UPAYA DEBITOR UNTUK MENGHINDARI KEPAILITAN*

Oleh:

Ni Luh Gede Sri Suariyanti Laksmi**

Ni Luh Gede Astariyani***

Program Kekhususan Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Kepailitan merupakan hal terakhir yang digunakan kreditor untuk menagih utangnya pada debitor. Syarat-syarat untuk menyatakan debitor pailit tercantum pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, namun syarat yang begitu mudah ini berpotensi untuk disalahgunakan oleh beberapa kreditor yang tidak beritikad baik. Hal ini membuat debitor yang dalam keadaan solvenpun dapat dijatuhi putusan pailit dengan terpenuhinya syarat tersebut. Hal ini menjadi masalah bagi dunia bisnis di Indonesia jika tidak segera dibenahi. Dalam penulisan makalah ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Karena tidak dikenalnya istilah insolvency test pada hukum kepailitan di Indonesia, maka debitor dalam keadaan solven-pun dapat dipailitkan. Untuk menghindari kepailitan maka upaya yang dapat dilakukan oleh debitor yaitu dengan melunasi seluruh utangnya dan mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, namun masih ada upaya hukum bagi debitor solven yang telah dijatuhi putusan pailit oleh Pengadilan Niaga untuk dapat menyelamatkan usahanya dari kepailitan yaitu dengan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung untuk pembatalan putusan pailit tersebut.

Kata Kunci: Upaya, Menghindari, Kepailitan, Debitor

Abstract

Bankruptcy is the last thing creditors use to collect debts from debtors. The conditions for declaring bankrupt debtors are stated in

Article 2 paragraph (1) of Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Delay of Debt Payment Obligations, but this easy condition has the potential to be misused by some creditors who are not in good faith. This makes the debtor who is in solitary condition can be sentenced to a bankrupt decision with the fulfillment of these conditions. This has become a problem for the business world in Indonesia if it is not immediately addressed. In writing this scientific paper using normative legal research methods. Because of the unknown term insolvency test on bankruptcy law in Indonesia, even debtors in solvency can be bankrupt. To avoid bankruptcy, the effort that can be made by the debtor is to pay off all of its debts and submit a Suspension of Debt Payment Obligations, but there are still legal remedies for solvent debtors who have been sentenced to bankruptcy by the Commercial Court to save their business from bankruptcy. Agung for the cancellation of the bankruptcy decision.

Keywords: Efforts, Avoidance, Bankruptcy, Debtors

  • I.   PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Perkembangan zaman yang sangat pesat turut serta mempengaruhi perkembangan dunia usaha di Indonesia, hal ini menyebabkan badan usaha membutuhkan modal usaha untuk menjalankan dan mengembangkan kegiatan usahanya. Debitor baik perorangan maupun badan usaha pada umumnya memperoleh modal usaha yang berasal dari penanaman modal, kredit bank, lembaga keuangan non-bank, maupun dari pelaku usaha lainnya.

Debitor dan kreditor memiliki hak dan kewajibannya masing-masing dalam perihal utang-piutang baik yang timbul karena murni dari perjanjian utang-piutang maupun dilatarbelakangi perjanjian lain, sesuai dengan asas pacta sunt servanda.1

Permasalahan yang akan timbul setelah terjadinya perjanjian utang-piutang salah satunya adalah ketidakmampuan debitor

untuk melunasi utangnya kepada kreditor sebagaimana yang telah disepakati pada kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.

Seperti yang telah terjadi pada krisis moneter pada pertengahan Juli 1997 yang berdampak sangat luas terhadap perkembangan bisnis di Indonesia, turunya nilai tukar rupiah terhadap dollar yang sangat signifikan menyebabkan banyak perusahaan Indonesia tidak mampu membayarkan utangnya yang pada umumnya dalam bentuk dollar. Hal ini menyulitkan perusahaan untuk menjaga berlangsungnya kegiatan usahanya ataupun mengembangkan usahanya, sehingga berpengaruh besar terhadap kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para kreditor dan pada akhirnya perusahaan dinyatakan pailit.2

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU) menyatakan bahwa “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”.

Salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa utang-piutang adalah Kepailitan. Dengan syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pailit sebagaimana dituangkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, ada dua syarat yaitu debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan debitor tersebut tidak membyarkan sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi maka hakim harus menyatakan pailit debitor tersebut

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Seperti pada kasus PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Abdi Persada Nusantara, dan PT Telekomunikasi Seluler yang diputus pailit melalui putusan Pengadilan Niaga bahwa perusahaan yang solven begitu mudahnya dinyatakan pailit dengan pertimbangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut telah memenuhi syarat pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Putusan Pengadilan Niaga tersebut dinilai tidak sesuai dengan asas dan prinsip hukum kepailitan.

Kasus kepailitan yang menimpa perusahan di Indonesia didasari oleh syarat kepailitan yang terlalu sederhana, menybabkan meskipun keadaan debitor itu solven tetap bisa dipailitkan sepanjang sudah memenuhi syarat adanya utang yang tidak dibayar lunas serta adanya dua kreditor atau lebih.

Sehingga lembaga kepailitan yang seharusnya menjadi upaya terakhir sudah tidak diperhatikan justru menjadi upaya pertama sebagai peringatan terhadap debitor atau untuk menakut-nakuti debitor agar segera membayar utangnya.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Apakah debitor solven dapat dipailitkan?

  • 2.    Bagaimana upaya yang dapat dilakukan debitor untuk menghindari kepailitan?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Berdasarkan pada latar belakang tersebut tujuan dari penulisan nakalah ilmiah ini dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu:

  • 1.3.1.    Tujuan Umum

  • 1.    Untuk mengetahui apakah debitor solven dapat dipailitkan.

  • 2.    Untuk mengetahui bagaimana upaya yang dapat dilakukan debitor untuk menghindari kepailitan.

  • 1.3.2.    Tujuan Khusus

  • 1.    Untuk menganalisis apakah debitor solven dapat dipailitkan.

  • 2.    Untuk menganalisis bagaimana upaya yang dapat dilakukan debitor untuk menghindari kepailitan.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Dalam penulisan makalah ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum secara normatif dengan meneliti hukum dari persfektif internal yang objek penelitiannya adalah norma hukum, penelitian hukum normatif berperan untuk mempertahankan aspek kritis dari keilmuan hukumnya sebagai ilmu normatif yang sui generis.3 Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Peraturan dan Pendektan Fakta.

  • 2.2.    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1.    Debitor Solven Dapat Dipailitkan.

Kepailitan merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa dalam utang-piutang antara kreditor dan debitor. Salah satu paradigma yang ada pada hukum kepailitan yaitu adanya nilai keadilan sehingga tujuan dari hukum itu sendiri dapat tercapai yaitu memberikan kegunaan, manfaat, dan kepastian hukum. Namun belakangan hal ini mulai di kesampingkan oleh kreditor yang tidak beritikad baik dengan memanfaatkan celah dari Undang-Undang Kepailitan itu sendiri.

Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pailit kepada debitor terdapat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu:

  • 1.    debitor tersebut mempunyai dua atau lebih kreditor; dan

  • 2.    debitor tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Permohonan pernyataan pailit tersebut harus dikabulkan apabila kedua syarat tersebut telah terbukti secara sederhana sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Setelah dijatuhi putusan pailit, maka seluruh aset debitor akan dikuasai oleh kurator yang diberi kewenangan dan diawasi oleh hakim pengawas.

Hal ini tentunya dapat menjadi sebuah warning sign bagi para pelaku usaha yang berkedudukan sebagai debitor, pada dasarnya kepailitan harusnya menjadi jalan keluar terkahir bagi para pihak yang bersengketa, namun Undang-Undang Kepailitan seakan juga memberikan celah bagi para kreditor untuk mempailitkan debitor

yang tidak membayar utangnya saat jatuh tempo tanpa melihat kondisi keuangan debitor terlebih dahulu.4

Karena persyaratan yang begitu sederhana ini, debitor yang dalam keadaan solven (memiliki keadaan keuangan yang sehat) dapat terancam dipailitkan. Karena pada hukum kepailitan di Indonesia tidak mencantumkan insolvency (keadaan tidak mampu membayar) sebagai persyaratan untuk menyatakan debitor tersebut pailit. Insolvency merupakan suatu keadaan keuangan, yaitu keadaan keuangan yang terjadi ketika utang yang lebih dari satu yang dimiliki oleh debitor melebihi asetnya. Dengan demikian keadaan insolvency dapat menjadi dasar untuk debitor dinyatakan pailit, setiap debitor yang telah dinyatakan pailit pasti insolven.

Syarat-syarat pada Undang-Undang Kepailitan sangat menguntungkan bagi kreditor. Tidak diterapkannya insovency test pada hukum kepailitan di Indonesia menyebabkan debitor bangkrut secara hukum. Oleh karena tidak dimasukannya insolvency dalam syarat kepailitan di Indonesia menyebabkan banyak kasus perusahaan di Indonesia yang dalam keadaan solven namun diputus pailit oleh Pengadilan Niaga.

Dari syarat-syarat tersebut terlihat bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mempermasalahkan debitor tidak mampu membayar atau tidak mau membayar. Jadi walaupun Hakim berpendapat bahwa debitor dalam keadaan solven sehingga tidak layak untuk dipailitkan, namun hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menolak permohonan pailit.

Tentu hal tersebut akan sangat merugikan debitor yang dalam keadaan solven jika perusahannya dipailitkan tanpa memperhatikan kondisi keuangan perusahaannya. Seharusnya syarat kepailitan ditentukan bukan hanya debitor tidak membayarkan utangnya pada satu kreditor saja, tetapi tidak membayarkan lebih dari 50% dari total seluruh utang yg dimiliki debitor. Apabila debitor tidak membayarkan utangnya hanya pada satu kreditor yang mengusai sebagian besar utang debitor namun masih mampu menjalankan kewajibannya pada kreditor yang lainnya, maka kasus tersebut harusnya diperiksa dipengadilan perdata biasa sebagai kasus wanprestasi.5

  • 2.2.2. Upaya Yang Dapat Dilakukan Debitor Untuk Menghindari Kepailitan

Tujuan dari Undang-Undang Kepailitan ini untuk melindungi kreditor dari sikap debitor yang melalaikan kewajibannya terhadap kreditor, namun masih banyak debitor yang beritikad baik dan harus dilindungi.6 Hal ini menyebabkan debitor berada pada posisi yang lemah.

Untuk menghindari penyalahgunaan kepailitan yang dapat dilakukan oleh kreditor yang tidak beritikat baik, maka upaya yang dapat dilakukan oelh debitor yaitu:

  • 1.    Melunasi seluruh utangnya.

  • 2.    Mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Salah satu upaya agar debitor dapat terhindar dari kepailitan yaitu melunasi seluruh utang yang dimiliki kepada kreditor-kreditornya. Utang timbul karena adanya perjanjian utang-piutang yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang ada dalam

perjanjian tersebut. Debitor berkewajiban mengembalikan seluruh utang yang telah dipinjam kepada kreditor sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Apabila debitor telah melaksanakan seluruh kewajibannya untuk melunasi seluruh utang-utang yang dimiliki kepada kreditor, maka perjanjian utang-piutang tersebut telah selesai dan debitor tidak perlu khawatir kreditor aka mengajukan permohonan pailit terhadapnya karena seluruh utangnya telah dilunasi.

Mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang upaya yang dapat dilakukan debitor untuk mengajukan perdamaian dan membayarkan utang-utangnya yang telah jatuh waktu. Ada dua macam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berdasarkan pada sifat saat dijatuhkannya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh Pengadilan terhadap debitor yaitu penundaan sementara kewajiban pembayaran utang dan penundaan sementara kewajiban pembayaran utang yang bersifat tetap.7

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang telah ditetapkan oleh Pengadilan menyebabkan pemberhentian sementara kewajiban pembayaran utang oleh debitor yang telah jatuh wsaktu sampai dicapainya kesepakatan baru antara kreditor dan debitor. Penundaan pembayaran ini tidak menghapuskan kewajiban debitor untuk membayarkan utang-utangnya dan tidak mengurangi besaran utang yang wajib dibayarkan.8 Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terdapat beberapa Pasal yang mengatur mengenai upaya damai yang diatur pada Pasal 144 dan 145 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, perdamaian yang dimaksud disini dapat mengakhiri kepailitan.9

Selain itu masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh debitor yang dalam keadaan solven yang telah dijatuhi putusan pailit oleh Pengadilan Niaga. Dalam hal ini Pengadilan Niaga mempunyai kewenangan memeriksa dan memutuskan perkara-perkara di bidang perniagaan, tetapi tidak terbatas pada pemeriksaan perkara kepailitan. Sesuai penjelasan Pasal 284 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka Ketua Mahkamah Agung mempunyai kewajiban untuk membimbing dan mengawasi jalannya Peradilan Niaga agar terpenuhinya prinsip-prinsip hukum dari Peradilan Niaga.10

Adapun upaya hukum yang dilakukan Pengadilan Niaga dalam perkara keapilitan yaitu Peninjauan Kembali (PK) dan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 11 sampai 13 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh debitor. Akibat dari putusan pembatalan pernyataan pailit maka seluruh perdamaian yang mungkin terjadi akan gugur.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

  • 1.    Syarat-syarat kepailitan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang begitu mudah dan sederhana membuat adanya celah bagi kreditor yang tidak beritikad baik untuk mempailitkan debitornya. Di Indonesia tidak mengenal insolvency test sebelum diajukannya permohonan pailit maka dari itu debitor dalam keadaan solven dapat dipailitkan, sehingga Undang-Undang Kepailitan ini dapat disalahgunakan oleh kreditor yang tidak baik sebagai sarana penagihan utang bukannya upaya terakhir dari penyelesaian utang-piutang. Adapun tidak dibayarkannya utang oleh debitor solven terhadap kreditor semestinya tidak diperiksa di Pengadilan Niaga melainkan diperiksa oleh pengadilan negeri karena dikategorikan sebagai wanprestasi.

  • 2.    Upaya yang dapat dilakukan oleh debitor untuk menghindari kepailitan yaitu dengan melunasi seluruh utangnya terhadap kreditornya dan mengajukan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang. walaupun debitor solven telah dijatuhi putusan pailit oleh Pengadilan Niaga masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh debitor dalam keadaan solven untuk menyelamatkan asetnya dari kepailitan, yaitu dengan mengajukan Peninjauan Kembali ataupun mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.

  • 3.2.    Saran

  • 1.    Sudah saatnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di ubah pada bagian syarat syarat kepailitan dan mencantumkan insolvency maupun insolvency test sebagai salah satu syarat kepailitan agar hukum dapan mencapai tujuannya yaitu memberikan keadilan. Agar para kreditor nakal tidak menyalahgunakan kesederhanaan dari syarat kepailitan

tersebut, jika debitor tidak mau membayar dapat diajukan pada pengadilan negeri dengan gugatan wanprestasi.

  • 2.    Debitor yang dalam keadaan solven namun diajukan permohonan pailit oleh kreditornya sebaiknya telah mempersiapkan segala upaya hukum yang dapat dilakukan, karena mengingat kelemahan dari syarat kepailitan yang begitu sederhana, sewaktu-waktu dapat disalahgunakan oleh kreditor yang tidak beritikad baik dan merugikan debitor yang beritikad baik.

  • IV.    DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku:

Elyta Ras Ginting, 2018, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta

Gunawan Widjaja, 2009, Resiko Hukum dan Bisnis Bila Perusahaan Pailit, Forum Sahabat, Jakarta

Pasek Diantha I Made, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta

Sadi Is Muhamad, 2016, Hukum Perusahaan di Indonesia, Prenamedia Group, Jakarta

Serlika Aprilia, 2018, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Perspektif Teori), Setara Press, Malang

Supramono Gatot, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Prenamedia Group, Jakarta

Jurnal Ilmiah:

Gedalya Iryawan Kale, A.A.G.A Dharmakusuma, 2018, “Syarat Kepailitan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Debitor dalam Undang-Undnag Nomor 37 Tahun 2004”, Kertha Semaya, Vol. 06,   No.03, Mei 2018, hlm. 3, ojs.unud.ac.id, URL:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/407 30 diakses pada tanggal 27 Februari 2019 jam 12.00

I Gede Yudhi Ariyadi, A.A.G.A Dharmakusuma, Suantra Putrawan, 2016, “Mekanisme Permohonan Pernyataan Pailit Melalui Pengadilan Niaga”, Kertha Semaya, Vol. 04, No. 02, Februari 2016, hlm. 5, ojs.unud.ac.id, URL:

https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/190 85 diakses pada tanggal 15 Mei 2019 jam 19.30

Peraturan Perundang-Undangan:

Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131)

13