EKSISTENSI SISTEM DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA
on
EKSISTENSI SISTEM DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA
Oleh :
Luh Putu Esty Punyantari
Pembimbing :
I Wayan Windia
Program Kekhususan: Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstract
Diversion is a transfer of settlement of cases of children who are suspected of certain crimes from the formal criminal to a peaceful settlement between the suspect / accused / offender with the victim facilitated by family and / or community, Supervisor of Community Child, as well as law enforcement officers in Indonesia. The issues that will be addressed in this study is the setting and implementation of diversion in the juvenile justice system in Indonesia. Given that law enforcement officers can only capture a child who just put gum on his seat, where it can be solved by way of kinship. In addition, the diversion seems to have not fully implemented by law enforcement officials because of lack of knowledge about the process of diversion in enforcing the law against criminal offenses committed by children. This study uses normative which means reviewing the written rules pertaining to diversion Children in the Criminal Justice System in Indonesia.
Key word : Disversion, Disversion Process, Restorative Justice, Juvenile Justice System Children
Abstrak
Diversi adalah salah satu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan Anak, maupun para penegak hukum di Indonesia. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah pengaturan maupun penerapan diversi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Mengingat bahwa aparat penegak hukum bisa saja menangkap anak yang hanya menaruh permen karet diatas tempat duduk temannya, dimana hal tersebut bisa diselesaikan dengan jalan kekeluargaan. Selain itu, tampaknya diversi belum diterapkan secara menyeluruh oleh aparat penegak hukum karena minimnya pengetahuan mengenai proses diversi dalam menegakkan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang berarti mengkaji mengenai peraturan tertulis yang berkaitan dengan diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.
Kata Kunci : Disversi, Proses Diversi, Keadilan Restoratif, Sistem Peradilan Pidana Anak
Anak merupakan generasi penerus bangsa (agent of changes) yang akan membawa negara Indonesia menjadi lebih baik. Namun, dewasa ini sudah terjadi pergeseran paradigma bahwa anak-anak yang seharusnya menjalani kehidupan selayaknya pelajar 1
menjadi seseorang yang kriminal akibat perbuatannya yang melanggar hukum. Hukum pidana anak itu hanya berlaku bagi anak-anak yang belum dewasa, yakni mereka yang pada saat putusan hakim dari peradilan tingkat pertama diucapkan, belum mencapai usia delapan belas tahun.1 Meskipun begitu, negara wajib memberikan jaminan perlindungan terhadap anak-anak Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Perlindungan anak di Indonesia telah dituangkan dalam peraturan tertulis seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disingkat UU SPPA) yang didalamnya mengatur mengenai diversi dan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice.
Keadilan Restoratif berdasarkan UU SPPA adalah kewajiban para penegak hukum untuk melaksanakan diversi. Hingga saat ini konsep diversi masih menjadi hal yang baru dikalangan masyarakat Indonesia terutama para penegak hukum. Hulsman menulis dengan terjemahan Wonosutanto bahwa “hampir tidak mungkin untuk memberikan pidana yang adil menurut sistem hukum pidana yang berlaku, ditinjau dari cara bekerjanya. Karena kenyataannya, bekerjanya sistem sama sekali tidak sesuai dengan penalaran pengabsahannya.2 Sistem pemidanaan anak di Indonesia belum terealisasikan dengan baiknya terhadap khususnya berjalan baik pengaturan dan penerapan diversi tersebut. Kajian yuridis mengenai hal ini diharapkan mampu mendeskripsikan pengaturan dan eksistensi sistem diversi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengaturan dan eksistensi sistem diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.
Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah jenis penelitian hukum normatif ini terdiri dari beberapa norma yaitu norma kabur, norma kosong dan norma konflik, dalam penulisan ini di gunakakan penelitian norma kabur yang berfokus
pada penelitian prinsip prinsip hukum serta mengkaji dan meneliti peraturan-peraturan tertulis.3 Penulisan ini berdasarkan dengan peraturan tertulis yang berkaitan dengan UU SPPA maupun peraturan perundang-undangan lainnya beserta bahan hukum primer dan sekunder. Penelitian ini akan menggunakan metode dengan jenis pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.
Sebelum mengetahui pengaturan mengenai diversi, terlebih dahulu akan dibahas mengenai pengertian dan awal mula munculnya diversi tersebut. Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Kasus-kasus anak tersebut tidak semata-mata harus diselesaikan melalui peradilan formal, akan tetapi ada alternatif lainnya. Jika ditinjau dari pendekatan keadilan restoratif anak yang memiliki perkara dan harus berurusan dengan hukum dapat dilakukan diversi namun dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban.
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia dengan keadilan restoratif merupakan proses penyelesaian perkara pidana dengan menekankan pada pemulihan dan/atau kesepakatan damai serta bukan berdasarkan pembalasan dendam. Hal ini diatur dalam UU SPPA. Sejalan dengan hal yang termuat dalam Konvensi Hak Anak Pasal 40 dan The Beijing Rules (Butir 6 dan Butir 11.1, 2, 3, dan 4) diberikan peluang bagi dilakukannya diversi atau pengalihan perkara oleh polisi dan penuntut umum serta pejabat lain yang berwenang untuk menjauhkan anak dari proses peradilan formil, penahanan, atau pemenjaraan. Program diversi ini dilakukan dengan menempatkan anak dibawah pengawasan badan-badan sosial tertentu yang membantu pelaksanaan sistem peradilan pidana anak sebagaimana dinyatakan dalam UU SPPA.
Adapun tujuan diversi berdasarkan Pasal 6 UU SPPA yakni: (a) mencapai perdamaian antara korban dan anak; (b) menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; (c) menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; (d) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan (e) menanamkan rasa tanggung jawab terhadap
anak.4 Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam UU SPPA adalah kewajiban dilakukannya diversi dari penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri hanyalah terhadap anak yang diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Diversi terhadapnya bisa saja tidak diupayakan diakarenakan anak yang diancam lebih dari 7 tahun penjara sudah dikategorikan sebagai tindak pidana berat serta anak yang melakukan pengulangan terhadap tindak pidana sudah mencerminkan bahwa anak tersebut tidak ada menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam dirinya.
Agung Wahyono, mensitasi pendapat Soedarto menulis bahwa “Peradilan anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan, pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak yang ruang lingkupnya meliputi: (i) segala aktivitas pemeriksaan, (ii) pemutusan perkara; dan (iii) hal-hal yang menyangkut kepentingan anak agar dipersingkat.”5 Berdasarkan hal tersebut, seharusnya aparat penegak hukum di Indonesia memahami dan menerapkan program diversi sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam UU SPPA belum diatur secara tegas bagaimana mekanisme diversi yang harus dilaksanakan, hanya menyatakan bahwa diversi dilaksanakan berdasarkan musyawarah. Efek jera yang ada dalam pemidanaan akan hilang dan tampak seolah-olah anak kebal dari hukum. Hal ini bukan berarti anak yang diancam pidana 7 tahun penjara atau lebih tidak dapat dihindarkan dari proses peradilan pidana dengan pendekatan keadilan restoratif.
Pada umumnya, diversi yang dilakukan harus memperhatikan kepentingan korban kesejahteraan dan tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat dan kepatutan, kesusilaan serta ketertiban umum. Selain hal tersebut, baik penyidik, penuntut umum maupun hakim harus mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur serta hasil penelitian kemasyarakatan dan lingkungan keluarga saat melakukan diversi. Diversi tidak dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan si pelaku saja, akan tetapi korban harus ikut dalam melakukan diversi sebagai bentuk keaktifan korban sehingga keadilan restoratif dapat
terpenuhi. Sehingga dengan adanya kedua belah pihak, diversi akan menghasilkan kesepakatan.
Adapun bentuk-bentuk kesepakatan diversi berupa perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; penyerahan kembali kepada orang tua/wali; keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan masyarakat.6 Apabila diversi tidak dapat dilaksanakan ataupun kesepakatan tersebut tidak dapat berjalan maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan sesuai dengan Pasal 13 UU SPPA. Eksistensi diversi di kalangan aparat penegak hukum merupakan hal yang perlu disosialisasikan sehingga proses diversi dapat dilaksanakan agar sejalan dengan keadilan restoratif.
Diversi merupakan salah satu bentuk penyelesaian perkara pidana anak di Indonesia sebagaimana telah diatur dalam UU SPPA. Meskipun sudah diatur dalam peraturan tertulis, eksistensi diversi di kalangan aparat penegak hukum masih menjadi persoalan. Hal ini dikarenakan proses diversi belum diatur secara tegas mengenai mekanisme yang harus dilaksanakan, sehingga diperlukan pemahaman dan penerapan yang baik oleh aparat penegak hukum agar mampu menerapkan Keadilan Restoratif.
Daftar Pustaka
Djamil, M. Nasir, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Hidayat, Bunadi, 2010, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, PT Alumni Bandung, Bandung.
Lamintang, P.A.F, Lamintang, Theo, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penilitian Hukum, UI-Press, Jakarta
KUHP, (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
5
Discussion and feedback