SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

Etik Jamsianah I Gede Artha Ni Nengah Adiyaryani

Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstract

KUHAP is not formulating clearly what it means with the termination ofinvestigation but instead only providing the formulation regarding theinvestigation only. Besides the regulation regarding the procedure oftermination of prosecution has been arranged more detail and clearer, whileregarding the termination of investigation the regulation is not complete.However, it can be formulated that the termination of investigation is theaction of investigator to cease the investigation of an event allegedly to be acriminal act, due to “make it clear that an event is allegedly and to determinea subject as the suspect that there is not enough evidence or from aninvestigation it is found that the event is not a criminal act or the investigationis terminated for the sake of law”. It is stated in KUHAP article 109subsection (2). In contrast to Public Prosecutor and Police Department as aninvestigator of a criminal act, Corruption Eradication Commission (KPK)agency which is the institution or state’s agency formed by the Law No.30year 2002 regarding Criminal Act of Corruption Eradication Commission isnot authorized to issue a Warrant of Investigation Termination (SP3) in eachof the investigation conducted. It has been confirmed in Article 40 the LawNo.30 year 2002 regarding Criminal Act of Corruption EradicationCommission.

Key words: Investigation, The Termination of Warranty of Investigation, Distinctive Criminal Act, Corruption

  • I.    Pendahuluan

Sebelum dimulainya suatu proses penyidikan, terlebih dahulu telahdilakukan prosespenyelidikan oleh penyelidik pada suatu perkara tindakpidana yang terjadi. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan pengertianpenyelidikan adalah sebagai berikut : “Penyelidikan adalah serangkaiantindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yangdiduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukanpenyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Namunbagaimana halnya bila penyidikan berhenti di tengah jalan? Undang-Undangmemberikan wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik, yaknipenyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah

dimulainya. Hal ini ditegaskan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang memberiwewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedangberjalan.1 Pasal 109 ayat (2) KUHAP menyatakan: “Dalam hal penyidikmenghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebutternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demihukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum,tersangka atau keluarganya”.

Berbeda dengan Kejaksaan dan POLRI sebagai penyidik suatu tindak pidana, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakansebuah institusi atau lembaga negara yang dibentuk dari Undang-UndangNo.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsitidak berwenang mengeluarkan SP3 dalam setiap penyidikan yang dilakukannya.2 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang No.30Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yangdirumuskan : “Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkansurat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindakpidana korupsi”. Dengan adanya Pasal 40 Undang-Undang Nomor. 30 Tahun2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapatmemberikan kepastian hukum bagi penegakan hukum di Indonesia sehinggadapat mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.Atas latar belakang tulisan ini adalah untuk mengetahui tentang batasandiberlakukannya Pasal 40 Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi bagi KPK dan akibat tidakdiberikannya wewenang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untukmenerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau pun uratKetetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).

  • II.    Pembahasan

Mengingat penelitian ini berhubungan dengan implementasi perundangundanganmaka metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif.Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengancara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang berupa bahan-bahanhukum dan putusan pengadilan terutama bahan hukum primer.

Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :Kewenangan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dimilikioleh 3 (tiga) instansi penegak hukum di Indonesia, yaitu POLRI, Kejaksaandan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Hal ini diatur dengan jelas olehKUHAP dalam Pasal 1 butir 1, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentangKejaksaan Pasal 30 ayat (1) dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentangKPK Pasal 6. Berlakunya ketiga undang-undang ini diharapkan tidakmenimbulkan persaingan dalam makna negatif di antara tiga institusi tersebut,melainkan menjadi cambukan untuk turut serta dalam proses pemberantasankorupsi di negeri kita sehingga mereka dapat berjalan dengan sinergis. Danapabila ada hal-hal atau yang bersinggungan, maka digunakanlah asas hukumlex specialis derogat lex generalis, di mana ketentuan Undang-Undang yangkhusus mengenyampingkan Undang-Undang yang umum.3 Dengan adanyapembatasan kewenangan KPK yang tersurat dalam Pasal 40 UU No. 30/2002tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yakni “Komisi PemberantasanKorupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentianpenyidikan dan penuntutan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi”. Karenauntuk menghindari adanya tumpang tindih kewenangan antara instansiKepolisian dan kejaksaan dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnyayang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Adapun yang menjadi dasar pemikirannya adalah :Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.Perkembangannya terus meningkat dari tahun ketahun, Baik dari jumlah kasusyang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi kualitastindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yangmemasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidanakorupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadapperekonomian nasional, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegarapada umumnya. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luarbiasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang bersifat Independen daripihak manapun dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi, yangpelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional sertaberkesinambungan.4

Ada harapan besar saat ditetapkan Undang-undang No.31 tahun 1999tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah denganUndang-Undang No.20

tahun 2001. Karena lembaga pemerintahan yangmenangani perkara Tindak Pidana Korupsi belum berfungsi secara efektif danefisien lalu disahkan UU No.30 tahun 2002 tentang pembentukan KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Namun Berbeda denganKejaksaan dan POLRI sebagai penyidik suatu tindak pidana, lembaga KomisiPemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan sebuah institusi atau lembaganegara yang dibentuk dari Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang mengeluarkan SP3dalam setiap penyidikan yang dilakukannya.Hal ini ditegaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi “KomisiPemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintahpenghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.”Dengan adanya Pasal 40 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat memberikankepastian hukum dan mencegah terjadinya negoisasi yang tidak sah antarapetugas Komisi Pemberantasan Korupsi dengan orang yang disangkamelakukan tindak pidana korupsi sehingga dapat mendukung pemberantasankorupsi di Indonesia. Karena dalam ketentuan Pasal 40 Undang-Undang No.30thn 2002 tentang KPK merupakan prudential principle atau sikap kehatihatianbagi KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.sebab,begituditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah kasus korupsi oleh KPK, membawakonsekuensi akan dibawa sampai ke pengadilan. Oleh karena itu, sebelummenetapkan seseorang sebagai tersangka, KPK dituntut untuk bekerjasemaksimal dan secermat mungkin, terutama yang berkaitan dengan masalahpembuktian.

Karena untuk menghindari adanya tumpang tindih kewenangan antarainstansi Kepolisian dan kejaksaan dalam rangka menjalankan tugas danwewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.Berarti kewenangan mengeluarkan SP3 dan SKP2 (Surat Perintah PenghentianPenyidikan dan/atau Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) tetap ada ditangan kepolisian dan kejaksaan selaku penyidik dan penuntut Tindak PidanaKorupsi. Secara teoritis pula dapat dikatakan, bahwa dengan tidakdiberikannya wewenang tersebut, KPK harus benar berhati-hati dalammelakukan penyidikan, sebab sekali KPK mulai melaksanakan penyidikan,KPK harus melanjutkannya ke tingkat penuntutan dan penyidangan perkara.Ketentuan hukum yang melarang KPK untuk menerbitkan SP3 atau SKP2(Pasal 40 UU KPK) tidak bertentangan dengan HAM, khususnya prinsippraduga tidak bersalah (presumption of innocence).Konsekuensi dari kewenangan dan kewajiban khusus itu dengansendirinya menuntut KPK bekerja cermat sehingga tidak boleh ada orang yangditetapkan sebagai tersangka (dan ditangkap) sebelum ada bukti yang benarbenarkuat;

tidak boleh pula Komisi Pemberantasan Korupsi ceroboh dalammenyusun dakwaan yang dapat menyebabkan seorang terdakwa lolos darihukuman.5

  • 3.    Kesimpulan

Berdasarka uraian pembahasan sebagaimana yang telah dikemukakandiatas, maka dapat dirumuskan hal sebagai berikut :

  • 1.    Batasan diberlakukannya Pasal 40 Undang-Undang No.30 tahun 2002tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yakni “Komisi PemberantasanKorupsi tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah PenghentianPenyidikan (SP3) atau pun Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan(SKP2) dalam perkara Tindak Pidana Korupsi”. untuk menghindariadanya tumpang tindih kewenangan antara instansi Kepolisian dankejaksaan dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya yangberkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Berartikewenangan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)dan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) tetap ada ditanganKepolisian dan Kejaksaan selaku penyidik dan penuntut tindak pidana korupsi.

  • 2.    Akibat dari tidak diberikannya wewenang kepada Komisi PemberantasanKorupsi untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)atau pun Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) adalah Dalamhal ini penyidik KPK dalam melakukan tugasnya tidak menemukan cukupbukti,maka penyidik KPK berkoordinasi dengan Kepolisian atau kejaksaanuntuk dilimpahkan berkas tersebut ke Kepolisian atau Kejaksaan untukkemudian diterbitkannya SP3 atau pun SKP2. Konsekuensi darikewenangan dan kewajiban khusus itu dengan sendirinya menuntutKomisi Pemberantasan Korupsi bekerja cermat sehingga tidak boleh adaorang yang ditetapkan sebagai tersangka (dan ditangkap) sebelum adabukti yang benar-benar kuat; tidak boleh pula Komisi PemberantasanKorupsi ceroboh dalam menyusun dakwaan yang dapat menyebabkanseorang terdakwa lolos dari hukuman.

DAFTAR PUSTAKA

Djoko Prakosos, 1987, Penyidik,Penuntut Umum,Hakim Dalam ProsesHukum Acara Pidana, s.n Bina Aksara.

Emerson Yuntho, Mencermati Pemberian SP3 kasus Korupsi”,http:/www.hukmonline.com/detail.asp?id=11608&cl=kolom, diakses 4 February 2012.

Ermansjah Djaja, 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta.

Yahya Harahap, M., 2003, Pembahasan Permasalahan dan penerapanKUHAP,Penyidikan dan Penuntutan, Edisi kedua, Sinar GrafikaJakarta, h.101.http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/salah-sangkaterhadap-kpk, diakses 13 Mei 2012.