SIKAP DIAM BADAN ATAU PEJABAT PEMERINTAHAN SEBAGAI OBJEK GUGATAN

SENGKETA TATA USAHA NEGARA*

Oleh

I Putu Agus Prapta Adiyasa**

I Ketut Tjukup***

Nyoman A. Martana****

Program Kekhususan Hukum Peradilan, Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Judul dari Jurnal ini “Sikap Diam Badan Atau Pejabat Pemerintahan Sebagai Objek Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara”. Sikap diam dari badan atau pejabat tata usaha negara disebut sebagai KTUN Fiktif. Namun dalam penormaannya, sikap diam dari badan atau pejabat tata usaha negara dibedakan menjadi KTUN Fiktif Negatif dan KTUN Fiktif Positif yang menimbulkan konflik norma dalam penerapannya. Keadaan tersebut menimbulkan ketidak pastian hukum bagi penggugat untuk mengajukan gugatan atau permohonan dalam menggunakan KTUN Fiktif Negatif dan KTUN Fiktif Positif sebagai objek sengketa tata usaha negara. Sehingga dalam tulisan ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi dari masing-masing ketentuan yang mengatur KTUN Fiktif Negatif dan KTUN Fiktif Positif dan mengetahui upaya untuk mengatasi konflik norma tersebut.

Jenis penelitian yang dipergunakan merupakan jenis penelitian normatif dengan mengutamakan penelitian terhadap kaidah atau norma hukumnya dan asas hukum serta norma hukum yang berlaku. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa norma hukum yang mengatur KTUN Fiktif Negatif dan KTUN Fiktif Positif masing-masing masih diakui keberlakuannya dalam beberapa Putusan PTUN yang menerima KTUN Fiktif Negatif atau KTUN Fiktif Positif sebagai

objek sengketa tata usaha negara. Hal tersebut terlihat pada ketentuan Peralihan UU AP tidak mencabut ketentuan Pasal 3 UU PTUN. Upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik norma adalah dengan menggunakan asas hukum yaitu lex posterior derogat legi priori (hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama).

Kata Kunci : Sikap Diam, Badan/Pejabat Pemerintahan, Objek Sengketa PTUN

Abstract

The title of this journal "The Silence of the Agency or Government Officials as the Object of the State Administration Dispute Lawsuit". The silence of the state administrative body or official is called the Fictitious KTUN. However, in the rule, the silence of the body or administrative officials of the state is divided into Negative Fictitious KTUN and Positive Fictitious KTUN that creates a conflict of norms in its application. This situation creates legal uncertainty for the plaintiff to file a lawsuit or petition in using the Fictitious Negative KTUN and Positive Fictitious KTUN as the object of the state administration dispute. So in this paper aims to know the existence of each provisions that regulate the Fictitious Negative KTUN and Positive Fictitious KTUN and know the effort to overcome the conflict of norms.

The type of research used is a type of normative research. The results of this study indicate that the legal norms governing the Fictitious Negative KTUN and the Positive Fictitious KTUN respectively are still recognized its validity in some of the PTUN Decisions that receive the Negative Fictitious KTUN or the Positive Fictitious KTUN as the object of state administrative disputes. This can be seen in the provisions of the Transitional Law Act does not revoke the provisions of Article 3 of the Administrative Court Law. Efforts are made to resolve the conflict of norms is to use the legal principle of lex posterior derogat legi priori (new law override the old law).

Keywords : Silence, Agency / Government Official, PTUN Dispute Object

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan hal tersebut konstitusi

memberikan penguatan bahwa Indonesia adalah negara yang dilandasi oleh hukum atau rechtstaat dan tidak semata-mata hanya dilandasai oleh kekuasaan saja atau machstaat. Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya yang mengartikan bahwa hukum tidak mampu mewujudkan norma ke dalam kenyataan.1 Demi mewujudkan penegakkan hukum tersebut terlebih pada peradilan administrasi dibutuhkan suatu lembaga peradilan administrasi yaitu Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut PTUN) yang mana pengaturan terhadap PTUN ini diatur melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UU PTUN).

Berbagai KTUN dapat digugat ke PTUN, hal ini karena perbuatan Pejabat atau Badan TUN seperti perijinan, konsesi, dispensasi dituangkan dalam bentuk keputusan pejabat (beschikking).2 Penetapan suatu KTUN dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN mengandung arti bahwa apabila suatu peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu penetapan, maka badan atau pejabat pemerintahan memiliki batas waktu selama 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan untuk menetapkan KTUN yang dimohon. Apabila telah lewat 4 (empat) bulan tidak juga menetapkan KTUN yang dimohonkan maka badan atau pejabat pemerintahan dianggap telah mengeluarkan KTUN fiktif negatif.

Ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN nampak kontradiktif dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Selanjutnya disebut UU AP). Ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU AP mengartikan bahwa apabila peraturan perundang-undangan tidak menetapkan batas waktu penetapan suatu KTUN, maka badan atau pejabat pemerintahan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap wajib menetapkan KTUN yang dimohon. Apabila dalam batas waktu yang telah ditentukan badan atau pejabat pemerintahan belum juga menetapkan KTUN maka dianggap telah mengeluarkan KTUN fiktif positif.

UU AP tidak serta merta mencabut ketentuan mengenai KTUN fiktif negatif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 ayat (3) UU PTUN. Hal tersebut dapat terlihat dari masih adanya penerapan kedua aturan tersebut dalam beberapa gugatan maupun permohonan tata usaha negara yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Seperti halnya dalam Putusan PTUN Makassar Nomor 50/G/2017/PTUN.Mks tanggal 30 Oktober 2017 dan Putusan PTUN Jayapura Nomor 11/G/2015/PTUN.JPR tanggal 10 September 2015 yang mana masing-masing dari kedua Putusan tersebut menjadikan Keputusan Fiktif Negatif sebagai objek sengketa tata usaha negara. Sedangkan di dalam Penetapan PTUN Denpasar lainnya dengan nomor register perkara 27/PEN.DIS/2015/PTUN-Dps. yang telah diputus pada tanggal 25 Nopember 2015, dalam pokok gugatannya masih berdasarkan pada adanya KTUN fiktif negatif justru dikesampingkan dengan adanya UU AP. Dengan demikian keberadaan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan ketentuan Pasal

53 ayat (2) dan (3) UU AP menunjukan telah terjadinya suatu konflik norma antara kedua undang-undang tersebut.

  • 1.2.    Tujuan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui eksistensi dari ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dengan diberlakukannya UU AP dan mengetahui upaya penyelesaian konflik norma diantara kedua aturan tersebut.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian yang berkaitan dengan penelitian hukum. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.3 Secara lebih spesifik, penulis menggunakan jenis penelitian normatif dalam menyelesaikan tulisan ini. Penelitian hukum normatif adalah penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.4

  • 2.2.    Pembahasan

    2.2.1 . Eksistensi Ketentuan Pasal 3 Ayat (3) UU PTUN Dibandingkan Dengan Ketentuan Pasal 53 Ayat (2) dan (3) UU AP

Sengketa merupakan suatu yang mengganggu ketentraman, tata tertib sehingga menyebabkan ketergoncangan di dalam masyarakat.5 Ketentuan Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) UU PTUN mengatur terkait penyelesaian sengketa TUN apabila badan atau pejabat TUN yang bersangkutan bersikap diam terhadap kewajibannya untuk menerbitkan sebuah KTUN yang dimohonkan oleh orang/individu atau badan hukum perdata. Pasal 3 UU PTUN pada intinya memberikan pengaturan bahwa apabila Pebajat atau Badan TUN melakukan sikap diam terhadap permohonan atas KTUN yang telah diajukan maka sikap diam tersebut dapat dianggap sebagai Keputusan Penolakan atau KTUN Fiktif Negatif

Berdasarkan apa yang telah disebutkan dan dijabarkan melalui ketentuan Pasal 3 UU PTUN, adanya peristilahan sebagai fiktif negatif karena memuat konteks “fiktif” yang menunjukan bahwa KTUN yang menjadi objek gugatan tidak berwujud.6 Ketentuan pasal tersebut hanya memaknai suatu sikap diam dari badan atau pejabat tata usaha negara sebagai suatu KTUN. Sebagaimana disebutkan bahwa adanya sikap diam badan atau pejabat tata usaha negara tersebut demi hukum dimaknai sebagai suatu penolakan terhadap permohonan yang diajukan orang atau badan hukum perdata kepada Badan atau Pejabat TUN.

Ketentuan Pasal 1 ayat (7) UU AP mengatur tentang makna dari sikap diam badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak memberikan respon terhadap permohonan yang diajukan oleh orang/individu atau badan hukum perdata. Terhadap keberadaan

Pasal 53 UU AP memiliki penekanan pada waktu dari berlakunya keputusan . hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) yang menekankan pada konteks “batas waktu” kewajiban bagi badan atau pejabat tata usaha negara untuk menetapkan suatu keputusan.

Berbeda dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU PTUN yang memberikan secara langsung pengertian terhadap KTUN Fiktif yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara menolak permohonan yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata. Pemaknaan sebagai sebuah pengujian KTUN fiktif dari ketentuan Pasal 53 UU AP baru dapat terlihat dari ayat (2), (3), (4), (5), dan (6) ketika klausul “setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan” yang mana kata “permohonan” tersebut yang memberikan nuansa pengujian dari suatu KTUN fiktif positif pada keseluruhan ketentuan pasal 53 ini.

Berdasar pada ketentuan Pasal 3 UU PTUN yang mengartikan bahwa sikap diam dari badan atau pejabat tata usaha negara telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), karena sebagai badan atau pejabat tata usaha negara yang seharusnya dianggap memberikan pelayan baik ke masyarakat justrru bertindak sebaliknya. Secara fiktif haruslah dianggap keputusan penolakan ketika lewatnya hari terakhir dari tenggang waktu yang ditentukan.7

Gugatan TUN dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara setelah permohonan yang diajukan tidak ditanggapi melebihi jangka

waktu yang berikan UU PTUN, dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 55 UU PTUN.

KTUN fiktif positif diatur dalam ketentuan Pasal 53 UU AP. KTUN fiktif positif merupakan kebalikan dari KTUN fiktif negatif yang mana KTUN fiktif negatif mengartikan sikap diam badan atau pejabat tata usaha negara sebagai suatu penolakan namun terhadap KTUN fiktif positif, sikap diam dari badan atau pejabat tata usaha negara ini diartikan sebagi suatu pengabulan terhadap permohonan yang diajukan.

Pasal 3 UU PTUN dan Pasal 53 UU AP menentukan bahwa yang nantinya menjadi objek sengketa yaitu keputusan penolakan yang memiliki sifat fiktif negatif dan keputusan pengabulan yang memiliki sifat fiktif positif. Pasal 87 UU AP sebagai ketentuan peralihan tidak menyatakan adanya pencabutan atas ketentuan Pasal 3 PTUN.

Prosedur penyelesaian sengketa dari gugatan maupun permohonan yang diajukan berdasarkan KTUN fiktif negatif atau KTUN fiktif positif memiliki beberapa perbedaan tersendiri baik dari segi dasar hukum pengaturannya, bentuk pengajuan ke pengadilan, tenggang waktu, tindakan yang dihasilkan, maupun hukum acara yang berlaku dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara itu sendiri.

Dari segi dasar hukum yang mengatur pengajuan gugatan dengan KTUN Fiktif Negatif sebagai objeknya diatur dalam ketentuan Pasal 53 UU PTUN sedangkan pengajuan permohonan dengan KTUN Fiktif Positif sebagai objeknya diatur dalam ketentuan Pasal 53 UU AP dan PERMA Nomor 5 Tahun 2015. Permohonan yang diajukan ke PTUN beradasarkan PERMA tersebut tidak melalui tahap dismissal proses atau pemeriksaan pendahuluan layaknya gugatan yang

diajukan ke PTUN. Hasil akhir dari sengketa TUN baik yang mengajukan gugatan dan permohonan adalah berupa Putusan, namun Putusan dengan diajukannya permohonan memiliki sifat final dan mengikat.

  • 2.2.2    Upaya Penyelesaian Konflik Ketentuan Pasal 3 Ayat (3) UU PTUN Dengan Ketentuan Pasal 53 Ayat (2) dan (3) UU AP

Berlakunya UU AP yang secara tersendiri mengatur terkait dengan KTUN fiktif positif dalam ketentuan pasal 53 ayat (2) dan (3) namun tidak serta merta mencabut keberlakuan dari ketentuan Pasal 3 UU PTUN yang mengatur terkait KTUN fiktif negatif menimbulkan suatu ketidakpastian hukum dalam penerapan pasal tersebut. Oleh karena kedua ketentuan pasal mengatur materi hukum yang sama yaitu terkait dengan sikap diam dari badan atau pejabat atat usaha negara yang kemudian memiliki pemaknaan kondisi hukum berbeda-beda diantara ketentuan undang-undang tersebut.

Berlakunya kedua aturan dalam undang-undang tersebut menimbulkan pula suatu konflik norma atau pertentangan norma akibat dari adanya substansi materi hukum yang sama namun pemaknaannya berbeda. Sebagaimana telah disebutkan pada uraian sebelumnya, bahwa munculnya konflik norma merupakan ciri-ciri dari adanya ketidakpastian hukum. Dengan adanya kedua ketentuan tersebut, maka bagi orang/individu atau badan hukum perdata yang ingin mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara atas sikap diam dari badan atau pejabat tata usaha negara akan mengalami kerancuan untuk memilih ketentuan mana yang

akan digunakan sebagai dasar pengajuan gugatan ke pengadilan tata usaha negara.

Langkah yang ditempuh adalah suatu penyelesaian konflik norma. Berdasarkan asas preferensi hukum terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik norma, yaitu :

  • 1.    Lex superiori derogat legi inferiori

Asas ini menerapkan langkah apabila terdapat dua uu yang tidak sederajat tingkatannya mengatur objek hukum yang sama dan saling bertentangan satu sama lainnya, maka uu atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatan atau derajatnya dapat mengesampingkan uu atau peraturan perundang-undangan yang lebih di bawah derajatnya.

  • 2.    Lex specialis derogat legi generali

Asas ini memberikan suatu langkah apabila terjadi konflik atau pertentangan norma antara uu yang bersifat khusus dengan uu yang bersifat umum yang keduanya memiliki substansi hukum yang mengatur hal yang sama, maka uu yang bersifat umum dapat dikesampingkan dengan adanya uu yang bersifat khusus.

  • 3.    Lex posteriori derogat legi priori

Dalam asas ini memberikan ketentuan bahwa apabila terdapat suatu peraturan perundang-undangan yang baru diberlakukan kemudian masih terdapat uu yang lama dengan materi substansi hukum yang diatur adalah sama, maka berdasarkan asas ini peraturan perundang-undangan yang baru dapat mengesampingkan uu yang lama selama uu yang baru tersebut tidak mencabut uu yang lama.

Asas-asas sebagaimana telah disebutkan diatas pada dasarnya merupakan upaya yang dapat dilakukan atau ditempuh guna mengatasi adanya konflik norma diantara uu yang berlaku. Kendati demikian, dalam penerapannya haruslah digunakan secara tepat dan cermat dari asas-asas tersebut. Konflik antara ketentuan Pasal 3 UU PTUN dengan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU AP merupakan aturan yang memiliki tingkatan yang sederajat sehingga berdasarkan asas prefrensi hukum yang tepat digunakan dalam kasus ini yaitu lex posterior derogat legi priori.

Keberlakuan asas sebagaimana penulis sebutkan, selanjutnya dalam pertimbangan hukum putusan dengan nomor perkara Nomor : 27/PEN.DIS/2015/PTUN-Dps. Menyebutkan bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 53 UU AP tersebut, maka ketentuan yang mengatur tentang KTUN fiktif negatif haruslah dikesampingkan berdasarkan asas peraturan perundang-undangan (lex posterior derogat legi priori). Sehingga ketentuan dari Pasal 3 UU PTUN haruslah dikesampingkan dan dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat untuk diterapkan dalam prosedur administrasi pemerintahan.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1.    Kesimpulan

Berlakunya ketentuan dari Pasal 53 UU AP tidak serta merta mencabut keberadaan dari ketentuan Pasal 3 UU PTUN. Kedua aturan tersebut hingga saat ini masih diakui keberlakuannya yang secara tidak langsung menimbulkan konflik dikarenakan aturan tersebut sama-sama mengatur tentang sikap diam dari badan atau pejabat tata usaha negara namun memiliki pemaknaan yang

berbeda, dimana berdasarkan ketentuan Pasal 3 dimaknai sebagai keputusan penolakan atau KTUN Fiktif Negatif sedangkan sikap diam menurut ketentuan Pasal 53 UU AP dimaknai sebagai keputusan pengabulan atau KTUN Fiktif Positif. Dengan berlakunya kedua aturan hukum sebagaimana dimaksud maka dapat menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Guna mengatasi konflik norma diantara ketentuan tersebut maka sesuai dengan asas prefrensi hukum dapat digunakan asas lex posterior derogat legi priori, dimana asas tersebut mengartikan bahwa ketentuan perundang-undangan yang baru dapat mengesampingkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama. Sehingga apabila menganut pada asas hukum tersebut maka seharusnya Pasal 3 UU PTUN seharusnya dikesampingkan mengingat adanya ketentuan Pasal 53 UU AP.

  • 3.2.    Saran

Dalam penyelenggaraan negara yang baik tentunya dibutuhkan suatu kepastian hukum untuk menjamin adanya keadilan dan ketertiban yang tercipta dalam negara itu sendiri. Masih berlakunya kedua ketentuan yang mengatur tentang sikap diam badan atau pejabat tata usaha negara dengan pemaknaan berbeda akan menimbulkan ketidak pastian hukum dalam penerapannya. Untuk itu penulis menyarankan kepada lembaga yang berwenang untuk mencabut ketentuan Pasal 3 UU PTUN sehingga akan tercipta kepastian hukum dengan adanya satu ketentuan yang mengatur tentang sikap diam badan atau pejabat tata usaha negara. Sehingga apabila orang/individu atau badan hukum perdata ingin mengajukan gugatan maka dapat mendalilkan KTUN Fiktif Positif sebagai objek sengketanya.

Penggunaan istilah permohonan dalam pengajuan untuk mendapat Keputusan Pengabulan sebagaimana tertuang dalam Perma Nomor 5 Tahun 2015 sekiranya kurang tepat mengingat pemaknaan dari permohonan bukanlah untuk perkara yang mengandung sengketa, sehingga penulis menyarankan akan lebih tepat apabila digunakan istilah gugatan sebagai pengajuan untuk mendapat Keputusan Pengabulan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga dalam hal ini tidak menutup kemungkinan untuk dibuatkan ketentuan pasal baru yang lebih menitik pada KTUN Fiktif sebagai objek sengketa tata usaha negara dan diajukan melalui gugatan.

  • IV.    DAFTAR PUSTAKA

    BUKU

Ali Abdullah M., 2015, Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara  Pasca-Amandemen,  Prenadamedia Group,

Jakarta.

Irvan Mawardi, 2016, Paradigma Baru PTUN Respon Peradilan Administrasi Terhadap Demokrasi, Thafa Media, Yogyakarta.

Johny Ibrahim, 2007, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang.

Muchsan, 1997, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, cet. 6, Predana Media Group, Jakarta.

Rochmat Soemitro, 1998, Peradilan Tata Usaha Negara, Refika

Aditama, Bandung.

Zairin Harahap, 2010, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Ed. Revisi, Rajawali Pers, Jakarta.

JURNAL

Enrico Simanjuntak, 2014, “Prospek Ombudsman Republik Indonesia Dalam Rangka Memperkuat Pelaksanaan Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 3, No. 2, Juli 2014.

Budiamin Rodding, 2017, “Keputusan Fiktif Negatif dan Fiktif Positif dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik”, Tanjungpura Law Journal, Vol. 01, No. 01, Januari 2017.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344).

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembarab Negara Republik Indoneia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4380).

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674).

14