KOMPETENSI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM MENGADILI PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA ANTARA PERWAKILAN DIPLOMATIK DENGAN PEKERJA LOKAL
on
KOMPETENSI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM MENGADILI PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA ANTARA PERWAKILAN
DIPLOMATIK DENGAN PEKERJA LOKAL∗
Oleh:
Monik Ananda Kusuma Pratiwi** I Gusti Ngurah Dharma Laksana***
Program Kekhususan Peradilan
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Hubungan kerja antara perwakilan diplomatik dengan pekerja lokal yang tidak harmonis berpotensi menimbulkan perselisihan. Salah satu perselisihan yang sering terjadi ialah pemutusan hubungan kerja. Perwakilan Diplomatik disatu sisi memiliki hak kekebalan atau hak istimewa tertentu, yaitu untuk mendapat perlindungan dari negara penerima dan hak kekebalan hukum terhadap yurisdiksi negara penerima. Namun disisi lain jika terdapat perselisihan perwakilan diplomatik juga dituntut untuk bertanggung jawab. Jurnal ini akan membahas bagaimana hubungan hukum antara perwakilan diplomatik dengan pekerja lokal menurut perspektif Hukum Ketenagakerjaan Indonesia dan bagaimana kompetensi Pengadilan Hubungan Industrial dalam mengadili perkara yang melibatkan perwakilan diplomatik dengan pekerja lokal. Jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder dimana seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dan hasil penelitian disajikan dalam bentuk laporan yang bersifat deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perwakilan diplomatik adalah pemberi kerja sehingga ia tunduk dan terikat pada UU No. 13 Tahun 2003. Serta, berdasarkan SEMA No. 4 Tahun 2016 ditentukan bahwa perselisihan pemutusan hubungan kerja antara perwakilan diplomatik dengan pekerja
lokal dapat diajukan gugatannya kepada Pengadilan Hubungan Industrial. Sehingga menurut penulis perwakilan diplomatik tidak dapat lagi bersikap acuh dan sewenang-wenang karena hak kekebalan yang dimilikinya.
Kata Kunci: Pekerja Lokal, Pemutusan Hubungan Kerja, Perwakilan
Diplomatik, Pengadilan Hubungan Industrial
Abstract
A Employment relationship between diplomatic representatives and Local Workers who are Not-harmonius are considered to cause disputes. One of the most disputes are termination of employment. Diplomatic on one hand has certain immunity rights or privileges, that is, that is, they are entitled to protection from the recipient country and the right to impunity for the jurisdiction of the recipient country. But on the other hand, if there is a dispute, diplomatic representatives are also required to be responsible. This journal will discuss how the legal relationship between diplomatic representative and local workers according to Indonesian Labor Law and how the Competence of the Industrial Relations Court in adjudicating cases involving Diplomatic Representatives and local workers. This journal uses normative legal research methods. The data used are secondary data where all collected are analyzed using qualitative methods and the results of the study are presented in the form of descriptive-analytical reports. The results showed that diplomatic representatives were employers, so he was subject and bound to UU Number 13 of 2003. Also, based on SEMA number 4 of 2016 stipulates that disputes over termination of employment between local workers and Diplomatic Officers, a lawsuit can be submitted with the Industrial Relations Court. So according to the author, the diplomatic representative is no longer indifferent and arbitrary because of his immune rights.
Keywords: Local Workers, Termination of Employment, Diplomatic
Representative, Industrial Relations Court.
Negara merupakan subjek utama Hubungan Internasional. Suatu negara (Negara Pengirim) melakukan Hubungan Internasional dengan mengirimkan perwakilan diplomatiknya ke
negara lain (Negara Penerima) yang didasarkan atas adanya kesepakatan bersama antar negara bersangkutan. Orang-orang yang ditunjuk oleh Negara Pengirim sebagai perwakilan diplomatik tersebut terdiri dari kepala utusan dan anggota-anggotanya. Untuk kepentingan urusan politik, perwakilan diplomatik memiliki suatu Kantor perwakilan diplomatik yang berkedudukan secara permanen di ibu kota Negara Penerima.
Dalam Konvensi Wina 1961 Pasal 8 ayat (2) menentukan bahwa, “Members of the diplomatic staff of the mission may not be appointed from among persons having the nationality of the receiving State, except with the consent of that State which may be withdrawn at any time”, hal ini menunjukan bahwa pekerja yang bekerja di Kantor Perwakilan Diplomatik tidak seluruhnya merupakan warga negara yang berasal dari Negara Pengirim melainkan terdapat pula pekerja warga negara dari Negara Penerima. Hubungan kerja antara perwakilan diplomatik negara pengirim dengan pekerja lokal warga negara Indonesia berdasarkan atas perjanjian kerja. Apabila terjadi ketidakharmonisan hubungan kerja antara perwakilan diplomatik dengan pekerja lokal maka dapat menimbulkan terjadinya perbedaan pendapat bahkan perselisihan. Salah satu potensi perselisihan tersebut ialah pemutusan hubungan kerja. Terhadap perselisihan pemutusan hubungan kerja tersebut perwakilan diplomatik dituntut untuk bertanggungjawab atas pemenuhan hak pekerja lokal.
Namun Perwakilan Diplomatik memiliki hak kekebalan atau hak-hak istimewa (hak privileges) tertentu, yaitu berhak mendapat perlindungan dari negara penerima dan hak kekebalan hukum terhadap yurisdiksi negara penerima, hal ini tentu menyebabkan seorang perwakilan diplomatik tidak dapat dituntut atau digugat secara hukum. Selain itu, berdasarkan Asas Teritorialitas Pasif,
bahwa kantor Diplomatik suatu negara yang berkedudukan di negara lain merupakan bagian dari yurisdiksi negara bersangkutan sehingga, hukum yang dianut di Kantor Perwakilan tersebut adalah hukum nasional negara bersangkutan.
Atas kondisi tersebut diatas, penulis kemudian tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul “Kompetensi Pengadilan Hubungan Industrial dalam Mengadili Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja antara Perwakilan Diplomatik dengan Pekerja Lokal”.
Permasalahan yang dapat ditarik berdasarkan uraian pada latar belakang di atas adalah sebagai berikut:
-
1. Bagaimanakah hubungan hukum antara perwakilan diplomatik dengan pekerja lokal menurut Hukum Ketenagakerjaan Indonesia?
-
2. Bagaimanakah kompetensi Pengadilan Hubungan Industrial dalam mengadili perkara pemutusan hubungan kerja antara perwakilan diplomatik dengan pekerja lokal?
Penulisan karya ilmiah ini memiliki dua tujuan yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
-
1. Tujuan umum: sebagai bentuk penuangan pemikiran bagi mahasiswa yang membutuhkan pengetahuan lebih dalam, khususnya bagi seorang mahasiswa di bidang hukum ketenagakerjaan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
-
2. Tujuan khusus: untuk mengetahui bagaimana hubungan hukum antara perwakilan diplomatik dengan pekerja lokal
menurut Hukum Ketenagakerjaan Indonesia dan kompetensi pengadilan hubungan industrial dalam mengadili perselisihan pemutusan hubungan kerja antara perwakilan diplomatik dengan pekerja lokal.
Metode Penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif dengan dua jenis pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (the case approach). Bahan hukum sekunder diperoleh dari studi kepustakaan (library research) dan penyusunan kerangka konsepsional yang menggunakan rumusan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Data-data yang sudah diperoleh tersebut dianalisis secara kualitatif deskriptif dan hasil penelitian disajikan dalam laporan yang bersifat deskriptif analisis.
-
2.2 Hasil dan Pembahasan
-
2.2.1 Hubungan Hukum antara Perwakilan Diplomatik dengan Pekerja Lokal Menurut Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Perwakilan diplomatik bertindak atas nama atau atas tanggungjawab negaranya untuk melakukan hubungan diplomatik. Orang-orang yang ditunjuk oleh Negara Pengirim sebagai perwakilan diplomatik terdiri dari kepala utusan dan anggota-anggotanya. Untuk kepentingan urusan politik, perwakilan diplomatik memiliki suatu Kantor perwakilan diplomatik yang berkedudukan secara permanen Negara Penerima serta diberikan kekebalan hukum untuk kepentingan diplomatiknya.
-
Perlindungan pribadi atau kekebalan-kekebalan pribadi yang dimiliki oleh perwakilan diplomatik diatur dalam Article 29 Vienna
Convention 1961 yang berbunyi “The person of a diplomatic agent shall be inviolable…” yang berarti bahwa Perwakilan Diplomatik tidak dapat dipertanggungjawabkan. Negara penerima wajib menperlakukan dengan hormat serta mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah setiap gangguan terhadap pribadinya, kebebasannya, atau martabatnya. Kekebalan diplomatik tersebut meliputi dua lingkup yakni, perlindungan dari alat kekuasaan negara penerima (inviolability) dan kekebalan terhadap yurisdiksi negara penerima (immunity). Perwakilan diplomatik secara mutlak tidak dapat diajukan di depan pengadilan negara penerima atas perbuatan pidana yang mereka lakukan, namun terhadap yurisdiksi perdata dan administrasi kekebalan tersebut dapat dikecualikan sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1961. Negara penerima dapat mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mencegah gangguan atau serangan terhadap kebebasan diri pribadi dan kehormatan seorang perwakilan diplomatik sebagai wujud perlindungan yang diberikan. Sehingga perwakilan diplomatik terhindar dari segala bentuk gangguan yang merugikan pribadinya.1
Dalam menjalankan tugasnya besar kemungkinan bahwa perwakilan diplomatik melakukan pelanggaran. Sebagai perwakilan dari suatu negara tidak sepatutnya perwakilan diplomatik memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan tugas dan fungsinya serta melanggar hukum nasional negara penerima. Walaupun para perwakilan diplomatik memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi negara penerima, tetapi kekebalan tersebut dapat ditanggalkan atau dihapus sebagaimana diatur dalam Article 32 paragraph 1 Vienna Convention 1961, “The
immunity from jurisdiction of diplomatic agents … may be waived by the sending State”, yang berarti bahwa Negara penerima berhak untuk menanggalkan atau menolak kekebalan perwakilan diplomatik. Kekebalan tersebut bersifat relatif karena negara penerima berwenang untuk menyatakan penolakan terhadap perwakilan diplomatik yang dinilai bermasalah dengan menyatakan persona non grata terhadap perwakilan diplomatik tersebut. Persona non grata merupakan suatu bentuk sikap politik oleh pemerintah dari negara penerima yang menyatakan penolakan terhadap perwakilan diplomatik yang berada di wilayah negaranya.
Berdasarkan Asas Teritorialitas Pasif, kantor perwakilan diplomatik yang berkedudukan di negara lain merupakan bagian dari yurisdiksi negara yang bersangkutan sehingga hukum yang diterapkan di Kantor Perwakilan tersebut adalah hukum Nasional negara yang bersangkutan. Apabila terjadi suatu perbuatan hukum dalam yurisdiksi negara yang bersangkutan (Kantor Perwakilan), walaupun berada dalam wilayah Indonesia, maka tentunya tidak dapat diberlakukan Hukum Nasional Indonesia. Namun demikian, apabila suatu perbuatan hukum secara langsung maupun tidak langsung telah bersinggungan dengan wilayah negara Indonesia, maka semestinya proses hukum terhadap perbuatan hukum tersebut tetap memperhatikan kaidah-kaidah dan kebiasaan dari negara Indonesia.2
Dalam Konvensi Wina 1961 Pasal 8 ayat (2) menentukan bahwa, “Members of the diplomatic staff of the mission may not be appointed from among persons having the nationality of the receiving State, except with the consent of that State which may be withdrawn at any time”, hal ini menunjukan bahwa pekerja yang bekerja di
Kantor Perwakilan Diplomatik tidak seluruhnya merupakan warga negara dari Negara Pengirim melainkan terdapat pula yang berstatus sebagai warga negara dari Negara Penerima. Hubungan kerja antara perwakilan diplomatik negara lain dengan pekerja lokal dilakukan berdasarkan atas perjanjian kerja. Apabila terjadi ketidakharmonisan hubungan kerja antara perwakilan diplomatik negara lain dengan pekerja lokal maka dapat memicu adanya perbedaan pendapat bahkan perselisihan, salah satunya ialah perselisihan pemutusan hubungan kerja.
Di Indonesia sendiri, mengenai penyelesaian perselisihan hubungan kerja yang melibatkan pekerja swasta mengacu kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial adalah suatu Lembaga pengadilan khusus di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan hubungan industrial, salah satunya ialah perselisihan pemutusan hubungan kerja. Suatu perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat timbul apabila ada pertentangan pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan atasan maupun pekerja itu sendiri.
PHK dalam UU Ketenagakerjaan diartikan sebagai suatu bentuk pengakhiran hubungan kerja yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh/pekerja dengan pengusaha. PHK merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan dan dihindari, karena dapat menyebabkan pekerja/buruh yang bersangkutan kehilangan mata pencahariannya untuk menghidupi diri dan keluarganya. Oleh karena PHK dapat berdampak kompleks dan cenderung berujung perselisihan, maka mekanisme PHK diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan perlindungan terhadap
buruh/pekerja sehingga dapat memperoleh hak-haknya sesuai dengan undang-undang.3
Apabila memandang secara kaku pengertian yang diberikan oleh undang-undang tersebut, hanya terbatas antara pekerja dengan pengusaha, Perwakilan Diplomatik bukan termasuk pengusaha. Hal inilah kemudian menimbulkan persepsi bahwa Undang-undang Ketenagakerjaan tidak dapat menjadi payung hukum bagi perjanjian kerja antara pekerja lokal dengan Perwakilan Diplomatik dan juga Pengadilan Hubungan Industrial tidak berwenang mengadili Perwakilan Diplomatik.
Pada prinsipnya, Perwakilan Diplomatik yang berada di Indonesia bukan merupakan Aparatur Sipil Negara dan dikategorikan sebagai pemberi kerja sebagaimana unsur pemberi kerja dalam Pasal 1 angka 4 UU Ketenagakerjaan, dimana Perwakilan diplomatik merupakan orang perseorangan yang mempekerjakan pekerja lokal dengan memberikan upah dan hak-hak pekerja lainnya. Hubungan antara perwakilan diplomatik dan pekerja lokal tersebut diatur dalam sebuah perjanjian kerja yang memuat kesanggupan dari pihak pekerja untuk bekerja pada pemberi kerja dengan mendapat upah dan sebaliknya, pemberi kerja menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.4 Hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja adalah hubungan kerja sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan.5
Isi dari perjanjian kerja pada hakikatnya mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak sekaligus mengatur tata cara penyelesaian perselisihan dan keterangan bahwa perjanjian tersebut dibuat secara bebas dan sukarela. Selanjutnya perjanjian kerja tersebut ditandatangani dan dibubuhkan materai sebagai tanda bahwa perjanjian kerja tersebut telah terjadi secara sah dan mengikat. Sehingga apabila dalam pelaksanaannya ada pihak yang ingkar, maka perjanjian kerja yang ditandatangani tersebut digunakan sebagai alat bukti.6
Jadi, berdasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian kerja tersebut memberikan konsekuensi bahwa masing-masing pihak tunduk dan terikat pada isi dari perjanjian kerja tersebut. Perjanjian kerja yang melibatkan pekerja warga negara Indonesia dan ditandatangani di wilayah Negara Indonesia tentu tunduk pada Hukum Nasional Indonesia sehingga, Perwakilan diplomatik dengan ini dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dari isi perjanjian kerja tersebut serta ia dapat dinyatakan menundukkan diri pada UU Ketenagakerjaan Indonesia.
-
2.2.2 Kompetensi Pengadilan Hubungan Industrial dalam Mengadili Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja antara Perwakilan Diplomatik dengan pekerja lokal
Oleh karena hubungan kerja serta perjanjian kerja antara pekerja lokal yang bekerja di Kantor Perwakilan Diplomatik mengacu pada UU Ketenagakerjaan maka segala perselisihan yang terjadi dapat dilakukan penyelesaiannya menurut UU Ketenagakerjaan.
Sesuai dengan kompetensi absolut PHI sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka penyelesaian perkara pemutusan hubungan kerja dilakukan dengan mengajukan gugatan ke PHI setelah perselisihan tersebut gagal diselesaikan secara bipatrit, mediasi atau konsiliasi.7 Dapat dikatakan bahwa proses penyelesaian perkara tersebut di PHI telah mengesampingkan hak kekebalan dan hak istimewa yang dimiliki oleh perwakilan diplomatik dengan memperhatikan isi dari perjanjian kerja kedua belah pihak.
Hal tersebut diperkuat dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang menentukan bahwa, “Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) berwenang memeriksa dan memutus perselisihan pemutusan hubungan kerja antara tenaga kerja/pekerja/ pegawai/staf lokal dengan perwakilan Negara asing (Kedutaan Besar, Kuasa Usaha, dan lain-lain) yang ada di Indonesia karena Perwakilan Negara asing adalah pemberi kerja sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu terhadap perjanjian kerja yang dibuat perwakilan Negara asing dengan tenaga kerja/pekerja/pegawai/staf lokal berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan kembali bahwa perwakilan Diplomatik dikategorikan sebagai pemberi kerja serta hubungan kerja antara perwakilan diplomatik dengan pekerja lokal berdasarkan atas perjanjian kerja tersebut berlaku ketentuan UU
Ketenagakerjaan, serta segala perbuatan hukum terhadap perjanjian kerja tersebut dapat diperiksa dan diadili oleh PHI.
Sebelum Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut berlaku, di beberapa Pengadilan Hubungan Industrial yang ada di Indonesia telah mengadili perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja antara pekerja lokal dengan Perwakilan Diplomatik. Sebagai contoh,8 perkara perselisihan PHK antara Kedutaan Besar Brazil di Jakarta melawan Luis Pereira. Dalam putusan judex factie, majelis hakim PHI Jakarta menghukum Kedubes Brazil di Jakarta untuk membayar upah kompensasi dan upah proses yang totalnya mencapai Rp 485 juta. Majelis hakim dalam pertimbangannya bahwa berdasarkan perjanjian kerja yang memuat pilihan hukum Indonesia, kemudian menyimpulkan Brazil harus tunduk pada hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Kemudian terhadap putusan itu Kedubes Brazil mengajukan kasasi. Dalam memori kasasinya pihak Kedubes tetap berpegang pada Konvensi Wina 1961 dengan mengutip kekebalan hukum yang dimiliki kedutaan besar terhadap yurisdiksi hukum negara penerima. Putusan judex yuris Nomor 376K/Pdt.Sus-PHI/2013, dalam amarnya menolak permohonan kasasi Kedubes dengan pertimbangan bahwa Kedubes Brazil selaku pemberi kerja melakukan PHK tanpa ada kesalahan terhadap Luis yang telah bekerja selama 6 tahun. Untuk itu majelis kasasi menilai Luis Pereira berhak menerima kompensasi PHK dan upah proses sebagaimana putusan PHI Jakarta sebelumnya.
Sebagai contoh perkara yang lain, Perkara perselisihan antara Indra Taufiq Djafar melawan konsulat Amerika Serikat (AS) di Medan dan Kedubes AS di Jakarta. Sebagaimana putusan judex factie Nomor 673K/Pdt.Sus/2012, PHI Medan dalam amarnya
memutus gugatan tidak dapat diterima. Kemudian terhadap Putusan PHI Medan tersebut dilakukan upaya hukum kasasi. Dalam pertimbangannya, majelis kasasi menyebut amar putusan PHI Medan yang memutus gugatan Indra Taufiq tidak dapat diterima karena bukan kompetensi PHI adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Gugatan Indra Taufiq tersebut mengenai PHK atas dirinya yang terjadi di wilayah hukum Indonesia, maka demi hukum yang berlaku adalah hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Oleh karenanya putusan kasasi dalam amarnya mengabulkan kasasi Indra Taufiq dan membatalkan putusan PHI Medan.
Dengan telah diberlakukannya SEMA No. 4 Tahun 2016 tersebut, maka telah memberikan kepastian hukum bagi hubungan kerja antara pekerja lokal dengan perwakilan diplomatik dimana perjanjian kerjanya mengacu pada UU Ketenagakerjaan. Serta proses penyelesaian perkara yang melibatkan pekerja lokal dengan perwakilan diplomatik dapat diadili oleh Pengadilan Hubungan Industrial.
-
1. Pada prinsipnya, perwakilan diplomatik merupakan pemberi kerja sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Ketenagakerjaan, oleh karena Perwakilan diplomatik merupakan orang perseorangan yang mempekerjakan pekerja lokal dengan memberikan upah dan hak-hak pekerja lainnya. Hubungan hukum antara perwakilan diplomatik dan pekerja lokal didasarkan pada perjanjian kerja, sehingga masing-masing pihak tunduk dan terikat pada ketentuan yang ada di dalam UU Ketenagakerjaan Indonesia.
-
2. Berdasarkan SEMA No. 4 Tahun 2016 ditentukan bahwa
Pengadilan Hubungan Industrial berwenang mengadili perselisihan pemutusan hubungan kerja antara pekerja lokal dengan perwakilan Negara asing yang ada di Indonesia karena Perwakilan Negara asing adalah pemberi kerja. Sehingga perselisihan pemutusan hubungan kerja antara perwakilan Diplomatik dengan pekerja lokal dapat diajukan gugatannya kepada Pengadilan Hubungan Industrial yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
-
1. Berdasarkan SEMA No. 4 Tahun 2016 tersebut, maka untuk memberikan kepastian hukum dalam perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja lokal dan Perwakilan Diplomatik diharapkan Kantor Perwakilan Diplomatik yang mempekerjakan pekerja lokal mematuhi hukum Ketenagakerjaan Indonesia.
-
2. Apabila terdapat gugatan perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja terhadap Perwakilan diplomatik yang diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial diharapkan Perwakilan Diplomatik tidak lagi acuh dan bertindak sewenang-wenang dengan mendasarkan pada Hak Kekebalan yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Damanik, Sehat, 2006, Outsourcing dan Perjanjian Kerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, DSS Publishing, Jakarta.
Husni, Lalu, 2006, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Khakim, Abdul, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Kusumo, Sumaro Suryono, 1995, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Alumni, Bandung.
Salam, Faisal, 2009, Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Industrial di Indonesia, Bandar Maju, Bandung.
Thamrin Bakri, dkk, 2005, Pedoman Perjanjian Kerja, Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali.
Ali Sentosa, “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Diplomat Yang Melakukan Tindakan Melawan Hukum Dihubungkan Kekebalan Diplomatik”, Journal of International Law,
Universitas Sumatera Utara, Medan, Vol. 1, No. 1, 2013.
Windy Lasut, “Penanggalan Kekebalan Diplomatik Di Negara Penerima Menurut Konvensi Wina 1961”, Jurnal Lex Crimen, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Vol. 5, No. 4, 2016.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d2e56023fa00/ph k-sepihak-pada-perwakilan-negara-asing-di-indonesia (Diakses pada 21 Juni 2019 13:20 WITA)
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ab3292f5772a/ked utaan-besar-asing-tunduk-pada-hukum-ketenagakerjaan-indonesia (diakses pada 21 Juni 2019 20:29 WITA)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1982 Tentang Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hal Memperoleh
Kewarganegaraan (Vienna Convention On Diplomatic Relations And Optional Protocol To The Vienna Convention On Diplomatic Relations Concerning Acquisition Of Nationality, 1961) dan Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Konsuler Beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna Convention On Consular Relations And Optional Protocol To The Vienna Convention On Consular Relation Concerning Acquisition Of Nationality, 1963) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3211).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356).
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan
16
Discussion and feedback