PERLINDUNGAN KONSUMEN TERKAIT TRANSAKSI

JUAL BELI BARANG BERMEREK PALSU SECARA

ONLINE

Oleh :

Dita Dhaamya Natih∗∗

Ni Made Ari Yuliartini Griadhi

Program Kekhususan Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas

Udayana

ABSTRAK

Pada era globalisasi ini banyak konsumen yang melakukan kegiatan pembelanjaan barang bermerek terkenal secara online karena harganya yang murah, karena konsumen kurang cermat dalam pembelanjaan online, maka sering terjadi dimana para konsumen ingin membeli barang bermerek terkenal tetapi yang didapat adalah barang tiruan bermerek palsu, karena harga yang ditawarkan sangat murah menjadikan para konsumen tergiur untuk membeli. Tujuan dari karya ilmiah ini untuk mengetahui perlindungan terhadap konsumen dan upaya hukum yang dilakukan oleh konsumen terkait transaksi jual beli barang bermerek palsu secara online. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Kesimpulannya bahwa Perlindungan hukum bagi konsumen tersebut adalah bahwa konsumen mendapatkan ganti kerugian atau pertanggungjawaban atas haknya yang telah dilanggar oleh pelaku usaha. Dan upaya hukum yang dilakukan oleh konsumen adalah konsumen dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga yaitu gugatan ganti kerugian dan/atau penghentian perbuatan terkait dengan penggunaan merek tanpa izin tersebut oleh pelaku usaha/produsen.

Makalah Ilmiah Ini Merupakan Ringkasan Diluar Skripsi

∗∗ Dita Dhaamya Natih, Fakultas Hukum Universitas Udayana, ditadhaamya@gmail.com.

Kata kunci : Perlindungan Konsumen, Merek Palsu, Online.

ABSTRACT

In this globalization era, there are many consumers who shop for famous branded goods online because of their low prices, because consumers are less careful in shopping online, it often happens where consumers want to buy famous branded goods but what they get is fake branded goods, because prices offered very cheaply makes consumers tempted to buy. The purpose of this scientific work is to determine the protection of consumers and legal remedies carried out by consumers in connection with buying and selling fake branded goods online. The research method used is a normative legal research method. The conclusion that legal protection for consumers is that consumers get compensation or liability for their rights that have been violated by business actors. And legal remedies carried out by consumers are consumers who can file lawsuits in the Commercial Court, namely claims for compensation and / or termination of acts related to the use of trademarks without such permission by business actors / producers.

Keywords : Comsumer Protection, Counterfeit Brands, Online.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Pada jaman era globalisasi yang sangat maju ini banyak masyarakat yang ingin tampil modis dengan menggunakan pakaian atau barang-barang dari merek terkenal di luar negeri yang notabene harga dari barang tersebut bisa dikatakan sangat mahal dan tidak terjangkau. Hal tersebut memicu masyarakat tidak lagi memakai ataupun membeli barang-barang buatan dalam negeri.1

Barang-barang yang bervariasi berasal dari merek terkenal tersebut sudah mulai banyak beredar di Indonesia dengan bantuan sarana pemesanan online yang kini marak di kalangan masyarakat, yang mana hal tersebut memudahkan masyarakat dalam membeli barang yang diinginkan dari luar negeri dengan cara yang mudah, harga yang ditawarkan dalam pembelanjaan online barang-barang merek terkenal tersebut bisa dikatakan memang tidak murah, yang dimana masih banyak dari masyarakat kalangan atas yang berminat untuk membelinya.2 Namun kadang kala konsumen tidak cermat dalam pembelanjaan online, sehinga konsumen yang ingin membeli barang asli malah mendapat barang palsu. Harga yang ditawarkan lebih murah yang menyebabkan para konsumen tersebut tergiur untuk membeli barang palsu tersebut.

Saat ini sangat mudah ditemui penjual yang menjual barang merek terkenal tanpa sepengetahuan dari pemilik merek asli, contohnya penjual yang menjual barang-barang palsu berupa baju, celana, tas, dan sepatu di pinggir jalan serta ada juga melalui transaksi online untuk memperjual belikan barang-barang palsu tersebut dengan harga miring. Transaksi online tersebut selain berdampak positif yaitu memudahkan dan mempercepat proses pembelian barang yang diinginkan, tetapi memiliki dampak negatif juga bagi konsumen yaitu misalnya seperti kasus yang marak terjadi dalam proses transaksi jual beli online, yang mana barang yang

dipesan tidak sesuai dengan apa yang diterima konsumen.3 Dalam hal tersebut pedagang mendapat keuntungan karena barang palsu yang dijual banyak pelanggan yang membelinya, sedangkan dari pihak pemilik merek dan konsumen pasti dirugikan karena pedagang tersebut telah menjual barang-barang palsu tersebut kepada konsumen.

Penggunaan merek dalam barang-barang bermerek yang taanpa izin dari pemilik merek ini telah diatur dalam ketentuan tentang Merek daan Indikasi Geografis yaitu Undang-Undang No. 20 tahun 2016, yang mana hal tersebut dapat dijadikan dasar hukum penuntutan bagi pemakai merek tanpa izin tersebut. Namun dalam Undang-undang Perdagangan No. 7 Tahun 2014 tidak memuat pembahasan mengenai larangan terhadap penggunaan merek tanpa izin tersebut, tapi telah jelas diatur dalam Undang-Undang Merek. Maka dari itu diangkat judul mengenai : “ PERLINDUNGAN

KONSUMEN TERKAIT TRANSAKSI JUAL BELI BARANG BERMEREK PALSU SECARA ONLINE ’’

  • 1.2    Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

  • 1.    Bagaimanakah Perlindungan Hukum terhadap konsumen terkait transaksi jual beli barang bermerek palsu secara online?

  • 2.    Upaya Hukum apa sajakah yang dapat dilalukan oleh para konsumen terkait transaksi jual beli barang bermerek palsu secara online?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan tulisan ini yaitu untuk memahami dan menganalisa perlindungan hukum terhadap konsumen dan upaya hukum yang dilakukan para konsumen terkait transaksi jual beli barang bermerek palsu secara online.

  • II.   ISI MAKALAH

  • 1.1  Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan adalah metode penelitian normatif. Penelitian normatif penelitian berlandaskan hukum kepustakaan atau didasarkan data sekunder.4 Dalam metode penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum primer yaitu bersumber dari Undang-Undang. Dan Bahan Hukum Sekunder yaitu buku-buku mengenai hukum dan jurnal hukum. Teknik Deskripsi adalah teknik yang digunakan dalam Pengolahan bahan hukum ini, dimana analisis bahan hukum dilakukan dengaan menguraikan apa adanya suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum.

  • 1.2    Hasil dan Pembahasan

    • 1.2.1    Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terkait Transaksi Jual Beli Barang Bermerek Palsu Secara Online

Perlindungan bagi konsumen di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Konsumen memiliki hak yang dinyatakan secara tegas didalam pasal 4 huruf (h) Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan : “hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”.

Sangat jelas apabila konsumen yang membeli barang yang menggunakan merek tanpa izin pemilik merek dapat menuntut haknya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 huruf (h) Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut. Hak untuk mendapat ganti rugi tersebut didapatkan apabila konsumen merasa kualitas dan kuantitas barang yang dikonsumsi tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh konsumen. Jenis dan jumlah dari ganti kerugian itu tentu saja ditentukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku atas kesepakatan dari masing-masing pihak yang terlibat.5

Para pelaku usaha tersebut dalam hal untuk menghindari kewajibannya untuk memberikan ganti rugi biasanya mencantumkan klausul-klausul eksonerasi di dalam hubungan hukum yang terjadi

antara produsen dan konsumennya. Penjelasan tentang klausul ini biasa dijelaskan dengan kalimat seperti “ Apabila telah diberi barang tidakk dapat dikembalikan”,merupakan hal yang sudah biasa ditemukan ditoko-toko di pinggir jalan maupun supermarket. Pencantuman kalimat seperti itu merupakan keputusan sepihak yang mana hal tersebut tidak dapat menghilangkan kewajiban dari produsen untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen.6

Produsen yang memasarkan produknya dengan merugikan konsumen dalam hukum perlindungan konsumen, yang secara umum menggunakan prinsip tanggung jawab mutlak(strict liability) yang menetapkan kesalahan tidak menjadi factor penentu (yang menentukan). Hal tersebut memicu digunakannya prinsip tanggungjawab mutlak ini sebagai penjerat para prrodusen barang yang telah merugikan konsumennya.7

Mengenai sanksi terhadap pelaku usaha yang menjual barang dengan merek palsu, dapat kita lihat dalam Pasal 90, 91, 92, 93, dan Pasal 94 Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikaasi Geografis BAB XIV ketentuan pidana. Seperti halnya dalam pernyataan diatas , sanksi hukum terhadap pelaku usaha yang menjual barang dengan pemalsuan merek tersebut tidak menjelaskan akan konsumen yang membeli barang palsu tersebut dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tersebut. Tetapi seluruh tindakan pidana penggunaan merek terdaftar oleh pihak yangg tidak bertanggungjawab tersebut adalah sebagai sebuah pelanggaran bukan kejahatan yang mana tercantum

secara eksplisit dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Hal tersebut bisa dilihat dari ketentuan Pasal 94 Ayat(2) Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Pada Pasal 49 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Online, hal tersebut diatur terkait dengan perlindungan konsumen yang telah diuraikan diatas, Maka dari itu jika barang yang diterima oleh konsumen tidak sesuai dengan foto atau informasi yang terdapat paada iklan yang tertera pada halaman toko online tersebut, maka konsumen dapat menggugat pelaku usaha tersebut secara perdata dengan dalih terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang dilakukan oleh konsumen dengan penjual.

Terkait dengan penjualan barang bermerek palsu secara online secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 8 huruf (f) Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut menyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut”. Apabila konsumen merasa dirinya dirugikan atau ditipu, konsumen dapat mendapat pertanggungjawaban atas haknya yang telah dilanggar oleh pelaku usaha/produsen tersebut.

Dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumeen BAB VI yang didalamnya menyatakan bahwa tanggung jawab dari pelaku usaha, yaiitu bertanggungjawab untuk mengganti kerugian atas barang yang rusak, pencemaraan,

dan/atau kerugiaan dari akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau yang diperdagangkan. Dan pada ayat selanjutnya menyatakan bahwa penggantian kerugian tersebut dapat berupa pengembalian uang atau bisa juga dengan menggantinya dengan barang yang sama atau setara nilainya dan diberikan santunan yang nantinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada ayat berikutnya yang mana bahwa ganti kerugian tersebut dilaksanakan dengan tenggan waktu 7 (tujuh hari) setelah transaksi dilakukan. Ayat selanjutnya yaitu pemberian ganti kerugian yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) memungkinkan adanya tuntutan pidana dimana berdasarkan pembuktian lebihh lanjut mengeenai adanya unsur kesalahan. Dan pada ayat berikutnya apabila ketentuan yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) tersebut tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan kesalahan tersebut merupakan akibat kosumen.

Selain itu ada juga peranan dari hukum terhadap perlindungan konsumen tersebut yang terdiri dari yaitu aspek hukum privat dan aspek hukum publik. Aspek hukum privat sesuai yang diatur pada Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu mengenai hak dan kewajiban dari konsumen. Sedangkan aspek hukum publik disini merupakan aspek hukum yang dimanfaatkan oleh negara, pemerintah instansi yang mempunyai peranan kemenangaan untuk melindungi kepentingan-kepentingan subyektif dari konsumen. Dimana dalam kenyataannya konsumen dalam mendapatkan haknya untuk mendapatkan ganti kerugian dari pelaku usaha tersebut sebagian memperoleh ganti kerugian dan sebagiannya tidak mendapatkan ganti kerugian.

Sebagai contoh dimana pelaku usaha membolehkan konsumen mengembalikan barang tiruan bermerek palsu tersebut kepada penjualnya, dan konsumen mendapatkan kembali uang yang telah diberikan kepada penjual barang tiruan bermerek palsu tersebut. Hal tersebut merupakan salah satu contoh ganti kerugian yang terjadi dalam penjualan barang tiruan bermerek palsu yang marak terjadi.

  • 1.2.2    Upaya Hukum yang Dilakukan Para Konsumen Terkait Transaksi Jual Beli Barang Bermerek Palsu Secara Online

Perkembangan perekonomin yang sangat pesat ini dalam bidang perindustrian maupun dalam lingkup nasional perdagangan telah banyak dapat menghasilkan produksi yang berupa barang dan jasa yang sangat bervariasi yang dapat berguna dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Globalisasi dan perdagangaan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi yang pesat juga kiranya menjadi peluang untuk memperluas ruang gerak dari arus transaksi barang dan jasa tersebut di kalangan masyarakat.8 Tiap orang dalam masyarakat bebas untuk melakukan usaha apa saja yang mereka kehendaki. Jika seseorang dalam memajukan usahanya tersebut dengan menghalalkan segala cara seperti halnya membohongi khalayak ramai hanya untuk mendapatkan keuntungan yang berlimpah, sehingga perbuatannya tersebut merugikan usaha orang lain yang dapat digugat dalam persaingan yang tidak jujur tersebut dapat diajukan tuntutan atas kerugian telah melakukan perbuatan melanggar hukum untuk membayar kerugian.

Pada Pasal 1 Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indokasi Geografis telah menyatakan tentang pengertian “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Berikut adalah salah satu pendapat dari Mr. tirtaamidjaya mengenai pengertian dari Merek tersebut yang mensitir pendapat dari Prof.Vollmar, memberikan pendapatnya yaitu “ suatu merek pabrik atau merek perniagaan adalah suatu tanda yang dibubuhkan di atas barang atau di atas bungkusannya, gunanya membedakan barang itu dengan barang-barang yang sejenis lainnya”.9

Merek hanya dapat diberikan kepada pemohon yang memiliiki itikad baik yaitu mendaftarkan merek secara layak dan jujur tanpa ada maksud tersembunyi untuk meniru, menjiplak merek terkenal yang merupakan milik dari pihak lain yang nantinya akan menimbulkan kecurangan dalam persaingan usaha dan menyesatkan para konsumen nantinya. Hal tersebut tercermin dalam pernyataan yang termuat didalam Pasal 21 Undang-undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang menyatakan “Permohonan Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beriktikad tidak baik”. 10 Terkait dengan

penjualan barang bermerek palsu secara online ini dikaitkan juga dengan Pasal 46, 47, dan 49 Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang menyatakan sebagai berikut :

Dalam pasal 46 Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa transaksi elektronik yang dilakukan para pihak memberikan akibat hukum kepada para pihak dan selanjutnya yang mana penyelenggaraan transaksi elektronik tersebut dilakukan wajib memiliki itikad baik, transparansi, prinsip kehati-hatian, akuntabilitas, dan kewajaran.

Dalam Pasal 47 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menyatakan transaksi elektronik dapat menggunakan acuan Kontrak Elektronik ataau bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak. Selanjutnya Pada ayat (2) terdapat kontrak antara pihak kontrak elektronik dianggap sah aapabila: a. terdapat kesepakatan para pihak; b.dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. terdapat hal tertentu; dan d. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan,dan ketertiban umum.11

Dalam Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik

menegaskan bahwa pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Selanjutnya Pada ayat (2) lebih ditegaskan lagi bahwa pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan. Jika barang yang diterima tidak sesuai dengan yang diiperjanjikan, maka Pasal 49 ayat (3) mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi. Selain itu konsumen dapat mengajukan gugatan secara perdata dengan dalih terjadinya wanprestasi atas transaksi jual beli barang tersebut kepada pelaku usahaa apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan yang diperjanjikan diawal dan pada ketentuan di foto. 12

Penggunaan merek tanpa izin yang dilakukan oleh pelaku usaha/produsen tersebut, mengharuskan pemilik merek mendaftarkan mereknya dengan aturan yang benar sesuai dengan aturan yang ada agar tidak terjadinya permasalahan akan penggunaan merek tanpa izin yang marak terjadi belakangan ini.13 Jika terjadi penggunaan merek tanpa izin tersebut, maka pemilik merek dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang tanpa seizin

dari pemilik merek menggunakan merek yang mempunyai kesaamaan pada pokok atau keseluruhannya untuk barang dan jasa yang sejenis. Pengajuan tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Niaaga, yang berupa gugatan ganti rugi dan/atau penghentian perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tanpa izin tersebut seperti yang tercantum dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.14

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pihak- pihak yang berhak menggugat atas pelanggaran merek tersebut adalah penerima Lisensi Merek terdaftar baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan pemilik Merek yang bersangkutan. Pengajuan gugatan tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Niaga yang mana pengadilan tersebut berwenang dalam penyelesaian sengketa tersebut. Lain halnya apabila pemilik merek yang asli telah memberikan lisensinya kepada pihak lain maupun pihak ketiga seperti halnya yang tercantum dalam Pasal 42 pada ayat (1) Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menyatakan “Pemilik Merek terdaftar dapat memberikan Lisensi kepada pihak lain untuk menggunakan Merek tersebut baik sebagian maupun seluruh jenis barang dan/ atau jasa”. Pemberian lisensi tersebut perlu adanya sebuah kewajiban perjanjian yaitu perjanjian lisensi yang wajib dimohonkan pencatatannya kepada menteri dengan dikenakan biaya.

Penggunaan merek terkenal tanpa izin tersebut masih sangat marak dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab,

yang mana hanya mementingkan hasil atau keuntungan yang akan didapat dari penjualan barang tiruan bermerek palsu tersebut tanpa memikirkan kerugian yang akan didapat oleh para konsumen nantinya. Dengan aturan yang sudah ada tersebut seharusnya tidak ada lagi pelaku usaha yang menjual barang tiruan bermerek palsu secara online, karena telah sangat jelas diatur apabila menggunakan merek terkenal tanpa izin tersebut dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Niaga. Tetapi nyatanya masih sangat marak terjadi dikalangan masyarakat.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

Perlindungan hukum terhadap konsumen terkait dengan transaksi jual beli barang bermerek palsu secara online tersebut sebagaimana yang diatur telah dalam Pasal 4 Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bahwa konsumen mendapatkan pertanggungjawaban atas haknya yang telah dilanggar oleh pelaku usaha. Dan Upaya hukum yang dilakukan oleh para konsumen terkait dengan transaksi jual beli barang bermerek palsu secara online tersebut adalah pihak yang merasa dirugikan (konsumen) dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga yaitu gugatan ganti kerugian dan/atau penghentian perbuatan terkait dengan penggunaan merek tanpa izin tersebut oleh pelaku usaha/produsen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

  • 3.2    Saran

Saran yang dapat diberikan adalah sebaiknya para konsumen lebih teliti dan jeli lagi dalam kegiatan pembelanjaan online karena maraknya penjualan barang bermerek palsu yang mana penjual tiidak memberikan informasi secara jelas, jujur, dan terperinci akan spesifikasi produk yang dijualnya. Hal tersebut akan menimbulkan kerugian bagi para konsumen tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku- buku :

Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.

Saidin, H. OK, 2010, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Supasti Dharmawan, Ni Ketut, 2018, Harmonisasi Hukum Kekayaan Intelektual Indonesia, Swasta Nulus, Denpasar.

Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta.

Jurnal Ilmiah :

Belly Riawan, I Made Mahartayasa, 2015, “Perlindungan Konsumen Dalam Kegiatan Transaksi Jual Beli Online Di Indonesia”, Kertha Semaya, Vol. 03, No. 01, Januari 2015, hal. 3, Nama Situs: ojs.unud.ac.id,URL:http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasem aya/article/view/8269/6169, diakses 10 Juni 2019, jam 13.00 WITA.

I Nyoman Ari Kurniawan, “Akibat Hukum Penjualan Barang Bermerek Palsu” ,

URL: file:///C:/Users/Lenovo/Downloads/21899-1-42667-1-10-20160714.pdf

Irma Lestari Ayomi, 2017, “Perlindungan Hukum Merek Dagang Bagi Konsumen Terhadap Barang Tiruan Menurut UU No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek”, Vol. 5, No. 6, Agustus 2017, hal. 78, URL :file:///D:/Download/17314-34912-1-SM.pdf, diakses 10 Juni 2019, jam 13.40 WITA.

Moh.Nafri, 2017, “Perlindungan Hukum terhadap Pemalsuan Merek Dagang Terkenal Asing di Indonesia”, URL : file:///C:/Users/Lenovo/Downloads/254-475-1-SM.pdf.

Ni Nyoman Nadia Ratna P, Ni Ketut Supasti Dharmawan, 2013, Pelanggaran Merek Terkenal Melalui Jual Beli Barang di Media Jejaring Sosial Facebook, Kertha Semaya, Vol. 01, No. 01, Januari 2013, hal. 2, Nama situs : ojs.unud.ac.id, URL : file:///D:/Download/4480-1-6840-1-10-20130130.pdf, diakses 1 November 2019, jam 10.00 WITA.

Paulina Kasih, 2017, “Perlindungan Hukum bagi Masyarakat

Terhadap Peredaran Barang Palsu”, URL:   http://e-

journal.uajy.ac.id/11594/1/Jurnal.pdf.

Ryan Samuel Sitohang, 2019, “Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Provider Jual Beli Online atas Penjualan Barang-Barang Palsu”, URL:http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/ 16180/140200264.pdf?sequence=1

Suwari Akhmaddhian,  2016,  “Perlindungan  Hukum Terhadap

Konsumen Dalam  Transaksi Jual Beli  Secara  Elektronik

Indonesia”, Vol. 3, No. 2, Juli 2016, hal. 46, URL : https://www.journal.uniku.ac.id/index.php/unifikasi/article/vi ewFile/409/335, diakses 12 Juni 2019, jam 16.00 WITA.

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang No. 8 tahun1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

20


21