RELEVANSI PENGKUALIFIKASIAN

SANKSI KEBIRI KIMIAWI SEBAGAI

SANKSI TINDAKAN DALAM

HUKUM PIDANA

Oleh:

∗∗

I Putu Reza Bella Satria Diva

∗∗∗

I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Pengkualifikasian sanksi kebiri kimiawi dalam UU Perlindungan Anak sebagai sanksi tindakan menimbulkan adanya kekaburan dalam memandang tujuan dari sanksi kebiri kimiawi. Dalam penulisan ini berusaha memperjelas perbedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam hukum pidana serta relevansi pengkualifikasian sanksi kebiri kimiawi sebagai sanksi tindakan dalam hukum pidana. Melalui penelitian normatif, dengan menggunakan berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan terkait, penulis berusaha membedah permasalahan tersebut. Hasil dari penulisan ini menunjukkan bahwa sanksi pidana mengarah pada suatu penderitaan sedangkan sanksi tindakan mengarah pada pemulihan, dan membuat sanksi tindakan kebiri kimiawi telah berbeda dengan alasan utama tindakan dalam hukum pidana dan tidak relevan diterapkan dewasa ini karena lebih mengarah pada penjeraan yang dapat menimbulkan adanya double punishment.

Kata Kunci: Perlindungan Anak, Sanksi Tindakan, Kebiri Kimiawi

Abstract

The qualification of the chemical castration sanction in Child Protection Act as the sanctions of measures create an obscurity in looking the purpose of chemical castration sanction. In this paper attempts to clarify the differences of criminal sanctions and sanctions of measures in the criminal law and the relevance of qualifying for chemical castration sanction as the sanctions of measures in criminal law. Through the normative research, by using various literature and legislations, the author tries to dissect the problem. The results of this paper indicate that criminal sactions lead to suffering while the sanctions of measures lead to recovery and make the sanctions measures of chemical castration is different from the main reasons for measures in the criminal law and

Karya ilmiah ini adalah ringkasan diluar skripsi.

∗∗ I Putu Reza Bella Satria Diva adalah mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Udayana. Korepondensi: putureza22@gmail.com.

∗∗∗ I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana. Korespondensi: dikewidhiyaastuti@gmail.com.

irrelevant to applied nowadays because they are more directed to discouragement which can lead to double punishment.

Key Word: Legal Protection, The Sanctions of Measures, Chemical Castration.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Sebagai aset berharga, anak adalah putra kehidupan, potret masa depan kemajuan suatu bangsa dimasa yang akan datang.1 Hal ini karena anak merupakan tunas pewaris estafet cita-cita perjuangan bangsa.2 Dalam diri anak melekat harkat dan martabat yang harus dijunjung tinggi, sehingga berhak mendapatkan adanya regulasi jaminan perlindungan terhadap hukum.3 Sebagai negara hukum (rechtstaat) yang bukan berdasar pada kekuasaan semata (machstaat), tetapi yang berdasar pada supremasi hukum.4 Komitmen negara Indonesia dalam menjamin perlindungan hak anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Dalam pegimplementasiannya, peraturan yang menjadi payung hukum (Umbrella Act) dalam menjamin adanya perlindungan terhadap anak tersebut nyatanya belum mampu sepenuhnya menjawab akan adanya keresahan di dalam masyarakat, khususnya terhadap kejahatan kekerasan seksual

(pemerkosaan).5 Kejahatan tersebut telah berlangsung lama dan kian merambak layaknya fenomena gunung es, dikarenakan setiap tahunnya kejahatan terhadap anak mengalami peningkatan, sehingga menjadi bukti nyata bahwa jaminan yang pasti terhadap perlindungan anak untuk bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, belum terakomodir secara pasti dan matang.

Kondisi inilah yang seakan kemudian dinilai oleh Presiden (Joko Widodo) sebagai suatu kegentingan yang memaksa sehingga berujung pada dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut dengan Perpu Perlindungan Anak) yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut dengan UU Perlindungan Anak).

Materi muatan Perpu Perlindungan Anak yang dikeluarkan Presiden yang telah disahkan menjadi UU Perlindungan Anak sejatinya memuat beberapa hal yakni adanya suatu ketentuan sanksi tindakan berupa kebiri kimiawi yang diatur dalam Pasal 81 ayat (7) UU Perlindungan Anak, dengan tujuan untuk mengurangi tingkat kekerasan seksual terhadap anak dan membuat efek jera bagi pelaku. Pengkualifikasian kebiri kimiawi sebagai sanksi tindakan

menimbulkan konsekuensi yakni memulihkan (efek positif) dan bukan menderitakan (efek negatif) yang sesungguhnya merupakan ciri khas dari sanksi pidana. Namun dalam kenyataannya kebiri kimiawi malah menimbulkan efek negatif pada diri pelaku setelah menerima sanksi kebiri kimiawi tersebut.6 Kekeliruan pengkualifikasian sanksi tindakan kebiri kimiawi ini berimplikasi pada kekaburan dalam memandang apakah tujuan dari sanksi tindakan kebiri kimiawi memberikan pemulihan atau penderitaan.

  • 1.2    Rumusan Masalah

    • 1.2.1    Apakah perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam hukum pidana?

    • 1.2.2    Apakah sanksi kebiri kimiawi relevan dikualifikasikan sebagai sanksi tindakan dalam hukum pidana?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

    • 1.3.1    Tujuan Umum

Untuk memberikan sedikit gambaran terkait pengkualifikasian sanksi dalam hukum pidana.

  • 1.3.2    Tujuan Khusus

    • 1.3.2.1    Untuk mengetahui perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam hukum pidana.

    • 1.3.2.2    Untuk mengetahui relevansi pengkualifikasian sanksi kebiri kimiawi sebagai sanksi tindakan dalam hukum pidana.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode analisis normatif, yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek.7 Dalam rangka memecahkan masalahnya menggunakan jenis pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).8 Penggunaan bahan hukum dalam penulisan ini terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan terkait, dan bahan hukum sekunder berupa buku, tesis, jurnal ilmiah, dan situs internet. Bahan hukum yang digunakan ditelusuri dengan teknik studi dokumen, dengan teknik analisis deskripsi, interpretasi, evaluatif, dan argumentatif.

  • 2.2    Hasil & Analisis

    2.2.1    Perbedaan Antara Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan Dalam Hukum Pidana.

Disebut sebagai hukum yang sesungguhnya, berasal dari kata straf (Belanda), pidana pada hakekatnya merupakan kerugian dalam bentuk penderitaan istimewa (bijzonder leed) yang ditimpakan negara atau lembaga negara secara sengaja (sifat negatif), terhadap individu yang

telah melakukan pelanggaran terhadap hukum.9 Pelanggaran yang dimaksud dilakukan kepada mereka yang lemah secara fisik, pikiran, ataupun pengalaman.10 Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hukum pidana memiliki 2 fungsi yakni pertama fungsi umum untuk menjaga ketertiban umum dan yang kedua fungsi khusus untuk melindungi kepentingan hukum.

Dalam menentukan tujuan penjatuhan sanksi dalam hukum pidana (pemidanaan), hal itu merupakan suatu yang dilematis terkhusus dalam menentukan pemidanaan sebagai suatu pembalasan ataukah sebagai pencegahan sosial. Berkaitan dengan itu, ada 2 pandangan konseptual yang memiliki implikasi moral yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, yakni pandangan retributif yang melihat pemidanaan atas suatu dasar tanggung jawab moral dari prilaku yang menyimpang, dan pandangan ultilitarian yang melihat pemidanaan atas dasar perbaikan sikap serta pencegahan kemungkinan melakukan perbuatan serupa.11

Dalam perkembangannya, orientasi pemidanaan dipengaruhi oleh adanya 3 jenis aliran yakni berawal dari munculnya aliran Klasik yang berkembang pada abad XVIII yang memiliki paham indeterminisme.12 Aliran klasik mengenal adanya sebutan sanksi pidana yang diidentikkan sebagai sebuah sarana pembalasan yang setimpal dengan berat-ringannya suatu perbuatan yang dilakukan (backward

looking), dengan berorientasi pada perbuatan dan bukan pada pelakunya (daad-strafrecht).13 Aliran Klasik kemudian bergeser dengan hadirnya paradigma pemidanaan baru yang memiliki paham determinisme.14 Aliran ini dikenal dengan aliran Modern yang mengenal adanya sebutan sanksi tindakan yang menitikberatkan pada faktor pemulihan, rehabilitasi serta perbaikan karakter dari seorang manusia (forward looking), dengan berorientasi pada pelaku (dader-strafrecht).15 Selanjutnya aliran Modern digantikan dengan aliran Neoklasik yang menegaskan proses pemidanaan berbasis pembalasan serta rehabilitasi yang dikenal dengan istilah double track system atau sistem dua jalur, yang mengenal adanya sebutan sanksi pidana dan sanksi tindakan, dengan berorientasi pada pelaku dan perbuatannya (daad-dader strafrecht).16

Pada tingkat praktis, sanksi pidana dan sanksi tindakan sekilas sering samar untuk dibedakan, namun dalam tataran ide dasar, sangat jelas perbedaannya diantara kedua jenis sanksi tersebut. Sanksi pidana beranjak dari ide dasar; “Mengapa pemidanaan diadakan?”, sedangkan sanksi tindakan beranjak dari ide dasar; “Untuk apa pemidanaan diadakan?”.17 Dalam hal ini, dapat dikatakan sifat reaktif terhadap suatu perbuatan terdapat pada sanksi pidana yang berkonotasi pada pemberian suatu pernderitaan, sedangkan sifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan terdapat pada

sanksi tindakan yang berkonotasi pada pemberian suatu pemulihan.

  • 2.2.2    Relevansi Pengkualifikasian Sanksi Kebiri Kimiawi Sebagai Sanksi Tindakan Dalam Hukum Pidana.

Merujuk pada ketentuan Pasal 81 ayat (7) UU Perlindungan Anak yang memuat adanya sanksi kebiri kimiawi, sebagai tindakan medis yang tergolong jenis penghukuman terhadap badan (corporal punishment). Nyatanya penjatuhan sanksi kebiri kimiawi tersebut hanyalah menghilangkan dorongan seksual secara sementara (temporer) dan tidak bersifat menyembuhkan. Penelitian yang telah dilakukan oleh dr. Boyke menjelaskan bahwa sanksi kebiri kimiawi malah akan menimbulkan perubahan karakter tubuh yang menyerupai perempuan, perontokan bulu, yang selanjutnya berdampak pada melemahnya organ vital lainnya sehingga dapat terjadi osteoforosis, badan membungkuk, pompa darah jantung yang melemah, dan kemungkinan timbulnya serangan jantung. Tidak hanya berdampak pada fisik, tetapi efek dari kebiri kimiawi juga ternyata akan mempengaruhi mental orang tersebut. Dampak psikologis ini disebabkan karena memikirkan perubahan yang terjadi pada dirinya yang bisa berakibat pada kondisi depresi, sehingga memunculkan suatu kemungkinan untuk membuat keputusan melakukan bunuh diri.18

Dalam hal ini, terlihat bahwa sanksi kebiri kimiawi seakan sebagai upaya balas dendam dan dijatuhkan berdasarkan pertimbangan biologis semata dengan mengatasnamakan kepentingan korban dan agar tidak menimbulkan korban lainnya, tetapi tidak memikirkan bagaimana efek berlanjutnya dan seakan menjadi boomerang yang menimbulkan adanya korban-korban baru yakni dalam hal ini pelaku pedofilia itu sendiri. Penjatuhan sanksi kebiri kimiawi juga tidak menjamin bahwa agresifitas yang dimiliki oleh pelaku pedofilia akan hilang atau berkurang, selama tidak diobatinya kondisi mental pelaku pedofilia. Sanksi kebiri kimiawi malah kemungkinan besar menimbulkan rasa dendam dan perilaku lebih nekat karena penyiksaan yang dialami oleh pelaku pedofilia. Kejahatan seksual bukanlah hanya soal penetrasi.19 Pelaku bisa saja menggunakan cara lain untuk memenuhi hastrat seksual dan dendamnya, bisa dengan menggunakan botol, kayu, dan alat bantu seksual lainnya.20

Penolakan terkait penjatuhan sanksi kebiri kimiawi datang dari Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Dr. dr. Prijo Sidipratomo, Sp.Rad(K) yang didasarkan pada ketentuan Pasal 11 Kode Etik Kedokteran yang menentukan bahwa dokter harus menjadi pelindung kehidupan.21 dr Priyo Sidipratomo juga menegaskan didalam

sumpah dokter sudah diamanatkan bahwa dokter tidak akan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk hal yang bertentangan dengan perikemanusiaan. Hal ini juga berlaku ketika sedang mengalami kondisi perang, yang mana dokter harus menyelamatkan manusia, sekalipun itu adalah musuhnya.22

Sebagai satu-satunya profesi yang memiliki kompetensi memasukkan zat kimia (anti androgen) dengan cara menyuntikkannya ke tubuh manusia.23 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun ikut angkat suara mengenai penjatuhan sanksi kebiri kimiawi. IDI memberikan penolakan dengan tidak mau memiliki andil sebagai eksekutor hukuman tersebut. Hal ini memperlihatkan kapasitas kemampuan daya kerja dari badan penegak hukum atau yang dalam hal ini eksekutor sanksi kebiri kimiawi seakan dikesampingkan dan tidak diperhatikan ketika perumusan materi muatan sanksi kebiri kimiawi dalam UU Perlindungan Anak.

Dalam ketentuan Pasal 81 ayat (8) UU Perlindungan Anak menentukan bahwa sanksi tindakan kebiri kimiawi diputuskan secara “bersama-sama” dengan pidana pokoknya. Frasa bersama-sama dalam ketentuan tersebut seakan membuktikan tambah amat rentan dimuatnya sanksi kebiri kimiawi dalam penerapannya terutama dalam mengantisipasi terjadinya double punishment yang tidak

sesuai dengan prinsip double track system, dikarenakan secara esensial sanksi tindakan kebiri kimiawi telah berbeda dengan alasan utama (ratio d’ etre) tindakan dalam hukum pidana. Tindakan bertujuan untuk memberikan keuntungan/memperbaiki yang bersangkutan, sedangkan sanksi kebiri kimiawi bukanlah merupakan suatu bentuk sarana rehabilitasi yang bisa menyembuhkan pedofilia yang merupakan penyimpangan seksualitas.24

Hal lainnya lagi yakni bahwa pemidanaan bukan hanya upaya menyadarkan pelaku agar menyesali perbuatannya, tetapi juga agar dapat mengembalikan pelaku menjadi warga masyarakat yang baik, dengan taat dengan hukum dan menjungjung tinggi adanya nilai-niai moral, sosial dan keagamaan, guna menuju kehidupan masyarakat yang diinginkan yakni aman, tertib, dan damai. Sejalan dengan itu, perlu diingat kembali bahwa paradigma baru pemidanaan di Indonesia sudah mengalami pergeseran yang awalnya dari retributif sekarang kearah restoratif atau model keseimbagan kepentingan.25 Konsep restoratif justice ini pada hakikatnya tetap memberikan penegakan hukum (law enforcement) kepada pelaku tetapi yang mengandung anasir mendidik sehingga menghasilkan manfaat baik kepada pelaku, korban, dan masyarakat dalam arti yang luas.26

Apabila dilihat dari teori Kebijakan Hukum Pidana, selain dalam menjalankan suatu politik (kebijakan) hukum pidana atau istilah lainnya sering disebut penal policy, juga

mengadakan pemilihan dalam membuat dan merumuskan guna mencapai hasil dari perundangan-undangan pidana yang paling baik dimasa yang akan datang seperti apa yang dicita-citakan (ius constituendum) dengan melakukan pembaharuan hukum, yang mana dalam arti agar memenuhi syarat keadilan serta daya guna.27 Dalam hal hendak melibatkan hukum pidana dalam usaha mengatasi segi negatif dari adanya perkembangan masyarakat maka dari hubungan keseluruhan politik kriminal harus merupakan bagian integral dari suatu rencana perlindungan masyarakat (social defence) yang merupakan upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat (social walfare). Dalam pembaharuan hukum pidana, tidaklah dapat dibenarkan suatu pembaharuan hukum pidana yang pada hakikatnya merupakan upaya mengefektifkan penegakan hukum dengan memperbaharui substansi hukumnya (legal substance), apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan tetap sama dengan orientasi nilai dari hukum pidana yang terdahulu.28

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

Berdasarkan permasalahan dan analisis yang telah diuraikan, maka dapat diperoleh kesimpulan yakni:

  • 3.1.1    Secara esensial, perbedaan mendasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan yakni apabila sanksi pidana mengarah pada suatu penderitaan (backward

looking) dengan sifat reaktif yang beranjak dari ide dasar;    “Mengapa   pemidanaan   diadakan?”,

sedangkan sanksi tindakan mengarah pada pemulihan (forward looking) dengan sifat antisipatif yang beranjak dari ide dasar; “Untuk apa pemidanaan diadakan?”.

  • 3.1.2    Sanksi kebiri kimiawi sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 81 ayat (7) UU Perlindungan Anak telah berbeda dengan alasan utama (ratio d’ etre) tindakan dalam hukum pidana dan tidak relevan diterapkan dewasa ini karena lebih mengarah pada penjeraan yang dapat menimbulkan adanya double punishment yang tidak sesuai dengan prinsip double track system, konsep restorative justice, dan esensi pembaharuan hukum pidana melalui penal policy karena seakan masih mengandung orientasi lama tanpa berupaya mengefektifkan penegakan hukum dengan mengikuti perkembangan yang ada guna menghasilkan perundang-undangan pidana yang paling baik.

  • 3.2    Saran

Berdasarkan kesimpulan dari permasalahan dan analisis yang telah diuraikan, maka adapun saran yang dapat diberikan yakni:

  • 3.2.1    Para ahli hukum pidana melakukan resosialisasi pengkualifikasian pemidanaan yang terdiri dari sanksi pidana dan sanksi tindakan, dan esensi mendasar dari kedua jenis sanksi tersebut, agar

kedepan tidak terjadi kekeliruan dalam memahami dan menerapkannya.

  • 3.2.2    Pemerintah melakukan rekonstruksi ketentuan Pasal 81 ayat (7) UU Perlindungan Anak dengan menghilangkan sanksi kebiri kimiawi dengan alasan pertama, tidak sesuai dengan konsepsi sanksi tindakan dan kedua, apabila tetap dipertahankan akan terjadi double punhisment yang tidak sesuai dengan prinsip double track system.

DAFTAR PUSTAKA

  • a.    Buku

Arief, Barda Nawawi, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta.

Candra, Mardi, 2018, Aspek Perlindungan Anak Indonesia: Analisis Tentang Perkawinan Di Bawah Umur Edisi Pertama, Prenandamedia Group, Jakata Timur.

Gerstenfeld, Phyllis B., 2008, Crime & Punishment in The United States, Salem Press, Inc, Prasedana, California Hackensack, New Jersey.

Hiariej, Eddy O.S., 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.

, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana: Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum Edisi I, Kencana, Jakarta.

Muhamad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Nasir, M.,  2013, Anak Bukan Untuk Dihukum: Catatan

Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), Sinar Grafika, Jakarta Timur.

Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sudarto, 2005, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta.

Widodo, Supriyadi et. al., 2016, Menguji Euforia Kebiri: Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri (Chemical Costration) bagi Pelaku kejahatan Seksual Anak di Indonesia, Aliansi 99 Tolak Perppu Kebiri, Jakarta Selatan.

  • b.    Tesis

Jeffry Alexander, 2015, Memaknai “Hukum Negara (Law Through State)” dalam Bingkai “Negara Hukum (Rechstaat)”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, Nusa Tenggara Timur.

  • c.    Jurnal Ilmiah

Eva Achjani Zulfa, 2006, “Pergeseran Paradigma Pemidanaan Di Indonesia”, Volume 36 Nomor 3, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Gusti Ngurah Yulio, 2018, “Tinjauan Yuridis Terhadap Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Kepada Anak”, Volume 07 Nomor 02, Jurnal Kertha Wicara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.

Liliana Listiawatie, 2017, “Penjatuhan Hukuman Kebiri Kepada Para Pelaku kejahatan Seksual Terhadap Anak Dibawah Umur”, Volume 06 Nomor 04, Jurnal Kertha Wicara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.

Nurul Qur’aini, 2017, “Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual”, Program Studi Pusat P4TIK Mahkamah Konstitusi RI, Volume 14 Nomor 1, Jurnal Konstitusi, Jakarta Pusat.

  • d.    Internet

Ayu Rachmaningtyas, Selasa 14 Juni 2016, “Tugas Dokter Menyembuhkan, Alasan IDI Tolak Hukuman Kebiri Dinilai                   Wajar”,                   URL:

https://nasional.kompas.com/read/2016/06/14/123952 31/tugas.dokter.menyembuhkan.alasan.idi.tolak.hukuma n.kebiri.dinilai.wajar, diakses tanggal 28 Maret 2018

Bestari Kumala D., Rabu 25 Mei 2016, “Ini Efek Hukuman Kebiri      Kimiawi      Pada     Tubuh”,      URL:

https://lifestyle.kompas.com/read/2016/05/25/200500 123/ini.efek.hukuman.kebiri.kimiawi.pada.tubuh, diakses tanggal 26 April 2019

Maria Amanda, Rabu 1 Juni 2016, “Penjelasan Dokter Boyke tentang    Dampak    Kebiri     Kimiawi”,     URL:

https://lifestyle.okezone.com/read/2016/06/01/481/14 03478/penjelasan-dokter-boyke-tentang-dampak-kebiri-kimia, diakses tanggal 28 Februari 2019

Team VIVA, Selasa 31 Mei 2016, “Dokter Boyke: Pemerkosa yang Dikebiri Bakal Lebih Agresif”,    URL:

https://www.viva.co.id/berita/nasional/778843-dokter-boyke-pemerkosa-yang-dikebiri-bakal-lebih-agresif, diakses tanggal 28 februari 2019

Yon Bayu, Senin 30 Mei 2016, “Dokter Tolak Jadi Eksekutor Kebiri; Murni Kode Etik atau Ego Profesi”, URL: https://www.kompasiana.com/yonbayu/574c07e36b7e6 1491c8594cf/dokter-tolak-jadi-eksekutor-kebiri-murni-kode-etik-atau-ego-profesi,  diakses tanggal 28 Maret

2019

  • e.    Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembar Negara Nomor 4235) jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembar Negara Nomor 5606).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2018 Nomor 237, Tambahan Lembar Negara Nomor 5946).

16