KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN PENGGUNAAN JASA PROSTITUSI DI INDONESIA
on
KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN PENGGUNAAN JASA PROSTITUSI DI INDONESIA*
I Komang Mahardika Wijaya** I Gede Yusa***
Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Tulisan ilmiah ini mengangkat judul “Kriminalisasi Terhadap Perbuatan Penggunaan Jasa Prostitusi di Indonesia”. Terdapat berbagai permasalahan terkait prostitusi yang marak menjadi perhatian saat ini. Banyaknya praktik prostitusi yang melibatkan public figure belakangan ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya degradasi moral bagi bangsa Indonesia, apalagi jika ditinjau dari KUHP Indonesia masih adanya kekosongan norma dalam hal menindak pengguna jasa prostitusi di Indonesia, sehingga pengguna jasa prostitusi tidak akan pernah bisa dipidana. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini yaitu terkait dengan pengaturan kriminalisasi terhadap pengguna jasa prostitusi dan sanksi yang sebaiknya dijatuhkan bagi pengguna jasa prostitusi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yaitu penelitian yang meletakan hukum sebagai acuan dasar dalam membentuk norma-norma. Penelitian normatif dilakukan dengan menggunakan pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) dan Pendekatan Kasus (The Case Approach) dengan cara menganalisis dan memberi deskripsi atas sumber-sumber bacaan yang berupa literatur, peraturan perundang-undangan dan beberapa berita, yang berhubungan dengan masalah yang akan diulas. Teknik analisis yang digunakan dalam jurnal ilmiah ini adalah dengan melakukan rekonstruksi hukum atas kekosongan norma yang ada dengan melakukan penemuan hukum menggunakan metode argumentum a contrario. KUHP Indonesia yang belum mengatur mengenai kriminalisasi perbuatan penggunaan jasa prostitusi membuat ketentuan peraturan yang mengatur mengenai pengguna prostitusi diatur oleh peraturan daerah masing-masing, sehingga penanganan kasus prostitusi sangat bergantung dengan lokasi daerah yang menjadi tempat kejadian perkara. Kekosongan hukum dalam KUHP Indonesia ini berdampak pada lemahnya kemampuan aparat penegak hukum dalam menertibkan praktik prostitusi di Indonesia, karena penegakannya terbatas pada germo dan mucikarinya saja.
Kata Kunci : kriminalisasi, perbuatan pidana, pengguna jasa, prostitusi.
Abstract
This scientific paper titled "Criminalization Against Actions of the Use of Prostitution Services in Indonesia". There are various problems related to prostitution which are rife at the moment. The number of prostitution practices involving recent public figures raises concerns about the existence of moral degradation for the Indonesian nation, especially if viewed from the Indonesian Criminal Code there is still a vacuum of norms in dealing with prostitution service users in Indonesia, so prostitution service users will never be convicted. The problem in this study is related to the regulation of criminalization of prostitution service users and sanctions that should be imposed on prostitution service users. This study uses normative research methods, namely research that places the law as a basic reference in forming norms. Normative research is carried out using the Statute Approach and Case Approach by analyzing and describing reading sources in the form of literature, legislation and some news, which relates to issues that will be reviewed. The analysis technique used in this scientific journal is to carry out legal reconstruction of the norms that exist by making legal discoveries using the method of argumentum a contrario. The Indonesian Criminal Code which has not regulated the criminalization of the use of prostitution makes the provisions of the regulations governing users of prostitution regulated by their respective regional regulations, so that the handling of cases of prostitution is very dependent on the location of the area where the crime occurred. This legal vacuum in the Indonesian Criminal Code has an impact on the weak ability of law enforcement officials to curb the practice of prostitution in Indonesia, because its enforcement is limited to pimps and pimps.
Keywords: criminalization, criminal acts, service users, prostitution.
-
I. PENDAHULUAN
-
1.1 Latar Belakang
-
Prostitusi merupakan sebuah permasalahan struktural yang mendasar yang terjadi dalam masyarakat karena masih dipahami sebagai sebuah permasalahan moral.1 Prostitusi atau pelacuran sebagai masalah sosial sementara ini dilihat dari hubungan sebab-akibat dan asal mulanya tidak dapat diketahui dengan pasti, namun sampai sekarang prostitusi masih banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan ada di hampir setiap wilayah di Indonesia, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi.2 Secara etimologis kata prostitusi berasal dari kata prostitutio yang meliliki artian menawarkan, menempatkan, dihadapkan.3 Pengertian lainnya yaitu menjajakan atau menjual, yang secara umum juga dapat diartikan secara sukarela memberikan tubuhnya untuk dinikmati banyak orang demi mendapatkan imbal jasa atas kepuasan seksual orang-orang tersebut.4 Menurut Bonger dalam buku Mudjijono pelacuran merupakan suatu gejala sosial ketika seorang wanita menjajakan dirinya sebagai objek untuk pemuasan birahi sebagai pekerjaannya.5 Commenge dan Soedjono mengartikan pelacuran adalah suatu tindakan seorang wanita yang menjajakan tubuhnya sebagai pemuas seksual bagi pria yang datang membayarnya dan wanita tersebut tidak memiliki pekerjaan lainnya selain dengan melakukan hubungan seksual sementara dengan banyak orang.6
Ketentuan terkait Prostitusi diatur dalam KUHP yakni Pasal 296 dan Pasal 506. Dalam 296 diatur mengenai setiap orang yang sengaja mempermudah perbuatan cabul oleh orang lain sebagai pekerjaannya diancam pidana paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah. Selanjutnya dalam Pasal 506 mengatur setiap orang yang menarik bayaran dari wanita yang dipekerjakan sebagai pelacur diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun. Dapat diketahui
bahwa hukum pidana hanya mengategorikan prostitusi sebagai suatu tindak pidana terhadap pihak perantara-nya (germo dan mucikari). Melihat delik-delik kesusilaan yang telah diatur dalam KUHP Indonesia yaitu antara Pasal 201 sampai dengan Pasal 303, sungguh sangat sulit diberlakukan bagi PSK dan pengguna jasa prostitusi yang datang mengunjunginya.7 KUHP Indonesia jika dikaji secara khusus maka tidak ada ketentuan pasal mengenai pengguna jasa prostitusi.8 Berdasarkan kajian kriminologi prostitusi sering kali disebut sebagai victimless crime (kejahatan tanpa korban).9 Hampir tidak pernah ada pengguna jasa prostitusi yang ditangkap, setiap kali terdapat razia untuk penertiban prostitusi oleh penegak hukum. Itulah mengapa praktik prostitusi akan terus ada selama masih banyak pelanggan atau pengguna jasa prostitusi di Indonesia.10 Seperti halnya teori ekonomi yaitu teori supply and demand, bahwa tanpa adanya penawaran otomatis tidak akan ada permintaan begitupun sebaliknya, jadi untuk memberantas praktik prostitusi di Indonesia baik pengguna dan pelaku prostitusinya haruslah sama-sama ditindak tegas.
Media ANTARA, melangsir berita bahwa pada hari sabtu 5 Januari 2019 di Surabaya telah ditangkap public figure dengan inisial VA dan AS akibat terindikasi kasus prostitusi. Selang sehari penangkapan tepatnya hari minggu 6 Januari 2019, dua orang ditetapka menjadi tersangka oleh kepolisian dengan inisial ES (37) dan TN (28). Menurut Frans Barung Mangera selaku Kabid Humas Polda Jawa Timur di Mapolda Jawa Timur, dua tersangka tersebut berperan untuk mendatangkan korban hingga bisa
diakses dan menentukan tarif prostitusi tersebut. Beliau menyatakan bahwa para tersangka adalah mucikari yang berasal dari daerah Jakarta Selatan. Mereka saat ini tengah ditahan di Mapolda Jatim."namun untuk sementara kedua artis tersebut menjalani wajib lapor” papar beliau ketika diwawancara oleh ANTARA.11
Pemberitaan media saat ini yang sedang getol-getolnya menyoroti perihal siapakah orang yang telah menjadi pelanggan jasa prostitusi kedua artis tersebut. Menurut AKBP Harissandi selaku Kasubdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jawa Timur mengungkapkan bahwa seorang pengusaha pasir di Lumajang dengan inisial R yang menjadi penyewa jasa prostitusi VA seperti dilansir Antara di Surabaya, Senin (7/1). Sebelumnya, penyidik dari Polda Jatim sempat memeriksa R usai digerebek di salah satu hotel di Surabaya dengan artis berinisial VA. Pemeriksaan tersebut hanya berlangsung beberapa jam. Setelah itu, polisi melepas R karena statusnya hanya sebagai saksi.12
KUHP yang berlaku merupakan warisan penjajah Belanda dan menganut budaya Barat. Salah satu cirinya adalah tidak diaturnya mengenai pelanggan atau pengguna jasa prostitusi yang sering dikenal dengan “pria hidung belang“ tidak dikategorikan sebagai kejahatan asusila dan tidak dipidana. Menurut Eddy O.S. Hiariej menyatakan bahwa, "Ketentuan Pasal 296 KUHP ini dapat
dikualifikasikan sebagai suatu rumusan delik yang bersifat diskriminatif," selain itu beliau juga mengemukakan bahwa, "Oleh karenanya, ketentuan Pasal 296 KUHP ini dapat dikatakan sebagai ketentuan yang out of date atau tidak sesuai dengan perkembangan zaman, atau tidak sesuai lagi dengan tatanan kehidupan masyarakat setempat, karena ancaman pasal 296 KUHP ini hanya terhadap orang yang mempermudah perbuatan cabul itu saja, tidak termasuk terhadap pelaku pencabulan itu sendiri".
Selanjutnya kesimpulan yang disampaikan oleh beliau dalam persidangan kasus prostitusi artis yang dihadiri oleh beliau selaku ahli dalam persidangan menyatakan kesimpulan sebagai analisanya bahwa, "Dengan demikian, pasal-pasal a quo (ketentuan Pasal 296 KUHP dan ketentuan Pasal 506 KUHP), selain bersifat diskriminatif dan tidak menjamin kepastian hukum, bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dan secara sosiologis bertentangan dengan adat ketimuran maupun norma-norma agama yang dianut masyarakat, dan oleh karenanya pasal-pasal a quo (ketentuan Pasal 296 KUHP dan ketentuan Pasal 506 KUHP) haruslah dianggap tidak berlaku lagi dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat”.
-
1.2 Rumusan Masalah
-
1.2.1. Bagaimanakah pengaturan tentang perbuatan penggunaan jasa prostitusi di Indonesia ?
-
1.2.2. Bagaimanakah sebaiknya sanksi pidana terhadap perbuatan penggunaan jasa prostitusi di Indonesia ?
-
-
1.3 Tujuan Penulisan
-
1.3.1. Tujuan Umum
-
Tujuan umum dalam penulisan jurnal ilmiah ini adalah untuk memberikan pengetahuan dan
pemahaman terkait kriminalisasi bagi pengguna jasa prostitusi di Indonesia.
-
1.3.2. Tujuan Khusus
-
1. Untuk mengetahui sejauh mana pengaturan
mengenai perbuatan penggunaan jasa prostitusi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia.
-
2. Untuk mengetahui pengaturan terkait sanksi
pidana bagi pengguna jasa prostitusi pada hukum pidana mendatang.
-
II. ISI MAKALAH
-
2.1 Metode Penelitian
-
Metode penelitian Normatif yang dipakai untuk penulisan
jurnal ini disebut juga metode penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang meletakan hukum sebagai acuan dasar dalam membentuk
norma-norma hukum.13 Penelitian normatif dilakukan dengan menggunakan pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) dan Pendekatan Kasus (The Case Approach) yaitu dengan cara mengkaji dan mendeskripsikan dari bahan-bahan pustaka yang berupa literatur, perundang-undangan dan beberapa berita yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas, dalam hal ini adalah berkaitan dengan kriminalisasi bagi pengguna jasa prostitusi di Indonesia.
Teknik analisis yang digunakan dalam jurnal ilmiah ini adalah dengan melakukan rekonstruksi hukum atas kekosongan norma yang ada dengan melakukan penemuan hukum menggunakan metode argumentum a contrario yaitu rekonstruksi
hukum yang bertujuan untuk mengkongkritkan suatu ketentuan pada suatu perbuatan hukum yang belum ada pengaturannya.
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Pengaturan Tentang Perbuatan Penggunaan Jasa Prostitusi di Indonesia
-
Masih belum ada ketentuan khusus dalam KUHP Indonesia yang dapat digunakan untuk memidanakan pengguna jasa prostitusi. Dalam KUHP yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana hanya terbatas pada germo/mucikari/penyedia PSK saja. Melihat dari ketentuan yang ada sangat disesalkan bahwa hingga saat ini setelah 74 tahun Indonesia merdeka masih belum mampu untuk menyelesaikan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sejatinya memuat kebutuhan hukum Indonesia itu sendiri.
Untuk itu diperlukan sesegera mungkin mengatur mengenai kriminalisasi terkait perbuatan penggunaan jasa prostitusi di Indonesia. Kriminalisasi merupakan suatu kajian kriminologi yaitu kriminalisasi adalah proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dikategorikan sebagai perbuatan pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai perbuatan pidana oleh masyarakat. Berdasarkan konteks inilah pengertian “kriminalisasi” mendapat tempat untuk mengkaji dan menelaah kelakuan manusia, yang pada awalnya perbuatan tersebut belum dirumuskan dalam bentuk norma, tetapi hanya di cela berdasarkan nilai-nilai kepatutan masyarakat, menurut Herbert Lionel Adolphus Hart, menyebutnya masih dalam sebatas hukum primer, belum menjadi norma hukum sekunder. Adapun menurut Moeljatno ada tiga kriteria sifat kriminalisasi dalam proses pembentukan hukum pidana. Pertama, penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan
terlarang (perbuatan pidana) harus sesuai dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kedua, apakah ancaman pidana dan penjatuhan pidana itu adalah jalan yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan tersebut. Ketiga, apakah pemerintah dengan melewati alat-alat negara yang bersangkutan, betul-betul mampu untuk benar-benar melaksanakan ancaman pidana kalau ternyata ada yang melanggar.
Perbuatan penggunaan jasa prostitusi sesuai dengan uraian sifat kriminalisasi diatas telah memenuhi ketiga kriteria yang dimaksud, maka dari itu perlu digolongkan sebagai “perbuatan pidana” melalui perumusan dalam norma agar supaya orang yang dianggap melakukan perbuatan terlarang sesuai dengan prinsip fundamental dalam hukum pidana yaitu asas legalitas dapat dijatuhi pidana. Lebih dari pada itu, kriminalisasi sebagai proses perumusan perbuatan menjadi perbuatan pidana tidak semata-mata dalam model pembentukan norma perundang-undangan baru saja. Melainkan dapat pula berupa penambahan/ peningkatan/ pemberatan hukuman pidana yang telah diatur sebelumnya.
Indonesia sebagai negara dengan budaya ketimuran yang menjunjung tinggi moral dan akhlak yang luhur hendaknya memiliki payung hukum yang kuat untuk melindungi masyarakatnya dari degradasi moral. Ketentuan Pasal 296 jo. Pasal 506 dalam KUHP Indonesia saat ini yang mengatur mengenai prostitusi hanya dapat menjerat perantara prostitusi yaitu mucikari dan germo.
Ketentuan khusus yang mengatur tentang pengguna jasa PSK tidak terdapat dalam KUHP, tetapi jika pelanggan PSK tersebut telah mempunyai pasangan resmi (atas dasar
pernikahan), dan kemudian pasangannya tersebut mengadukan perbuatan pasangannya yang memakai jasa PSK, maka orang yang memakai jasa PSK tersebut dapat dijerat dengan pasal Perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP.14 Meskipun pengguna jasa prostitusi yang telah memiliki ikatan perkawinan yang sah dapat dijerat dengan pasal tentang perzinahan, namun konotasi perzinahan sesuai dengan pasal 284 KUHP itu berbeda dengan konotasi pengguna jasa prostitusi, bahwa pengguna jasa prostitusi bisa saja tidak memiliki ikatan perkawinan sama sekali dan hubungan perstubuhan yang dilakukan tidak didasari oleh rasa suka sama suka namun orientasinya kepada komersial atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Salah satu jenis kriminalitas yang sangat sulit untuk ditangani adalah prostitusi karena jenis kejahatan ini sangat didukung oleh faktor kehidupan ekonomi masyarakat.15 Perbedaan konotasi antara zina dengan hubungan antara pengguna jasa prostitusi inilah yang mengakibatkan hingga saat ini Indonesia masih belum bisa menjerat pengguna jasa prostitusi karena belum memiliki payung hukum yang kuat, terjadinya kekosongan norma dalam KUHP Indonesia yang terus dibiarkan akan berimbas pada sulitnya menertibkan prostitusi di Indonesia, dengan tidak adanya pengaturan yang tegas dalam KUHP Indonesia maka pengguna jasa prostitusi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya.
-
2.2.2 Kriminalisasi Pengguna Jasa Prostitusi di Masa
Mendatang.
Ketentuan yang dapat digunkan untuk menjerat pengguna prostitusi diatur dalam PERDA tersendiri. Penanganan kasus prostitusi sangat bergantung dengan lokasi daerah yang menjadi tempat kejadian perkara. Dalam beberapa contoh PERDA yang ada mengatur pula sanksi bagi pengguna jasa prostitusi.
Perda-perda yang mengatur kriminalisasi terhadap pengguna jasa prostitusi diantaranya sebagai berikut :
-
1. PERDA Kab. Indramayu NO.7 TH.1999
Diatur pada Pasal 7 bahwa pelaku prostitusi baik laki-laki ataupun perempuan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan pasal 9 ayat (1) yaitu setiap orang yang melanggar PERDA ini akan diancam paling lama sanksi pidana kurungan enam bulan atau dengan denda paling banyak lima juta rupiah.
-
2. PERDA Kota Tangerang NO.8 TH.2005
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) PERDA ini bahwa siapapun baik sendiri atau bersama-sama dilarang melakukan perbuatan prostitusi sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) apabila terdapat pelanggaran atas PERDA ini akan diancam paling lama pidana kurungan tiga bulan atau denda paling tinggi lima belas juta rupiah.
-
3. PERDA Prov.DKI Jakarta NO.8 TH.2007 Tentang Ketertiban Umum
Kemudian berdasarkan Pasal 42 ayat (2) PERDA ini, siapapun dilarang untuk : a.) menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial; b.) menjadi penjaja seks komersial; c.) memakai jasa penjaja seks komersial. Siapapun yang melanggar PERDA ini akan diancam paling singkat pidana kurungan dua puluh hari dan paling lama
sembilan puluh hari, atau denda sedikitnya lima ratus ribu rupiah dan paling banyak tiga puluh juta rupiah.16
-
4. PERDA Kota Denpasar NO. 1 TH. 2015 Tentang Ketertiban Umum
Pasal 39 ayat (1) Setiap orang dilarang : a. melakukan perbuatan prostitusi; b. menawarkan dan/atau menyediakan diri sendiri untuk perbuatan prostitusi; c. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa, menawarkan orang lain untuk melakukan perbuatan prostitusi; dan d. memakai jasa prostitusi.
Sanksi pidananya diatur dalam pasal 58 ayat (2) yaitu : siapapun yang melanggar ketentuan PERDA ini diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan dapat dikenakan sanksi lain dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-
5. PERDA Kab. Badung NO.7 TH. 2016 Tentang Ketertiban-
Umum Dan Ketenteraman Masyarakat
Pasal 26 ayat (2) Siapapun dilarang: a. menawarkan dan/atau menyediakan diri sendiri untuk perbuatan prostitusi; b. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan prostitusi; dan c. memakai jasa prostitusi. Ketentuan sanksi pidananya diatur dalam Pasal 32 ayat (2) siapapun yang melanggar ketentuan PERDA ini dapat diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
KUHP sebagai sebuah dasar hukum yang memiliki sifat keberlakuan yang memaksa dan mengikat secara menyeluruh bagi setiap warga negara Indonesia hendaknya mengatur secara tegas terkait pertanggungjawaban dan sanksi pidana bagi pengguna jasa
prostitusi, karena meskipun telah ada beberapa peraturan daerah yang mengatur terkait pertanggungjawaban dan sanksi pidana bagi pengguna jasa prostitusi berbeda-beda bergantung pada peraturan daerah masing-masing, serta sifat keberlakuannya bersifat parsial dan regional atau kedaerahan sehingga baik sanksi dan sifat memaksa dan mengikatnya terbatas pada daerah tertentu saja.
Melihat ketentuan peraturan daerah yang telah mengatur mengenai sanksi pidana dalam upaya untuk mengkriminalisasi terhadap perbuatan penggunaan jasa prostitusi telah jelas menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang dengan budaya ketimuran yang luhur menghendaki adanya pengaturan perundang-undangan yang mampu dijadikan dasar hukum yang lebih kuat untuk memberantas praktik prostitusi di Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa hukum lahir dari kehendak masyarakat di daerah-daerah dari bawah yang hendaknya dijadikan kajian dalam peraturan hukum nasional, hukum yang bottom-up. Selain itu jika kita komparasikan (perbandingkan) dengan beberapa negara-negara di dunia yang telah memiliki aturan nasional terkait kriminalisasi terhadap pengguna dan pelaku prostitusi diantaranya seperti Negara Kanada yang dalam hukum nasionalnya mengatur sanksi bagi penyewa PSK dikenakan sanksi denda mulai dari denda minimal CAN$ 500 atau sekitar Rp. 5,2 juta hingga penjara lima tahun, kemudian di Negara Swedia sudah sejak tahun 1999 dalam hukum nasionalnya mengatur bahwa pengguna PSK bisa dipenjara selama enam bulan dan bagi pemilik rumah bordil juga bisa dihukum hingga empat tahun penjara.17
Sudah lebih dari setengah abad lamanya, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Indonesia ini tak kunjung rampung dibahas dan disahkan menjadi KUHP Indonesia. Bila dihitung periode kepemimpinan presiden, berarti sudah tujuh presiden berganti. Namun sangat disayangkan hingga saat ini RKUHP masih belum menyentuh pembahasan terkait pentingnya untuk segera mungkin memasukan rumusan pasal mengenai kriminalisasi terhadap perbuatan penggunaan jasa prostititusi di Indonesia.
-
III. PENUTUP
-
3.1 Kesimpulan
-
-
1. KUHP Indonesia hingga saat ini belum ada ketentuan khusus yang dapat digunakan untuk memidanakan pengguna jasa prostitusi. KUHP hanya mampu digunakan untuk menjerat perantara prostitusi seperti germo dan mucikari. Sejauh ini hanya pasal 284 KUHP tentang Perzinahan yang memungkinkan untuk menjerat pengguna prostitusi di Indonesia, namun konotasi perzinahan sesuai dengan pasal 284 KUHP itu berbeda dengan konotasi pengguna jasa prostitusi, bahwa pengguna jasa prostitusi bisa saja tidak memiliki ikatan perkawinan sama sekali dan hubungan persetubuhan yang dilakukan tidak didasari oleh rasa suka sama suka melainkan orientasinya kepada komersial atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Perbedaan konotasi antara zina dengan hubungan antara pengguna jasa prostitusi inilah yang mengakibatkan hingga saat ini Indonesia masih belum bisa menjerat pengguna jasa
prostitusi karena belum memiliki payung hukum yang kuat.
-
2. Ketentuan pasal yang sejauh ini dapat diberlakukan bagi pengguna jasa prostitusi diatur aleh PERDA tersendiri. Telah ada beberapa PERDA yang mengatur mengenai kriminalisasi bagi pengguna jasa prostitusi, namun keberlakuannya masih sangat parsial dan bersifat kedaerahan. Maka diperlukan adanya upaya serius untuk mulai merumuskan ketentuan terkait kriminalisasi bagi pengguna jasa prostitusi kedalam KUHP Indonesia sehingga dapat berlaku dan mengikat secara menyeluruh.
-
3.2 Saran
-
1. Melihat semakin maraknya kasus prostitusi di Indonesia sudah saatnya membenahi ketentuan pasal terkait prostitusi dalam KUHP Indonesia. Perlu dengan segera pemerintah memasukkan rancangan pembahasan terkait kriminalisasi bagi pengguna jasa prostitusi dalam
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(RKUHP) saat ini.
-
2. Adanya kekosongan norma saat ini mengakibatkan sangat dibutuhkannya untuk segera mungkin mengatur ketentuan tersebut dalam KUHP Indonesia, sehingga baik sifat mengikat dan memaksa dari suatu perundang-undangan dapat diberlakukan secara menyeluruh. Menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi legislator dan pemerintah untuk segera mungkin membahas ini dalam perumusan KUHP baru nantinya, sehingga dalam hal penegakan, penertiban dan pemberantasan praktik prostitusi di Indonesia akan lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
A.S Alam, 1984, Pelacuran dan Pemerasan Studi Sosiologi tentang Eksploitasi Manusia oleh Manusia, Penerbit Alumni, Bandung.
Cesare Beccaria, 2011, Perihal Kejahatan dan Hukuman, Genta Publishing, Yogyakarta.
E. Fernando M Manullang, 2016, Legisme Legalitas dan Kepastian Hukum, Pranadamedia Group, Jakarta.
Elizabeth Pisani, 2008, Kearifan Pelacur: Kisah Gelap di Balik Bisnis Seks dan Narkoba. Serambi, Jakarta.
Endang R Setyaningsih Mamahit, 2010, Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Suratman dan H. Philips Dillah, 2013, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung.
Tjahjo Purnomo, 2010, Dol LY (Membedah Dunia Pelacuran Surabaya Kasus Kompleks Pelacuran Dolly), Grafiti Pers, Jakarta.
Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Jurnal Ilmiah :
Butje Tampi, “Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual Dalam Hukum Pidana Indonesia”, Karya Ilmiah Universitas Sam Ratulangi Fakultas Hukum Manado, Vol. 1, No. 4, Tahun 2010.
Hull, T., Sulistyaningsih, E., dan Jones, G.W., Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan perkembangannya, Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation, Jakarta, Vol. 1, No. 1, Tahun 1997.
John Godwin, Pekerjaan Seks dan Hukum di Asia Pasifik: Hukum, HIV, dan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Pekerjaan Seks, Oktober, Vol. 1, No. 3, Tahun 2012.
Simangunsong, et.all., “Analisis Yuridis Mengenai
Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Jasa Prostitusi Dalam Perspektif KUHP ”, Vol. 1, No. 1, Tahun 2009.
Internet :
Indra Setiawan, Sabtu, 05 Januari 2019, Artis Vanessa Angel jadi saksi di PN Surabaya.
https://www.antaranews.com/berita/818777/artis-anessa-angel-jadi-saksi-di-pn-surabaya diakses Kamis 21 Februari 2019, 15.30 WITA.
M. Agus Yozami , Senin, 07 Januari 2019, Apakah Pengguna Jasa PSK Bisa Kena Sanksi? Ini Penjelasan Hukumnya Dalam KUHP tidak ada pasal yang dapat digunakan untuk
menjerat pengguna PSK maupun PSK itu sendiri.Ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat penyedia PSK/germo/muncikari.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c333538e4 960/apakah-pengguna-jasa-psk-bisa-kena-sanksi-ini-penjelasan-hukumnya diakses Kamis 21 Februari 2019, 15.30 WITA
Muhammad Nur Rochmi, Sabtu, 12 Desember 2015, Ragam hukuman untuk prostitusi di berbagai negara https://beritagar.id/artikel/berita/ragam-hukuman-untuk-prostitusi-di-berbagai-negara Kamis 21 Februari 2019, 15.30 WITA
Peraturan Perundang-undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999.
Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005.
Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum.
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum.
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Ketertiban Umum Dan Ketenteraman Masyarakat.
17
Discussion and feedback