PENGATURAN TINDAK PIDANA PROSTITUSI ONLINE DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN

HUKUM PIDANA INDONESIA

Komang Krisna Mahendra, Fakultas Hukum Universitas Udyana, e-mail : [email protected]

Ida Bagus Surya Dharma Jaya, Fakultas Hukum Universitas Udyana, e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk memberi pengetahuan mengenai pengaturan tindak pidana prostitusi online pada saat ini maupun di masa yang akan dating dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia. Dalam mengkaji permasalahan pada studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik, Undang-Undang Pornografi. Hasil analisis dari studi ini diketahui bahwa tindak pidana prostitusi online telah diatur di dalam hukum positif Indonesia akan tetapi dalam regulasi tersebut terjadi kekaburan norma yang berakibat tidak semua pelaku dalam tindak pidana prostitusi online dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga perlu adanya pembaharuan hukum pidana Indonesia. Kata kunci : Tindak Pidana, Prostitusi Online, Pembaharuan Hukum Pidana.

ABSTRACT

The purpose of this study is to provide knowledge about the regulation of prostitution criminal acts online now and in the future in the context of the renewal of Indonesian criminal law. In examining the problems in this study, it uses the normative legal research method by examining the Criminal Law Act, the Electronic Transaction Information Act, the Pornography Law. The results of the analysis of this study note that online criminal prostitution has been regulated in Indonesian positive law, but in the regulation there is a blurring of norms which results in not all perpetrators in online prostitution criminal acts being accountable for them, so there is a need for a renewal of Indonesian criminal law.

Keywords: Criminal Acts, Online Prostitution, Criminal Law Reform.

  • I.     Pendahuluan

    1.1 .   Latar Belakang

Seiring berkembangnya teknologi dalam kehidupan manusia hingga pada masa ini sudah jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Perkembangan teknologi tersebut berupa komunikasi elektronik yang terorganisir. Pemanfaatan internet tersebut telah merubah gaya hidup manusia dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial, politik, dan lain-lain. Karena penyajian informasi yang disampaikan dengan sangat mudah, cepat, dan tanpa batas wilayah. Dampak positif tersebut tidak berlangsung sedemikian baik, di sisi lain oknum-oknum yang ingin memperoleh keuntungan dengan itikad tidak baik serta melawan hukum, yang berarti oknum tersebut melakukan pelanggaran ataupun kejahatan. Dari perkembangan internet yang sangat pesat tersebut apabila tidak diawasi dan digunakan secara bijaksana maka akan menjadi motif baru balam kejahatan di dunia maya / yang kerap dikenal dengan nama cyber crime. Pada awalnya cyber crime terjadi pada tahun 1960an di Amerika Serikat.1

Kejahatan yang dilakukan dapat dilakukan melalui media online adalah prostitusi online, dimana perbuatan tersebut tersebut tergolong dalam kejahatan terhadap kesusilaan. Kejahatan terhadap kesusilaan merupakan tindak pidana yang berhubungan dengan permasalahan kesusilaan, namum dalam penetapan ruang

lingkup kejahatan terhadap kesusilaan bukanlah perkara yang mudah, oleh karena batasan dari kesusilaan itu sendiri sangatlah luas bergantung pada nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.2 Hal tersebut sangat mudah ditemukan dalam media sosial ataupun melalui website. Dalam praktek prostitusi tidak hanya melibatkan pekerja seks komersial sebagai subjek, tetapi juga banyak melibatkan pihak lainnya, seperti germo atau mucikari, para calo, penyedia tempat, dan pengguna jasa yang pada umumnya adalah laki-laki.

Baru-baru ini publik digegerkan dengan kasus prostitus online yang dilakukan oleh aktris yang berinisial VA dan AS dan dua mucikari yang berinisial ES dan TN yang menjajakan VA dan AS melalui media sosial dengan dengan tarif yang cukup fantastis. Prostitusi online tersebut dilakukan dengan modus menawarkan pekerja seks komersial melalui website. Pemilik website tersebut memajang foto-foto wanita yang menjadi PSK tersebut dengan pakian yang cukup terbuka yang dapat memancing birahi pelanggan serta siap melayani pelanggan yang pada umumnya adalah laki-laki. Para peminat cukup menghubungi kontak yang telah tertera pada halaman websitenya, selanjutnya PSK tersebut diantar oleh mucikari menuju tempat yang telah disepakati dengan pelanggan.3 Tidak hanya di situ, kasus prostitusi online kemudian sitap tahun terjadi. Hal tersebut terjadi akibat tidak adanya pengaturan secara jelas mengenai perbuatan tersebut. Pengaturan mengenai prostitusi online maupun konvensiolan dapat kita jumpai di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, tetapi amat disayangkan karena peraturan-peraturan tersebut masih terdapat kekurangan, terutama bagi pengguna jasa prostitusi tersebut. Maka dapat dipahami bahwa adanya kekaburan norma hukum yang terdapat didalam regulasi mengenai prostitusi saat ini.

Guna mengkaji lebih dalam mengenai tindak pidana prostitusi online, perlu adanya pengkajian beberapa penelitian yang bersangkutan mengenai tindak pidana prostituusi online yang sebelumnya telah dipublikasikan, antara lain : Rica Vitayanti menyimpulkan bahwa prostitusi secara online telah diatur di dalam Pasal 296 dan 590 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi tetapi penegakan hukum dari regulasi tersebut masih sangat sulit untuk dilakukan.4 Kemudian Gendis Saraswati menyimpulkan bahwa tidak ada pengaturan mengenai tindak pidana prostitusi online khususnya bagi pengguna jasa tersebut dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya.5 Selain itu Agastya Wijaya menyimpulkan bahwa berhubungan dengan asas legalitas, pekerja seks komersial tidak dapat dimintai pertaanggung jawaban secara pidana karena PSK tersebut belum

diatur di dalam hukum pidana.6 Selanjutnya Ayu Gayatri menyimpulkan bahwa PSK dapat dimintai pertanggungjawban pidana apabila perbuatan yang dilakukan tersebut atas niat dan kehendak sendiri, akan tetapi PSK tidak dapat dimintai pertanggungjawban pidana apabila menjadi korban dalam perdagangan manusia. Sedangkan pengguna jasa prostitusi tidak dapat dijerat pidana, tetapi apabila pengguna jasa tersebut dalam ikatan perkawinan, pengguna jasa dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pidana.7 Lebih lanjut lagi Gede Triyatna menyimpulkan perlu adanya kriminalisasi mengenai perbuatan PSK dalam pemabaharuan hukum pidana di masa yang akan datang, karena pada regulasi saat ini terdapat kekosongan norma mengenai perbuatan tersebut.8

Maka dari itu perlu adanya penelitian mengenai pengaturan tentang prostitusi khususnya yang dilakukan secara online agar terdapat kepastian hukum terhadap para pelaku prostitusi online agar pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana dari perbuatannya dalam perspektif pembaharuan hukum pidana Indonesia.

  • 1.2    Permasalahan

Berdasarkan penjelasan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat di rumuskan dua permasalahan dalam jurnal hukum ini, yaitu:

  • 1.2.1    Bagaimanakah pengaturan mengenai tindak pidana prostitusi online

dalam hukum pidana positif Indonesia?

  • 1.2.2    Bagaimanakah pengaturan mengenai tindak pidana prostitusi online

dalam pembaharuan hukum pidana di masa yang akan datang?

  • 1.3    Tujuan Penulisanan

Dalam setiap penelitian selalu mempunyai tujuan yang ingin dicapai, tujuan penelitian dalam jurnal hukum ini adalah agar masyarakat dapat mengetahui peraturan mengenai prostitusi secara online dalam hukum positif maupun peraturan tindak pidana prostitusi online di masa yang akan datang. Serta diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pembaharuan hukum kedepannya demi mencapai nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

  • II.    Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam mengkajai permasalahan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Dimana pengakajian yang dilakukan pada jurnal ini adalah kedudukan norma hukum di dalam suatu peraturan baik secara sejajar ataupun bertingkat.9 Pada penelitian ini kedudukan norma yang terjadi pada perbuatan tersebut adalah adanya kekaburan norma yang berakibat tidak dapatnya

menjerat pelaku dalam prostitusi baik online maupun konvensional. Khususnya bagi pengguna jasa prostitusi yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Pendekaatan yang diterapkan dalam jurnal ini ialah pendekatan perundang-undangan, yaitu teknik pengkajian peraturan perundang-undangan yang bersangkutan terhadap tema dari penelitian hukum ini yaitu prostitusi yang dilakukan melalui internet (online), dimana peraturan perundang-undangan yang akan dikaji KUHP, UU ITE, dan UU Pornografi, sebagai bahan hukum primer dan Rancangan KUHP, jurnal-jurnal hukum, buku hukum, karya tulis hukum, serta internet dengan menyebutkan halaman webnya.10 Pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara studi kepustakaan yang dilakukan dengan membaca, menganalisis lalu mengutip bahan-bahan hukum yang telah disebutkan sebelumnya. Selanjutnya dalam menganalisis bahan hukum yang terdapat dalam studi ini menggunakan teknik analisis deskriptif yang berarti teknik penyajian data yang dilakukan sesuai kondisi apa adanya serta sistematis hingga memperoleh simpulan yang mengandung nilai kebenaran ilmiah.11

  • III.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Tindak Pidana Prostitusi Online Dalam Hukum Positif Indonesia Dalam KUHP tidak terdapat pengertian mengenai tindak pidana, istilah

tersebut dikenal dalam hukum pidana Belanda dengan istilah “straafbar feit”. Salah satu ahli hukum yang menafsirkan pengertian tindak pidana adalah Teguh Prasetyo. Iamengartikan tindak pidana merupakan “Perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatau yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum)”.12

Kata prostitusi online disusuan dari 2 kata yang berbeda, yaitu kata prostitusi yang berasal dari bahasa Inggris “prostitution” yang berarti pelacuran. Menurut pendapat Soejono Soekamto, pelacuran merupan suatu perbuatan seksual yang dilakukan dengan cara berserah diri kepada umum guna untuk memperoleh bayaran.13 Sedangkan kata online memiliki makna tempat yang dapat diakses oleh seseorang yang mengerti teknologi dimana digunakan seseorang untuk berhubungan secara tidak langsung atau maya.

Sesuai dengan asas dasar pada hukum pidana dimana suatu perbuatan tidak dapat dihukum pidana apabila tidak ada peraturan yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah sebuah tindak pidana yang dikenal dengan asas legalitas (Pasal 1 KUHP). Dari pengertian prostitusi online tersebut, dapat dirumuskan bahwa prostitusi online merupakan suatu tindak pidana dikarenakan perbuatan tersebut telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan, apabila perbuatan tersebut dilakukan

maka subjek hukum tersebut harus dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya.14

Sejak dahulu prostitusi merupakan masalah sosial di masyarakat, bahkan dapat diasumsikan sebagai profesi yang sangat tua dalam peradaban manusia. Prostitusi tergolong dalam kejahatan terhadap kesusilaan karena perbuatan tersebut bertentangan dengan norma didalaam pergaulan hidup bermasyarakat. Pengaturan mengenai prostitusi online dalam konteks hukum positif Indonesia telah diatur di dalam KUHP, UU ITE, dan UU Pornografi, akan tetapi dari regulasi tersebut belum bisa menjerat semua pihak yang terkait dalam tindak pidana prostitusi online tersebut.

Pengaturan terkait prostitusi dapat dijumpai di dalam Pasal 296, Pasal 297 dan Pasal 506 KUHP. Pasal 296 yang menentukan “Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaanya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak seribu rupiah”. Dapat diperhatikan dalam rumusan pasal tersebut terdapat unsur-unsur yang terkandung, yaitu :15

  • 1)    Unsur Subjektif : seseorang dengan sengaja.

  • 2)    Unsur Objektif : menyediakan tempat, dilakukannya perbuatan cabul, tanpa adanya ikatan, dan menjadikannya profesi sebagai mata pencaharian.

Dalam ketentuan pasal tersebut, mereka-mereka itu memang dengan sengaja membiarkan dan menyediakan tempat atau sarana tertentu, yang berakibat dapat memudahkannya dilakukannya perbuatan cabul antara seseorang tanpa suatu ikatan yang sah. Seseorang penyedia tempat atau sarana tersebut memang bertujuan untuk menjadikan hal tersebut sebagai suatu profesi/pekerjaan sebagai mata pencahariannya, sehingga menjadi suatu kebiasaan yang menguntungkan atau menghasilkan. Dalam prakteknya, pasal ini kerap diterapkan terhadap hudungan dari tempat prostitusi tersebut. Pengadaan pasal tersebut memang berjutuan untuk menghentikan atau mengendalikan atau menanggulangi tempat-tempat praktek terjadinya pelacuran atau prostitusi.16

Pasal 297 KUHP menyatakan “Perdagangaan wanita dan anak yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun” dapat diartikan bahwa pasal ini memuat perdagangan wanita dan anak. Dalam perbuatan itu, perdagangan wanita harus bertujuan untuk menyerahkan wanita itu ke dalam tempat atau area pelacuran, termasuk ke dalam pengertian ini adalah wanita yang sudah menjadi pelacur atau melacurkan diri. Perbuatan perdagangan wanita dapat juga diartikan, bahwa setiap perbuatan yang langsung memounyai tujuan membawa seorang wanita ke dalam suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain, orang mana yang menghendaki yang menghendaki wanita itu berada di dalam kekuasaannyauntuk digunakan melakukan perbuatan cabul dengan orang lain. Hal tersebut berkenan dengan pendapat dari Langemaijer-Noyon, yang menyatakan “Perdagangan perempuan harus diartikan sebagai perbuatan yang langsung bertujuan untuk menempatkan seorang perempuan dalam keadaan bergantung kepada kemauan orang lain, yang ingin menguasasi perempuan itu disuruh melakukan perbuatan-

perbuatan cabul dengan orang lain”.oleh karena itu perbuatan dalam pasal ini harus ditafsirkan bahwa perbuatan itu sengaja dilakukan , oleh karena si pelaku telah mewujudkan niat atau maksud/kehendaknya menjadi suatu perbuatan yang nyata yang dapat menimbulkan suatu akibat tertentu.17

Sedangkan Pasal 506 menyebutkan “Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan kurungan paling lama satu tahun”. pasal ini mengatur bagi mereka mereka yang menyediakan tempat atau rumah atau pondok dan sebagainya sebagai tempat untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan atau sebagai tempat prostitusi. Dimana seorang wanita itu adalah memang menjadi peliharaan atau anak bauh dari mereka yang memiliki tempat atau rumah atau pondok dan menjadi tanggung jawabnya. Pelaku prostitusi dalam pasal ini pada umumnya dikenal dengan nama germo apabila si pelaku adalah seorang pria atau mucikari apabila si pelaku seorang wanita. Mucikari atau germo adalah seseorang yang menggantungkan hidupnya kepada seorang wanita pelacur yang merupakan temannya serumah atau teman hidup, yang dianjurkan atau dipaksanya melakukan perbauatan cabul dan pelacuran denagn seorang laki-laki atau peria hidung belang. Bahkan mucikari atau germo sering mencarikan lelaki untuk pelacur tersebut guna mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya oleh karena hal tersebut merupakan profesinya.18

Selain itu UU Pornografi juga diharapkan mampu membatasi perbuatan yang bermuatan seks dalam tindak pidana prostitusi online. Ketentuan Pasal 30 mengatur bagi pelaku penyedia jasa pornografi yang menyatakan “Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda...” , Pasal 33 mengatur bagi pemmberi dana atau fasilitas jasa pornografi yang menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja mendanai dan memfasilitasi perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda…”, Pasal 34 mengatur bagi pekerja seks komersial yang menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang bermuatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda…”, dan pasal 35 mengatur bagi penyedia jasa pornografi (mucikari/germo) yang menyatakan “Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasa 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda…”.19

Perbuatan-perbuatan yang dilaksanakan di internet (online) telah diatur dalam UU ITE. Contohnya ialah prostitusi online, akan tetapi dalam pasal-pasal peraturan tersebut tidak ada yang menggunakan kata prostitusi secara langsung, terkucuali pada pasal 27 ayat 1 yang terdapat kata melanggar kesusilaan yang kemudian ditafsirkan sebagai perbuatan yang dilarang.20

Pasal ini menyebutkan bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggaar kesusilaan”. Atas penafsiran sistematis terhadaap KUHP (hukum pidana materil), diketahui bahwa ketentuan pasal 27 ayat 1 melarang perbuatan prostitusi yang dilakukan dengan internet (online).21

Dalam perumusan pasal tersebut, pertanggungjawaban pidana dapat diminta kepada setiap orang yaang berkedudukan sebagai subjek hukum, akan tetapi apabila subjek hukumnya adalah korporasi sebagai subjek hukum maka diatur lebih lanjut dalam Pasal 52 ayat (4) yang menyetakan “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai pasal 37 dilakukan oleh korporasi di pidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga”. Oleh karena itu dapat kita ketahui apabila terjadi prostitusi online maka subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaaban pidananya ialah orang maupun korporasi baik yang berbandan hukum atau tidak atas kesalahannya yang dilakukan secara sengaja maupupun tidak sengaja.22

Dalam prakteknya, selama ini hukum pidana positif belum dapat menjerat seluruh pelaku yang terlibat dalam praktek tersebut, khususnya bagi pengguna jasa prostitusi. Pengguna jasa prosttitusi tidak dapat dimintai pertanggungjaawaban pidananya oleh karena tidak adanya kejelasan peraturan mengenai prostitusi.23 Sehingga perlu adanya pembaharuan hukum pidana khususnya mengenai prostitusi online yang semakin marak di Indonesia.

  • 3.2    Pengaturan Tindak Pidana Prostitusi Online Dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Ekonomi dalam masyarakat merupakan faktor utama pendorong dalam hal terjadinya prostitusi, pendapat tersebut mulai mengalami perubahan seirig dengan kemajuan zaman dan teknologi. Hal tersebut berkaitan dengan motif (praktek) dalam menjalankan prostitusi. Seseorang perempuan muda mengkonfirmasi mengenai motifnya dalam menggeluti profesi tersebut, ia mengaku untuk menikmati kehidupan yang mewah tanpa harus bekerja keras.24

Berdasarkan hukum pidana positif mengenai prostitusi online belum dapat sepenuhnya menjerat pelaku yang berperan dalam tindak pidana prostitusi, oleh karenaa itu diperlukan pembaharuan terhadap sistem hukum pidana. Ruang lingkup dalam pembaharua sistem hukum pidana sangatlah luas, yaitu :25

  • 1)    Pembaharuan KUHP, KUHAP dan pelaksanaan hukum pidana yang merupakan bagian dari substansi hukum pidana;

  • 2)    Pembaharuan sistem hukum pidana yang merupakan bagian dari struktur hukum pidana;

  • 3)    Pembaharuan terhadap kesadaran hukum, perilaku hukum, pendidikan hukun, dan ilmu hukum pidana, yang merupakan bagian dari budaya hukum pidana.

Pembahasan pada jurnal ini lebih memfokuskan mengenai pembaharuan substansi khususnya KUHP. Perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa KUHP saat ini adalah peraturan pidana yang dibawa dan diberlakukan oleh Belanda ketika menjajah Indonesia yang dikenal dengan istilah asas konkordansi.26 Oleh karena KUHP saat ini merupakan hasil pemikiran dari Belanda yang saat ini telah ditinggalkan oleh Belanda maka perlu adanya pembaharuan terhadap KUHP tersebut. Pentingnya pembaharuan terdapat KUHP harus berlandasakan dari nilai-nilai sosial budaya yang hidup di masyarakat Indonesia, sehingga pemerintah diharapkan mampu merancang KUHP baru yang mencerminkan nilai-nilai sosial buaya masyarakat Indonesia.

Akibat dari penerapan KUHP peninggalan Belanda terdapat Perbuatan-perbuatan yang sesuai terhadap nilai-nilai sosial budaya masyarakat Indonesia, salah satu contohnya ialah perbuatan prostitusi. Dalam Rancangan KUHP tahun 2015, tindak pidana prostitusi sudah dirumuskan tersendiri pada pasal 470, yang menyatakan sebagai berikut: “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, menjualbelikan, menyewa atau menyediakan pornografi dipidana…”. Pasal inilah yang kemudian akan digunakan digunakan sebagai dasar hukum dalam meminta pertanggungjawaban pidana terhadap para pelaku yang berperan dalam perbuatan tersebut, oleh karena perumusan perbuatan melawan hukum dalam pasal tersebut dengan istilah pornografi, dimana prostitusi sendiri merupakan bagian dari pornografi, yang dilakukan melalui media elektronik maupun cetaak. Salah satu media elektronik tersebut adalah internet, sehingga dapat dipahami bahwa internet merupakan media yang dapat digunakan dalam aktivitas prostitusi.27

Selain itu, terdapat juga pasal yang dapat dijadikan payung hukum dalam menjerat pelaku prostitusi online. Pasal 4RKUHP merumuskan tentang jurisdiksi teritorial yang mengatur mengenai kejahatan mayantara, dimana protitusi yang dilakukan degan cara online termasuk dalam kejahatan mayantara,28 dengan perumusan pasal sebagai berikut:

“Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan:

  • 1)    Tindak pidana di wilayah Negara Republik Indonesia;

  • 2)    Tindak pidana dalam kapal atau pesawat udara Indonesia, dan;

  • 3)    Tindak pidana di bidang teknologi informasi yang akibatnya dirasakan atau terjadi di wilayah Indonesia atau dalam kapal atau pesawat udara Indonesia.”

  • IV.   Penutup

    4.1   Kesimpulan

      • 4.1.1    Pada dasarnya prostitusi online ialahsuatu tindak pidana karena perbuatan tersebut telah diatur dalam regulasi yang melarang praktek prostitusi yang dilakukan secara online maupun konvensional. Regulasi yang mengaturan mengenai tindak pidana prostitusi online maupun

konvensionaal dapat kita jumpai pada KUHP, UU ITE, dan UU Pornografi, akan tetapi dari regulasi tersebut tidak dapat menjerat pelaku dalam prostitusi baik online maupun konvensional. Khususnya bagi    pengguna    jasa    prostitusi    yang    tidak    dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.

  • 4.1.2    Oleh karena hukum positif di Indonesia mengenai prostitusi online, baikKUHP saat ini merupakan hukum dari peninggalan Belanda pada masa penjajahan yang diterapkan Indnesia karena adanya asas konkordansi maupun UU Pornografi dan UU ITE masih tidak bisa menjerat para pelaku yang berperan dalam prostitusi online maupun konvensional terutama bagi penggunaa jasa prostitusi tersebut, maka perlu adanya pembaharuan dalam hukum pidana materil khusnya mengenai prostitusi online. Pada saat ini Indonesia telah Merancang KUHP nasional yang mencerminkan nilai-nilai sosial budaya masyarakat Indonesia. Dalam RKUHP tahun 2005 tindak pidana prostitusi online telah diatur secara menyendiri pada Pasal 470 dan Pasal 4 mengenai jurisdiksi teritorial guna mengikat kejahatan dalam dunia maya.

  • 4.2    Saran

    • 4.2.1    Perlu adanya regulasi yang secara khusus mengatur tindak pidana prostitusi online, merevisi regulasi yang telah mengatur sebelumnya, atau segera mengundangkan RKUHP agar para pelaku perlaku tindak pidana prostitusi online (pelacur, germo/mucikari, dan pengguna jasa) mendapat ancaman pidana, sehingga para pelaku dapat dimintai pertaanggungjawaban pidana dalam mencapai nilai keadilan.

    • 4.2.2    Pemerintah diharapkan mampu melakukan pembaharuan hukum piidana ksususnya pada hukum pidana meteril dengan cara mengundangkan RKUHP atau membuat regulasi mengenai prostitusi online secara khusus atau merevisi UU ITE agar dapat memenuhi nilai keadilan terhadap para pelaku yang terlibat di dalam prostitusi online.

Daftar Pustaka

Buku

Bunga, Dewi. Prostitusi Cyber UDAYANA UNIVERSITY PRESS. Denpasar, 2012.

Pidana, Bagian Huukum. Tindak Pidana Terhadap Kesusilaan Serta Nyawa dan Tubuh. Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2018.

Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana. Jakarta, 2014.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta, 2005.

Jurnal

Agishswara, I Dewa Gede Ananda dan Dewi, Anak Agung Istri Ari Atu. "Pertaanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Seks Tanpa Penetrasi (Dry Humping) Terhadap Anak Di Indonesia ." Jurnal HukumUniversitas Udayana 8, No. 7, 2019.

Anindia, Islamia Ayu dan R. B, Sularto. "Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Prostitusi Sebagai Pembaharuan Hukum Pidana ." Jurnal Hukum Universitas Diponogoro 1, No. 1, 2019.

Bagus, Shalahudin Serba dan Pratama, M. Fariz Wahyu. "Tanggung Jawab Pelaku Tindaak Pidana Prostitusi Melalui Media Online ." Jurnal Hukum Universitas Islam Darul Ulum 1, No. 1 , 2017.

Darmadi, A.A. Ngurah Oka Yudistira. "Konsep Pembaharuan Pemidanaan DalamRancangan KUHP ." Jurnal Program Megister Ilmu Hukum Universitas Udayana 2, No. 2 , 2013.

Gayatri, Putu Ayu dan Purwanto, I Wayan Novy. "Pertanggungjawaban Pidana Pihak Yang Terkait Dalam Prostitusi Online ." Jurnal Hukum Universita Udayana 8, No. 3, 2019.

Herman, H. " Pengaturaan Dan Sisteem Penyelesaian Tindak Pidana Prostitusi Online Menurut Hukum Positif ." Jurnal Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Handayani 4, No. 2 , 2017.

Juita, Subaidah Ratna. Triwati, Ani dan Abib, Agus Saiful. "Reformulasi Pertanggungjawaban Pidana Pada Pelaku Prostitusi Online : Suatu Kajian Normatif ." Jurnal Hukum Universitas Semarang 18, No. 1, 2016.

Patnani, Miwa. "Prostitusi : Antara Pilihan atau Keterpaksaan ." Jurnal Fakultas Pisikologi Universitas Muhammadiyah 3, No. 2 , 1999.

Prawira, I Made Agastya Wijaya dan Subawa, Made. "Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pekerja Seks Komersial Dalam Prostitusi Online Di Indonesia ." Jurnal Hukum Universitas Udayana 8, No. 7, 2019.

Saraswati, Ni Komang Ayu Gendis dan Subawa, Made. "Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Jasa Prostitusi Online Menurut Hukum Positif Di Indonesia." Jurnal Hukum Universitas Udayana 7, No. 4, 2018.

Supusepa, Reimon. "Kebijakan Kriminal Dalam Menanggulangi Kejahatan Kesusilaan Yang Bersaranakan Internet (Cyber Sex)." Jurnal Sasi 17, No. 4, 2011.

Triyayna, Anak Agung Gede dan Parwata, I Gusti Ngurah. "Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Seks Komersial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana ." Jurnal Hukum Universitas Udayana 8, No. 4, 2019.

Vitayanti, Ni Made Rica dan Santosa, A.A. Gede Duwira Hardi. "Tinjauan Yruridis Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Prostitusi Secara Online Berdasarkan Perspektif Cyber Crime." Juranal Hukum Universitas Udayana 4, No.3, 2015.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2015

Undang-Undnag Negara Republik Indonesia Nomor Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 4 Maret 2020, hlm. 13-23.