KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI MENANGANI OBSTRUCTION OF JUSTICE DALAM PERKARA KORUPSI
on
KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI MENANGANI OBSTRUCTION OF JUSTICE DALAM PERKARA KORUPSI∗
Oleh :
I Nyoman Darma Yoga
I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti ** A.A Ngurah Oka Yudistira Darmadi*** Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Penanganan obstruction of justice dalam perkara korupsi oleh KPK telah menimbulkan suatu perdebatan. Terdapat pihak yang memandang KPK tidak berwenang menangani obstruction of justice dalam perkara korupsi, karena dianggap kewenangannya hanya terbatas pada memberantas tindak pidana korupsi, sedangkan menurut Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, obstruction of justice dalam perkara korupsi merupakan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Disisi lain, terdapat pula pihak yang memandang KPK berwenang menangani obstruction of justice, karena obstruction of justice dalam perkara korupsi dipandang olehnya tergolong sebagai tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang RI No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Asal mula dari perdebatan ini adalah kekaburan norma mengenai ruang lingkup tindak pidana korupsi menurut UU KPK. Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah obstruction of justice tergolong sebagai tindak pidana korupsi atau tidak menurut UU KPK dan untuk mengetahui apakah KPK berwenang menangani obstruction of justice dalam perkara korupsi. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa obstruction of justice dapat di golongkan sebagai tindak pidana korupsi menurut UU KPK dan karena itu KPK memiliki kewenangan menangani obstruction of justice dalam perkara korupsi.
Kata Kunci : Kewenangan, KPK, obstruction of justice dalam perkara korupsi.
ABSTRACT
The handling of obstruction of justice in corruption cases by KPK has led to a debate. There are those who view the KPK not authorized to handle obstruction of justice in the case of corruption, because it is considered that its authority is limited to eradicating corruption, whereas according to the Law no. 31 Year 1999 juncto Law no. 20 of 2001 on the Eradication of Corruption, the obstruction of justice in the case of corruption is another crime related to corruption. On the other hand, there are also parties who view KPK authorized to handle obstruction of justice, because the obstruction of justice in the case of corruption is seen by them as a criminal act according to the Law No. 30 Year 2002 About Corruption Eradication Commission (KPU Act). The origin of this debate is the blurring norms on the scope of corruption crimes under the KPK Act. The purpose of this Research is to determine whether obstruction of justice is classified as a criminal act or not according to KPK Act and to know whether KPK is authorized to handle obstruction of justice in case of corruption. The method used is normative legal research method. The results of the study indicate that obstruction of justice could be rated as a criminal act according to the KPK Act and therefore the KPK has the authority to handle obstruction of justice in the case of corruption.
Keywords: Authority, KPK, obstruction of justice in corruption case.
Obstruction of justice atau yang dikenal sebagai perintang peradilan dalam konteks hukum pidana diartikan sebagai suatu perbuatan (aktif maupun pasif) yang dilakukan dengan maksud atau sejak awal memiliki motif untuk menghalang-halangi proses hukum yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum1. Dilihat dari genusnya, perbuatan ini termasuk kedalam contempt of court2. Secara normatif di Indonesia, obstruction of justice dalam perkara korupsi diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK), sedangkan dalam United Nations Convention Against Corruption, obstruction of justice diatur dalam Chapter III perihal Criminalization and law enforcement, Article 25. Penegakan terhadap tindak pidana ini sangat penting dilakukan, agar proses hukum dihormati oleh masyarakat3. Adapun, Pasal 21 UU PTPK yang mengatur perihal obstruction of justice, terdiri atas unsur subjektif yakni opzettelijk atau dengan sengaja dan unsur objektif yakni mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan4.
Sebagai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, obstruction of justice sengaja dirumuskan oleh
1Eddy O.S. Hiariej, 2018, KPK dan Perintang Peradilan, Kompas, (Selanjutnya disebut Eddy O.S. Hiariej I).
2Jimly Asshiddiqie, 2015, Upaya Perancangan Undang-Undang Tentang Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan (Contempt of Court), Jurnal Hukum, h.213-215.
-
3Markhy S. Gareda, “Perbuatan Menghalangi Proses Peradilan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 Juncto UU No. 20 Tahun 2001”, Jurnal Hukum, Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015, h. 134.
-
4R. Wiyono, 2009, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h.158-159.
pembentuk UU PTPK guna memperlancar jalannya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum5. Aparat penegak hukum yang dimaksud dalam hal ini dapat berasal dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, maupun KPK. Terkait dengan penegakan obstruction of justice yang dilakukan oleh KPK, ternyata terdapat juga pihak yang berpandangan bahwa KPK tidak memiliki kewenangan dalam menangani obstruction of justice sebagai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, dengan dalih kewenangan KPK terbatas pada memberantas tindak pidana korupsi saja sebagaimana yang diatur pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK)6. Bahkan, pihak tersebut berpendapat pula bahwa obstruction of justice sebagaimana yang diatur pada Pasal 21 UU PTPK, merupakan kewenangan penegak hukum lain selain KPK untuk menanganinya7.
Pendapat di atas, yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang menangani obstruction of justice sebagaimana yang diatur pada Pasal 21 UU PTPK, tidak terlepas dari penafsiran yang digunakan olehnya, yang menurut Eddy OS. Hiariej disebut bersifat gramatikal, yakni suatu penafsiran yang hanya berpegang pada UU PTPK semata8. Pasal 6 huruf c UU KPK menegaskan bahwa KPK bertugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Adapun tindak
5Allivia Putri Gandini, 2018, Kebijakan Kriminalisasi Obstruction Of Justice Sebagai Delik Korupsi Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Skripsi, Universitas Islam Indonesia, h.86.
6https://hukum.tempo.co/read/1050153/maqdir-ismail-anggap-kpk-tak-berwenang-tahan-fredrich-yunadi, diakses pada tanggal 9 April 2018, pukul 20.03 WITA.
7Ibid.
8Eddy O.S. Hiariej I, loc.cit.
pidana korupsi yang dimaksud dalam UU KPK adalah tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU PTPK (Pasal 1 ayat (1) UU KPK). Tindak pidana korupsi dalam UU PTPK diatur dalam Bab II, sedangkan Bab III dari UU PTPK tersebut mengatur perihal tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dimana obstruction of justice termasuk didalamnya. Berdasarkan konstruksi tersebut, menjadi persoalan kemudian adalah apakah obstruction of justice dalam perkara korupsi dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi menurut Pasal 1 ayat (1) UU KPK, yang mana obstruction of justice dalam perkara korupsi tersebut merupakan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi menurut UU PTPK. Persoalan inilah yang kiranya menjadi asal mula perdebatan mengenai apakah KPK berwenang atau tidak dalam menangani obstruction of justice sebagai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan untuk itu topik yang akan di bahas dalam tulisan ini berkenaan dengan “KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI MENANGANI OBSTRUCTION OF JUSTICE DALAM PERKARA KORUPSI”.
-
1. Apakah obstruction of justice dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi menurut UU KPK?
-
2. Apakah KPK berwenang menangani obstruction of justice dalam perkara korupsi ?
-
1. Untuk mengetahui obstruction of justice tergolong sebagai tindak pidana korupsi atau tidak menurut UU KPK.
-
2. Untuk mengetahui kewenangan KPK menangani obstruction of justice dalam perkara korupsi.
Penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), konseptual (conceptual approach), sejarah (historical approach), dan pendekatan kasus (case approach). Penelitian normatif dalam tulisan ini digunakan untuk mengkaji kekaburan norma mengenai ruang lingkup tidak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU KPK. Adapun metode penafsiran yang digunakan dalam menyelesaikan kekaburan norma dalam tulisan ini adalah metode penafsiran ekstensif.
-
2.2 Hasil dan Analisis
-
2.2.1 Penggolongan obstruction of justice sebagai tindak pidana korupsi menurut UU KPK.
-
Pasal 1 ayat (1) dari UU KPK menentukan bahwa :
Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam UU PTPK, terdapat dua jenis tindak pidana yakni ; tindak pidana korupsi yang diatur dalam Bab II dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Bab III dimana obstruction of justice termasuk didalamnya. Berdasarkan konstruksi yang demikian itu, setidak-tidaknya akan muncul 2 (dua) kemungkinan penafsiran yang berbeda terhadap terminologi “tindak pidana korupsi” menurut UU KPK, yakni : Pertama; Tindak pidana korupsi menurut UU KPK hanyalah tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Bab II UU PTPK. Kedua ; Tindak pidana korupsi menurut UU KPK, tidak hanya terbatas pada tindak pidana korupsi sebagaimana yang
diatur dalam Bab II UU PTPK, akan tetapi meliputi pula tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Bab III UU PTPK. Terhadap 2 (dua) kemungkinan penafsiran tersebut, penafsiran yang pertama dapat dikategorikan sebagai penafsiran restriktif karena arti kata in casu tindak pidana korupsi dipersempit atau dibatasi hanya diartikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Bab II UU PTPK, sedangkan yang kedua dapat dikategorikan sebagai penafsiran ekstensif karena arti kata in casu tindak pidana korupsi diperluas sehingga mencakup pula tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Bab III UU PTPK9.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam bagian metode penelitian di atas, bahwa dalam tulisan ini metode penafsiran yang digunakan adalah metode penafsiran ekstensif, maka persoalan mengenai ambiguitas terminologi tindak pidana korupsi menurut UU KPK sudah mulai terang yakni tindak pidana korupsi yang dimaksud pada Pasal 1 ayat (1) UU KPK “dapat dimaknai” tidak hanya terbatas pada tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Bab II UU PTPK, akan tetapi meliputi pula tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Bab III UU PTPK, dimana obstruction of justice termasuk didalamnya.
Berkaitan dengan penggolongan obstruction of justice sebagai tindak pidana korupsi, para ahli hukum Indonesia ternyata memiliki pendapat yang berbeda, perbedaan mana dapat dilihat
9I Made Pasek Diantha mengartikan penafsiran restriktif sebagai penafsiran yang mempersempit atau membatasi arti kata yang terdapat dalam perundang-undangan, sedangkan penafsiran ekstensif diartikan sebagai penafsiran yang memperluas arti kata. Lihat I Made Pasek Diantha, 2017, Metodologi Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h.154
dari tulisan-tulisannya dalam menggolongkan tindak pidana korupsi, seperti Luhut M.P. Pangaribuan, yang menggolongkan tindak pidana korupsi menjadi 7 kategori, yakni : 1) Perihal tindak pidana yang berkaitan dengan keuangan negara; 2) Suap; 3) Penggelapan jabatan; 4) Pemerasan; 5) Perbuatan curang; 6) Benturan kepentingan; 7) Gratifikasi10. Sedangkan Widyo Pramono mengelompokan tindak pidana korupsi menjadi 5 kelompok, yakni : 1) Kelompok tindak pidana yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara; 2) Suap termasuk gratifikasi; 3) Penggelapan dalam jabatan; 4) Pemerasan dalam jabatan; 5) Tindak pidana yang berhubungan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan11.
Berdasarkan penggolongan tindak pidana korupsi menurut Luhut M.P. Pangaribuan dan Widyo Pramono diatas, sangat jelas obstruction of justice tidak digolongkan sebagai tindak pidana korupsi. Ahli hukum lain seperti Prayitno Imam Santosa secara tegas mengemukakan bahwa meskipun tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu dirumuskan dalam UU PTPK (dimana obstruction of justice termasuk didalamnya), akan tetapi tetap saja tindak pidana tersebut tidak dapat disebut sebagai perilaku yang koruptif12. KPK bahkan dalam uraiannya pada Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, tidak menggolongkan obstruction of justice sebagai tindak pidana korupsi. KPK hanya menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi menurut UU PTPK terdiri atas 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak
10Luhut M.P. Pangaribuan, 2016, Hukum Pidana Khusus; Tindak Pidana Ekonomi, Pencucian Uang, Korupsi & Kerjasama Internasional serta Pengembalian Aset, Pustaka Kemang, Jakarta, h.162.
11R. Widyo Pramono, 2016, Pemberantasan Korupsi dan Pidana Lainnya; Sebuah Perspektif Jaksa & Guru Besar, Kompas, Jakarta, h. 43.
12H. Prayitno Imam Santosa, 2015, Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, h.116.
pidana korupsi, sebagaimana yang diatur dari Pasal 2 sampai Pasal 13 UU PTPK13.
Kendatipun demikian, terdapat juga ahli hukum Indonesia yang menggolongkan obstruction of justice sebagai tindak pidana korupsi seperti : Yudi Kristiana14, Adami Chazawi15, dan Ermansjah Djaja16. Bahkan Eddy O.S. Hiariej secara tegas berpendapat bahwa KPK memiliki kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap obstruction of justice dalam perkara korupsi17. Hal tersebut menunjukkan pula bahwa Eddy O.S. Hiariej memandang obstruction of justice tergolong sebagai tindak pidana korupsi menurut UU KPK.
Berdasarkan uraian di atas yang menunjukkan bahwa obstruction of justice dalam perkara korupsi dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi menurut UU KPK, jika dikaitkan dengan Pasal 6 huruf c jo. Pasal 11 UU KPK, maka KPK tentunya memiliki kewenangan menangani obstruction of justice dalam perkara korupsi. Hal inipun sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Eddy O.S. Hiariej, yang berpendapat secara tegas bahwa KPK memiliki kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap obstruction of justice dalam perkara korupsi18. Ahli hukum lain yang berpandangan serupa adalah
13Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami Untuk Membasmi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, h.15-17.
14Yudi Kristiana, 2016, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif
Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, h.54
15Adami Chazawi, 2016, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 15.
16Ermansjah Djaja, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, h.42.
17Eddy OS Hiariej I, loc.cit.
18Eddy O.S. Hiariej,I, loc.cit.
Rasamala Aritonang19. Merujuk pada asas trilogi peradilan, Rasamala berpendapat bahwa KPK memiliki kewenangan dalam menangani obstruction of justice dalam perkara korupsi. Terlebih lagi, KPK sudah pernah beberapa kali menangani perkara obstruction of justice yang dilakukan oleh Anggodo Widjojo, Ary Muladi, dan Miryam S Haryani, dimana terhadap para pelaku tersebut sudah diputus bersalah melakukan obstructioan of justice oleh Pengadilan Tipikor20.
Selain daripada itu, jika dilihat filosofi pembentukan KPK, pada hakikatnya KPK dibentuk guna meningkatkan pemberantasan korupsi di Indonesia secara lebih profesional, intensif dan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Hal ini dilatarbelakangi karena pemberantasan korupsi pada waktu itu belum dilakukan secara optimal dan secara nyata-nyata telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara serta menghambat pembangunan nasional. Bahkan ditingkat Internasional, sampai terjadi internasionalisasi kejahatan korupsi karena korupsi dianggap dapat berdampak pada enam hal yakni ; 1) Korupsi dapat merusak demokrasi; 2) dapat merusak aturan hukum; 3) dapat mengganggu pembangunan berkelanjutan; 4) dapat merusak pasar; 5) dapat merusak kualitas hidup; dan 6) Korupsi dianggap melanggar hak-hak asasi manusia21.
Kemudian secara sosiologis, KPK dibentuk lantaran lembaga pemerintah yang menangani perkara korupsi belum berfungsi
19Rasamala Aritonang dalam Seminar Criminal Corporate Liability yang diselenggarakan di Aula FH UNUD pada hari Kamis, 03 Mei 2018.
20Eddy O.S. Hiariej,I, loc.cit.
21Eddy O.S. Hiariej, 2012, Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi, dalam Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings, (ed), Hukum Pidana Dalam Perspektif, Pustaka Larasan, Denpasar, (Selanjutnya disingkat Eddy O.S. Hiariej III), h.193-194.
secara efektif dan efisien, sehingga diperlukan KPK sebagai pemicu kinerja baik terhadap aparat penegak hukum seperti kepolisian maupun kejaksaan dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism)22. Terakhir secara yuridis, pembentukan KPK diamanatkan berdasarkan Pasal 43 UU PTPK. Berdasarkan uraian landasan filosofis, sosiologis dan yuridis pembentukan KPK, menurut penulis KPK berwenang menangani perkara obstruction of justice dengan argumentasi sebagai berikut :
Pertama, oleh karena obstruction of justice pada pokonya bersifat menghambat pemberantasan korupsi, dimana terhadap kejahatan korupsi itu sendiri telah menghambat pembangunan nasional, merugikan keuangan dan perekonomian negara, maka sudah menjadi tugas dan kewenangan KPK sesuai filosofi pembentukannya untuk memberantas kejahatan-kejahatan tersebut yang pada prinsipnya sama-sama menghambat bagi terwujudnya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Kedua, Shinta Agustina sebagaimana yang dikutip oleh Allivia Putri Gandini, berpendapat bahwa pasal obstruction of justice yang sempat dimuat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjadi sebuah pasal yang “tidur” karena tidak pernah terdengar diterapkan oleh aparat penegak hukum23. Supaya pasal obstruction of justice yang diatur dalam UU PTPK saat ini tidak menjadi “tidur” lagi dan pemberantasan korupsi dapat berjalan dengan lancar, maka kewenangan KPK dalam menangani obstruction of justice menjadi suatu conditio sine qua non. Mengingat KPK dibentuk dengan maksud menjadi pemicu kinerja baik terhadap aparat penegak
22Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional & Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung, h.33.
23Allivia Putri Gandini, op.cit., h.81.
hukum lainnya seperti kepolisian maupun kejaksaan dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism).
Ketiga, secara expressive verbis dalam konsideran huruf c UU KPK ditegaskan bahwa KPK yang independen dibentuk dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Berdasarkan konstruksi yang demikian itu, tidak ada alasan lain bahwa maksud pembentuk undang-undang membentuk KPK adalah untuk menegakan hukum materiilnya in casu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan kata lain, KPK dibentuk dengan tugas dan wewenang untuk memberantas semua tindak pidana yang diatur dalam UU PTPK. Hal ini sejalan dengan pandangan Mochtar Kusumaatmadja, yang berpendapat bahwa guna mewujudkan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum dalam kenyataan, maka sangat diperlukan processes dan institution24. Jika pemberantasan korupsi yang diamanatkan harus diberantas dengan cara-cara (processes) yang luar biasa, maka institution yang mewujudkan asas-asas dan kaidah-kaidah UU PTPK menjadi kenyataan salah satunya adalah KPK.
-
1. Obstruction of justice dalam perkara korupsi dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi menurut UU KPK, jika dilakukan penafsiran secara ekstensif terhadap terminologi tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 ayat (1) UU KPK, sehingga ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Bab II 24Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, h. 11.
UU PTPK, akan tetapi meliputi pula tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Bab III UU PTPK dimana obstruction of justice dalam perkara korupsi termasuk didalamnya. Obstruction of justice digolongkan sebagai tindak pidana korupsi sejalan pula dengan pandangan dari para ahli hukum seperti Yudi Kristiana, Adami Chazawi, Ermansjah Djaja, dan Eddy O.S Hiariej.
-
2. KPK berwenang menangani obstruction of justice dalam perkara korupsi, karena tindak pidana a quo dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi menurut Pasal 1 ayat (1) UU KPK, yang jika dikaitkan dengan Pasal 6 huruf c jo. Pasal 11 UU KPK, sudah menjadi tugas dan kewenangan KPK dalam pemberantasannya. Selain itu, kewenangan KPK dalam menangani obstruction of justice dalam perkara korupsi sejalan dengan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis pembentukannya.
-
1. Untuk menghindari keadaan multitafsir, maka seyogyanya kedepan dalam rangka penguatan KPK melalui revisi Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terminologi hukum sepatutnya digunakan secara konsisten dan asas kejelasan rumusan sebagaimana yang diamanatkan Pasal 5 huruf f Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus dipegang teguh, terutama tetapi tidak terbatas pada terminologi tindak pidana korupsi itu sendiri.
-
2. Untuk menghindari abuse of power, maka kewenangan KPK kedepannya patut dirumuskan secara jelas dan tegas pula.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Atmasasmita, Romli, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional & Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung.
Chazawi, Adami, 2016, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Djaja, Ermansjah, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta.
Hiariej, Eddy O.S., 2009, Asas Legalitas & Penemuan Hukum
Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta.
______, 2012, Pembuktian Terbalik Dalam Pengembalian Aset Kejahatan Korupsi, dalam Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings, (ed), Hukum Pidana Dalam Perspektif, Pustaka Larasan, Denpasar.
Imam Santosa, H. Prayitno, 2015, Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung.
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami Untuk Membasmi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta,
Kristiana, Yudi, 2016, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung.
Pangaribuan, Luhut M.P., 2016, Hukum Pidana Khusus; Tindak Pidana Ekonomi, Pencucian Uang, Korupsi & Kerjasama Internasional serta Pengembalian Aset, Pustaka Kemang,
Jakarta
Pasek Diantha, Made, 2017, Metodologi Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta
ARTIKEL
Asshiddiqie, Jimly, 2015, Upaya Perancangan Undang-Undang Tentang Larangan Merendahkan Martabat Pengadilan (Contempt of Court), Jurnal Hukum.
Gareda, Markhy S., Perbuatan Menghalangi Proses Peradilan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 Juncto UU No. 20 Tahun 2001, Jurnal Hukum, Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015.
Hiariej, Eddy OS, 2018, KPK dan Perintang Peradilan, Kompas.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 juncto 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 134].
Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 137].
14
Discussion and feedback