PENGATURAN ARBITRASE BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Oleh:

Gusti Ayu Putu Rizky Putri Pratiwi Made Suksma Prijandhini Devi Salain

Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRAK

Makalah ini berjudul “Pengaturan Arbitrase Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”. Adapun yang melatar belakangi makalah ini adalah terkait dengan perlindungan konsumen yang lemah dalam perdagangan bebas di era globalisasi ini, karena hak-hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha, dan tak jarang hal ini menyebabkan terjadinya sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha. Dari adanya sengketa ini, dapat diselesaikan dengan melalui arbitrase. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan penyelesaian sengketa konsumen melalui arbitrase berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yaitu pendekatan dengan mengkaji peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Kesimpulan dari tulisan ini adalah sengketa konsumen ini dapat diselesaikan melalui non-litigasi yaitu melalui arbitrase. Arbitrase ini terdapat dalam pasal 54 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pengaturan arbitrase dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 ini telah menyimpang dari ketentuan umum pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ketentuan yang menyimpang adalah ketentuan mengenai terlibatnya Pengadilan Negeri dalam mengadili sengketa para pihak yang sudah terikat perjanjian arbitrase.

Kata Kunci : Pengaturan, Arbitrase, Perlindungan Konsumen.

ABSTRACT:

The title of this paper is “Regulation Arbitration by Statute Number 8 Year 1999 about Consumerism”. The background for this paper is weak consumerism in free trade in a globalized world, because consumer right are ignored by businesses, and often this leads to disputes consumer and businesses. Of the existence of this dispute, it can be resolved through arbitration. The purpose of this paper is to describe the regulation of consumer disputes through arbitration by Statute Number 8 Years 1999 about Consumerism. The method is Statute Approach is approach to reviewing positive statute. The conclusion is consumer disputes can be solved through non-litigation is arbitration. The arbitration contained in article 54 of Statute Number 8 Year 1999 about Consumerism. Regulation arbitration in Statute Number 8 Year 1999 has deviated from the general provisions of article 3 of Statute Number 30 Year 1999 about Arbitration and Alternative Dispute Resolution, the provisions of the deviant are the provision district court in adjudicate dispute the parties are bound with the arbitration agreement.

Keywords : Regulation, Arbitration, Consumerism.

  • I.    PENDAHULAN

    • 1.1    LatarBelakang

Di Era Globalisasi ini dengan perdagangan bebas saat ini banyak bermunculan berbagai usaha masyarakat, khususnya usaha perdagangan yang menawarkan macam-macam produk barang atau pelayanan jasa yang di pasarkan kepada konsumen di tanah air Indonesia ini. Dengan melalui sebuah iklan, promosi serta penawaran barang secara langsung maupun online, menjadi cara jitu memasarkan produk atau jasa yang dimiliki pelaku usaha. Perdagangan bebas pada perkembangan globalisasi ini didukung oleh teknologi informasi yang memberikan ruang gerak yang bebas disetiap transaksi perdagangan, sehingga barang atau jasa yang ditawarkan dapat dengan mudah dikonsumsi.

Perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, dimana ekonomi Indonesia juga telah berkait dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat membawa implikasi negatif bagi perlindungan konsumen.1 Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung maupun tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya.2 Karena hal ini, tidak menutup kemungkinan timbulnya sebuah sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Salah satu proses penyelesaian non-litigasi yang dapat dipilih adalah konsiliasi, mediasi dan arbitrase. Dan dalam proses arbitrase ini menjadi pilihan alternatif untuk menyingkirkan kewenangan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang timbul, dan sepenuhnya menjadi kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa konsumen (BPSK). Karena putusan BPSK adalah putusan yang bersifat final dan mengikat sesuai Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

  • 1.2    Tujuan

Dari latar belakang diatas dapat dikemukakan penulis makalah ini yaitu: mengetahui pengaturan arbitrase berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dalam menyelesaikan sengketa konsumen.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Manfaat

Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis metode penelitian hukum normatif, karena penulisan ini hanya mengkaji terhadap peraturan Perundang-undangan yang tertulis. Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah data sekunder berupa bahan hukum primer yaitu undang-undang dan bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan perundang-undangan.

  • 2.2    Hasil dan Pembahasan

Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji ulang.3 Penyelesaian sengketa antara pihak konsumen ini dapat ditempuh dengan cara abitrase, dimana para pihak yang bersengketa melimpahkan penyelesaiannya kepada BPSK. Sehingga kalau para pihak sudah memilih penyelesaian sengketa konsumen di BPSK dengan jalan arbitrase, maka hal tersebut merupakan pactum de compremittendo, artinya para pihak telah bersepakat bahwa penyelesaian sengketanya, akan diselesaikan berdasarkan arbitrase.4 Dengan kata lain, para pihak sepakat untuk menyingkirkan kewenangan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang timbul, dan sepenuhnya secara absolut menjadi kewenangan BPSK. Tidak sebagaimana penyelesaian sengketa arbitrase yang diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam UUPK mengatur penyelesaian sengketa melalui arbitrase BPSK yang berbeda. Pengaturan arbitrase dalam UUPK dinyatakan sebagai penyelesaian diluar pengadilan yang dilakukan melalui BPSK dengan cara salah satunya yaitu melalui arbitrase, namun dalam UUPK tidak diatur secara perinci mengenai tata cara melakukan arbitrase melalui BPSK, tetapi diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia (Kepmenperindag) Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK. 5 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 mengatur bahwa arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan yang dalam hal ini

para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengeta kepada lembaga BPSK. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dilakukan berdasarkan persetujuan para pihak yang bersangkutan dan diajukan dengan cara membuat permohonan kepada BPSK melalui sekretariat BPSK. BPSK yang telah menerima permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja memanggil pelaku usaha secara tertulis, yang memberitahukan mengenai jadwal dan agenda sidang serta kewajiban pelaku usaha memberikan jawaban jawaban untuk disampaikan pada hari sidang pertama. Sesuai dengan ketentuan pasal 54 ayat (3) UUPK, bahwa pada prinsipnya putusan BPSK merupakan putusan yang final dan mengikat, berarti putusan tersebut tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan. Dengan dikeluarkannya putusan yang bersifat final dan mengikat, maka dengan sendirinya sengketa yang diperiksa telah berakhir. Para pihak yang bersengketa harus tunduk dan melaksanakan putusan yang sudah bersifat final tersebut.6 Namun ketentuan arbitrase BPSK dalam UUPK telah menyimpang dari ketentuan umum mengenai arbitrase yang diatur dalam pasal dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Salah satu ketentuan yang menyimpang adalah terlibatnya Pengadilan Negeri dalam mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase, tetapi sebaliknya masih dimungkinkan atau dibuka upaya hukum bagi Pengadilan Negeri untuk memeriksa sengketa yang telah diputus secara arbitrase oleh BPSK.

Dengan demikian, UUPK tidak konsisten dalam mengkonstruksikan putusan BPSK, karena dalam pasal yang selanjutnya justru dikatakan bahwa pihak yang merasa keberatan terhadap putusan BPSK dapat mengajukan upaya “keberatan” ke Pengadilan Negeri. Memperhatikan ketentuan pasal 56 ayat (2) UUPK, terlihat bahwa pembuat Undang-undang memang menghendaki campur tangan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa arbitrase konsumen ini. Dapat dikatakan bahwa “keberatan” yang dimaksud dalam pasal 56 ayat (2) UUPK tiada lain adalah “upaya hukum banding” sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku di peradilan umum. Jika putusan arbitrase BPSK masih dapat diajukan keberatan sebagai upaya hukum banding, maka ketentuan ini menyimpang dari ketentuan umum mengenai putusan arbitrase yang menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu final dan mengikat. Karena kedua pihak telah terikat pada perjanjian arbitrase, maka tidak dimungkinkan untuk dinilai kembali oleh Pengadilan Negeri.

  • III.    KESIMPULAN

Sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dapat dilakukan dengan jalur non-litigasi atau luar pengadilan, dengan melalui arbitrase. Melalui arbitrase sengketa dapat diselesaikan dengan cepat dan biaya ringan. Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengatur penyelesaian sengketa melalui arbitrase terdapat pada pasal 54 UUPK. Pengaturan arbitrase diatur tersendiri dalam Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Dan ketentun arbitrase dalam UUPK telah menyimpang dari pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dimana ketentuan yang menyimpang adalah ketentuan terlibatnya Pengadilan Negeri dalam mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

DAFTAR PUSTAKA

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta. Adi Nugroho, Susanti, 2015, Penyelesaian Sengketa Arbitrase & Penerapan Hukumnya, Kencana, Jakarta.

Adi Nugroho, Susanti, 2011, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana, Jakarta.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang  Pelaksanaan Tugas  dan Wewenang Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Indonesia, Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 3821

Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 3872

5