PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI KORBAN PADA TINDAK PIDANA BALAS DENDAM PORNOGRAFI (REVENGE PORN)

Ni Nyoman Praviyanti Triasti Ananda, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: praviyanti98@icloud.com

I Ketut Mertha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: ketut_mertha@unud.co.id

ABSTRAK

Tindak kejahatan berkonten seks kian marak terjadi dalam jaringan online, berdampak terhadap ancaman yang sering dialami perempuan dari pada laki-laki seperti pornografi balas dendam. Pornografi balas dendam adalah tindakan mempublikasikan konten seksual seseorang yang dilakukan mitra atau mantan kekasih tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan. Tujuan studi ini untuk mengetahui peraturan perlindungan hukum tindak pidana balas dendam pornografi ditinjau dari KUHP dan di luar KUAP serta untuk mengtahui upaya penanggulangan tindak pidana balas dendam pornografi secara represif dan preventif. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani. Hasil studi menunjukkan bahwa pengaturan yang ada di Indonesia terkait tindak pidana balas dendam pornografi terdapat kekosongan norma. Oleh karena itu, perlu melakukan adanya pembuat suatu kebijakan hukum pidana dengan mengadakan formulasi dalam KUHP, Undang-Undang Ponografi dan Undang-Undang Infomas Transaksi Elektronik secara terang dan jelas guna mengatasi kekosongan norma akibat penafsiran berbeda-beda sehingga para penegak hukum dapat melakukan penegakan hukum sesuai dengan pengaturan yang memang mengatur tindak pidana balas dendam pornografi terhadap korban perempuan.”

Kata Kunci: Balas Dendam, Norma Kosong, Pornografi, Tindak Pidana

ABSTRACT

The crime of sex content is increasingly prevalent in online networks, impacting the threats that are often experienced by women rather than men such as revenge pornography. Revenge pornography is the act of publishing someone's sexual content by a partner or ex-lover without the knowledge of the person concerned. The purpose of this study is to find out the legal provisions for the protection of criminal acts of pornography revenge in terms of the Criminal Code and outside the KUAP and to find out the efforts to deal with repressive and preventive acts of pornography revenge. This study uses a normative legal research method with the legislation and regulation approach concerned with the legal issues being addressed. The results of the study show that the existing regulations in Indonesia related to the crime of revenge pornography have a norm of emptiness. Therefore, it is necessary to make a criminal law policy maker by formulating the Criminal Code, the Ponography Law and the Electronic Transaction Information Act in a clear and clear manner in order to overcome the void norms due to different interpretations so that law enforcers can carry out law enforcement in accordance with a regulation that does regulate the act of revenge pornography against female victims.

Key Words: Revenge, Empty Norms, Pornography, Criminal Act

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Tindak kejahatan berkonten seks yang kian marak terjadi dalam jaringan online, berdampak terhadap ancaman yang sering dialami perempuan daripada laki-laki. Perempuan rentan mengalami dampak luar biasa yang sifatnya spesifik karena mengalami dan sekaligus menanggung kerugian lebih besar dari pada laki-laki. Era zaman digital seperti sekarang, bentuk kejahatan berbasis online kian marak dengan beragam modus.”Dalam kasus-kasus tertentu seperti tindak pidana balas dendam pornografi (revenge porn) yang berujung pada cyber crime, yang dimana sudah seharusnya mendapat perhatian khusus dan tidak dianggap sebagai perkara biasa. Pornografi balas dendam atau Revege Porn adalah tindakan mempublikasikan konten seksual seseorang yang dilakukan mitra atau mantan kekasih tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan. Menurut Carmen M. Cusack dalam bukunya Pornography and the Criminal Justice System,” mendefinisikan bahwa “Pornografi balas dendam adalah pornografi yang diproduksi atau didistribusikan oleh mitra intim dengan maksud untuk mempermalukan atau melecehkan korban”.1 Dengan membiarkan predator bebas berkeliaran di internet, dalam kasus tindak balas dendam pornografi pihak yang paling sering dirugikan adalah perempuan yang dimana si predator ini melancarkan aksi mengincar perempuan untuk dijadikan korban dengan cara memaksanya untuk mengirimkan foto maupun video berkonten seksual adalah sama bahayanya seperti kita membebaskan para pelaku pelecehan dan pemerkosa. Tindak balas dendam pornografi banyak dilakukan oleh mantan kekasih atau pihak ketiga yang berusahan menjatuhkan citra si perempuan tersebut melalui penyebaran video porno.

Perlu digarisbawahi bahwa video tersebut direkam untuk koleksi pribadi, bukan untuk kepentingan komersil atau konsumsi public. Jika video berkonten seks tersebut tersebar luas karena ulah oknum dengan motif balas dendam (revenge porn) atau tanpa persetujuan orang yang ada dalam rekaman, maka itu jelas tindakan melanggar hak privasi orang lain.2 Dan si penyebar video itulah yang harus ditangkap. Namun sayangnya, dalam beberapa kasus balas dendam pornografi justru pihak perempuanlah yang selalu menjadi sorotan untuk disalahkan. Dengan adanya budaya misogini yang tumbuh subur dan mangkar dalam masyarakat kita telah menempatkan tubuh perempuan sebagai obyek seksual. Perempuan korban tindak balas dendam pornografi selain harus menjalani serangkaian proses pemeriksaan hukum, ia juga dihadapkan pada cyber crime yang tidak pernah berpihak kepadanya. Media sosial seharusnya menjadi ruang publik tanpa sekat gender tetapi justru menjadi ruang cyber crime bernada seksisme yang tidak ramah bagi perempuan. Karena satu dari sekian korban tindak balas dendam pornografi di mana perempuan menjadi pihak yang paling rentan untuk dirugikan. Selain merusak citra si perempuan, perundungan terhadap korban (perempuan) juga melahirkan rentetan panjang dampak baik secara fisik, psikis maupun sosial yang harus ditanggung si korban.3 Saat kasus tersebut viral, orang-orang menghujat si korban atas tubuh dan kebutuhannya. Kontruksi tubuh

ideal perempuan selalu dibangun dari sudut pandang laki-laki, maka tidak heran jika banyak komentar kasar yang mengolok-olok tubuh bagian intim si korban. Tubuh perempuan ditempatkan sebagai kriminal karena sensualitasnya dianggap bisa membangkitkan birahi.4”Namun, di dalam video rekaman tersebut si koban bukan pemain tunggal tetapi ada pemain laki-laki juga. Bahkan pelaku penyebar video juga diabaikan keberadaanya. Seperti contoh kasus pornografi balas dendam (revenge porn) yaitu: Putusan Pengadilan Negeri Probolinggo No. 78/Pid.B/2015/PN-Prob, tanggal 7 Juli 2015 tentang Penyebarluasan Foto Bugil oleh Mantan Kekasih. BS mengkoleksi foto bugil kekasihnya dengan telpon genggam Sony Experia. BS merasa sakit hati karena telah diputus hubungan asmaranya dengan korban lalu menyebarluaskan foto bugil tersebut melalui media Multi Media Message (MMS) kepada orang lain.

Selama ini belum adanya spesifikasi aturan menganai pornografi balas dendam, sehingga tidak adanya upaya preventif untuk mencegah tindak pidana balas dendam pornografi ini, serta diperlukan adanya penambahan aturan dengan latar belakang balas dendam untuk memperberat hukuman bagi pelaku.5 Dengan adanya instrument hukum yang diharapkan menjadi “pelindung” bagi korban tindakan balas dendam pornografi (revenge porn) ini masih terdapat adanya norma kosong didalam peraturan KUHP yang khusus disebutkan secara langsung. Sehingga bukan tidak mungkin lagi dengan semakin berkembangnya zaman dengan teknologi informasi dan berbagai macam jejaring sosialnya akan mengakibatkan perbuatan-perbuatan tindak balas dendam pornografi (revenge porn) ini semakin luas dan semakin biasa. Dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang permasalahan tindak pidana balas dendam pornografi kepada korban perempuan, diharapkan dapat melindungi korbannya sehingga untuk kedepannya permasalahan ini agar dapat mengurangi dan juga diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku sehingga masyarakat dapat lebih berhati-hati untuk melakukan tindak pidana balas dendam pornografi (revenge porn).

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat ditarik suatu permasalahan yang akan dibahas dalam jurnal ini, sebagai berikut:”

  • 1.2.1    Bagaimana perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban balas dendam pornografi (revenge porn)?

  • 1.2.2    Bagaimana upaya penanggulangan secara preventif (non penal) dan represif (penal)?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan yang dapat ditarik, sebagai berikut:

  • 1.3.1    Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum tindak pidana balas dendam pornografi ditinjau dari KUHP dan di luar KUHP.

  • 1.3.2    Untuk mengetahui upaya penanggulangan tindak pidana balas dendam pornografi secara preventif (non penal) dan represif (penal).

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau juga biasa disebut penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan. Penelitian ini ditunjukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada perpustakaan karena akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada perpustakaan.6 Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (staapproach) yaitu dilakukan dengan menelaah aturan-aturan yang ada dalam dan diluar KUHP serta regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik bola salju (snow balling) dan teknik pengolahan bahan hukum dalam penelitian ini yaitu dengan mengolah bahan hukum secara kualitatif artinya bahan-bahan hukum yang relevan diolah dengan melihat kualitas kegunaan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Perlindungan Hukum Bagi Korban Pornografi Balas Dendam (Revenge Porn)

Perlindungan adalah jaminan diberikan atas kesejahteraan, ketentraman, keamanan, dan kedamaian dari segala bahaya yang seseorang terancam baik anak, orang dewasa, maupun orang tua. Perlindungan hukum merupakan suatu perbuatan melindung menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Menurut I.B Wyasa Putra dan Lili Rasjidi mengemukakan bahwa “Hukum dapat berfungsi bukan hanya diwujudkan kepastian, tetapi juga dijamin perlindungan dan seimbang yang sifatnya sekedar hanya fleksibel dan adaptif, namun juga prediktif dan antisipatif. Yang pada khususnya sumber daya distribusi, baik pada structural maupun peringkat individu”.7

“Tindak balas dendam pornografi (revenge porn) berkembang seiring dengan perkembangan ITE sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia khususnya terhadap perempuan.“Universal Declaration of Basic Principles of Justice for victims of crime and abuse of power, 15 Desember 1985, menghimbau anggota-anggota PBB untuk memperhatikan korban kejahatan dengan cara memberikan pelayanan yang adil dalam proses peradilan, memperjuangkan restitusi dan kompensasi baginya dan memberikan bantuan hak materiil, medis psikologis maupun sosial, baik melalui lembaga-lembaga pemerintahan maupun lembaga nonpemerintah.” Tiadanya perhatian pada si korban, yang dewasa ini disebut sebagai “an essential part of criminal law policy decicions”, dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kejahatan, menimbulkan perasaan isecurity dan lebih buruk lagi dapat mendorong inisiatif pribadi untuk melakukan pembalasan, baik dilakukan secara perorangan maupun dalam bentuk “vigilante groups”.8 Timbul adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang beum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat pada kekacauan hukum bahwa perkembangan masyarakat selalu lebih cepat dari perkembangan peraturan perundang-undangan. Tidak ada hukum yang khusus untuk

mengatur tindak pidana balas dendam pornografi, adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap korban perempuan yaitu, sebagai berikut:”

  • 1.    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi Manusia”

Pasal 30 dan Pasal 35” kedua pasal ini menjamin “Setiap warga negara untuk bebas dari rasa takut dan ancaman”. Dalam masalah keadilan dan HAM dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. “Banyak insiden dalam kehidupan masyarakat menunjukan bahwa kedua hal tersebut kurang mendapatkan kepedulian hukum pidana positif belum membuktikan perlindungan maksimal terhadap korban.”

  • 2.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”

Undang-Undang Pornografi tidak secara tegas meniadakan tindak pidana pornografi dalam KUHP, namun tetap memberlakukan juga KUHP. Hanya diberi sekedar syarat “Sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pornografi”, syarat demikian itu obscuur dan tidak mudah menerapkannya. Adapun macam-macam tindak pidana dalam pornografi adalah sebagai berikut:

  • a.    Tindak pidana pornografi sengaja dan dengan culpa (Pasal 282) ditemukan kalimat “…menyiarkan, mempertunjukan atau memperkenalkan dimuka umum tulisan, gambar atau benda yang telah diketahuinya melanggar kesusilaan”.

  • b.    Tindak pidana pornografi pada orang belum dewasa (Pasal 283).

  • c.    Pelanggaran menyanyikan lagu dan berpidato yang isinya melanggar kesusilaan (Pasal 532).

  • 3.    Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

Pasal 27 ayat (1) berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

  • 4.    Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi”

Pasal 4 ayat 1” berbunyi: “Mengatur larangan perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: (a) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang mengimpang; (b) kekerasan seksual; (c) mastrubasi atau onani; (d) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; (e) alat kelamin; atau (f) pornografi anak.” Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.9

  • 5.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Perlindungan Saksi dan Korban” Pasal 1 ayat (2)” berbunyi: “Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomiyang diakibatkan oleh

suatu tindak pidana”. Dalam penjelasan pasal tersebut, “jelas bahwa korban kurang mempunyai daya tawar terhadap apa yang dialaminya dari akibat suatu tindak pidana selain menyerahkan setiap kepentingannya untuk diwakili oleh negara. Apalagi terkait dengan kedudukan korban akibat dari tindakan cyber pornography tentu saja sangat rentan dan dirugikan secara materiil dan inmateriil, serta secara psikis akan terganggu, nama baiknya pun juga ikut tercemar dan mendapat stigma negative dari masyarakat.”Pasal 5” ada pula korban berhak selama proses awal peradilan sampai selesai, korban mendapat perlindungan dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi Korban) sesuai dengan yang diatur oleh perundang-undangan. LPSK membantu memberikan hak-hak dan bantuan hukum yang harus diterima oleh korban.10

  • 3.2    Upaya Penanggulangan Secara Preventif dan Represif

Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana balas dendam pornografi melalui media elektronik dapat dilakukan dengan dua jalur yaitu dengan jalur non penal atau preventif (pencegahan sebelum terjadi kejahatan), dan jalur penal atau represif (pemberantasan setelah terjadinya kejahatan).

  • 1.    Upaya Preventif (Non Penal)

Permasalahan tindak pidana balas dendam pornografi yang dianalisis oleh penulis dengan menggunakan pisau analisis berupa teori yang dikemukakan oleh W.A Bonger menyatakan bahwa upaya penanggulangan preventif yaitu dengan cara moralistik dan abolisionistik. Moralistik dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana balas dendam pornografi.11 Sedangkan abolisionistik dilakukan dengan cara menghilangkan sebab-sebab terjadinya tindak pidana balas dendam pornografi atau memberantas semua yang menjadi akar permasalahan tindak pidana balas dendam pornografi.12

Upaya penanggulangan tindak pidana balas dendam pornografi secara preventif pada umunya ditunjukan kepada masyarakat, yakni bertujuan agar masyarakat jauh lebih mengenal dan berhati-hati dengan melakukan tindak pidana balas dendam pornografi.

  • 2.    Upaya Represif (Penal)

Walaupun sarana penal mempunyai keterbatasan, namun dilihat dari sudut perencanaan kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (penal policy), tahap kebijakan legislasi/formulasi merupakan tahap paling strategis. Dalam upaya represif terdapat dua teori yang terdiri dari metode perlakuan (treatment) dan penghukuman (punishment) dengan dilakukannya penyidikan untuk selanjutnya dapat di proses melalui pengadilan.”

Upaya represif yang dapat dilakukan ialah melalui sarana sanksi hukum yang diberikan melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku & setelah melalui

proses pembuktian sehingga menghasilkan putusan pengadilan yang berkeadilan. Penghukuman ini bukan sebagai bentuk balas dendam, penistaan namun bertujuan untuk mengembalikan pelaku ke jalan yang benar dan tidak melakukan tindak pidana balas dendam pornografi lagi.13

  • IV.   Penutup

  • 4.1   Kesimpulan

Balas dendam pornografi (revege porn) adalah tindakan mempublikasikan konten seksual seseorang yang dilakukan mitra atau mantan kekasih tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan. Perlindungan hukum terdapat di Pasal 1 ayat (2) dan hak-hak korban di Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Korban dan Saksi.”Dalam upaya penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana balas dendam pornografi melalui media elektronik dapat dilakukan dengan dua jalur yaitu dengan jalur non penal atau preventif (pencegahan sebelum terjadi kejahatan) melalui sosialisasi peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang yang mengatur tindak pidana balas dendam pornografi melalui media elektronik, dan jalur penal atau represif (pemberantasan setelah terjadinya kejahatan) dengan dilakukannya penyidikan untuk selanjutnya dapat diproses melalui pengadilan.

  • 4.2    Saran

Saran penulis, kekosongan norma hukum atas tindak pidana balas dendam pornografi harus segera dibentuk untuk mengurangi perbuatan di masyarakat, dengan pemilihan dasar hukum yang menjadi dasar hukum perbuatan tindak pidana balas dendam pornografi harus sesuai sehingga pelaku mendapatkan hukuman setimpal. Mohon kepada DPR RI dan pemerintah agar membuat undang-undang mengenai tindak pidana balas dendam pornografi, bahwa di dalam Pasal 279-281 KUHP diluar kodifiksi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Amiruddin & Asikin, Z. "Pengantar metode penelitian hukum." Jakarta: Raja Grafindo Persada (2004).

Cusack, Carmen M. Pornography and the criminal justice system. CRC Press, 2014.

Eddyono, Supriyadi Widodo. "Masukan Terhadap Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban." Jakarta: Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban (2006).

JURNAL:

Anggara, Gede Nyoman Gigih, and Made Subawa. "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum: 1-14.

Bates, Samantha. "Revenge porn and mental health: A qualitative analysis of the mental health effects of revenge porn on female survivors." Feminist Criminology 12, no. 1 (2017): 22-42.

Karo, Rizky Karo, Debora Pasaribu, and Elsya Sulimin. "Upaya Preventif Dan Represif Terhadap Prostitusi Online Berdasarkan Peraturan Perundang-Udangan Yang Berlaku Di Indonesia." Lex Journal: Kajian Hukum & Keadilan 2, no. 2 (2018).

Martinez, Casey. "An argument for states to outlaw'Revenge Porn'and for congress to amend 47 USC § 230: How our current laws do little to protect

victims." Pittsburgh Journal of Technology Law & Policy 14, no. 2 (2014): 236-252.

Perangin-angin, Ita Iya Pulina, Rahayu Rahayu, and Nuswantoro Dwiwarno. "KEWAJIBAN DAN TANGGUNGJAWAB NEGARA MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN REVENGE PORN DI INDONESIA." Diponegoro Law Journal 8, no. 1 (2019): 457-483.

Pradityo, Randy. "Kebijakan Kriminal dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Bisnis Live Sex." Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 22, no. 4 (2015): 638-651.

Salter, Michael, and Thomas Crofts. "Responding to revenge porn: Challenges to online legal impunity." New views on pornography: Sexuality, politics, and the law (2015): 233-256.

Santoso, Benedicta Alodia, and Michael Bezaleel. "Perancangan Komik 360 sebagai Media Informasi tentang Pelecehan Seksual Cat Calling." ANDHARUPA: Jurnal Desain Komunikasi Visual & Multimedia 4, no. 01 (2018): 14-24.

Michael Saler & Thomas Crofts, 2015, Responding to Revenge Porn: Challenges to Online Legal Impunity, New views on pornography: Sexuality, politics, and the law, 233-256, Journal Western Sydney University.

SKRIPSI:

ADAWIYAH, TIARA ROBIATUL. "PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PORNOGRAFI BALAS DENDAM (REVENGE PORN)." (2018).

INTERNET:

Josua Sitompul, 2018, Sanksi bagi Pembuat dan Penyebaran Konten Pornografi, URL: https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt540b73ac32706/sanks i-bagi-pembuat-dan-penyebar-konten-pornografi

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik Indoneisa Nomor 3886)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negera Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635)

Jurnal Kertha Wicara Vol…, hlm. xxx-xxx