalahgunaan   narkotika

berdasarkan  Putusan  No.

96/Pid.

Sus.anak/2017/PN.MKS ?

2. Sanksi     Hukum

Terhadap Penyalahgunaan Narkotika     Oleh

Anak    Dibawah

Umur (Studi Kasus Putusan

No.24/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Sun gguminasa)

Haidir     Ali

(Skripsi Fakultas

Syariah   dan

Hukum

Universitas UIN Allauddin, Makasar)

2017

  • 1.    Bagaimana ketentuan sanksi terhadap anak di bawah umur              yang

menyalahgunakan narkotika pada kasus Putusan No. 24/Pid.Sus-Anak/2015/PN Sungguminasa ?

  • 2.    Bagaimanakah peran hakim dalam membuktikan anak dibawah    umur    yang

menyalahgunakan narkotika

pada kasus Putusan No. 24/Pid.Sus- Anak/2015/PN. Sungguminasa ?

3. Apakah penerapan sanksi yang diberikan oleh hakim terhadap    anak    yang

menyalahgunakan narkotika pada    kasus    Putusan

No.24/Pid.Sus-

anak/2015/PN.Sungguminas a?

3. Penjatuhan  Sanksi

Pidana   Terhadap

Anak       yang

Melakukan Tindak Pidana   Narkotika

(Studi   Kasus   di

Pengadilan Negeri Denpasar)

Ida     Ayu

Agung Puspa Dewi (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali )

2015

  • 1.    Apakah dalam penjatuhan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana narkotika  sesuai  dengan

Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 ?

  • 2.    Apakah dasar pertimbangan hakim menunjukan pidana terhadap    anak   dalam

perkara   tindak   pidana

narkotika   di   Pengadilan

Negeri ?

4. Tinjauan    Yuridis

Terhadapa Pemidanaan Dalam Kasus Anak Sebagai Penyalahguna Narkotika (Analisis Putusan       No.

15/PID.SUS.ANAK /2016/PN Dps)

Ni    Made

Kusuma Wardhani (Skripsi Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Bali )

2018

  • 1.    Bagaimana aspek perlindungan hukum  dalam  Undang  –

Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ?

  • 2.    Bagaimanakah pengimplementasian    ide

perlindungan      hukum

terhadap   anak   korban

penyalahgunaan  narkotika

dalam    Putusan    No.

15/PID.SUS.ANAK/2016/P N.Dps ?

Penelitan ini mengkaji permasalahan bagaimana langkah – langkah penegakan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di wilayah hukum Pengadilan Denpasar, yang meliputi penelitian dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Denpasar. Permasalahan kedua mengkaji faktor – faktor apasaja yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap anak di setiap lembaga penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Denpasar).

  • II.    Metode Penelitian 2.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan metode penelitian dengan jenis penelitian yuridis empiris yaitu suatu penelitian hukum yang mengkaji hukum yang ada dalam tataran norma (das solen) dengan kenyataan atau fakta-fakta yang terjadi di lapangan (das sein).9

  • 2.2    Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan kasus (The Case Approach) dengan menelaah kasus-kasus penyalahgunaan narkotika oleh anak, pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dengan menganalisa peraturan atau norma-norma yang mengatur isu hukum terkait, dan pendekatan fakta (The Fact Approach) dengan menganalisa kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat dan didapat dari data-data terkait dengan isu hukum tersebut.10

  • 2.3    Analisis

Data yang didapat oleh penulis di analisis dengan kualitatif dan disusun secara sistematis. Penulis menghubungkan data yang diperoleh dengan yang lainnya, kemudian dilakukan interprestasi untuk memahami makna data, dan dilakukan penafsiran sehingga data dapat disusun secara sistematis.

  • III.    Hasil dan Analisis

  • 3.1.1    Proses Penegakan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana

Penyalahgunaan Narkotika Di Pengadilan Negeri Denpasar

Kejahatan pada nyatanya tidak hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa, tidak menutup kemungkinan bahwa kejahatan dapat dilakukan oleh anak-anak karena beberapa faktor seperti lingkungan anak tersebut berada. Pengertian anak merupakan hal penting bagi penegakan hukum pidana anak karena berkaitan dengan rumusan usia seorang anak yang dianggap mampu mempertanggung jawabkan sebuah tindak pidana.11 Indonesia sebagai negara hukum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang batasan usia seorang anak.12

Penyelesaian perkara bagi anak memiliki sebuah perbedaan karena adanya hak-hak yang dimiliki oleh anak. Untuk menjaga hak – hak istimewa dan tegaknya peraturan pidana, pemerintah Indonesia membentuk suatu kebijakan hukum untuk melindungi sekaligus mengadili perkara pidana anak. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan kebijakan yang menggunakan konsep keadilan restoratif yang mana penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan, pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Sehingga menjadi suatu hal

yang wajib untuk anak mendapatkan sebuah diversi atau non litigasi dalam perkaranya. Untuk itu terdapat beberapa tahap-tahap pelaksanaan sistem peradilan pidana anak.13 :

  • 1.    Tahap Penyidikan dan Diversi oleh Polisi

  • 2.    Tahap Penuntutan dan Diversi oleh Penuntut Umum

  • 3.    Tahap Persidangan dan Diversi di Pengadilan Negeri

Berkaitan dengan penanganan anak yang menjadi pecandu/penyalahguna narkotika, secara undang-undang anak dapat diupayakan diversi, karena pada dasarnya hukuman yang tertera pada Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika kurang dari 7 tahun penjara, dan pada Pasal 127 ayat (2) menyatakan bahwa hakim yang memutus perkara penyalahgunaan narkotika harus memperhatikan Pasal 54, 55 dan 103 yang mana pecandu narkotika haruslah menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.14 Perkara anak sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam prosesnya selalu melibatkan pihak-pihak Kepolisian, Kejaksaan, Balai Pemasyarakatan, dan Pengadilan sama seperti perkara pidana lainnya, namun penanganan tindak pidana penyalahgunaan narkotika memerlukan perhatian yang lebih khusus dibandingkan perkara tindak pidana lainnya.15 Berikut adalah tahapan yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar dalam menangani kasus anak yang menyalahgunakan narkotika:

  • 1.    Tahap Penyidikan dan Diversi oleh Polisi

Proses penyidikan oleh Kepolisian dapat dilakukan apabila terjadi mengaduan atau pelaporan dari masyarakat atau tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana. Berkas perkara anak akan diproses, apabila terdapat bukti barulah dilakukan sebuah penyidikan oleh polisi yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian. Perkara anak yang menyalahgunakan narkotika tidak dilakukan penahanan namun menjalani prosedur wajib lapor. Dilakukannya penahanan jika anak telah berumur 14 tahun atau lebih yang kemudian akan dilakukan proses asesmen oleh TAT (Tim Asesmen Terpadu).TAT merupakan tim yang memberikan rekomendasi kepada kepolisian dan hakim untuk dilakukan atau tidak dilakukan rehabilitasi terhadap seorang pelaku penyalahgunaan narkotika.16 Menurut hasil wawancara dengan bapak Putu Soni Kurniawan, S.Sos, kadi P2M BNN kota Denpasar menyatakan bahwa TAT tidaklah memiliki wewenang yang benar – benar harus dituruti seperti perintah memberhentikan penyidikan maupun memerintahkan anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika di rehabilitasi atau di diversi, semua bergantung pada Penyidik Utama. Untuk TAT saat ini belum dapat bekerja secara optimal, maka dari pada itu penyidik tidak memiliki bahan pertimbangan asesmen yang cukup dalam memutuskan perkara. Pada dasarnya penyidikan ini di ketuai oleh penyidik utama

yang memiliki dedikasi tentang masalah anak dan mengikuti pelatihan teknis tentang pradilan pidana anak, yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun dalam halnya belum terdapat penyidik yang memenuhi persyaratan tersebut, dapat dilakukan penyidikan oleh penyidik yang melakukan tugas untuk menyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Penyidikan dilakukan dengan wajib meminta pertimbangan dan saran dari pembimbing kemasyarakat, tenaga ahli, tokoh agama, pekerja sosial professional (peksos) atau tenaga kesejahteraan sosial (TKS) setelah tindak pidana dilaporkan.

Dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak korban dan saksi, wajib meminta laporan sosial dari Peksos atau TKS . Pihak Bapas ( Balai Pemasyarakatan) wajib menyerahkan laporan kemasyarakatan kepada penyidik paling lama 3 x 24 jam (3 hari) setelah penyidik memintanya. Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian kasus penyalahgunaan narkotika oleh anak berlangsung selama tiga kali 24 (dua pulu empat) jam dikali 2 (dua), kadang kalanya memerlukan waktu yang cukup lama karena beberapa kasus menyeret oknum aparat penegak hukum lainnya, atau sebelumnya memang telah terjerat kasus lain sehingga harus melakukan kerjasama antara aparat penegak hukum lainnya.

Penyidik wajib mengupayakan diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah mulainya penyidikan. Sebelum diversi dilaksanakan kepolisian mengirimkan surat undangan diversi ke orang tua/ wali, pengacara, Bapas, tokoh msyarakat, pihak pendamping, dan Lembaga Sosial lainnya. Pada proses diversi, penyidik menggunakan atribut kedinasan dikarenakan atribut tersebut merupakan seragam harian yang digunakan selama bekerja. Kordinasi antara pihak kejaksaan dilakukan dengan mengirimkan berkas ketika diversi dinyatakan gagal dan dilanjutkan di tahap penuntutan dengan menyerahkan BAP anak yang pembuatannya didampingi oleh orang tua/wali, pengacara dan pihak Bapas.

Apabila diversi berhasil mencapai kesepakatan penyidik menyampaikan berita acara diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapatkan penetapan. Hasil diversi yang mencapai kesepakatan dan telah mendapatkan penetapan oleh pengadilan dapat di serahkan kepada Bapas untuk mengawasi anak menjalankan hasil keputusan dari diversi, dan apabila memgharuskan dilakukannya rehabilitasi dan reintegrasi diserahkan kepada Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS). Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA).

Kasus penyalahgunaan narkotika memiliki keunikan, yang mana pelaku juga berlaku sebagai korban.17 Anak dengan kasus penyalahgunaan narkotika tidak dapat dikembalikan kepada orang tua apabila tidak memperoleh jaminan akan dilaksanakan rehabilitasi kesehatan secara rawat jalan ataupun rawat inap. Pelaksanaan eksekusi diversi di tahap penyidikan juga bergantung pada LPKS namun di Bali belum memiliki LPKS. Sehingga ini menjadi sebuah kesulitan bagi pihak kepolisian untuk memutuskan hasil diversi mana yang harus kepolisian sarankan kepada pelaku apabila mengadakan diversi demikian hasil wawancara dengan Bapak Mikael Hutabarat, S.H., S.ik., M.H, Kanit Narkoba Polresta Denpasar.

  • 2.    Tahap Penuntutan dan Diversi oleh Penuntut Umum

Penuntut Umum menerima tanggungjawab atas anak dan barang bukti dari penyidik dalam jangka waktu 7x24 (tujuh kali dua puluh empat) jam terhitung sejak penyerahan tanggungjawab atas anak dan barang bukti, Penuntut Umum akan menawarkan kepada anak dan/atau orang tua/wali untuk menyelesaikan perkara melalui diversi, sehingga menjadi sebuah keharusan Penuntut Umum mengupayakan sebuah diversi dengan waktu yang telah ditentukan. Prosedur pelaksanaan diversi di tingkat penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 48 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang belum Berusia 12 (dua belas) tahun dan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No.006/A/J.A/2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tahap Penuntutan.

Tahap diversi pada tahapan penuntutan dibuka oleh penutut umum sebagai fasilitator diversi. Penuntut umum melakukan pemanggilan kepada Anak dan orang tua/wali secara patut dan sah, langsung di adakannya musyawarah diversi, dengan langkah pertama yaitu perkenalan pihak yang hadir, menyampaikan maksud dan tujuan diversi, serta tata tertib musyawarah diversi untuk disepakati oleh para pihak. Penuntut Umum sebagai fasilitator diversi menyampaikan tugas serta ringkasan dakwaan penuntut umum kepada pelaku. Pembimbing kemasyarakatan memberikan informasi tentang perilaku dan keadaan sosial anak serta memberikan saran untuk memperoleh penyelesaian. Penuntut umum anak sebagai fasilitator diversi wajib memberikan kesempatan khususnya kepada anak untuk didengar perihal dakwaan selanjutnya orang tua/wali menyampaikan hal – hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.

Penuntut umum dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan antara lain kategori tindak pidana, temuan – temuan dan pertimbangan penyidik, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan, dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat, hasil penelitian laporan kemasyarakatan, hasil laporan sosial dan/atau bentuk cara penyelesaian perkara. Dalam musyawarah diversi tidak mencapai kesepakatan, Penuntut Umum Anak membuat laporan dan berita acara proses diversi, kemudian melimpahkan berkas ke Pengadilan Negeri. Apabila diversi bertemu kata sepakat maka akan dibuatkan berita acara diversi yang mana di tetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pelaksanaan dari kesepakatan diversi dilakukan oleh Kepala Seksi Tindak Pidana Umum yang dibawahi oleh Kepala Kejaksaan Negeri, yang dilakukan dalam waktu yang sudah ditentukan dan disepakati dalam kesepakatan diversi.

Bapak Wayan Wira Dharma selaku Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Denpasar pada Tanggal 30 Desember 2019 menyatakan bahwa, Penuntut Umum dalam kasus ini dihadapkan dengan dilemma diantaranya : Pertama, apabila dilaksanakannya diversi dan rehabilitasi kebanyakan keluarga dari anak tidak mampu untuk membayar perawatan. Kedua, penuntut umum tidak dapat menjatuhkan sanksi tindakan yang harus dikirim ke LPKS karena di Bali belum terbentuk LPKS. Ketiga, apabila dikembalikan ke orang tua, anak yang menyalahgunakan narkotika masih membutuhkan penanganan ahli, Keempat, penuntut umum juga mempertimbangkan temuan penyidik yang mana kebanyakan anak pecandu narkoba secara terselubung mengedarkan narkotika dengan cara mengajak teman- temannya yang lain untuk ikut penjadi pecandu, serta perbuatan kriminal yang ringan disebabkan untuk bisa membeli narkotika (mencuri uang, membuli teman dll), Kelima, anak dengan usia 17 (tujuh belas) tahun sudah dianggap mampu bertanggungjawab atas perbuatannya.

  • 3.    Tahap Persidangan dan Diversi di Pengadilan Negeri

Dalam hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak I Gusti Ngurah Paetha Bhargawa, S.H., pada tanggal 23 Desember 2019 di Pengadilan Negeri Denpasar menyatakan bahwa, Pengadilan Negeri Denpasar sudah mengikuti tahapan-tahapan yang ada dalam Perma No. 4 Tahun 2014, UUSPPA dan Peraturan Permerintah No. 65 tahun 2015. Mulai dari persiapan musyawarah diversi hingga pembuatan kesepakatan diversi baik upaya diversi gagal ataupun berhasil. Dalam penanganannya telah dipikirkan baik-baik agar dapat tetap menjaga hak-hak anak tetapi kurangnya fasilitas menjadi pemicu besar gagalnya jalannya diversi. Provinsi Bali hanya memilik 1 LPKA yang telah melebihi kapasitas dan tidak adanya tempat lain untuk penanganan anak. Untuk rehabilitasi di BNN maupun lembaga rehabilitasi lainnya dapat dilakukan asalkan para orang tua dapat menanggung biaya rehabilitasi itu sendiri hal ini juga yang memicu gagalnya diversi sehingga perkara anak menyalahgunakaan narkotika di Pengadilan Negeri Denpasar masih tinggi melalui jalur ligitimasi atau pemidanaan dengan tujuan tetap adanya kepastian hukum. Selain sarana tempat rehabilitasi, Pengadilan Negeri Denpasar juga belum memiliki Hakim khusus yang menangani kasus Anak. karena kurangnya SDM maka Pengadilan Negeri tidak menunjuk secara khusus hakim sebagai hakim anak.

Berdasarkan wawancara kepada Ibu Made Sukereni, S.H., M.H., menyatakan bahwa setelah berkas masuk ke Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan akan menunjuk hakim tunggal untuk menangani perkara anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara. Dasarnya perkara anak haruslah melalui prosedur adiministrasi khusus untuk mendata perkara anak yang masuk, namun sistem itu sendiri belum memiliki peraturan pelaksana. Setelah hakim tunggal ditunjuk hakim dapat memeriksa berkas, dapat melakukan upaya diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkannya oleh Ketua Pengadilan Negeri. Diversi paling lama dilakukan 30 hari.

Pengadilan Negeri Denpasar sebenarnya tidak memiliki Hakim yang secara khusus menangani perkara anak, karena sedikitnya jumlah hakim yang ada, terdapat 23 hakim, diantaranya 1 (satu) Ketua, 1 (satu) wakil ketua, 4 (empat) hakim Tipikor, 3 (tiga) hakim PHI, dan 14 (empat belas) hakim umum. Padahal perkara anak juga haruslah ditagani oleh hakim anak secara khususnya, namun karena kurangnya SDM maka Pengadilan Negeri tidak menunjuk secara khusus hakim sebagai hakim anak. Sebelum pelaksanaan diversi, persiapan diversi yang dilakukan membuat penetapan hakim yang berisikan perintah untuk menghadirkan pihak – pihak yang terlibat, seperti orang tua/wali, pembimbing masayarakat, Bapas, pekerja sosial professional, perwakilan masyarakat. Sebelum pengajuan undangan diversi hakim sebagai fasilitator dapat bertemu dengan salah satu pihak secara terpisah dan diketahui oleh pihak lain.

Proses diversi diawali dengan perkenalan pihak – pihak yang hadir, kemudian menyampaikan tujuan diversi serta pembacaan tata tertib yang telah disetujui para pihak yang hadir. Dilanjutkan dengan fasilitator diversi membacakan dan menjelaskan rincian dakwaan, yang kemudian dilanjutkan dengan pembimbing maasyarakat untuk memberikan informasi seputar perilaku dan keadaan sosial anak, serta saran untuk memperoleh penyelesaian. Fasilitator juga wajib memberikan kesempatan untuk anak di dengar perihal dakwaan serta orang tua/wali untuk menyampaikan hal – hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan. Kemudian pekerja sosial profesional memiliki tugas untuk memberikan informasi tentang keadaan sosial anak dan memberikan saran untuk memperoleh penyelesaian.

Fasilitator juga dapat meminta pihak lain untuk memperoleh penyelesaian, selain itu dapat melakukan pertemuan dengan para pihak.

Fasilitator diversi akan menuangkan hasil diversi, dalam menyusun kesepakatan diversi fasilitator haruslah memperhatikan dan mengarahkan kesepakatan agar tidak bertentangan dengan hukum, agama, kepatutan masyarakat setempat, kesusilan atau memuat hal – hal yang tidak dapat dilaksanakan atak atau membuat itikad tidak baik. Kemudian kesepakatan diversi ditandatangani oleh fasilitator diversi, panitera dan para pihak. Kesepakatan tersebut akan dilaporkan ke ketua pengadilan dan memperoleh penetapan. Ketua pengadilan juga dapat mengembalikan kesepakatan diversi untuk diperbaiki selambat – lambatnya dalam waktu tiga hari. Penetapan diterbitkan dan diterima oleh hakim maka akan diterbitkan penetapan penghentian pemeriksaan perkara. Namun apabila diversi tidak mencapai kata sepakat, akan dilaporkan kepada ketua pengadilan untuk memperoleh penetapan dan melanjutkan untuk pemerikasaan perkara. Pelaksanaan kesepakatan diversi diawasi oleh pembimbing masyarakat dan Bapas, maka apabila kesepakatan tidak dilaksanakan sepenuhnya/sebagaian maka hakim dapat melanjutkan pemeriksaan.

Proses persidangan dalam kasus anak yang menyalahgunakan narkotika dilaksanakan sesuai standar operasional yang berlaku, yang mana aparat penegak hukum dalam berlangsungnya persidangan tidak menggunakan atribut – atribut pada umumnya seperti jubah dan lain – lain, tertutup untuk umum juga proses dari persidangan harus selesai selama 15 hari. Proses persidangan berpatokan pada UUSPPA, KUHAP dan UU Narkotika.

Karakteristik Sample Putusan Pengadilan

NO

Putusan

Pasal Yang Dilanggar

Usia Pelaku

Jenis Sanksi

1.

3/Pid.Sus.Anak/2014/PN DPS

Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika

17 tahun

Pidana Penjara 9 bulan

2.

20/Pid.Sus.Anak/2015/PN DPS

Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika

17 tahun

Pidana Penjara 4 bulan di LPKA Amlapura

3.

15/Pid.Sus.Anak/2016/PN DPS

Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika

17 tahun

Pidana Penjara 1 tahun di Lapas Nrkotika Bangli

4.

14/Pid.Sus.Anak/2017/PN DPS

Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika

17 tahun

Pidana Penjara 1 tahun dan pelatihan kerja selama 6 bulan di Yayasan Mercy Indonesia

5.

43/Pid.Sus.Anak/2018/PN DPS

Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika

17 tahun

Pidana Penjara 9 bulan

Sumber : Bagian Hukum Pidana Pengadilan Negeri Denpasar

Kelima sample diatas, dijatuhkan pemidanaan dengan pertimbangan hakim sebagai berikut:

  • a.    Pertimbangan yang memberatkan :

  • 1.    Perbuatan terdakwa dianggap tidak mendukung kebijakan pemerintah

  • 2.    Perbuatan terdakwa dianggap merusak generasi muda

  • 3.   Perbuatan terdakwa dianggap meresahkan masyarakat

  • 4.   Terdakwa sebelumnya pernah dihukum

  • b.    Pertimbangan yang meringankan :

  • 1.   Terdakwa mengaku terus terang

  • 2.   Terdakwa masih muda

  • 3.   Terdakwa tidak pernah dihukum

Dapat dilihat, bahwa pertimbangan hakim masih menggunakan paham klasik. Paham klasik dapat memperlihatkan pidana sebagai sebuah pembalasan.18 Dengan adanya paham ini hakim telah melupakan realita bahwa terdakwa juga merupakan korban. Selain itu pidana penjara yang hakim jatuhkan merupakan sebuah alat untuk tercapainya tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Dalam berbagai, pemahaman pidana penjara sebagai alat untuk mencapai tujuan pemidanaan masih diperdebatkan keefektifannya.

  • 3.1.2 Faktor - Faktor yang Menghambat Sistem Penegkan Terhadap Anak yang

    Melakukan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

Penerapan kebijakan aturan hukum tentu tidak terlepas dari adanya faktor – faktor yang menghambat pelaksanaanya, tidak terkecuali dalam penegakan hukum terhadap anak yang menyalahgunakan narkotika di Pengadilan Negeri Denpasar, Hakim berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang menghambat hakim untuk memutuskan anak tersebut harus di diversi dan di rehabilitasi sebagai berikut :

  • 1.    Pemerintah belum memiliki fasilitas yang memadai untuk menempatkan anak yang berhadapan dengan hukum diluar dari pemidanaan.

Bali sendiri masih belum memiliki lembaga rehabilitasi anak secara khusus, sejauh ini yang baru dibangun adalah lapas khus narkoba yang ada di Kabupaten Bangli yang hampir seluruh tahanannya merupakan orang dewasa baik berstatus pecandu dan pengedar, sehingga hakim juga tidak dapat memutuskan anak dapat diberi sanksi diluar lapas karena tidak ada lembaga yang bertanggungjawab untuk mengontrol dan melaksanakan sanksi yang akan diberikan oleh hakim.

  • 2.    Persepsi aparat yang menangani ABH penyalahgunaan narkotika belum sama.

Kurangnya kekompakan para aparat penegak hukum mengenai ketentuan-ketentuan maupun syarat – syarat terkait dalam melaksanakan diversi juga merupakan salah satu faktor penghambat efektivitas dari upaya diversi yang di terapkan di Pengadilan Negeri Denpasar.

  • 3.    Lembaga penegak hukum belum secara optimal berkerja.

Hakim mempertimbangkan temuan dari tim penyidik, Bapas dan rekomendasi dari TAT. Tim Asesment Terpadu ini merupakan tim yang memberikan rekomendasi sebelum perkara masuk ke pengadilan. Namun TAT belum berjalan sesuai dengan tugasnya.

Teori dari Soerjono Soekanto19, menyatakan terdapat beberapa faktor – faktor yang dapat menghambat penerapan penegakan hukum adalah faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukumnya, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan masyarakat bila dikaitkan terhadap penegakan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Pengadilan Negeri Denpasar yaitu:

  • 1.    Penegak Hukum

Dari sisi penegak hukum dapat dilihat terdapat perbedaan persepsi mengakibatkan perbedaan penanganan bagi ABH, tidak adanya tenaga fasilitator yang khusus menangani perkara anak sehingga dalam penangannya terbatas dan kurang optimal.

  • 2.    Sarana dan Prasarana

Di provinsi Bali hanya memiliki satu LPKA, sehingga tempat untuk menampung para ABH ini hanya ada satu macam saja. Lembaga seperti LPAS, LPKS, LPSK, RPS/ RPSA, yang bertanggung jawab atas anak yang dijatuhi pidana non –custodial belum terbentuk di Provinsi Bali, padahal lembaga – lembaga ini merupakan salah satu hal yang dapat menunjang kebutuhan sistem peradilan pidana anak, untuk terjaminnya kesehatan mental dan kesejahteraan anak.

Selain faktor penghambat, adapun faktor pendukung penegakan hukum terhadap anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika di Pengadilan Negeri Denpasar adalah sebagai berikut :

  • 1.    Perundang-undangan yang Mengatur SPPA

Dibentuknya UU SPPA ini merupakan salah satu bentuk perlindungan tumbuh kembang dari anak. UU SPPA dan peraturan mengenai diversi menjadi sebuah nilai keadilan bagi anak dalam penegakan sistem peradilan pidana anak.

  • 2.    Pengaturan tentang Rehabilitasi bagi Pelaku Penyalahgunaan Narkotika.

Penegakan hak sebagai korban narkotika dalam UU Narkotika juga diatur dengan baik, karena menganggap korban sebagai seseorang yang memerlukan pertolongan dari sakit ketergantungan obat – obatan terlarang dengan cara memberikan rehabilitasi sosial dan medis.

  • 3.    Itikad Baik dari Pihak yang Berperkara

Dalam melaksanakan sebuah diversi diperlukan dukungan dari pihak berperkara. Mengingat diversi merupakan penyelesaian masalah diluar jalur persidangan, dengan menggunakan cara musyawarah mufakat, yang sesuai dengan budaya hukum masyarakat Indonesia maka dukungan tersebut

sangat diperlukan. Tidak hanya dalam proses diversi, dalam persidangan pun itikad baik pelaku dipertimbangkan oleh hakim seperti mengakui kesalahannya, berkata jujur dimuka sidang, tidak melanggar hal-hal yang sudah ditentukan selama proses penahanan, juga mendukung proses penegakan hukum.

Ketiga faktor tersebut apabila dikaitkan dengan teori faktor – faktor penegakan hukum dari Soerjono Soekanto terdapat beberapa faktor – faktor yang mendukung proses penegakan hukum terhadap anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika di Pengadilan Negeri Denpasar yaitu:

  • 1.    Dilihat dari Hukum

Sebagai negara yang sadar akan perlindungan anak, pemerintah telah memikirkan suatu kebijakan yang memperhitungkan kepentingan anak, dan melahirkan restorative justice untuk pertama kalinya didalam sistem peradilan pidana. Dengan adanya ketentuan -ketentuan yang mengatur hal-hal mengenai diversi dan tata cara menangani ABH, untuk menjamin hak-hak anak yang dilindungi oleh negara. Dalam kasus anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika dua kebijakan ini sangat membantu dan memikirkan kepentingan anak sebagai anak juga sebagi korban, hanya saja proses implementasinya yang belum berjalan efektif.

  • 2.    Masyarakat

Masyarakat memiliki penilaian pribadi terhadap hukum (undang-undang) itu sendiri. Hal ini mengakibatkan masyarakat mematuhi hukum tersebut apabila dinilai baik untuk dirinya. Pada kasus ini masyarakat memiliki itikad baik dalam mengikuti proses yang telah dianjurkan oleh para penegak hukum, dalam kasus ini masyarakat menilai UU SPPA dan UU Narkotika merupakan hal yang memenuhi nilai baik di dalam masyarakat, dengan adanya musyawarah diversi dan rehabilitasi medis juga sosial dapat memulihkan keadaan seperti semula, yang mana sebagian masyarakat hidup dengan hukum adat yang mengandung nilai yang sama yaitu pemulihan kembali ke keadaan yang seperti sebelumnya.

  • 3.    Budaya Masyarakat

Pelaksanaan diversi dikalangan masyarakat sudah sering terjadi dalam bentuk sebuah musyawarah. dengan adanya sistem diversi yang sesuai dengan budaya yang hidup di masyarakat, membuat pelaksanaannya terhadap masyarakat mudah untuk di terima masyarakat dan dilaksanakan dimasyarakat.

  • IV. PENUTUP

  • 4.1    Kesimpulan

  • 1.    Penegakan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Pengadilan Negeri Denpasar berdasarkan pada data yang diperoleh belum dapat dikatakan berjalan efektif dengan tujuan UU SPPA. Tahapan penegakan hukum dapat dikatakan berjalan sesuai dengan alurnya tetapi masih adanya perbedaan perspektif antara aparat hukum dalam tahapan-tahapan proses penegakan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

  • 2.    Pelaksanaan proses penegakan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di ikuti beberapa faktor yang mendukung maupun yang menghampat terjadinya sebuah diversi atau alur non ligitimasi.

Faktor pendukungnya adalah adanya ketentuan perundang-undangan yang mengatur SPPA sebagai bentuk perlindungan anak, pengaturan tentang rehabilitasi bagi pelaku penyalahgunaan narkotika, dan adanya itikad baik dari pihak yang berperkara untuk mengikuti proses penegakan hukum khususnya SPPA. Sedangkan faktor penghambatnya Pemerintah belum memiliki fasilitas yang memadai untuk menempatkan anak yang berhadapan dengan hukum diluar dari pemidanaan, perbedaan persepsi aparat hukum dalam menangani kasus ABH, dan lembaga penegak hukum belum secara optimal berkerja karena keterbatasan dalam kasus anak seperti kurangnya fasilitator khusus mengenai peradilan anak.

  • 4.2    Saran

  • 1.    Penegak hukum harus diberikan pelatihan secara khusus tentang upaya penegakan hukum untuk kasus anak yang menyalahgunakan narkotika. Agar dapat keselarasan antara undang – undang dengan implementasinya dan terciptanya kekompakan dalam menangani kasus penyalahgunaan narkotika oleh anak.

  • 2.    Perlunya penyediaan lembaga untuk menempatkan anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika secara khusus di Bali seperti pembangunan LIDO (Love, Innovative, Dignity, Optimistic) untuk terapi dan rehabilitasi dan RSKO ( Rumah Sakit Ketergatungan Obat), serta lembaga rehabilitasi sosial lainnya.Mengaktifkan kembali Tim Asesmen Terpadu, dengan hendaknya langsung menunjuk Bapas sebagai anggota TAT sebagaimana tugas dan fungsi Bapas dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Adi, Koesno, 2015, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Setara Press, Malang.

Soeteodjo, Wagiati, 2006, Hukum Pidana Anak, PT Refika Adiatma, Bandung.

Soekanto, S. (2008). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 45

Jurnal :

Analiyansyah, A., & Rahmatillah, S. (2015). Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum (Studi Terhadap Undang-Undang Peradilan Anak Indonesia Dan Peradilan Adat Aceh). Gender Equality: International Journal Of Child And Gender Studies, 1(1), 51-68

Bariah, C., Din, M., & Mujibussalim, M. (2017). Perluasan Pertanggungjawaban Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak. Syiah Kuala Law Journal, 1(3), 84-106.

Ciptono, C. (2019). Penerapan Tindak Pidana Narkotika Terhadap Anak Di Indonesia. Adil Indonesia Journal, 1(1).

Dwijayanti, M. (2017). Diversi Terhadap Recidive Anak. Rechtidee, 12(2), 223-244.

Frederica, R. (2017). Penerapan Upaya Diversi Terhadap Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Studi Surat Keputusan Diversi Nomor: 03/Skd/X/2014/Reskrim Polsek Kedaton).

Hambali, A. R. (2019). Penerapan Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 13(1), 15-30.

Hidayat, A. S., Anam, S., & Helmi, M. I. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika. Salam: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, 5(3), 307-330

Hikmawati, P. (2016). Analisis Terhadap Sanksi Pidana Bagi Pengguna Narkotika. Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan, 2(2), 329-350.

Hikmawati, P. (2017). Pidana Pengawasan Sebagai Pengganti Pidana Bersyarat Menuju Keadilan Restoratif (Criminal Conditional Supervision As A Substitute Of Probation Sentence Towards Restorative Justice). Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan, 7(1), 71-88.

Purwastuti, L. (2017). Tahap-Tahap Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum) Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Jambi. Fakultas Hukum Universitas Jambi.

Rasdianah, R., & Nur, F. (2018). Efektivitas Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Terhadap Pecandu Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Di Provinsi Gorontalo. Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum, 5(2), 166-187.

Sherfany, R. D. (2016). Reformulasi Diversi Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Yang Mencerminkan Prinsip Perlindungan Anak. Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum.

Utari, N. P. S., Sarjana, I. M., & Setiabudhi, I. K. R. Diskriminasi Penerapan Diversi Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana. Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum.

Jurnal Kertha Wicara Vol…, hlm. xxx-xxx