PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ADVOKAT PADA OBSTRUCTION OF JUSTICE DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
on
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ADVOKAT PADA OBSTRUCTION OF JUSTICE DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Kadek Indah Bijayanti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email : [email protected]
A.A Ngurah Oka Yudistira Darmadi , Fakultas Hukum Universitas Udayana, email : [email protected]
ABSTRAK
Undang Undang NRI No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengkualifikasi obstruction of justice sebagai delik lain yang berkaitan dengan delik korupsi dinilai mengancam profesi advokat dalam melindungi klien. Advokat mempunyai hak imunitas sebagai bentuk perlindungan atas profesinya yang termaktub pada Undang Undang NRI No.18 Tahun 2003 tentang Advokat. Penulisan ini bertujuan untuk menguraikan hak imunitas advokat pada aspek penegakan hukum pada tindak pidana korupsi serta bertujuan mengetahui pertanggungjawaban pidana advokat pada obstruction of justice yang dilakukannya pada saat proses hukum pemberantasan korupsi.Penulisan ini menggunakan metode penulisan normatif yaitu metode atau cara yang dipergunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan menelaah pustaka dan ditujukan kepada peraturan-peraturan tertulis. Hasil studi menunjukan bahwa hak imunitas berlaku sepanjang adanya itikad baik yang harus dipenuhi oleh advokat baik diluar maupun didalam persidangan dalam rangka melindungi kepentingan hukum klien. Serta terhadap aspek pidana advokat pada obstruction of justice ketika terbukti mencederai itikad baik dengan melakukan perbuatan yang melawan hukum untuk menghalangi proses penegakan hukum perkara korupsi maka bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.
Kata Kunci :Advokat , Pertanggungjawaban Pidana, Obstruction of Justice
ABSTRACT
Law No 20 of 2001 concerning Eradication of Corruption which put the act of obstruction of justice becomes part of a corruption and can threaten the advocate profession in protecting the law interests of clients. Advocates have the immunity right during their duties and profession as regulated in Law Number 18 Year 2003 concerning Advocates. This study have aims to know the legal aspect of an advocate in law enforcement of obstruction of justice, also to find out the criminal responsibility of advocate in obstruction of justice that they do in the process of law enforcement for criminal action. This study using the normative method which namely the method used in legal research conducted by examining the literature and addressed to written regulations. This study showed that the immunity right can be applied as far as it's concerning to the criminal procedure that must be fulfilled by advocates both outside and inside the trial to protect the legal concerns of the client. Although the criminal liability of lawyers in obstruction of justice when it is proven to be harmful by conducting unlawful acts to obstruct the process of law enforcement of corruption, it possible to be held professionally and criminal liability.
Keyword : Criminal responsibility, Advokat , Obstruction Of Justice
Corruption kian menjelma menjadi wabah menakutkan bagi kelangsungan bangsa serta sulit dikendalikan , meluas dan sistematis. Pemberantasannya tidak hanya dengan menegakkan aspek korupsi secara murni yang berdampak pada
timbulnya kerugian keuangan negara namun juga korupsi tidak murni yakni delik yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana yang terdapat pada Bab III Undang Undang NRI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( selanjutnya disebut UU PTPK) yakni pada pasal 21 hingga 24 . Segala perbuatan yang diatur dalam Bab III UU PTPK tersebut dikualifikasikan juga sebagai bentuk perbuatan contempt of court.1 Pengaturan delik korupsi sebagaimana diatur dalam UU PTPK dalam prakteknya dihadapkan berbagai halangan baik yang terjadi sebelum proses peradilan maupun sesudah proses peradilan.2
Serangkaian tindakan menghalangi proses penegakan hukum korupsi pada konvesi International United Nation Convention Againts Corruption/UNCAC diatur dalam Pasal 25 dengan istilah obstruction of justice . Istilah tersebut adalah terminology yang berkembang dari sistem hukum anglo saxon.3 UNCAC yang bersifat mandatory offence yang kemudian memberikan konsekuensi logis pada dituangkannnya Pasal 25 UNCAC lebih lanjut pada Bab III UU PTPK yang tergambar dalam Pasal 21,22,23 dan 24 namun obstruction of justice termaktub dalam Pasal 21. 4 Tindak pidana korupsi yang begitu kompleks tak jarang menimbulkan berbagai perlawanan dari pihak, salah satunya dalam beberapa kasus datang dari pihak advokat dalam konteks profesinya untuk memberikan perlindungan hukum pada klien dipersidangan. Advokat sebagai bagian dari penegak hukum berperan dalam merepresentasikan hak asasi manusia di persidangan dengan memberikan jasa hukum sebagai halnya termaktub pada Undang Undang NRI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ( selanjutnya disebut UU Advokat). Melakukan pembelaan ataupun tindakan hukum lainnya yang bertujuan melindungi klien dalam aspek kepentingan hukumnya adalah salah satu jasa hukum advokat.5 Jasa hukum yang ditawarkan salah satunya yakni melakukan Advokat memberikan perlindugan terhadap kepentingan hukum klien memiliki hak khusus yakni hak imunitas diatur pada Pasal 16 UU Advokat .Menjadi sebuah pertanyaan ketika advokat yang diberikan hak imunitas dalam beracara dipersidangan kemudian dihadapkan pada pasal obstruction of justice yang dapat dengan mudah menjerat advokat. Rumusan pasal 21 UU PTPK yang pada 2019 sempat dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan dalil multitafsir pada pasal tersebut serta sangat tipisnya sekat antara perlindungan pada profesi advokat dengan ancaman pidana yang dapat secara mudah di dalilkan kepada profesi yang officium nobile ini untuk dipidanakan. Beranjak dari polemik tersebut, memaparkan kembali batasan hak imunitas dengan pertanggungjawaban pidana dari profesi advokat pada tindak pidana korupsi dirasa perlu untuk diuraikan pada penulisan ini. Penulisan ini tidak hanya memaparkan kedudukan hak imunitas yang sesungguhnya pada penegakan hukum tindak pidana korupsi tetapi juga menguraikan bekerjanya pertanggungjawaban
dalam aspek pidana serta kode etik profesi advokat saat terjadinya suatu tindakan yang berupa pelanggaran kode etik ataupun ketentuan pidana.
Dalam upaya pembelaan kepada klien tersebut tak jarang terdapat beberapa advokat yang terjerat dalam obstruction of justice, seperti dalam kasus Mega Proyek E-KTP yang menjerat pengacara Fredrich Yunadi dengan Pasal 21 UU PTPK serta 21 serta 5 pengacara lainnya yang dinyatakan menghalangi penyidikan yang mengakibatkan terganggunya proses hukum yang dilaksanakan oleh KPK sebagai salah satu lembaga pemberantas tindak pidana korupsi. Berdasar pada uraian tersebut, maka penulis melakukan kajian mengenai “Pertanggungjawaban Pidana Advokat Pada Obstruction Of Justice Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”.
-
1.2. Rumusan Masalah
-
1.2.1 Bagaimana batasan hak imunitas advokat dalam penegakan hukum obstruction of justice pada tindak pidana korupsi ?
-
1.2.2 Bagaimana pertanggungjawaban pidana advokat pada obstruction of justice yang dilakukannya selama proses penegakan hukum tindak pidana korupsi?
-
-
1.3. Tujuan Penulisan
-
1.3.1 Untuk mengetahui kedudukan hak imunitas advokat dalam penegakan hukum obstruction of justice pada tindak pidana korupsi
-
1.3.2 Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana advokat pada obstruction of justice yang dilakukannya dalam proses hukum tindak pidana korupsi
-
Penulisan ini beranjak dari problem hukum yang terjadi belakangan ini berkaitan dengan tafsir pasal 21 UU PTPK yang batasan pengaturannya banyak menimbulkan pertentangan dikalangan advokat . Penelitian normatif dipergunakan dalam penelitian ini , yang mana penelitian normatif/doctrinal yakni suatu penelitian hukum dengan meletakkan hukum sebagai bangunan dari sistem norma. Penuliasan ini menggunakan pendekatan perundang undangan/statute approach, pendekatan konseptual/conceptual approach, dan pendekatan kasus/case approach . Pada penulisan ini analisis data bersifat kualitatif dengan teknik analisis data yang dilakukan meliputi pengklasifikasian data yang diklasifikasikan menurut jenis serta penyajian hasil analisis dalam bentuk narasi dan kemudian pengambilan kesimpulan.
-
III. Hasil dan Pembahasan
Officium nobile merupakan julukan bagi profesi advokat yang diartikan sebagai profesi mulia mengedepankan kepentingan serta hak masyarakat dalam proses peradilan. Profesi yang bebas,bertanggungjawab serta mandiri merupakan konsekuensi logis profesi Advokat yang dikualifikasikan menjadi salah satu penegak hukum pada sistem peradilan pidana.6 Pengaturan mengenai hak imunitas secara umum dapat dilihat pada Pasal 50 KUHP menyebutkan bahwasanya orang yang
dalam menjalankan suatu perbuatan berlandas pada suatu ketentuan undang undang tidak boleh dipidana.7 Dalam konteks ini, hak imunitas advokat diatur lebih lanjut pada UU Advokat. Tidak dapatnya advokat untuk dituntut secara pidana ataupun perdata pada saat menunaikan tugasnya dengan berlandas pada itikad baik termuat dalam Pasal 16 UU Advokat untuk memberikan perlindungan advokat.8 Hak imunitas diteguhkan kembali dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-VI/2013 yang menerangkan bahwa Pasal 16 UU Advokat diartikan profesi advokat tidak bisa dituntut baik secara pidana maupun perdata sejauh menunaikan tugas serta profesinya berlandas pada itikad baik di dalam serta diluar persidangan.
Pada prinsipnya Pasal 16 UU Advokat menentukan bahwa recht persoon sebagai orang yang melaksanakan perbuatan walaupun dalam perbuatan tersebut sangat dekat dengan kemungkinan melakukan tindak pidana jika hal tersebut dilandasi oleh suatu perintah undang undang maka pelaku tidak dapat dihukum.9 Jika dicermati kembali pada bahwa tolak ukur dari hak imunitas adalah itikad baik yang berdasar pada hukum, sehingga dalam konteks ini hukum sebagai suatu prosedur atau suatu rangkaian penegakan hukum salah satunya yakni proses hukum penegakan tindak pidana korupsi. Sekilas pada rumusan pasal 16 UU Advokat memberikan kesan bahwa profesinya sebagai officium nobile kebal hukum, namun jika dicermati pada Pasal 4 UU Advokat yang mengatur sumpah advokat sebelum menjalankan profesinya haruslah bersikap jujur, adil serta bertanggungjawab berlandas hukum serta keadilan. Kedudukan hak imunitas advokat sangat rentan mengalami kriminalisasi karena batasan antara perbuatan menghalangi proses hukum sebagaimana diatur pada Pasal 21 UU PTPK yang mengatur tentang obstruction of justice dianggap dalam grey area. Hakekat dari pasal ini hanya mengatur pada perbuatan mencegah, merintangi atapun menggagalkan proses hukum dengan subjek delik yakni setiap orang yang tidak terbatas pada profesi advokat saja, namun pada prakteknya profesi advokatlah yang paling rentang unutk terjerat Pasal 21 UU PTPK. Batasan antara obstruction of justice dan hak imunitas bergulir hingga timbul uji materi ke Mahkamah Konstitus yang pada pokoknya mendalilkan bahwa Pasal 21 UU PTPK multitafsir dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi profesi advokat ,namun dalam uji materi tersebut, hakim mahkamah konstitusi menilai permohonan tersebut kabur sehingga uji materi Pasal 21 UU PTPK tidak dapat diterima.
Beranjak dari hal tersebut, lahirnya Pasal 21 UU PTPK tidak dapat dilepaskan dari Pasal 221 KUHP .Aspek normative mengatur usaha usaha untuk merintangi proses penegakan hukum termaktub pada KUHP yakni tersurat di Pasal 216 s/d 222 yakni bahwa segala tindakan dari pihak yang akan menghalangi proses hukum dapat dikenakan pidana . Kedua instrument pidana baik dalam KUHP maupun UU PTPK yang mengatur secara khusus memiliki perbedaan yakni jika menyimak kembali Pasal 221 KUHP memiliki tendensi pada tujuan yang dapat diartikan bahwa seseorang melakukan tindakan seperti menghindari proses hukum ataupun menghilangkan barang bukti merupakan tujuan unutk menghalangi proses penyidikan. Berbeda halnya dengan Pasal 21 UU PTPK yang memiliki tendensi pada perbuatan , sehingga terlepas dari tujuan untuk menyebabkan terhalangnya proses hukum ketika telah terbukti bahwa adanya suatu perbuatan yang mencegah, merintangi serta
menggagalkan proses hukum baik secara direct ataupun indirect maka besar peluang untuk dijerat pasal 21 UU PTPK.
Advokat sebagai officer of the court yakni sebagai pejabat pada proses peradilan sehingga memiliki otoritas untuk selalu menjagi aspek officium nobille profesinya , sehingga ketentuan pasal 14 UU Advokat yang mengatur kebebasan advokat dalam berprofesi mengandung makna tidak terdapatnya intervensi baik dalam bentuk intimidasi , rintangan serta tindakan dari aparat penegak hukum lain untuk merendahkan profesi advokat. Adapula klausa sidang pengadilan yang menjadi lingkup dari hidupnya hak imunitas advokat dapat dilihat pada penjelasan Pasal 16 UU Advokat yang dalam penjelasannya belum cukup untuk membuat jelas sehingga menjadi lex certa . Terhadap hal tersebut telah dijelaskan kembali pada Putusan MK No 26/PUU-XI/2013 berkaitan dengan pengujian Pasal 16 tersebut.10
Diaturnya obstruction of justice karena pada pokoknya tindakan tersebut berpotensi merintangi serta menghambat proses hukum pemberantasan korupsi.11 Kompleksitas tindak pidana korupsi yang semakin tinggi telah jelas berdampak pada kerugian dalam aspek keuangan dan perekonomian negara menjadikan segala tindakan lain yang dianggap menghalangi proses penegakannya adalah suatu tindak pidana.12 Terhadap hal tersebut maka hak imunitas yang ada dalam tubuh advokat memiliki batasan batasan yang berlandas pada itikad baik dalam proses memberikan jasa hukum pada klien. Hak imunitas merujuk pada penjelasan Pasal 16 UU Advokat13 menyuratkan dapat ditariknya dua syarat utama yang harus berlandas pada itikad baik dan dilindungi oleh hak imunitas adalah terkait dengan tindakan advokat dalam pelaksanaan tugas dan fungsi profesinya sehingga secara sederhana diartikan sebagai suatu tindakan yang tidak melanggar hukum.14 Hak imunitas ini hanya berlaku pada saat advokat menjalankan profesinya dengan tetap menegakkan hukum dan undang undang15 serta kode etik advokat.Hal ini menyebabkan ketika suatu undang undang lain diluar dari UU Advokat mengatur penegakan hukum bagi setiap orang tidak terkecuali advokat yang memiliki hak imunitas jika dianggap melakukan perbuatan yang unsurnya yakni “ mencegah, merintangi atau menggagalkan” yang dilakukan dengan cara langsung maupun tidak langsung dalam proses hukum yang bermuara di pengadilan maka dapat diancam oleh Pasal 21 UU TPTK tersebut. Adanya hak imunitas tidak menjadikan profesi advokat sebagai profesi yang kebal hukum, karena pembatasan hak imunitas ada pada itikad baik yang dijalankan selama memberikan pendampingan hukum kepada klien, ketiadaan itikad baik pada advokat menjadikan hak imunitas gugur secara langsung. Hal ini sejalan dengan adagium equalitiy before the law yang dijamin secara konstitutif.
-
3.2 Pertanggungjawaban Pidana Advokat Dalam Obstruction Of Justice yang Dilakukannya Pada Proses Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi
Immunity right ialah hak yang dimiliki oleh salah satu law enforcer di Indonesia yakni advokat. Dalam menggunakan hak tersebut advokat harus berada dalam lingkup profesinya yang sejalan pada hak dan kewajiban yang termaktub dalam Bab IV UU Advokat . Lain hal dalam proses menjalanan profesinya sebagai advokat, bukan tidak mungkin jika advokat dapat dituntut berdasar pada tidak adanya itikad baik karena telah menghalangi proses hukum dipersidangan, terkhusus dalam kasus tindak pidana korupsi . Rumusan pasal 21 UU PTPK yang mengatur obstruction of justice mengkualifikasikan tindakan menghalang halangi proses hukum menjadi 3 yakni perbuatan pelaku mencegah, merintangi ataupun menggagalkan proses penegakan hukum pada waktu penyidik , penuntut umum dan pengadilan pada proses peradilannya yang kemudian dituangkan dalam serangkaian penyidikan,penuntutan atau pemeriksaan pada sidang di pengadilan kepada tersangka atau juga para saksi di perkara tindak pidana korupsi .16Pelaku delik tersebut telah melakukan perbuatan khusus sehingga proses penegakan hukum tidak dapat terlaksana.17
Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana mengenal pertanggungjawaban pidana mengandung asas culpabilitas . Sejalan dengan hal tersebut, hukum pidana mengenal tiada suatu kesalahan yang terjadi dengan tidak melawan hukum. Kemudian pula teori dengan istilah geen straf zonder sculd atau keine strafe onhe schuld.18 Kemampuan bertanggungjawab, adanya kesalahan ( kealpaan/culpa atau dolus) serta tidak adanya kausa pembenar adalah unsur dari pertanggungjawaban pidana.19 Unsur kesalahan dalam arti luas yakni adanya kemapuan bertanggungjawab (schuldfahigkeit atau zurechunungsfahigkeit) yang berhubungan dengan keadaan psikis pelaku. Unsur selanjutnya harus dibuktikan yakni adanya hubungan antara perbuatan pelaku dengan adanya unsur kesengajaan (dolus) ataupun kealpaan (culpa).Dalam pertanggungjawaban pidana mengenal adanya doktrin strict liability yang berarti bahwa subjek hukum dapat dimintai pertanggungjawaban jika telah memenuji actus reus sebagaimana dirumuskan pada undang undang, sehingga strict liability dikenal pula sebagai pertanggungjawaban mutlak yang dapat dikenakan langsung pada pelakunya.20 Strict liabillity diberlakukan pada perkara pelanggaran salah satunya yakni contempt of court.21 Contempt of court terdiri atas direct contempt yakni suatu bentuk penghinaan yang dilakukan secara langsung baik didalam ruang sidang maupun diluar sidang saat berlangsungnya suatu persidangan. Lain halnya dengan indirect contempt salah satunya adalah perbuatan mengganggu dan menghalangi hakim dalam memeriksa , mengadili dan memutus
suatu perkara ataupun juga pejabat pengadilan serta penegak hokum yang terlibat dalam proses hokum tersebut , hal inilah yang digolongkan pada obstructing justice .22 Agar mampu dimintai pertanggungjawaban pidana kepada advokat maka harus mempertimbangkan hak imunitas yang menjadi kekebalan dari advokat dalam menjalankan profesinya. Hak imunitas dipandang hidup ketika advokat menjalankan profesinya yang berpegang teguh pada UU Advokat dan kode etik profesi serta adanya itikad baik yakni sesuai dengan ius constitutum serta tidak melawan hukum dengan demikian secara a contrario itikad baik diluar maupun didalam persidangan harus dijunjung tinggi oleh advokat. Pada tindakan obstruction of justice yang diklasifikasi sebagai salah satu dari contempt of court , aspek pertanggungjawaban pidana pada profesi advokat memandang advokat dalam melakukan pelanggaran tidak dalam lingkup profesi sebagai advokat, sehingga hak imunitas yang hanya melekat pada profesi advokat menjadi gugur. Selain aspek pidana yang mengikat advokat jika melakukan pelanggaran, adapula aspek kode etik yang harus di junjung tinggi.23
Dalam kode etik Advokat telah mengatur secara terang berkaitan dengan sanksi yang dapat dijatuhkan ketika profesi ini melanggar kode etik.24 Tidak dapat dituntutnya advokat secara perdata maupun pidana sejalan dengan adanya ketentuan Pasal 7 huruf g Kode Etik Advokat yang menentukan bahwa terdapat kebebasan bagi advokat untuk memberikan/mengeluarkan suatu pernyataan didalam persidangan pengadilan pada saat melakukan pembelaan untuk melindungi kepentingan hukum klien dengan muatan pembelaan yang proposional serta untuk hal tersebut advokat diberikan hak imunitas hukum.25 Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 yang mengatur kepribadian advokat26 pada saat menjalankan tugasnya advokat haruslah menjunjung tinggi hukum .27 Aduan pada dewan kehormatan advokat diatur dapat dilakukan oleh masyarakat, rekan sejawat, organisasi ataupun dewan pengawas advokat. Pada hal ini terdapat dua sisi pertanggungjawaban yang dapat dikenakan pada advokat, pertanggungjawaban profesi tidak dapat menghalangi pertanggungjawaban pidana advokat ketika telah terbukti melanggar hukum. Dalam kata lain sekalipun terbukti melanggar kode etik namun ketika dalam pelanggaran kode etik itu juga mengandung muatan tindak pidana maka dapat diproses secara pidana serta menggugurkan hak imunitas advokat. Untuk menentukan pertanggungjawaban profesi dari advokat harus dapat melihat secara utuh pada aspek pelanggaran kode etik profesi yang dianggap mencederai martabat advokat serta melalui proses pertimbangan pertimbangan yang kemudian diputuskan oleh Dewan Kehormatan Advokat.
Melancarkan tindak pidana obstruction of justice secara negative tentu merupakan bentuk itidak tidak baik dalam menjalankan profesi yang mulia, sehingga dalam prespektif kode etik advokat dilakukannya obstruction of justice juga turut
menjadi dasar pembenar timbulnya pertanggungjawaban profesi serta pertanggungjawaban pidana yang bisa dibebankan kepada pelaku tindak pidana. Jika bercermin pada kasus Fredrich Yunadi yang divonis bersalah merintangi penyidikan kasus e-KTP. Dalam kasus tersebut Fredrich mengupayakan adanya penundaan proses hukum (pending judicial proceedings) yang pada saat itu ditangani oleh KPK, serta perlawanan lain yakni memperkarakan Basaria Pandjaitan selaku wakil Ketua KPK ke Bareskrim atas dugaan pelanggaran Pasal 414 jo Pasal 421 KUHP serta upaya lain yang menjadi konstruksi dari dakwaan penunut umum adalah perbuatan dengan sengaja melakukan rekayasa data medis untuk menghindari pemeriksaan pada proses penyidikan oleh KPK.28 Sejalan dengan hal tersebut jika berkaca pada Pasal 10 UU Advokat bahwasanya profesi advokat dapat diberhentikan secara tetap jika telah terbukti dijatuhi pidana yang telah inkracht. Menanggapi hal tersebut menurut Otto Hasibuan dalam forum diskusi Kompas Tv menjelaskan bahwa pada dasarnya profesi ini merupakan tindak lanjut representasi kekuatan advokat sebagai satu satunya profesi yang diberikan kewenangan untuk membela kepentingan masyarakat yang berhadapan dengan hukum, sehingga secara natural advokat pada dasarnya selalu melakukan obstruction of justice namun dalam kecondongan yang positif serta tidak melawan hukum.
Serangkaian usaha untuk merintangi proses hukum telah dianggap sebagai contempt of court yang bertentangan dengan Pasal 21 UU PTPK serta kode etik advokat yang menjunjung tinggi martabat profesi advokat.29 , dalam kasus yang disebutkan belum perdapat pengaduan yang diajukan pada Dewan Kehormatan Advokat sehingga prosedur pertanggungjawaban secara kode etik menjadi dikesampingkan. Berdasar hal tersebut seorang advokat dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika advokat terbukti beritikad buruk serta melanggar hukum.
Hak imunitas pada advokat berkedudukan sebagai suatu bentuk perlindungan advokat dalam konteks memberikan perlindungan pada masyarakat .Terdapat dua aspek dalam hak imunitas yakni adanya itikad baik dalam menjalankan profesi advokat serta itikad baik tersebut dilakukan diluar maupun didalam persidangan demi memberikan perlindungan kepada klien. Penegakan hukum pada corruption aspect tak dilihat hanya sebatas pada dari delik korupsi yang murni , namun juga tidak murni seperti upaya untuk menghalangi proses hukum tindak pidana korupsi sebagaimana diatur pada Bab III UU PTPK tentang tindak pidana lain pada Pasal 21 UU PTPK . Tidak adanya itikad baik dalam memberikan perlindungan hukum kepada klien yang dapat dilakukan dengan melawan hukum menjadikan hak imunitas advokat gugur.
Gugurnya hak imunitas sebagai perlindungan profesi advokat menyebabkan kedudukan advokat dimata hukum menjadi setara. Berdasar pada teori strict liability pertanggungjawaban pidana seorang advokat melekat pada dirinya dan terlepas dari ikatan profesi. Dalam hal ini ketika terbukti melakukan obstruction of justice maka
terhadapnya dapat dimintai pertanggungjawaban profesi berdasar pada kode etik dan ataupun juga pertanggungjawaban pidana jika terbukti melanggar ketentuan hukum serta memenuhi unsur unsur pertanggungjawaban pidana.
-
4.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan pada penulisan ini yakni bagi para pembentuk undang undang , sangat penting untuk ditinjau kembali berkaitan dengan pembentukan rumusan pasal dengan membuat tafsir otentik agar terpenuhinya lex certa dari hukum tersebut. Serta bagi penegak hukum untuk lebih mencermati obstruction of justice sebagai delik yang begitu krusial dan rentan untuk disalahgunakan sehingga memerlukan suatu sikap yang hati hati bagi aparat penegak hukum agar terciptanya tujuan hukum yakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum dimasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Agustina, Shinta dkk , Obstruction Of Justice Tindak Pidana Menghalangi Proses Hukum Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi, Themis Books, Jakarta,2015.
Hiariej, Eddy O.S, Prinsip Prinsip Hukum Pidana – Edisi Revisi, Cahya Atma Pusaka, Yogjakarta,2015.
Marzuki, Peter Mahmud , Penelitian Hukum, cet. XII, Kencana, Jakarta,2016.
JURNAL
Amiruddin, "Pertanggungjawaban Sosio Yuridis Advokat Terhadap Klien
Dalam Menangani Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat." Legal Opinion: Jurnal Ilmu Hukum No. 5
Asshiddiqie, Jimmly, “Upaya Perancangan Undang Undang Tentang Larangan
Merendahkan Martabat Pengadilan (Contempt of Court)”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol 4 Nomor 2 Juli (2015).
Artaji dkk, “Eksistensi Pranata Contempt Of Court Dalam Peradilan Di Indonesia”, Jurnal Unpad, Vol 2 Nomor 8 (2018)
Atmaja, Ida Wayan Dharma Punia I Wayan Suardana ,”Hak Imunitas Advokat Dalam
Persidangan Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Kertha Wicara Udayana, Vol 07 ,No 05 (2018)
Daryanti , Silvia, Nyoman Serikat PJ dan Purwoto, “Pertanggungjawaban Pidana
Advokat Pelaku Tindak Pidana Suap Terhadap Hakim ( Studi Kasus Putusan Nomojr 1319K/Pid.Sus/2016) , Diponogoro Law Journal , Volume 6 Nomor 2 (2017)
Dharma Yoga, I Nyoman, A.A Ngurah Oka Yudistira Darmadi, “Kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi Menangani Obstruction Of Justice Dalam Perkara Korupsi”, Jurnal Hukum Kertha Wicara Udayana , Vol 07, No 04(2018)
Gareda, Markhy S., “Perbuatan Menghalangi Proses Peradilan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 Juncto UU No. 20 Tahun 2001”, Lex Crimen, Vol. IV No. 1 Januari-Maret (2015)
Kresnadinata, Putu dan Putu Rasmadi Arsha Putra , “Batasan Perlindungan Advokat Saat Memberi Jasa Hukum Di Luar Pengadilan DItinjau Dari Putusan MK No.26/PUU-XI/2013”, Vol 5 No 15(2019)
Padil, “Karakteristik Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, Vol 04, No 1(2016)
Rozi, M ,”Peranan Advokat Sebagai Penegak Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Dikaji Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat”, Jurnal Mimbar Justitia, Vol VII No 1 Edisi Januari – Juni(2015)
Rudolf S, “Product Liability Dan Profesional Liability Di Indonesia” , Jurnal Ilmu Hukum Vol.III, No.9(2016)
Saverius R, Franciscus “Penegakan Kode Etik Profesi Advokat Dalam Pendampingan Klien Perkara Pidana Korupsi”, Jurnal Hukum Universitas Atmajaya, (2014): 9.
Sularto, R.B, “Pengaturan Tindak Pidana Contempt Of Court Berdasarkan Sistem Hukum Pidana Indonesia” , Diponegoro Law Journal . Volume 6, Nomor 2(2017)
INTERNET
https://www.peradi.or.id/index.hp/profil/detail/5
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN
Wetboek van Statrecht (KUHP)
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 juncto 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 134].
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288.]
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 26/PUU-VI/2013
Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 4 Maret 2020, hlm. 46-55.
Discussion and feedback