PENGATURAN TENTANG TINDAKAN MENGHALANG-HALANGI PROSES PERADILAN PIDANA PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM
on
PENGATURAN TENTANG TINDAKAN MENGHALANG-
HALANGI PROSES PERADILAN PIDANA PERSPEKTIF
IUS CONSTITUENDUM*
Oleh :
I Made Dwikka Surya Pratama∗∗
I Gede Artha∗∗∗
Ni Nengah Adiyaryani ∗∗∗∗
Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Pemberantasan tindak pidana di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, diantaranya adalah perlawanan dari berbagai pihak seperti tindakan menghalang-halangi proses peradilan. Pelaksanaan peradilan harus bersikap adil dan jujur guna mejalankan sistem yang bersih tanpa adanya maksud-maksud tertentu seperti dengan sengaja menghambat atau menghalang-halangi proses peradilan tersebut. Pada fenomena ini muncul suatu permasalahan bagaimana bentuk-bentuk tindakan menghalang-halangi proses peradilan pidana dalam KUHAP serta formulasi pengaturan mengenai bentuk-bentuk tindakan menghalang-halangi proses peradilan pidana kedepannya. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan merumuskan pengaturan bentuk-bentuk tindakan menghalang-halangi proses peradilan pidana di masa yang akan dating.
Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis. Jenis pendekatan yang digunakan antara lain adalah jenis pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep, dan pendekatan perbandingan hukum. Jenis bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data berupa studi dokumen dan teknik analisis yang digunakan adalah teknik deskripsi.
Hasil penelitian penulis menunjukan dalam KUHAP tidak mencantumkan aturan tindakan menghalang-halagi proses peradilan pidana. Formulasi aturan terkait dengan tindakan menghalang-halangi proses peradilan pidana dimasa yang akan datang yaitu dengan menambahkan poin-poin yang menyebutkan secara lebih spesifik apa saja bentuk tindakan yang dilakukan, antara lain : tersangka sengaja menyembunyikan barang bukti disaat sebelum atau sesudah proses penyidikan, dll. Diharapkan banyak kajian semua pihak yang mengarah dan terfokus pada tindakan menghalang-halangi proses peradilan dan dilakukan pembaharuan dalam perumusan undang-undang terhadap KUHP dan menambahkan poin-poin penting dalam aturan tindakan menghalang-halangi proses peradilan pidana.
Kata Kunci : Pengaturan, Tindakan, Menghalang-halangi, Peradilan Pidana
Abstract
Eradication of criminal acts in Indonesia still faces many obstacles, including resistance from various parties such as obstructing the judicial process. The administration of justice must be fair and honest in order to run a clean system without any specific intentions such as deliberately hampering or obstructing the judicial process. In this phenomenon a problem arises as to how the forms of action obstruct the criminal justice process in the Criminal Procedure Code and the formulation of regulations regarding the forms of actions to obstruct future criminal justice processes. The purpose of this writing is to find out and formulate arrangements for the forms of actions to obstruct criminal justice processes in the future.
This research belongs to the type of normative legal research, namely research conducted on written legislation. The types of approaches used include the type of legislative approach, concept analysis approach, and legal comparison approach. Types of legal materials consist of primary and secondary legal materials. Data collection techniques such as document studies and analysis techniques used are description techniques.
The author's research results show that the Criminal Procedure Code does not include rules for preventing criminal justice processes. The formulation of rules related to the actions of obstructing criminal justice processes in the future is by adding points that specify more specifically what forms of actions were taken, including: the suspect deliberately hiding evidence before or after the investigation process, etc. It is expected that many studies of all parties will lead and focus on actions to obstruct the judicial process and will be updated in the formulation of the law on the
Criminal Code and add important points in the rules of action to obstruct the criminal justice process.
Keywords: Arrangement, Action, Deterrent, Criminal Justice
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.1 Ungkapan klasik “Ubi Societas ibi bius” hingga sekarang masih relevan untuk menggambarkan keberadaan hukum yang tidak lepas dari kehidupan manusia dan perkembangan sosial pola-pola tindakan manusia. Demikian juga perkembangan tindakan kejahatan dan pelanggaran.2 Korupsi menjadi permasalahan serius yang merugikan masyarakat di negara tempat dilakukannya korupsi. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang tingkat tindak pidana korupsinya sangat tinggi.3
Pemberantasan tindak pidana di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, diantaranya adalah perlawanan dari berbagai pihak seperti tindakan menghalang-halangi proses peradilan.4 Korupsi dianggap sebagai sebuah penyakit yang sangat mengganggu keberlangsungan hidup sebuah bangsa merdeka, maka sangatlah dibutuhkan sebuah upaya serius untuk menebas
virus tersebut sampai pada akar-akarnya.5 korupsi itu dapat terjadi tidak saja disektor swasta, tapi juga disektor pemerintah.6 Dan dalam hal ini dipemerintahan terjadi tindakan menghalang-halangi proses peradilan agar pelaku korupsi bisa terhindar dari hukum.
Pelaksanaan peradilan harus bersikap adil dan jujur guna mejalankan sistem yang bersih tanpa adanya maksud-maksud tertentu didalam proses tersebut. Sebagaimana didalam setiap tingkat peradilan diharapkan berjalan dengan baik tanpa adanya pihak-pihak yang menutupi atau menghambat atau merintangi suatu proses peradilan dengandan tujuan tertentu. Proses peradilan tindak pidana, para pelaku kejahatan mendapatkan sanksi pidana yang sesuai dengan apa yang mereka lakukan, tetapi didalam proses peradilan tidak sedikit orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalang-halangi proses peradilan.
Disinyalir terjadi kasus-kasus tindak pidana yang pembuktiannya sulit dilakukan karena ketidak jelasan keterangan saksi dan pelaku itu sendiri. Tidak jarang juga advokat dihadapkan pada kondisi untuk menggunakan kemampuannya untuk meringankan hukuman bahkan membebaskan kliennya dari tuduhan tersebut hingga menggunakan cara menghalangi proses hukum terutama pada proses penyidikan tindak pidana korupsi.7
Seorang yang mengetahui proses terjadinya suatu tindak pidana dalam hal ini saksi harus memberikan keterangan yang sebenarnya tentang apa yang ia lihat, ia dengar, dan ia alami sendiri dengan sebenar-benarnya, dan tentunya harus didukung dengan apa yang menjadi alasan atau bukti dari apa yang diterangkan dan berasal dari apa yang ia ketahui. Oleh karena itu setiap saksi diwajibkan, menurut cara agama dari kepercayannya bersumpah atau berjanji bahwa ia akan menerangkan keadaan yang saksi diurutan pertama kali diperiksa dalam tahap peradilan sebenarnya. Tidak kalah juga dengan peran Justice Collaborator yaitu seseorang sebagai tersangka namun bukan pelaku utama dan dapat membongkar orang yang terlibat di atasnya.8
Undang-Undang mengharapkan dan mewajibkan seorang saksi untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarmya. Akan tetapi, saksi mungkin dipengaruhi oleh motivasi yang sulit diketahui hakim. Juga saksi mempunyai kepentingan pribadi dalam suatu perkara yang sedang diperiksa, sehingga membuat dia cenderung memberikan keterangan palsu dan atau bohong serta menghalangi proses peradilan tersebut. Tapi tidak sedikit juga tindakan menghalagi suatu proses persidangan tindak pidana dilakukan oleh oknum-oknum tertentu baik dari kalangan penegak hukum, pemerintah, atau para politisi. Dikarenakan mereka memiliki kepentingan-kepentingan atau keterlibatan didalam perkara tersebut. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan manusia pada umumnya telah mempunyai naluri dasar bertindak untuk menguntungkan dirinya sendiri (subyektif), maka harus ada sarana pemaksaan untuk menjamin bahwa dia tidak akan bertindak demi keuntungannya sendiri.
Berdasarkan dari uraian latar belakang sebagai fenomena tersebut diatas, penulis ingin membahas lebih lanjut tentang tindakan menghalang-halangi proses peradilan menjadi judul penelitian yakni “PENGATURAN TENTANG TINDAKAN MENGHALANG-HALANGI PROSES PERADILAN PIDANA
PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM".
Sehubungan dengan judul tulisan ilmiah ini, maka terdapat 2 (dua) rumusan masalah yang dapat penulis kemukakan sebagai berikut :
-
1. Apakah ada pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tentang bentuk-bentuk tindakan menghalang-halangi proses peradilan ?
-
2. Bagaimana formulasi pengaturan tentang bentuk-bentuk tindakan menghalang-halangi proses peradilan perspektif ius constituendum ?
-
1. Untuk mengetahui dan mengkaji pengaturan dalam KUHAP tentang bentuk-bentuk tindakan menghalangi proses peradilan.
-
2. Untuk mengetahui dan menganalisis formulasi pengaturan bentuk-bentuk tindakan menghalangi proses peradilan perspektif ius constituendum.
Penelitian penulis ini termasuk ke dalam jenis penelitian hukum normatif yang kerap dikenal dengan istilah lain penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis. Sesuai dengan karakteristik dan sifat penelitian normatif, maka dalam penelitian
ini akan memakai beberapa metode pendekatan, diantaranya pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, pendekatan perbandingan hukum. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai sumber terdiri dari bahan hukum primer dan hukum sekunder, mengikat dan mendasari bahan hukum lainnya. Bahan hukum dalam penelitian ini dikumpulkan dengan berbagai cara yang disesuaikan dengn informasi yang diinginkan, antara lain dengan teknik studi dokumen dan teknik deskripsi. Teknik deskripsi adalah suatu metode dalam penelitian status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang9.
-
2.2 Hasil Dan Analisis
-
2.2.1 Pengaturan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tentang Bentuk-Bentuk Tindakan Menghalang-Halangi Proses Peradilan
-
Menurut Umar Said dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Indonesia, Sejarah dan Dasar-dasar Tata Hukum serta Politik Hukum Indonesia, menyebutkan: “Hukum formal atau (formeelrecht/procesrecht/ejectivelaw) atau hukum acara, yaitu keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur cara melaksanakan dan mempertahan hukum material misalnya: Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara PTUN, Hukum Acara Peradilan Agama, Hukum Acara mahkamah Konstitusi.
Kongkritnya hukum acara pidana (Hukum Pidana Formal) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana material atau keseluruhan hukum peraturan yang
mengatur tata cara tindakan aparat penegak hukum apabila terjadi tindak pidana atau adanya persangkaan dilanggarnya undang-undang pidana.
Maka terhadap perbuatan tersangka atau terdakwa itu telah diatur didalam hukum pidana material (Hukum Pidana Materiil). Hukum materiil (materiel recht atau substantive law), yaitu keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain yang mengutamakan kepentingan tertentu atau peraturan yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan yang diharuskan serta diperbolehkan, barang siapa yang melenggar peraturan akan dikenakan sanksi oleh pihak yang berwenang seperti Hukum pidana dalam KUHP, Hukum perdata dalam B.W., Hukum dagang dalam WvK.
KUHAP sifatnya untuk melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana materiil. Maka terhadap tindakan tersangka atau terdakwa menghalang-halangi proses peradilan, baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan, dan tahap peradilan, pengaturannya dijumpai pada Hukum Pidana Materiil, yaitu: 1. KUHP
-
a. Pasal 216 (1)
-
b. Pasal 221
-
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
-
a. Pasal 21
Maka dari itu diketahui bahwa dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana memang tidak mengatur tindakan menghalang-halangi proses peradilan.
-
2.2.2 Formulasi Pengaturan Tentang Bentuk-Bentuk Tindakan
Menghalang-Halangi Proses Peradilan Perspektif Ius Constituendum
Obstruction of justice merupakan salah satu jenis perbuatan pidana contempt of court. Obstruction of justice merupakan perbuatan yang ditujukan ataupun yang mempunyai efek memutar balikkan, mengacaukan fungsi yang seharusnya dalam suatu proses peradilan. Beberapa contoh adalah untuk menentang suatu perintah diluar pengadilan secara terbuka, lainnya adalah usaha untuk mengadakan penyuapan terhadap seorang saksi ataupun mengancam saksi agar supaya saksi tersebut meniadakan ataupun untuk memalsukan keterangan yang diberikan.10
Kamus Hukum Black (Black Law’s Dictionary) merumuskan tindak pidana menghalang-halangi proses peradilan tersebut sebagai berikut : “interference with the orderly administration of law and justice, as by giving false information to or withholding evidence from a police officer or prosecutor, or by harming or intimidating a withness or junior.
Hingga dewasa ini peraturan tindakan menghalang-halangi proses peradilan pidana khususnya dalam KUHAP belum ada, namun di Indonesia secara normatif, tindakan menghalangi proses peradilan sudah diatur dalam banyak peraturan, baik secara umum dalam KUHP maupun hukum pidana khusus. Satu hal yang perlu diperhatikan terkait dengan tindakan menghalang-halangi proses peradilan dalam KUHP adalah bahwa dari sekian banyak pasal yang dapat dianalogikan sebagai tindakan menghalang-halangi proses peradilan, hanya ada satu pasal yang secara jelas menyebutkan unsur tujuan “untuk menghalang-halangi atau menyusahkan pemeriksaan dan penyelidikan atau
penuntutan” sebagaimana terdapat dalam Pasal 221 ayat (1) sub 2e. Pasal 221 ayat (1) KUHP juga mengatur mengenai perbuatan menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan dan menghalang-halangi penyidikan.
Sedangkan dalam undang-undang tindak pidana korupsi juga mengatur ketentuan pidana bagi orang yang melakukan perbuatan menghalangi proses penanganan perkara korupsi yang diatur didalam ketentuan pasal 21, 22, 23, dan 24. Ancaman sanksi pidana bagi pelanggaran kettentuan pasal tersebut relatif berat dan disertai dengan ancaman pidana minimum khusus yang berbeda dari ancaman pidana terhadap ketentuan yang sama dalam KUHP kecuali pelanggaran pasal 24.
Membicarakan penegakan hukum pidana sebenarnya tidak hanya bagaimana cara membuat hukum itu sendiri, melainkan juga mengenai apa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah dalam penegakan hukum.
Menurut Muladi menegakkan hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tertentu yang merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas yang tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. Tahap-tahap tersebut adalah tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap formulasi adalah tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan
dan daya guna. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislatif.
Seperti yang telah disebutkan diatas tindakan menghalang-halangi proses hukum sebagai segala bentuk intervensi kepada seluruh proses hukum dan keadilan dari awal hingga proses itu selesai, maka penulis menganalisis dan menyusun poin-poin aturan tindakan menghalang-halangi proses peradilan (obstruction of justice) sebagai formulasi di masa yang akan datang yaitu :
-
A. Bentuk-Bentuk Tindakan Menghalang-Halangi Proses
Penyidikan
Tindakan menghalang-halangi yang dimaksud dalam proses penyidikan yakni:
-
1. Tersangka dengan sengaja menyembunyikan dan/atau melenyapkan barang bukti disaat sebelum atau sesudah proses penyidikan dimulai.
-
2. Tersangka dengan sengaja menghindari proses penyidikan dengan tujuan
mengulur-ngulur waktu.
-
3. Pihak ketiga dengan sengaja membantu melakukan dan/atau memfasilitasi proses pelarian tersangka tindak pidana.
-
4. Melakukan penyuapan kepada aparat penegak hukum dan/atau pejabat pemerintah untuk tidak melanjutkan proses hukum dan menutup kasus tersebut.
-
B. Bentuk Tindakan Menghalang-Halangi Proses Penuntutan Tindakan menghalang-halangi yang dimaksud dalam proses penuntutan yakni:
-
1. Terdakwa dalam proses penyidikannya, melakukan kebohongan dan sengaja menghilangkan barang bukti yang dimana pada ini menyebabkan terhambatnya proses
prapenuntutan karena dinilai kepolisian kurang memiliki alat bukti.
-
2. Melakukan tindak pidana yang sarat dengan upaya pengagalan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan.
-
C. Bentuk Tindakan Menghalang-Halangi Proses Persidangan Di Pengadilan
Tindakan menghalang-halangi yang dimaksud dalam proses persidangan yakni:
-
1. Terdakwa dengan sengaja mencelakakan diri sebelum maupun sesudah proses persidangan berlangsung
-
2. Terdakwa terdiam dan berbohong saat hakim memberikan pertanyaan
-
3. Saksi ahli dan/atau juru bahasa dalam hal ini memberikan keterangan atau pernyataan yang menyesatkan terkait materi dan teori yg disampaikan .
-
4. Advokat dalam hal dengan sengaja ikut membuat keterangan palsu dan kebohongan untuk melindungi terdakwa yang dimana cara ini dinilai melanggar hukum.
Dari uraian diatas, formulasi di masa yang akan datang mengenai pengaturan tindak pidana menghalang-halangi proses peraadilan (obstruction of justice) tidak hanya berlaku terhadap tindak pidana umum, tetapi juga berlaku dalam tindak pidana khusus. Bahkan ketentuan obstruction of justice dalam beberapa ketentutan hukum pidana khusus diatas diancam dengan sanksi pidana yang lebih berat dari pada pasal-pasal yang terdapat pada KUHP.
-
III. PENUTUP
Dalam KUHAP tidak ada peraturan yang mencantumkan aturan tindakan menghalangi proses peradilan dari proses
penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, hingga persidangan oleh hakim, di KUHAP hanya mengatur hukum pidana formil atau keseluruhan hukum yang mengatur tata cara tindakan aparat penegak hukum apabila tejadi tindak pidana atau adanya persangkaan dilanggarnya undang-undang pidana.
Formulasi aturan terkait dengan tindakan menghalang-halangi proses peradilan dimasa yang akan datang yaitu dengan menambahkan poin-poin yang menyebutkan secara lebih spesifik apa saja bentuk tindakan yang dilakukan, antara lain sebagai berikut :
-
a. Tersangka dengan sengaja menyembunyikan dan/atau melenyapkan barang bukti disaat sebelum atau sesudah proses penyidikan dimulai.
-
b. Melakukan tindak pidana yang sarat dengan upaya penggagalan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan.
-
c. Terdakwa dengan sengaja mencelakakan diri sebelum maupun sesudah proses persidangan berlangsung.
-
d. Advokat dalam hal dengan sengaja ikut membuat keterangan palsu dan kebohongan untuk melindungi terdakwa yang dimana cara ini dinilai melanggar hukum.
-
e. Dll.
Diharapkan banyak kajian semua pihak (terutama legislatif) yang mengarah dan terfokus pada tindakan menghalang-halangi proses peradilan oleh tersangka atau terdakwa baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap paradilan pidana.
Agar dilakukan pembaharuan dalam perumusan undang-undang terhadap KUHP dan menambahkan poin-poin penting
khususnya dalam aturan tindakan menghalang-halangi proses peradilan pidana agar aturan ini memberikan kepastian hukum yang tepat dan jelas serta tidak menimbulkan multitafsir pada peraturan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Adji, Oemar Seno, Adji, Insriyanto Seno, 2007, Peradilan Bebas dan
Contempt Of Court, Jakarta, Diadit Media.
Sunggono, Bambang, 2009, Metodologi Penelition Hukum, Jakarta, Rajawali Pers.
Undan-Undang :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang Pembetantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Jurnal :
Gareda, Markhy S., Perbuatan Menghalangi Proses Peradilan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 Juncto UU No. 20 Tahun 2001, Lex Crimen Vol.
IV No. 1, Tahun 2015
Manalu, River Yohanes, Justice Collaborator Dalam Tindak
Pidana Korupsi , Lex Crimen Vol. IV No. 1, Tahun 2015
Nugroho, Sutanto, Pengaturan Tindak Pidana Contempt Of Court Berdasarkan Sistem Hukum Pidana Indonesia, Diponegoro Law Journal Volume 6 Nomor 2, Tahun 2017
Rahayu, Wahyu Tri Wanita, Pertanggungjawaban Pidana Oleh Advokat Yang Menghalangi Proses Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, Thesis Program Magister Universitas Muhammadiyah, Malang, Tahun 2018
Rakinaun, Vicky Yohanes, Kajian Hukum Terhadap
Pengacara yang Dengan Sengaja Menghalangi, Mempersulit Jalannya Penyidikan, Penuntutan Serta Proses Peradilan Terhadap Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi, Lex Crimen Vol. VIII No. 4, Tahun 2019
Sinaga, Teofilus Dicky Umbu Hula Partogian, 2019, Menghalang-Halangi Proses Peradilan (Obstruction Of Justice) Versus Hak Imunitas Advokat (Studi Kasus Nomor: 9/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn Jkt.Pst Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat), Skripsi Program Sarjana Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang
Sitepu, Shanty Novenda, 2019, Analisis Penegakan Hukum Pidana Terhadapperbuatan Menghalang-Halangi Proses Peradilan (Obstruction Of Justice), Skripsi Program Sarjana Universitas Lampung, Lampung
Tarek, Frans M. T., 2019, Tindak Pidana Menghalangi Proses Hukum Penyelidikaan, Penyidikan, Penuntutan Sampai Peradilan Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun
15
Discussion and feedback