PEMIDANAAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK

PIDANA DITINJAU DARI RESTORATIVE JUSTICE

oleh

Anak Agung Gede Ari Paramartha

Anak Agung Gede Oka Parwata

Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

This paper explain about the criminalization children who commit criminal offenses in terms of restorative justice used in the juvenile justice system as offenders different from the ordinary criminal justice system. This is because children still have a long future. In addition, this paper examines the legal problems that occur on a legislation that is closely linked with the protection and the criminal justice system of children. Where the juvenile justice system recognize the existence of restorative justice and diversion systems. Thus, there are fundamental differences between the criminal justice system and the juvenile justice system when viewed from the perspective of children as perpetrators.

Key Words: Criminalization, Child, Criminal Act, and Restorative Justice.

ABSTRAK

Tulisan ini membahas mengenai pemidanaan anak yang melakukan tindak pidana ditinjau dari restorative justice yang digunakan pada sistem peradilan anak sebagai pelaku berbeda dengan sistem peradilan pidana biasa. Hal ini dikarenakan anak masih memiliki masa depan yang panjang. Selain itu juga, tulisan ini mengkaji mengenai permasalahan hukum yang terjadi pada suatu peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan erat dengan perlindungan dan sistem peradilan pidana terhadap anak. Dimana sistem peradilan pidana anak mengenal adanya keadilan restoratif dan sistem diversi. Sehingga, terdapat perbedaan mendasar antara sistem peradilan pidana dan sistem peradilan pidana anak apabila ditinjau dari perspektif anak sebagai pelaku.

Kata Kunci: Pemidanaan, Anak, Tindak Pidana, dan Keadilan Restoratif.

  • I.   PENDAHULUAN

    1.1  LATAR BELAKANG

Ditinjau secara filosofis, anak merupakan generasi emas penerus bangsa. Sehingga, pendidikan yang dilakukan terhadap anak harus diperhatikan serta dijaga dengan baik. Dalam peraturan perundang-undangan, utamanya dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 35 Tahun

2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Dalam kenyataannya anak yang merupakan generasi emas tersebut kerap menghadapi masalah hukum. Sekitar 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas tindak pidana seperti pencurian, pemerasan, dan lain-lain.1 Sehingga, dewasa ini terjadi kebingungan bagaimana menangani seorang anak yang terlibat tindak pidana.

Lantas, muncullah UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA) yang berlandaskan pada tindakan restorative justice atau keadilan restoratif. Dimana dalam Pasal 1 angka 6 UU SPPA menyebutkan bahwa: “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.” Sehingga, sangat jelas bahwa seorang anak yang terlibat dalam sebuah tindak pidana tidak dapat diperlakukan seperti pelaku tindak pidana pada umunya ditinjau dari adanya sistem peradilan anak.

  • 1.2    TUJUAN

Untuk mengetahui pemidanaan yang dilakukan terhadap anak sebagai pelaku yang melakukan tindak pidana ditinjau dari restorative justice dan untuk mengetahui adanya permasalahan hukum yang terjadi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia.

  • II.    ISI MAKALAH

    2.1    METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif. Yakni dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada dengan

mengadakan penelitian terhadap masalah hukum, kemudian mengkajinya dengan 2

pendekatan perundang-undangan.2

  • 2.2    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 2.2.1    Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Ditinjau Dari Restorative Justice.

Bercermin pada ketentuan yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menitikberatkan pada keadilan restoratif. Dimana keadilan restoratif tersebut ditinjau dalam Pasal 5 ayat (2) UU SPPA (2) meliputi:

  • a.    penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

  • b.    persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.

  • c.    pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

Dimana keadilan restoratif pada UU SPPA erat kaitannya dengan diversi yang juga diatur dalam UU tersebut. Disebutkan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dimana implementasi dari proses diversi ini bertujuan dalam mendamaikan kedua pihak, baik anak yang memiliki posisi sebagai korban kejahatan dan anak sebagai pelaku kejahatan.

Perihal adanya diversi atau pengalihan penyelesaian dari proses pengadilan ke proses luar pengadilan dari segi progresivitas hukumnya tentu telah mengalami perubahan. Bahwa tidak hanya peradilan perdata saja yang mengenal adanya proses diluar sidang atau yang disebut dengan mediasi, namun sistem peradilan pidana juga mengenalnya, utamanya sistem peradilan pidana anak. Adapun tujuan dari dilaksanakannya diversi ini adalah pengembalian kerugian dalam hal ada korban dari anak sebagai pelaku tindak pidana, dilakukannya rehabilitasi medis dan psikososial terhadap anak pelaku kejahatan, penyerahan kembali sang anak pelaku kejahatan kepada orang tua, keikutsertaan anak sebagai pelaku kejahatan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Adanya penerapan keadilan restoratif dan diversi yang diterapkan pada anak ini merupakan suatu wujud yang tepat dilakukan apabila dilihat dari perspektif viktimologi bahwa dalam sebuah sistem peradilan pidana haruslah melibatkan korban sebagai orang yang mengalami langsung kejadian tindak pidana. Dilihat dari perspektif penologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang pemidanaan, bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri tidaklah mempertahankan status quo masa lalu yang menyiksa pelaku kejahatan sebagai konsekuensi dari kesalahan yang telah dilakukan. Namun dalam perkembangannya, hakekat penologi adalah untuk melakukan pemulihan terhadap pelaku kejahatam dalam mempersiapkan para pelaku agar diterima oleh masyarakat secara luas serta memberikan pendidikan dan pelatihan kerja selama di lembaga pemasyarakatan (lapas).

2.2.1 Permasalahan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia.

Apabila melihat berbagai komisi yang menangani permasalahan yang terjadi pada anak di Indonesia, hendaknya dalam UU No. No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak melibatkan komisi-komisi tersebut. Adapun beberapa komisi atau lembaga yang menangani permasalahan anak di Indonesia adalah: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI).3 Akan tetapi sangat disayangkan bahwa dalam UU SPPA tersebut sama sekali tidak mencantumkan lembaga atau komisi yang menangani permasalahan anak di Indonesia. UU SPPA hanya sebatas menyiratkan lembaga atau komisi tersebut dalam Bab IX – Koordinasi, Pemantauan, Dan Evaluasi dalam Pasal 94 ayat (3) UU SPPA yang menyebutkan bahwa: “Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak dilakukan oleh kementerian dan komisi yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Meskipun dalam UU SPPA tidak disebutkan secara gamblang mengenai lembaga atau komisi yang menangani permasalahan anak di Indonesia, namun dalam UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan secara gamblang mengenai lembaga atau komisi yang menangani permasalahan anak di Indonesia. Dalam Pasal 74 ayat (1) yang menyebutkan

bahwa: “Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan Hak Anak, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.” Padahal, lembaga atau komisi yang menangani permasalahan anak di Indonesia tidak hanya menangani anak hanya sebatas pada korban kejahatan saja, namun juga anak sebagai pelaku tindak kejahatan. Sehingga apabila dalam UU SPPA tidak diatur mengenai lembaga atau komisi yang menangani permasalahan anak di Indonesia, maka sistem peradilan pidana anak tersebut akan rancu keberadaannya dikarenakan tidak melibatkan berbagai ahli yang mengerti soal psikologis anak dan sebab-sebab anak mengapa seorang anak melakukan tindak kejahatan. Sehingga perlu diberikan pengaturan mengenai lembaga atau komisi yang menangani permasalahan anak di Indonesia dalam UU SPPA untuk menangani seorang anak sebagai pelaku dari tindak kejahatan. .

III KESIMPULAN

Pemidanaan anak sebagai pelaku kejahatan ditinjau dari restorative justice yakni berdasarkan atas UU SPPA mengenal adanya diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Permasalahan hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia adalah tidak diaturnya lembaga atau komisi yang menangani permasalahan anak di Indonesia dalam UU SPPA untuk menangani seorang anak sebagai pelaku dari tindak kejahatan.

DAFTAR BACAAN

Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Edisi I, Granit, Jakarta.

KPAI-RWI, RWI-KPAI, 2010, Ringkasan Acara dan Sumber Buku Pegangan Lokakarya Konsultatif Sistem Peradilan Anak 2009, Gramedia, Jakarta.

Majalah Bobo, 2016, Lembaga-lembaga Perlindungan Anak di Indonesia, diakses dari:            http://bobo.kidnesia.com/Bobo/Info-Bobo/Reportasia/Lembaga-lembaga-

Perlindungan-Anak-di-Indonesia

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

5