PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJADI PELAKU TINDAK PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN*

Oleh:

I Gusti Ngurah Agung Panji Negara Kelakan**

Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS*** Anak Agung Ngurah Wirasila, SH.,MH**** Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK:

Penelitian ini dibuat berdasarkan kebutuhan akan perlindunga hukum berdasarkan hak asasi yang dimiliki oleh anak, dimana setiap anak berhak untuk mendapatkan masa depan yang cerah. Serta untuk menelaah perlindungan hukum yang didapat kan oleh anak yang melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan dari undang-undang yang berlaku.

Penelitian ini dilakukan untuk memahami perlindungan hukum terhadap terpidana anak serta mengetahui kekurangan dari perlindungan hukum terhadap anak, serta bagaimana perlindungan hukum sebaiknya di masa mendatang.

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan Perundang-undangan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berhubungan dengan isu hukum yang dibahas serta pendekatan Konsepsual dimana merupakan pemberlakuan dari konsep aturan hukum yang dinilai efektif dan sesuai dengan kebutuhan hukum saat ini ataupun sebaliknya.

Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana

memiliki cakupan yang luas dan menjadi lebih efektif dan melakukan tindakan-tindakan yang bersifat preventif untuk mencegah terulangnya kejadian serupa serta dapat berkembang dalam menangani kasus anak sebagai pelaku tindak pidana sehingga menjadi lebih baik dimasa mendatang.

Kata kunci : Perlindungan Hukum, Tindak Pidana, Anak, Perkembangan Hukum

ABSTRACT:

This research was made by Law Protection needs based on Child Human Rights, which every child has right to gain a bright future. Also to review Law Protection for child who did a crime based on Constitutional Law.

This research made to knowing about Law Protection for child criminal and also know the flaw of the Law Protection for child in the present, and how it supposed to be in the future.

A method used in this research was normative research with an equipment of Constitution Approach which done by reviewing all the Constitutional Law and regulation which is connected with Law issue that we talked about and also conceptual approach which is an applyment of an effective Law Concept and match with what it needs from Law at this present time vice versa.

With this research done, there’s a hope about Law Protection for child who did a Criminal act have large area so it will become more effective and do preventive acts to prevent the same criminal act repeated and the similar act won’t be repeated and also it can grow up on handling a child as a criminal act to become better in the future.

Keywords : Law Protection, Criminal Act, Child, Law Development

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman seperti sekarang ini, semakin banyak fenomena yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari terutama di bidang hukum. Termasuk sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak. Pada dasarnya anak-anak adalah

sosok lugu, polos dan cenderung tidak berdosa, akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, anak-anak akan menjadi sosok yang mengkhawatirkan bila tidak dipantau perkembangannya yang mengakibatkan tidak sedikit anak-anak berhadapan dengan hukum.

Tujuan hukum itu adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib di dalam masyarakat. Masing-masing anggota masyarakat mempunyai berbagai kepentingan segingga dalam memenuhi kepentingannya mengadakan hubungan-hubungan yang diatur oleh hukum untuk menciptakan keseimbangan masyarakat. Di Indonesia, untuk menciptakan keseimbangan masyarakat, terdapat sanksi bagi pelanggaran hukum yang berlaku, yaitu sanksi administrasi dalam bidang Hukum Tata Negara, sanksi perdata dalam bidang Hukum Perdata, serta sanksi pidana dalam bidang Hukum Pidana.1

Penyidik anak, penuntut umum anak, hakim anak serta petugas pemasyarakatan anak merupakan satu kesatuan yang termasuk dalam suatu sistem yang disebut sebagai Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justie System), bertujuan untuk menanggulangi kenakalan anak sekaligus juga diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada anak yang mengalami masalah dengan hukum. 2

Sering kita jumpai adanya tindakan kejahatan yang bahkan pelakunya merupakan anak-anak, dimana para pelakunya dikatakan anak-anak apabila ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak, karena pelakunya berumur kurang dari 18 tahun dan diatas 8 tahun. akan tetapi terdapat pembaharuan hukum yang

mengklasifikasikan definisi anak yang menghasilkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimana terdapat perubahan ketentuan anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun. Dalam hal ini tentu pemidanaan akan diproses secara pidana anak dan tentu akan mendapatkan perlindungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Mejadi Undang-Undang yang dimana terkait dengan pembaharuan Hukum yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

  • 1.2    Permasalahan dan Tujuan

Permasalahan yang diangkat adalah:

  • 1.    Bagaimanakah pengaruh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 di tingkat penyidikan?

  • 2.    Bagaimana sebaiknya perlindungan terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana di masa mendatang?

Adapun tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui tinjauan yuridis Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan pengaruhnya terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, serta mengetahui Keunggulan maupun kekurangan perlindungan hukum terhadap terhadap anak pelaku tindak pidana di tingkat penyidikan dimasa

sekarang (Ius Constitutum) dan bagaimana seharusnya Perlindungan tersebut dicita-citakan dimasa mendatang (Ius Constituendum).

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan phenomena yang relative baru. Penelitian hukum menjadi penting sejak sejumlah jurusan bidang hukum semakin intensif dan bermunculan karir akademis yang baru telah menggantikan praktisi-praktisi yang awalnya berfikir tidak mungkin memasuki profesi tersebut. Dalam mengadakan suatu penelitian, terlebih dahulu harus dipahami tentang metode. Istilah “metodelogi” berasal dari kata metode yang berarti “jalan ke”. Dengan demikian yang dimaksud dengan metodelogi adalah suatu prosedur atau cara utuk mengetahui sesuatu yang sistematis atau suatujalan untuk sampai pada apa yang dituju, oleh karena itu suatu metode harus jelas dahulu apa yang dicari. Agar dapat dipercaya kebenarannya, suatu penelitian ilmiah harus disusun dengan menggunakan suatu metode yang tepat. Menurut Kartini Kartono, metode penelitian adalah cara-cara berpikir dan berbuat, yang dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan penelitian dan guna mencapai tujuan. 3

Penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu permasalahan hukum tertentu dan melakukan studi pustaka terhadap bahan pustaka atau bahan hukum primer, sekunder, tersier. Dimana penelitian hukum normative sering disebut juga dengan penelitian

doctrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka. 4

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Pengaruh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Sejak tahun 1901, yakni sejak dikeluarkannya Undang-Undang tanggal 12 Februari 1901, Staatsblad Nomor 63 yang mengatur masalah pertanggungjawaban anak-anak menurut hukum pidana di negeri Belanda, pemikiran-pemikiran banyak ditinggalkan oleh pembentuknya, dimana mengenai anak-anak itu menurut pembentuk undang-undang tersebut adalah bukan masalah pemidanaan bagi mereka, namun masalah pendidikan yang perlu mereka terima. Menurut Pompe, dengan melihat pada ketentuan pidana pasal 45 KUHP dimana ketentuan tentang langkah-langkah yang dapat diambil oleh hakim:

  • 1.    Mengembalikan orang yang bersalah kepada orang tua atau walinya

  • 2.    Menempatkan orang yang bersalah dibawah pengawasan pemerintah

  • 3.    Menjatuhkan pidana bagi orang yang bersalah. 5

Maka dewasa ini anak-anak tersebut dapat dipidana, walaupun anak-anak tersebut tidak dapat membedakan perbuatan baik dan buruk (oordeel des onderscheids) pada saat mereka melakukan tindak pidana. hakim harus menyadari bahwa dalam menghadapi anak-anak yang melakukan tindak pidana, yang penting bukanlah apakah anak-anak tersebut dapat

dihukum atau tidak, melainkan tindakan apa yang harus diambil untuk mendidik anak-anak tersebut. Jenis-jenis pidana yang telah diancamkan bagi pelaku dari berbagai tindak pidana dalam KUHP tidaklah penting bagi hukum pidana anak, karena bagi anak yang melakukan tindak pidana adalah pidana dan tindakan khusus yang berlaku bagi mereka.

Pidana anak adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi anak yang melakukan kesalahan atau anak yang melakukan delik. Sedangkan pemidanaan anak adalah penetapan hukuman pidana terhadap anak yang melakukan delik.

Berdasarkan pasal 1 ayat (6) dan (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa keadilan restoratif merupajan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang asli dengan menekankan pemulihan kembali pada keadan semula tanpa pembalasan, sedangkan Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.

Dalam tahap penyidikan, penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama tujuh hari setelah penyidikan dimulai dan diversi dilaksanakan paling lama tiga puluh hari setelah dimulainya diversi. Berdasarkan bahan yang telah dibaca oleh penulis, maka tahapan Diversi dalam tahap penyidikan kurang lebih dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • 1.    Laporan aduan diketahui sendiri oleh penyidik

  • 2.    Laporan dilanjutkan pada Penyidik anak dengan wajib meminta pertimbangan petugas Bapas

  • 3.    Disaat yang bersamaan Bapas, Tenaga Sosial Profesional, Tenaga kesejahteraan sosial, bekerja sama dengan Penyidik anak.

  • 4.    Hasil penelitian wajib diserahkan Bapas pada penyidik dalam waktu paling lama 3x24 jam setelah permintaan penyidik diterima

  • 5.    Proses mediasi diversi antara Penyidik, pelaku, dan orang tua/wali, korban dan orang tua/wali, pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional

  • 6.    Apabila diversi diterima maka masuk ke tahap Program Diversi

  • 7.    Apabila ditolak, maka dilimpahkan ke Penuntut Umum anak dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian masyarakat dari petugas Bapas.

Berdasarkan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 huruf c dan f menyatakan akan penyediaan sarana dan prasarana khusus untuk anak yang berkonflik dengan hukum dan pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga. Hal ini berkonflik dengan pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 karena pada pelaksanaan diversi tidak mengatur dan di Indonesia masih belum menyediakan sarana maupun prasarana, hanya pelaksanaan nya saja serta hasil penelitian kemasyarakatan dari bapas tanpa adanya penyediaan sarana untuk melakukan proses diversi tersebut.

Ketentuan diatas juga bertentangan dengan pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang dimana untuk usia anak diatas 14 tahun dan dengan ancaman pidana diatas 7 tahun maka akan dilakukan penahanan terhadap anak dan menjauhkan anak tersebut dari keluarga dengan adanya penahanan tersebut,

terlebih dengan dua ketentuan tersebut anak tidak dapat diupayakan proses diversi yang dimana hal ini bertentangan dengan ketentuan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Juncto Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa perlindungan anak menjamin dan melindungi hak anak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang secara optimal.

  • 2.2.2 Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Di

    Tingkat Penyidikan Di Masa Mendatang

Terdapat keunggulan perlindungan hukum terhadap anak dalam Ius Constitutum, hal ini secara langsung maupun tidak langsung menjadi acuan yang tertera dalam produk hukum pidana anak. jenis pemidanaan anak, tidak diatur secara tegas dalam KUHP. Sebelum pasal 45 KUHP dihapus, Hakim dapat memberikan putusan secara alternatif menjadi tiga jenis pemidanaan:

  • 1.    Dikembalikan kepada orang tua/wali tanpa pidana

  • 2.    Diserahkan kepada pemerintah/lembaga sosial untuk dididik sebagai anak negara tanpa pidana\

  • 3.    Dipidana terhadap seseorang yang belum dewasa

Penjatuhan pidana terhadap anak adalah upaya hukum yang bersifat Ultimum Remidium, yang dimana maksudnya adalah penjatuhan hukuman terhadap anak merupakan upaya hukum yang paling terakhir. Dimana dalam kondisi anak tersebut sudah melakukan tindak pidana berulang kasi dan di satu sisi pihak keluarga tidak mampu untuk mendidik dan mengawasi, maka berdasarkan Pasal 47 KUHP Hakim dapat melakukan:

  • 1.    Mengurangi sepertiga dari pidana pokok

  • 2.    Menjatuhkan pidana penjara selama-lamanya 15 tahun bagi yang diancam pidana mati atau seumur hidup

  • 3.    Meniadakan pidana tambahan, pencabutan beberapa hak tertentu dan pengumuman keputusan hakim.

Banyaknya keunggulan-keunggulan pada hukum positif Indonesia terkait perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana di tahap Penyidikan, terdapat pula kekurangan-kekurangannya. Dalam hal ini diversi sebagai salah satu keunggulan dari Ius Constitutum berpotensi melanggar hak anak karena pembentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tidak mengatur secara eksplisit klausula, “Anak yang telah mengaku bersalah melakukan tindak pidana/kejahatan”, sebagai salah satu syarat penentu atau pertimbangan untuk dilakukannya diversi.

Selain itu, kewajiban dari pelaksanaan diversi senyatanya melanggar hak anak atas asas praduga tak bersalah (Presumption Of Innocence), serta kewajiban pelaksanaan diversi melanggar hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial). Hal-hal ini menyebabkan kontroversi dan menjadi problematika didalam diversi. Sejatinya pengupayaan diversi juga untuk kebaikan kedua belah pihak dalam penerapan perlindungan anak agar tidak terdapat unsur pembalasan.

Berikut adalah beberapa kekurangan dari Ius Constitutum:

  • 1.    Ancaman Pidana 7 Tahun

Yang dimaksud disini adalah upaya diversi hanya dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah tujuh tahun. sehingga diversi tidak dapat dilakukan terhadap terpidana anak yang diancam dengan pidana penjara diatas tujuh tahun sehingga menimbulkan kesan diskriminatif, Dimana seharusnya Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 menganut filosofis untuk kepentingan terbaik bagi anak

  • 2.    Bukan pengulangan tindak pidana

Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

  • 3.    Ultimum Remedium yang diskriminatif Penempatan pidana terhadap anak sebagai upaya terakhir hanya dilakukan kepada anak yang telah berumur 14 tahun atau lebih, dalam hal ini terdapat pembeda antara anak yang telah dan belum berusia 14 tahun sedangkan dimana mereka masih masuk kedalam kategori anak

  • 4.    Persetujuan korban

Dalam diversi untuk mencapai kesepakatan maka diperlukan persetujuan dari pihak korban, dimana biasanya terdapat unsur pembalasan dari pihak korban untuk memidanakan pelaku sehingga akan susah untuk memperoleh persetujuan dari korban.

Berdasarkan kekurangan diatas, maka agar terciptanya Ius Constituendum terdapat beberapa solusi:

  • 1.    Peniadaan batas ancaman pidana untuk upaya diversi, sehingga anak akan mendapatkan haknya untuk mendapatkan masa depan yang cerah dan berdasarkan kepada kepentingan yang terbaik bagi anak.

  • 2.    Pengulangan tindak pidana terjadi karena kurangnya upaya dan sarana prasarana yang bersifat preventif maupun kuratif. Dengan adanya kedua tindakan ini maka akan meminimalisir pengulangan tindak pidana.

  • 3.    Batasan 14 tahun dihapuskan dan kembali kepada konsep awal dimana menurut undang-undang nomor 11

Tahun 2012 anak adalah mereka yang telah berusia 12 tahun dan belum berumur 18 tahun

  • 4.    Upaya diversi diberikan sarana dan prasarana untuk mempermudah proses mediasi antara pihak pelaku dengan korban, agar tidak terjadi unsur pembalasan pada teori absolut dan berdasarkan teori relative dimana kejahatan tidak harus diikuti dengan suatu pidana.

  • III.  PENUTUP

  • 3.1  Kesimpulan

    • 3.1.1    Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak tidak serta merta dapat dijalankan

begitu saja, karena terdapat pada beberapa pasal yang berkonflik dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, terutama terletak pada Pasal 64 ayat (2) Huruf C dan F.

  • 3.1.2    Ius Constitutum memiliki kekurangan dan kelebihan, keunggulannya terletak pada pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, Proses Diversi, Keadilan Restoratif dan pasal 109 ayat (2) KUHAP. Sedangkan kekurangannya adalah batasan 7 tahun ancaman pidana penjara, pengulangan tindak pidana, Ultimum Remidium yang bersifat diskriminatif, dan membutuhkan persetujuan dari pihak korban dalam diversi.

  • 3.2    Saran

    • 3.2.1    Agar dalam perubahan Undang-Undang mempertimbangkan konflik norma antara norma yang satu dengan norma yang lainnya.

    • 3.2.2    Agar lebih meningkatkan upaya-upaya dalam tindakan pencegahan (preventif) maupun penyembuhan (kuratif) agar tidak terjadi pengulangan tindak pidana maupun timbulnya tindak pidana baru yang dilakukan oleh anak.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Gultom, Maidin, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung

Hilman Adikusuma, 1995 Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung

Soerjono Soekanto dan H. Abdurahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta

P.A.F Lamintang dan T. Lamintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta

Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Prenadamedia Group, Jakarta

Umar Said Sugiarto, 2013, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332)

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5882)

Jurnal Ilmiah

Febrina Annisa, 2017, “Penegakan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencabulan Dalam Konsep Restorative Justice”, URL: https://media.neliti.com diakses tanggal 15 Januari 2018

15