PENGARUH SANKSI PIDANA TERHADAP RESIDIVIS DALAM PROSES RESOSIALISASI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A DENPASAR

Oleh:

Kadek Bayu Setiawan

Anak Agung Ngurah Yusa Darmadi

Program kekhususan Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Pidana merupakan salah satu dari banyaknya masalah-masalah yang ada di dalam hukum pidana. Mengenai pengaruh pidana terhadap residivis, merupakan salah satu faktor penting dalam proses resosialisasi, dan perlu adanya usaha-usaha untuk mencapai tujuan resosialisasi tersebut. Maka perlu dilakukannya penelitian dengan metode empiris yang berfungsi untuk melihat hukum secara nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum dimasyarakat, dengan menggunakan kuisioner dan wawancara terhadap para narapidana khususnya residivis dan kepada pegawai Lembaga Pemasyarakatan Denpasar. Dengan adanya pemberatan pidana, hal tersebut membuat para residivis merasa jera, menyesal dan merasakan kekhawatiran terhadap penjatuhan pidana yang akan diterimanya (diperberat). Dalam    proses

resosialisasi di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Denpasar guna mencapai tujuan resosialisasi tersebut    telah

dilakukan suatu tindakan – tindakan maupun usaha – usaha yang mendukung proses resosialisasi tersebut di dalam Lembaga Pemasyarakatan berupa pendidikan Agama, keterampilan dan pengenalan kepada masyarakat. Dengan proses tersebut, tujuan resosialisasi dapat tercapai dan para narapidana khususnya residivis siap untuk kembali kemasyarakat dan menjadi warga masyarakat yang baik.

Kata Kunci : Pidana, Residivis, Resosialisasi, Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Denpasar

ABSTRACT

Criminal is one of the many problems that exist in criminal law. Regarding the influence of recidivists, it is an important factor in the process of resocialization, and the need for efforts to achieve the goal of resocialization. So need to do research with empirical method that serves to see the law in real and examine how legal work in the community, using questionnaires and interviews of

prisoners, especially recidivists and to employees of the Denpasar Penitentiary Institute. With the existence of criminal liability, it makes the residivist feel deterrent, regret and feel the fear of the imposition of the criminal to be received (aggravated). In the process of resocialization within the Class IIA Denpasar Penitentiary in order to achieve the goal of resocialization has been done an action -actions - efforts that support the process of resocialization in the Penitentiary in the form of religious education, skills and introduction to the community. With the process, the goal of resocialization can be achieved and the inmates especially recidivists are ready to return to society and become good citizens.wsajdkwa

Keyword : Criminal, Recidivist, Resocialitation, Correctional Institute Class of IIA Denpasar

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan alat untuk menghadapi kejahatan yang mengalami perubahan dan perkembangan, hukum bersifat seperti pembalasan terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan, yang berubah menjadi alat untuk

melindungi individu dari individu lainnya, dan perlindungan masyarakat dari gangguan kejahatan akan terus berubah

sebagai pembinaan   terhadap   narapidana   untuk

pengembalian kedalam masyarakat.

Empat masalah pokok yang perlu diperhatikan dalam sistem hukum pidana Indonesia secara keseluruhan, Yaitu : 1. Kriminalisasi (Criminalisation atau Criminalisering) dan dekriminalisasi.

  • 2.    Pemberian pidana (Straftoemeting atau strafzumessung).

  • 3.    Pelaksanaan hukum pidana

  • 4.    Sampai seberapa jauhkah urgensi KUHP Nasional.1

Kehidupan sehari-hari sering melihat dan mendengar dari berbagai media masa mengenai pengulangan melakukan perbuatan pidana (recidive) masih dianggap faktor yang memberatkan. Seseorang yang telah berulang-kali melakukan perbuatan pidana (recidivist), hakim memandang hal tersebut sebagai alasan yang kuat untuk menjatuhkan pidana yang lebih berat. Pandangan hakim tersebut tentu tidak akan membawa hasil yang berguna jika recidivist tersebut dibiarkan berdiri sendiri tanpa dibantu oleh upaya-upaya lain yang mampu menyadarkan perbuatan recidivist tersebut untuk kembali kejalan yang benar. Menyadari hal-hal tersebut sehingga lahirnya konsep pemasyarakatan atau resosialisasi.

Menurut Romli Atmasasmita, Pemasyarakatan yang berarti memasyarakatkan kembali terpidana sehingga menjadi warga yang baik dan berguna (heatlhy reentry into the community) yang pada hakekatnya atau intinya adalah resosialisasi.2

Pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

Sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan Pemasyarakatan, serta

merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.3

Salah satu hal yang merusak sistem pemasyarakatan dengan adanya penjahat kambuhan atau yang biasa disebut dengan recidivist, para penjahat ini mengulangi kejahatan yang sama, meskipun dia sudah pernah dijatuhi hukuman. Sebagai contoh seorang pelaku tindak pidana pencurian yang telah dijatuhi putusan dan telah menjalani masa hukumannya di lembaga pemasyarakatan sehingga akan kembali kedalam masyarakat, namun orang tersebut kembali melakukan tindak pidana pencurian sehingga orang tersebut dapat dikatakan melakukan pengulangan tindak pidana atau recidivist dimana masa hukumannya dapat diperberat.

Masalah pemberian pidana yang diperberat tidak dapat dilepaskan dari tujuan pemidanaan itu sendiri. Dapat diartikan bahwa pemberian pidana merupakan sebagai pembalasan atas kesusahan yang ditimbulkan oleh si pembuat delik tersebut.

Berkenaan dengan soal pemberian pidana dan pelaksanaan hukum pidana khususnya dalam masalah pemberatan hukuman, suatu pidana tidaklah boleh berpaku kepada satu hal saja. Titik berat tujuan pemidanaan dalam rancangan KUHP ditekankan kepada upaya perlindungan masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku atau pembuat tindak pidana dengan cara mengadakan resosialisasi terhadap si pelaku tersebut.

  • 1.2. Rumusan Masalah

Ada dua hal atau permasalahan utama yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu :

  • 1.    Bagaimana pengaruh pidana terhadap recidivis dan hubungannya dengan usaha resosialisasi?

  • 2.    Usaha-usaha apakah yang diperlukan dalam rangka mencapai tujuan resosialisasi?

  • II. Isi Makalah

    2.1.    Metode

Kajian dalam penulisan ini menggunakan penelitian hukum empiris yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana kerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Dalam penulisan ini digunakan beberapa jenis pendekatan antara lain pendekatan fakta (the fact approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (analitical dan conseptual approach). Dalam penulisan ini menggunakan sifat penelitian eksplanatoris untuk mengetahui dampak dan pengaruh yang dihasilkan dari permasalahan yang akan dibahas. Adapun bahan primer yang akan diperoleh dari narasumber, informan maupun responden, sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh dari buku-buku, majalah, kepustakaan maupun pedoman yang berhubungan dengan penelitian ini. Pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menyebarkan kuisioner dan wawancara, bahan yang diperoleh akan dianalisis menggunakan teknis analisis kuantitatif.

  • 2.2.    Hasil dan Analisis

    2.2.1.    Pengaruh Pidana terhadap Residivis

Pidana adalah hukuman berupa siksan yang merupakan keistimewaan dan unsur terpenting dalam hukum pidana.4 Pemidanaan dan pemberatan pidana bukan suatu hal yang sama sekali baru dalam praktek peradilan di negara kita. Maksudnya adalah bahwa hakim menaikkan maksimum ancaman pidana atas suatu delik dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Tujuan pemidanaan adalah (1) pencegahan (umum dan khusus), (2) perlindungan masyarakat, (3) memelihara solidaritas sosial masyarakat, dan (4) pengimbalan/pembalasan.5

Tentunya kita memahami maksud dan tujuan dari pemberatan pemidanaan tersebut yakni agar para penjahat merasa takut dan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Dan kepada masyarakat, dengan mengetahui keadaan tersebut diharapkan tidak akan melakukan perbuatan pidana, terutama dengan ancaman hukuman yang diperberat tersebut. Ini adalah bagian dari prinsip untuk menakut-nakuti yang mengandung maksud preventif (umum dan khusus) dari ajaran relatif tentang pemidanaan.

Namun kenyataan sosial menunjukkan kecendrungan yang lain, yang sepintas tampak menyimpang dari maksud menakut-nakuti tersebut. Pelaku kejahatan tidak dengan sendirinya menjadi jera untuk kemudian tidak mengulangi perbuatannya lagi. Salah satu contoh ironis bahwa sanksi-

  • 4    C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2007, Pokok-pokok Hukum Pidana Hukum Pidana untuk Tiap Orang, PT Pradnya Paramita, Jakarta, hlm 5.

  • 5    Sigit Suseno, 2012, Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta, hlm 39.

sanksi pidana yang telah dijatuhi atau diputuskan terhadap pelaku selama ini bahkan pidana mati yang baru-baru ini terjadi, justru para penjahat tetap melakukan aksinya. Hal tersebut bukan berarti sifat menakutkan dari pidana itu tidak bekerja atau tidak ada, tetapi tentu ada sebab atau alasan lain yang melatar belakangi mengapa seseorang tetap juga melakukan kejahatan, padahal ia mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya itu diancam dengan pidana yang sungguh berat. Hal tersebut juga tidak beralasan untuk mengatakan bahwa unsur menakut-nakuti dari suatu pidana itu tidak ada, apalagi bila hal itu berupa pidana mati. Sebagai salah satu contoh, misalnya seorang penjahat profesional menjadi segan untuk membawa apalagi menggunakan senjata api, sebab ia khawatir dalam keadaan tertentu ia terpaksa menggunakannya dengan akibat ancaman pidana mati yang akan menjadi kenyataan atas dirinya apabila ia menggunakan senjata api tersebut. Hal ini jelas menjadi suatu bukti yang menunjukkan bahwa aspek menakutkan itu tetap dimiliki oleh setiap jenis pidana, meskipun kadarnya berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.

Jumlah nara pidana di lembaga pemasyarakatan pada bulan april 2017 berjumlah 783 orang dengan kapasitas 323 dan dapat dikatakan over kapasitas, sedangkan jumlah nara pidana khusus residif berjumlah 37 orang (sumber: Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar). kejahatan yang dikenakan pemberatan hukuman karena recidive untuk sebagian besar adalah menyangkut kejahatan terhadap obat-obatan terlarang atau narkotika. Kebanyakan dari mereka yang melakukan kejahatan dengan latar

belakang berpendidikan Sekolah Menengah kebawah. Dengan kenyataan ini rupanya ada hubungan antara tingkat pendidikan yang memicu adanya tingkat kejahatan yang dilakukan karena kurangnya pendidikan moral dan desakan ekonomi merupakan faktor utama yang mengakibatkan terjadinya suatu tindak pidana. Dengan adanya pemberatan pidana karena residivis maka timbul rasa khawatir dari para narapiadna, hal tersebut membuktikan bahwa pemberatan pidana cukup efektif.

Telah disinggung sebelumnya bahwa pemberatan hukum mempunyai tujuan yang tidak berbeda dengan hukuman (pidana) itu sendiri, yaitu untuk mencegah seseorang agar tidak melakukan sesuatu kejahatan. Dengan diperberatnya suatu ancaman pidana, maka dapat diharapkan orang menjadi takut untuk melakukan perbuatan kejahatan ataupun mengulangi perbuatannya kembali. Jadi hukuman (yang diperberat/pemberatan hukuman) di sini mempunyai fungsi Preventif dan fungsi Edukatif.

Kalau dihubungkan dengan konsep resosialisasi/ pemasyarakatan dimana pemasyarakatan pada dasarnya dimaksudkan agar si terpidana menjadi insyaf/tobat akan perbuatannya dan dididik agar mampu kembali menjadi warga masyarakat yang baik, maka terlihat bahwa ada hubungan yang searah antara maksud/tujuan pidana/ hukuman dengan maksud tujuan resosialisasi, khususnya terhadap mereka yang termasuk golongan residivis, maka ancaman pidana yang diperberat ini setidaknya diharapkan akan membuat mereka berfikir dua kali untuk melakukan niat jahatnya. Kalaupun ternyata kemudian mereka tetap

juga kembali melakukan atau mengulangi kembali perbuatannya maka setelah ia menjalani pidananya di dalam lembaga pemasyarakatan, ia akan berusaha untuk disadarkan melalui penerapan pola pembinaan atas dasar konsep resosialisasi. Dengan demikian terlihat bahwa antara pidana/hukuman dengan resosialisasi adalah bersifat saling mengisi bilamana pemberatan pidana (hukuman) belum mampu mencegah orang untuk tidak melakukan kejahatan atau khususnya terhadap residivis untuk tidak mengulangi kembali perbuatannya, maka masih tersedia upaya lain untuk memperbaiki diri orang bersangkutan dengan melalui pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan dengan konsep resosialisasinya.

Sistem pemenjaraan, menurut Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa ada 3 sistem kepenjaraan di dunia, yaitu sistem Pensylvania, sistem Auburn, dan sistem Irlandia.6

Menurut Prodjodikoro di Indonesia seolah-olah mengawinkan ketiga sistem tersebut di atas, yaitu biasanya beberapa orang narapidana dikumpulkan dalam suatu ruangan (sel), termasuk penempatan dalam tempat tidurnya dan dalam melakukan pekerjaan. Meskipun demikian, apabila ada “narapidana nakal” akan dimasukkan kedalam sel khusus. Dalam pasal 15 KUHP Indonesia, ditentukan bahwa jika seorang narapidana sudah menjalankan dua per tiga dari lamanya pidana yang wajib dijalani dan tenggang waktu pelaksanaan pidana tersebut dibebaskan dengan syarat dalam rentang tertentu untuk menjalani masa

percobaan.7 Dari berbagai sistem Kepenjaraan tersebut merupakan sebagai latar belakang yang melandasi lahirnya konsepsi pemasyarakatan atau resosialisasi.

Mengenai sistem kepenjaraan tersebut, jika dilihat dari sistem kepenjaraan di Indonesia dapat dikatakan memang benar bahwa Indonesia menganut dan menggabungkan tiga sistem tersebut, dimana di sistem kepenjaraan di Indonesia memiliki tujuan untuk membuat para narapidana merasa jera dan menyesal atas perbuatannya dan merasakan pidananya. Pada malam hari para narapidana harus masuk kedalam sel (ruangan khusus) mereka dan di siang hari mereka melakukan pekerjaan bersama-sama, para narapidana juga diberikan kelonggaran untuk bergaul dengan para narapidana lainnya.

Dengan adanya pemberatan pidana dan sistem kepenjaraan tersebut maka proses resosialisasi akan berjalan dengan baik dan efektif khususnya bagi narapidana residivis di Lembaga Pemasyarakatan Denpasar.

  • 2.2.2.    Usaha Dalam Rangka Mencapai Tujuan Resosialisasi

Untuk mencapai resosialisasi atau pemasyarakatan maka perlu adanya usaha-usaha yang perlu dilakukan dalam hubungannya mencapai tujuan resosialisasi/ pemasyarakatan tersebut, maka usaha-usaha yang perlu dilakukan adalah :

  • a.    Pendidikan kerohanian

Pendidikan kerohanian merupakan salah satu usaha yang perlu dilakukan guna untuk mencapai tujuan dari resosialisasi tersebut.

  • 7 Ibid, hlm 35.

  • b.    Pendidikan keterampilan

Usaha lainnya untuk mencapai tujuan dari resosialisasi/pemasyarakatan maka perlu adanya pendidikan keterampilan bagi para narapidana.

  • c.    Perkenalan dengan masyarakat

Untuk melengkapi usaha – usaha guna mencapai tujuan resosialisasi untuk para narapidana maka perlu diadakannya perkenalan dengan    masyarakat.    Hal

tersebut dipersiapkan untuk nara pidana agar lebih berani untuk berinteraksi dengan masyarakat setelah selesai menjalani masa hukuman   dan keluar dari

Lembaga Pemasyarakatan.

  • d.    Kesiapan untuk kembali kemasyarakat

Setelah dilakukan atau diberikannya usaha – usaha pendidikan, keterampilan dan pengenalan maka perlu diketahui kesiapan para narapidana untuk kembali kemasyarakat. usaha – usaha yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan untuk mencapai tujuan dari resosialisasi/kemasyarakatan       cukup      berhasil,

dikarenakan sebagian besar (90%) dari narapidana khususnya residivis menyatakan bahwa mereka siap untuk kembali kemasyarakat dan menjadi warga masyarakat yang baik.

Faktor-faktor pendukung tercapainya tujuan resosialisasi dapat disebutkan :

  • 1.    Masih adanya kekhawatiran dikalangan para nara pidana bahwa pidananya akan diperberat. Berarti pemberian pidana yang diperberat kepada recidivist masih cukup efektif.

  • 2.    Adanya rasa penyesalan dikalangan nara pidana recidivist setelah mereka melakukan tindak pidana.

  • 3.    Sudah adanya rasa kesiapan dikalangan nara pidana recidivist  untuk kembali  untuk  menjadi warga

masyarakat yang baik. Dan adanya kesiapan mental

mereka untuk kembali ke tengah masyarakat.

Pada dasarnya, pemberian pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar sudah mengacu pada prosedur yang ada yaitu UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai dasar acuan pemberian Pembinaan dan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan.8

  • III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan :

Kejahatan yang dilakukan oleh residivis di Lembaga Pemasyarakatan Denpasar, adalah kejahatan-kejahatan narkotika, pencurian dan kejahatan penjudian, yang sebagian besar dari pelakunya memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah dan motif mereka melakukan kejahatan sebagian besar karena faktor ekonomi dan sebagian besar penjatuhan pidana terhadap recidivist lebih berat. Bahwa pemberatan pidana (pemberatan hukuman) terhadap kejahatan residif tetap relevan untuk dipertahankan karena terbukti cukup memberikan daya prevensi, khususnya terhadap narapidana residivis.

Sistem pembinaan nara pidana, khususnya nara pidana residivist, di Lembaga Pemasyarakatan Denpasar telah dilaksanakan cukup edukatif. Hal ini terlihat dari perubahan sikap dari narapidana residivist, kesiapan mereka untuk kembali ke masyarakat, perlakuan selama di Lembaga Pemasyarakatan maupun intensitas /presentase dari mereka yang telah keluar dari     Lembaga

Pemasyarakatan yang kemudian kembali menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan cukup kecil. Faktor pengenalan para nara pidana kepada masyarakat luas merupakan faktor yang cukup penting untuk diperhatikan. Hambatan yang dijumpai dalam hubungan ini adalah masih adanya rasa curiga dikalangan masyarakat tentang kehadiran para narapidana tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Atmasasmita, Romli, 1982, Kepenjaraan dalam suatu bunga rampai, Armico, Bandung

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2007, Pokok-pokok hukum pidana, PT Pradnya Paramita, Jakarta

Soedarto, 1975, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum, Undip.

Suseno, Sigit, 2012, Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta.

Sujatno, Adi, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia  Mandiri,  Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta.

Widodo dan Wiwik Utami, 2014, Hukum Pidana dan Penologi :Rekontruksi Model Pembinaan Berbasis Kompetensi Bagi Terpidana Cybercrime, Aswaja Presindo, Yogyakarta.

Jurnal Ilmah

Alviani Destriana Ni Made, Mertha I Ketut, Tjatrayasa I Made, 2015, “Efektifitas Lembaga Pemasyarakatan dalam Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar”, Kertha Wicara, Vol. 04, No. 03, September 2015, URL: https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/issue/view/1572, diakses tanggal 19 Oktober 2017, Pukul 11:42.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Peraturan Pemerintah Nomor.31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan

14