KONSEP RESTITUSI TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA DI INDONESIA
on
KONSEP RESTITUSI TERHADAP PERLINDUNGAN KORBAN
TINDAK PIDANA DI INDONESIA
Oleh:
I Gusti Agung Dian Bimantara
I Putu Sudarma Sumadi
Program Kekhususan: Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT
This research entitled "The concept of Restitution Against criminal victim's protection in Indonesia". As for the problem that will be discussed in this research is how does the setting of restitution about criminal victim's protection in Indonesia. This research using normative method related the existence of fuzzy norm on Article 7A of the Act No. 31 2014 about changes upon the law No. 13 of 2006 on the protection of witnesses and Victims. Restitution is punitive damages awarded to the victim by the offender where it is a protection against victims as efforts the fulfillment of victim rights. The regulation of restitutions mechanism hasn't been set completely in the legislation so complicate the victim of crime which will apply for restitution.
Keywords: Concept of Restitution, the Protection of Victims, Crime
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Konsep Restitusi Terhadap Perlindungan Korban Tindak Pidana di Indonesia”. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan konsep restitusi mengenai perlindungan korban tindak pidana di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode normatif terkait adanya norma kabur pada Pasal 7A Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Restitusi merupakan ganti rugi yang diberikan kepada korban oleh pelaku dimana hal tersebut merupakan perlindungan terhadap korban sebagai upaya pemenuhan hak atas korban. Pengaturan mengenai mekanisme restitusi belum diatur secara lengkap dalam peraturan perundang-undangan sehingga akan menyulitkan korban tindak pidana yang akan mengajukan permohonan restitusi
Kata Kunci: Konsep Restitusi, Perlindungan Korban, Tindak Pidana
Dewasa ini tindak pidana semakin berkembang, para pelaku tindak pidana kini memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk melakukan kejahatan, seperti penipuan terhadap jual beli online. Pelaku tindak pidana di Indonesia tidak luput dari perkembangan, tindak pidana semakin berkembang dimana memanfaatkan teknologi yang ada sebagai perantara dalam melakukan kejahatan, seperti transaksi terhadap perdagangan orang sehingga para penegak hukum cukup sulit dalam melakukan penyidikan dalam menyelesaikan perkara pidana. Penyelesaian perkara pidana di
Indonesia tidak bisa hanya memandang pada nasib si pelaku, akan tetapi korban yang dalam hal ini menderita kerugian materiil maupun imateriil juga memerlukan perlindungan. Kedudukan korban dalam KUHP belum optimal dikarenakan KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara konkret atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban dan tidak merumuskan jenis pidana restitusi (ganti rugi) yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi korban dan/atau keluarga korban.1
Perlindungan terhadap korban di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut UU Perlindungan Saksi dan Korban). Perlindungan yang dimaksud adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disingkat LPSK) atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang bersangkutan. Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban sebagai upaya pemenuhan hak atas korban adalah restitusi. Restusi merupakan ganti rugi yang diberikan kepada korban oleh pelaku, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 angka 11 UU Perlindungan Saksi dan Korban. Namun dalam pengaturan restitusi ini tidak secara jelas bagaimana mekanisme dari permohonan restitusi tersebut dan juga tidak menjelaskan perkara pidana seperti apa yang dapat berlaku dengan diajukannya restitusi ini apakah terhadap beberapa tindak pidana terkhusus pada pelanggaran saja atau pada kejahatan saja, sehingga penyelesaikan perkara pidana dengan restitusi belum diimplementasikan dengan baik. Kajian normatif mengenai hal ini diharapkan mampu mendeskripsikan pengaturan dan konsep restitusi terhadap perlindungan korban di Indonesia.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui mengenai konsep restitusi dan mekanisme pengajuan restitusi terhadap perlindungan korban tindak pidana di Indonesia.
Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah jenis penelitian normatif terkait adanya norma kabur yang berfokus pada penelitian prinsip-prinsip hukum serta mengkaji dan meneliti peraturan-peraturan tertulis.2 Norma kabur yang ditemukan yaitu tidak jelasnya pengaturan restitusi dalam Pasal 7A UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Konsep ganti rugi di Indonesia berupa restitusi dan kompensasi. Ganti rugi tersebut merupakan salah satu perlindungan korban secara langsung, namun bentuk ganti rugi baik restitusi dan kompensasi belum dipahami secara luas oleh masyarakat Indonesia. Perbedaan antara restitusi dan kompensasi dapat dikaji dari dua hal.3 Kompensasi merupakan tuntutan pemenuhan ganti rugi yang dilakukan oleh korban melalui suatu permohonan dan dibayar oleh masyarakat atau negara. Kompensasi tidak mensyaratkan adanya penghukuman terhadap pelaku kejahatan. Pada restitusi, tuntutan ganti rugi dilakukan melalui suatu putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh pelaku kejahatan.4 Restitusi sesuai dengan Prinsip Pemulihan dalam Keadaan Semula (restutio in integrum) adalah suatu upaya bahwa korban kejahatan haruslah dikembalikan pada kondisi semula sebelum kejahatan terjadi meski didasari bahwa tidak akan mungkin korban kembali pada kondisi semula.
Adapun bentuk-bentuk restitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 7A ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah (i) ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; (ii) ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau (iii) penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis. Konsep restitusi menggambarkan bahwa korban dan keluarganya harus mendapatkan ganti kerugian yang adil dan tepat dari orang bersalah atau pihak ketiga yang bertanggungjawab. Ganti kerugian ini akan mencakup pengembalian harta
milik atau pembayaran atas kerusakan atau kerugian yang diderita, penggantian biaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban, penyediaan jasa dan hak-hak pemulihan.
Perlindungan saksi dan korban dalam hukum positif di Indonesia sudah mendapat pengaturan meskipun sifatnya sangat sederhana dan parsial, hal ini dapat dilihat dalam hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Timbulnya kebingungan bagi korban tentang mekanisme yang akan digunakan dalam mengajukan tuntutan restitusi dapat disebabkan karena tidak ada keselarasan dalam prosedur pengajuan hak atas restitusi itu sendiri.5 Mekanisme permohonan restitusi telah diatur dalam Pasal 7A ayat (4) UU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa dalam hal permohonan restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya. Korban yang ingin mendapatkan restitusi wajib mengajukan permohonannya yang dilakukan sebelum putusan, korban juga harus melibatkan dua pihak yakni LPSK dan Jaksa Penuntut Umum. Korban dapat mengajukan ganti kerugian melalui LPSK dan dapat juga mengajukan ganti kerugian dengan prosedur lainnya, misalnya KUHAP. Perlu keselarasan dengan regulasi lainnya untuk memastikan prosedur yang digunakan menjadi baku.
Pengaturan mengenai mekanisme pengajuan restitusi belum diatur secara lengkap dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, hal ini tentunya akan menyulitkan korban tindak pidana yang akan mengajukan permohonan restitusi, seperti korban tidak mengetahui dengan pasti kerugian-kerugian yang dapat dimohonkan restitusi, korban tidak mengetahui mekanisme yang dapat ditempuh apabila pelaku tindak pidana tidak mampu atau tidak mau untuk membayar ganti rugi dimohonkan oleh korban, serta korban juga tidak mengetahui jangka waktu pembayaran restitusi dari pelaku tindak pidana kepada dirinya sejak putusan hakim yang mengharuskan pelaku untuk membayar restitusi pada korban berkekuatan hukum tetap. Masyarakat Indonesia perlu
diberikan pemahaman yang mendalam mengenai mekanisme pengajuan restitusi mengingat bahwa masih rendahnya penerapan restitusi yang merupakan mekanisme baru dalam perlindungan korban sebagai bentuk penyelesaian perkara pidana.
Konsep restitusi sebagai bentuk perlindungan korban di Indonesia adalah suatu upaya bahwa korban kejahatan haruslah dikembalikan pada kondisi semula sebelum kejahatan terjadi meski didasari bahwa tidak akan mungkin korban kembali pada kondisi semula dan telah diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. Adapun pengaturan mengenai mekanisme pengajuan restitusi belum diatur secara lengkap dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, sehingga akan menyulitkan korban tindak pidana yang akan mengajukan permohonan restitusi.
Daftar Pustaka
Indah, Maya, 2014, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan
Kriminologi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penilitian Hukum, UI-Press, Jakarta.
Sunarso, Siswanto, 2014, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Wagiman, Wahyu, 2007, Praktik Kompensasi dan Restitusi di Indonesia: Sebuah Kajian Awal, Indonesia Corruption Watch, Jakarta.
KUHP, (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
5
Discussion and feedback