PENERAPAN PIDANA ADAT TERHADAP PELAKU YANG MELAKUKAN PELANGGARAN ADAT
on
PENERAPAN PIDANA ADAT TERHADAP PELAKU YANG MELAKUKAN PELANGGARAN ADAT∗
Oleh:
Gede Agus Engga Suryawan Sudirga∗∗ I Gede Artha∗∗∗
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Negara Indonesia hingga saat ini masih menggunakan kitab undang-undang hukum pidana sebagai sumber hukum pidana. Padahal KUHP sendiri merupakan warisan dari Kolonial Belanda. Jauh sebelum adanya KUHP di Indonesia sudah terdapat norma hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum adat. Dalam hukum adat sendiri terdapat pengaturan mengenai sanksi adat yang akan diterima apabila pelaku melakukan pelanggaran adat.. Oleh sebab itu diperlukan suatu pembaharuan hukum pidana dengan langkah menggali nilai-nilai adat istiadat setempat, agar tercipta suatu produk hukum pidana yang selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan suatu masalah yaitu: bagaimana kedudukan pidana dalam hukum postif di Indonesia? Dan Bagaimana penerapan pidana adat berdasarkan rancangan kitab undang-undang hukum pidana tahun 2019?.Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian yang digunakan meggunakan metode normatif berdasarkan pendekatan perundang-undangan. Sehingga diperoleh jawaban bahwa secara yutidis kedudukan pidana adat diatur dalam pasal 18 b ayat )2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 5 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt/1951 serta Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, sedangkan pengakuan pidana adat dalam R-KUHP tahun 2019 mendapatkan pengaturan pada BAB XXXIII Pasal 597 tentang tindak pidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Ganjaran hukuman yang akan diterima bila melakukan pelanggaran adat yaitu pemenuhan kewajiban adat setempat.
Kata Kunci : Pidana, Pidana Adat, Pelanggaran
∗ Jurnal ini adalah jurnal ilmiah dilurar skripsi
∗∗ Gede Agus Engga Suryawan Sudirga adalah Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Udayana, agusengga2@gmail.com
∗∗∗ I Gede Artha adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas
Udayana, arthagede369@gmail.com
Abstract
The Indonesian state is still using the criminal law book as a source of criminal law. Though the Criminal Code itself is a legacy from the Dutch Colonial. Long before the existence of the Criminal Code in Indonesia there were legal norms that lived in the community, namely customary law. In the customary law itself there is an arrangement regarding the customary sanctions that will be received if the perpetrators violate adat. But the existence of adat sanctions has not yet received recognition. Therefore a criminal law reform is needed. Based on this background, a problem can be formulated, namely: how is the criminal position in positive law in Indonesia? And how is the application of customary law based on the draft of the 2019 criminal law? To answer this problem, the research used uses a normative method based on the statutory approach. So that the answer is obtained that the legal position of customary law is regulated in article 18 b paragraph) 2) the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, Article 5 paragraph (3) sub b of Law No. 1 Drt /1951 and Article 5 paragraph (1), Article 10 paragraph (1) and Article 50 paragraph (1) of the Judicial Power Act, while the recognition of customary criminal law in R-KUHP in 2019 gets the provisions in Chapter XXXIII Article 597 concerning criminal acts based on law that lives in society. The penalty of punishment that will be received when committing an adat violation is the fulfillment of local adat obligations.
Keyword: Criminal, Customary Criminal, Violation
Dasar hukum yang digunakan negara Indonesia dalam penjatuhan sanksi terhadap para pelaku yang melakukan kejahatan atau pelanggaran masih bersumber pada kitab undang-undang hukum pidana. Padahal produk hukum tersebut merupakan warisan kolonial, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie 1915, yang merupakan turunan dari Wetboek
van Strafrecht Negeri Belanda 1886.1 Sebelum diterapkannya KUHP secara nasional, beberapa daerah di Indonesia terdapat suatu norma yang hidup dalam pergaulan dan lama kelamaan menjadi aturan dan hukum yang mengikat tingkah laku masyarakat setempat, norma tersebut dikenal dengan hukum adat.2 Dalam hukum adat tersebut terdapat sesuatu ketentuan-ketentuan yang wajib ditaati dan tidak boleh dilanggar oleh masyarakat setempat. Apabila dikemudian hari terjadi suatu pelanggaran maka akan dikenakan dengan sanksi adat.
Namun di tengah perkembangan zaman penerapan sanksi adat kian dianggap sebagai hal yang sulit untuk diterima oleh masyarakat yang melakukan pelanggaran adat. Bila mengacu pada kitab undang-undang hukum pidana pengaturan akan sanksi adat tidak mendapat pengaturan secara tegas. Hal tersebut sangat wajar karena KUHP sendiri bukan merupakan produk hukum asli buatan bangsa Indonesia3, sehingga belum sepenuhnya mengakomodasi penerapan pidana adat. Oleh sebab itu perlu adanya suatu pembaharuan hukum pidana dengan langkah menggali nilai-nilai adat istiadat setempat agar tercipta suatu produk hukum pidana yang selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarkat.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis melakukan suatu penelitian dengan judul: Penerapan Pidana Adat Terhadap Pelaku Yang Melakukan Pelanggaran Adat
-
1. Bagaimana kedudukan pidana adat berdasarkan hukum postif di Indonesia?
-
2. Bagaimana penerapan pidana adat berdasarkan rancangan kitab undang-undang hukum pidana tahun 2019?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan mengenai penerapan pidana adat terhadap pelaku yang melakukan pelanggaran adat
-
1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan pidana adat berdasarkan hukum positf di Indonesia
-
2. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan sanksi
pidana adat berdasarkan rancangan kitab undang-undang hukum pidana tahun 2019
Metode yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah pendekatan yang bersifat yuridis-normatif yaitu suatu penelitian yang berfokus atau mengkaji mengenai penerapan norma-norma hukum atau kaidah-kaidah dalam hukum positif.4 Selain itu penelitian yuridis-normatif berfokus pada bahan pustaka dan peraturan-peraturan yang digunakan sebagai bahan dasar penyusunan. Penelitian ini menggunakan pendekatan konsep dan pendekatan perundang-undangan.5
Secara yuridis pengaturan terhadap pidana adat mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia seperti: peraturan perundang-undangan dan
yuriprudensi (keputusan hakim).
-
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 18 B (2) UUD NRI Tahun 1945 Perubahan Amandemen kedua: ””Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang”.
Berdasarkan rumusan pasal di atas dapat di ambil suatu penjelasan bahwa keberadaan hukum adat mendapatkan pengakuan sepanjang masih hidup dan seseuai dengan perkembangan zaman. Hal itu berarti segala penerapan sanksi pidana adat yang tertuang di dalam hukum adat mendapatkan suatu kepastian hukum.6
-
2) UU No. 1 Drt/1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara
Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil
Pasal 5 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt/1951: Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja
dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian:
o bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum,
o bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara,
dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman
senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan
o bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.
Mengacu pada rumusan tersebut, dapat dikemukakan bahwa pidana adat yang tidak ada pengaturannya dalam KUHP dan tergolong tindak pidana ringan, maka ancaman pidananya
adalah pidana penjara selama 3 bulan dan atau pidana denda lima ratus rupiah. Sedangkan untuk delik hukum adat yang sifatnya berat, ancaman pidananya adalah sepuluh tahun, sebagai pengganti hukuman adat yang tidak dijalani oleh pelaku yang menerima hukuman
-
3) Undang-Undang No 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman
o Pasal 5 (1) UU Kehakiman “”Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat””.
o Pasal 10 (1) UU Kekuasaan Kehakiman: “”Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya””.
o Pasal 50 (1) Mengenai UU Kekuasaan Kehakiman:
“”Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili””.
-
B. Yuriprudensi
Yurisprudensi merupakan suatu putusan hakim (judge made law) yang diikuti hakim lain dalam perkara serupa (azas similia similibus), oleh sebab itu putusan hakim tersebut menjadi tetap dan menjadi sumber hukum yang disebut denga yurisprudensi. Kegunaan yurisprudensi di era saat ini berfungsi untuk memperjelas, menciptakan, mengubah, menghapus atau
mengukuhkan hukum yang telah hidup dalam masyarakat.7 Berikut beberapa putusan MA yang memiliki keterkaitan dengan pidana adat antara lain:
-
1) Putusan MA Nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 Putusan tersebut mengenai “Seseorang yang telah melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup (hukum adat) di daerah tersebut adalah merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum adat, yaitu “delict adat”. Kepala dan para pemuka adat memberikan reaksi adat (sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itu telah dilaksanakan oleh terhukum. Terhadap si terhukum yang sudah dijatuhi “reaksi adat” oleh Kepala Adat tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama, melanggar hukum adat dan dijatuhi hukuman penjara menurut KUHP(Pasal 5 ayat (3) b Undang-undang Nomor 1 Drt 1951). Dalam keadaan yang demikian, maka pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri, harus dinyatakan “tidak dapat diterrima” (NietOntvakelijk Verklaard).
-
2) Putusan MA Nomor 984 K/Pid/1996 tanggal 30 Janurari 1996 Dalam putusan tersebut memuat mengenai “”Perbuatan perselingkuhan suami isteri dengan pihak lain yang selama ini dikenal dengan kualifikasi delik perzinahan ex Pasal 284 KUHP, dan kasus ini ternyata bahwa bilamana si pelaku (dader) telah dijatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat oleh para pemangku desa adat, dimana hukum adat masih dihormati dan hidup subur di dalam masyarakat, maka
penuntutan jaksa terhadap para pelaku (dader) ex Pasal 284 KUHP secara yuridis harus dinyatakan tidak dapat diterima”. Dengan demikian Mahkamah Agung mengakui eksistensi hukum pidana adat beserta reaksi adatnya yang masih hidup dalam masyarakat Indonesia.8
Berdasarkan sumber-sumber hukum di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan pidana adat di Indonesia telah mendapatkan pengakuan, sehingga penerapan sanksi adat yang diberlakukan kepada pelaku yang melakukan pelanggaran adat tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah norma negara. Sepanjang hukum adat tersebut masih hidup dan tumbuh berkembang di tengah lapisan masyarakat adat.
Membahas mengenai penerapan sanksi pidana tidak akan terlepas kaitannya dengan kitab undang-undang hukum pidana. Sesuai dengan pembahasan di atas KUHP merupakan suatu produk hukum warisan Belanda yang hingga saat ini masih dipergunakan sebagai dasar dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku yang melakukan kejahatan atau pelanggaran. Jika merujuk pada KUHP saat ini pengaturan mengenai pidana terdapat pada Buku kesatu, BAB II pasal 10. Pengaturan mengenai pidana sendiri berdasarkan Pasal tersebut diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu: pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok berdasarkan urutan dari atas di awali dari: Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan, Pidana Denda dan Pidana Tutupan. Sedangkan pidana tambahan berdasarkan pasal tersebut terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman
putusan hakim. Penerapan sanksi tersebut memiliki tujuan untuk memberi rasa efek jera. Namun dalam KUHP tersebut belum terdapat suatu pengaturan mengenai penerapan pidana adat dalam mengatasi suatu pelanggaran adat yang terjadi di tengah lapisan masyarakat, oleh sebab itu pembaharuan hukum pidana sangat diperlukan saat ini.
Pembaharuan hukum pidana harus tetap berjalan karena tidak bisa dipungkiri bahwa KUHP warisan Belanda tidak sepenuhnya merupakan cerminan represntasi dari budaya adat istiadat masyarakat setempat. Karena seperti diketahui bahwa di Indonesia sendiri memiliki suatu hukum adat atau hukum tidak tertulis yang jauh lebih awal ada dan dipatuhi oleh warga setempat, sebelum akhirnya diterapkanya KUHP oleh pemerintah secara luas. Salah satu langkah yang tepat di dalam proses pembaharuan hukuum pidana yaitu dengan diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat. Karena dengan pengakuan tersebut secara langsung pemerintah telah memberi kepastian hukum terhadap aturan-aturan adat yang berada di tengah lapisan masyarakat. Pengakuan tersebut di atur dalam R-KUHP tahun 2019 yang berbunyi:
Pasal 2 Ayat (1): “”Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini”. Serta Pasal 2 ayat (2): “”Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab”.
Tidak bisa dipungkiri dengan adanya rumusan pasal di atas akan memberi ruang lebih lanjut akan suatu pengakuan terhadap penerapan pidana adat dalam skala nasional. Hal tersebut dapat terlihat dalam rumusan pasal yang mengatur mengenai hukuman pidana. Jika Terdahulu dalam KUHP pengaturan pidana dibagi menjadi dua kelas. Sedangkan dalam R-KUHP terdiri dari 3 kelas yaitu: . pidana pokok, pidana tambahan; dan pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam undang-undang sesuai yang tertuang dalam pasal 64. Pengaturan pidana pokok sesuai dengan pasal 65 ayat (1) yang diurutkan berdasarkan ganjaran hukuman dari yang terberat ke ringan berawal dari: Pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda dan pidana kerja sosial. Begitu pula dengan pidana tambahan dalam R-KUHP tahun 2019 pasal 66 ayat (1) pengaturan pidananya cukup berbeda dengan dengan KUHP sebelumnya dimana bentuk pidananya antara lain: pencabutan hak tertentu; perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan; pengumuman putusan hakim; pembayaran ganti rugi; pencabutan izin tertentu; dan pemenuhan kewajiban adat setempat. Sedangkan untuk tindak pidana yang bersifat khusus ganjaran hukumannya adalah pidana mati yang selalu diancamkan secara alternative sesuai dengan pasal 67 R-KUHP tahun 2019.
Mengenai penerapan pidana adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat berdasarkan R-KUHP tahun 2019 telah mendapatkan pengakuan yang tegas. Hal dapat dilihat dalam BAB XXXIII yang mengatur mengenai tindak pidana berdasarkan
hukum yang hidup dalam masyarakat. Isi dari bab tersebut sesuai dengan pasal 597 mengenai:
-
(1) “”Setiap Orang, yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana””.
-
(2) “”Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf f””.
Merujuk pada jenis-jenis sanksi pidana di atas terdapat suatu pengaturan yang memiliki keterkaitan dengan pidana adat. Pengaturan pidana adat secara tegas tertuang dalam Pasal 66 ayat (1) sub f yang berbunyi: pemenuhan kewajiban adat setempat. Penerapan dari sanksi ini di atur lebih rinci kembali berdasarkan Pasal 96 dan Pasal 97 R-KUHP Tahun 2019 mengenai: Pasal 96
-
(1) “”Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan, jika Tindak Pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)””.
-
(2) Pemenuhan kewajiban adat setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana””.
-
(3) “”Pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga berupa pidana ganti kerugian””.
Sedangkan merujuk pada pasal 97 berbunyi bahwa “Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan Tindak Pidana dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 2 ayat (2)”.
Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 96 dan pasal 97 terdapat suatu penerapan sanksi yang dilandasi berdasarkan pada konsep hukum yang hidup di dalam masyrakat. Maka barang siapa yang melanggar ketentuan-ketentuan adat yang berlaku di tengah lapisan masyarakat akan diganjar berupa hukuman pidana tambahan yaitu pemenuhan kewajiban adat setempat. Ganjaran pemulihan kewajiban adat setempat dapat juga diasumsikan sebanding dengan pidana pokok, namun apabila pelaku tidak sanggup melakukan pemenuhan kewajiban adat setempat dapat diganjar dengan pidana denda kategori II yaitu dengan jumlah Rp.10.000.000 (Sepuluh juta Rupiah). Namun apabila pelaku tidak dapat memenuhi denda tersebut maka dapat dikenakan pidana pengganti berupa pidana ganti kerugian.
Berdasarkan pembahasan di atas bahwa hukum pidana adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat termasuk sasnksi-sanksi adatnya mendapat kedudukan dalam pembaharuan hukum pidana secara nasional. Hal tersebut dapat pada sumber hukum pidana postivisme dan sumber hukum pidana negatif.
-
III. Penutup
-
3.1 Simpulan
-
3.1.1 Kedudukan pidana adat berdasarkan hukum positif di Indonesia telah mendapatkan pengakuan yang tegas. Hal tersebut merujuk pada peraturan perundang-undangan yaitu: Pasal 18 B ayat (2) UUD Tahun 1945, Pasal 5 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt/1951, Undang-Undang kekuasaan
-
kehakiman Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1). Sehingga dengan adanya pengakuan tersebut
penerapan sanksi adat terhadap para pelaku yang
melakukan pelanggaran adat telah mendapatkan kepastian
hukum sepanjang masih hidup di tengah lapisan masyarakat adat.
-
3.1.2 Penerapan pidana adat di dalam R-KUHP tahun 2019 telah mendapatkan pengakuan yang tegas hal tersebut di awali dengan diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (2) lalu di pertegas kembali berrdasarkan Ketentuan yang tertuang dalam BAB XXXIII Pasal 597 dimana setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat akan di ganjar dengan pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat, dan apabila tidak melakukannya akan mendapatkan pidana denda sebesar Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah. Begitu pula disaat pidana denda tidak sanggup dipenuhi maka akan dikenakan pidana pengganti berupa pidana ganti kerugian.
Bagi Pemerintah, dengan diakomodasinya pidana adat dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana tahun 2019 menandakan bahwa pemerintah serius dalam melakukan pembaharuan hukum pidana, oleh sebab itu sudah sebaiknya R-KUHP ini untuk segera disahkan. Namun sebelum disahkan secara nasional sebaiknya dilakukan suatu sosialisasi terlebih dahulu agar tidak ada dualism penafsiran dari penerapan pidana adat di tengah lapisan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ibrahim, Johnny, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum, Bayumedia Publishing, Maalang.
Widnyana, I Made, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT Eresco, Bandung.
Jurnal Ilmiah
Anisca Primadwiyani, Anak Agung dan Anak Agung Gde Oka Parwata, Analisa Sanksi Adat/Kewajiban Adat Meprayascitta Sebagai Pidana Tambahan Ditinjau Dari Tujuan Pemindanaan Dalam RUU KUHP di Indonesia, Kertha Wicara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, , Vol. 07, No. 02, 2018.
Faradhilah Yuni Astuti, galuh, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, ,Journal unnes, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Semarang, Vol. 10, No. 02, 2015.
Fery Kurniawan , Hukum Pidana Adat Sebagai Sumber Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, EDUKA, Jurnal Pendidikan, Hukum, dan Bisnis, Universitas Pamulang, Vol. 2, No. 2, 2016.
Ida Bagus Gede Angga Juniarta dan Anak Agung Sri Utari, Pencurian Pratima Di Bali Dalam Perspektif Hukum Pidana Adat, Kertha Wicara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Vol. 03, No. 02, 2014.
Marco Manarisip, Eksistensi Pidana Adat Dalam Hukum Nasional, Lex Crime, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Vol. I, No.4, 2012.
Nyoman Serikat Putra Jaya, Hukum (Sanksi) Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Masalah - Masalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Vol 45 No. 2, 2016.
Rahmat Hi. Abdulah, Urgensi Hukum Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, , Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Vol. 9, No. 2, 2015.
Trisno Raharjo, Mediasi Pidana dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat, Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta, Vol. 17, No. 3, 2010.
Peraturan Perundang-Perundangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2019
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang TindakanTindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Peradilan-Peradilan Sipil
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
16
Discussion and feedback