ARBITRASE SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN DALAM SENGKETA HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

Oleh:

I Putu Wisnu Karma**

I Ketut Artadi***

Program Kekhususan Peradilan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstrak

Hak atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights/IPR) merupakan hak kekayaan yang lahir dari kemampuan intelek manusia yang ada dalam lingkup ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia untuk mendaftarkan Hak atas Kekayaan Intelektual guna keamanan dari hasil karya mereka menyebabkan banyaknya jumlah pelanggaran terkait Hak Kekayaan Intelektual yang terjadi baik itu terkait dengan hasil karya seni maupun hasil cipta seseorang.

Karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana Arbitrase dapat digunakan dalam menyelesaikan sengketa perdata dan dapatkah Arbitrase digunakan sebagai upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam sengketa Hak Kekayaan Intelektual. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitia hukum normatif. Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian ini disajikan dalam suatu laporan yang bersifat diskriptif analisis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase hanya ditujukan untuk penyelesaian sengketa perdagangan dan Hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak. Dalam sebuah perjanjian perdata bila menggunakan klausula arbitrase sebagai penyelesaian sengketa sengketa maka pendapat hukum dari badan arbitrase tersebut akan mengikat perjanjian pokok sehingga tidak dapat melakukan upaya hukum apapun. B

adan Arbitrase Naional Indonesia (BANI) sebagai Lembaga arbitrase sesuai dengan BANI rules and procedures yang berpatokan pada Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki beberapa perbedaan dengan Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dimana perbedaannya berada pada mekanisme, penamaan dan waktu.

Kata kunci: Arbitrase, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Hak Atas Kekayaan Intelektual.

Abstract

ARBITRATION AS A DESCRIPTION OF SETTLEMENT DISTRIBUTION OUTSIDE THE COURT IN THE DISPOSAL OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS

Intellectual Property Rights are property rights born from the intellectual capabilities of human beings within the scope of science, art and literature. The low awareness of Indonesians to register Intellectual Property Rights for the security of their work led to the large number of violations related to intellectual property rights that occurred both related to the work of art and the results of someone's creation.

This scientific work aims to find out the extent to which arbitration can be used in resolving civil disputes and can arbitration be used as an attempt to resolve disputes outside the court in a dispute of Intellectual Property Rights. The study was conducted using normative legal research methods. All data collected were analyzed using qualitative method. The results of this study are presented in a descriptive analysis.

The results indicate that the Settlement of disputes through Arbitration is only intended for the settlement of trade disputes and Rights which are fully controlled by the parties. In a civil agreement when using a clause arbitration as a dispute settlement of the dispute the legal opinion of the arbitration body shall bind the principal agreement so that it can not perform any remedy. Arbitration Board of Naional Indonesia (BANI) as an Arbitration Institution in accordance with BANI rules and procedures based on Law no. 30 Year 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Settlement has some differences with Singapore International Arbitration Center (SIAC) where the difference lies in mechanism, naming and time.

Keywords: Arbitration, Dispute Settlement Outside Court, Intellectual Property Rights.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Hak Kekayaan Intelektual merupakan terjemahan dari Intellectual Property Rigths/IPR yang merupakan hak kekayaan yang lahir dari kemampuan intelektual dalam diri manusia yang ada dalam lingkup ilmu pengetahuan, seni, dan sastra,2 Manusia yang lahir di dunia ini memiliki bakat atau kesenian tersendiri, dimana ada yang terlahir dengan memiliki suara atau kesenian di bidang musik, ada yang lahir dengan kreativitas-kreativitas yang tidak dimiliki oleh orang lain. Hal tersebut adalah sekian banyak aspek yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual.

Pada masyarakat Indonesia, masih terdapat kesadaran yang rendah terhadap pentingnya untuk mendaftarkan Hak atas Kekayaan Intelektualnya guna keamanan dari hasil-hasil tersebut. Padahal masa moderen ini sangat diperlukan jaminan bagi hasil-hasil seni yang diciptakan oleh pelaku seni dan segala kreativitas yang dihasilkan oleh masyarakat di negeri ini. Banyak kasus yang terjadi terkait dengan sengketa Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia ini, baik dalam hasil cipta, paten, merek dan lain-lain.

Hukum memberikan jaminan terhadap hasil-hasil tersebut, perlindungan tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta dimana hak ekslusif pencipta dilindungi dengan memberikan jaminan-jaminan kepada hasil ciptanya apabila suatu saat ada pihak-pihak yang mempersengketakan ciptaannya tersebut, dimana tersebut merupakan upaya dalam memberikan rasa aman atau nyaman kepada pemilik aslinya atau

pencipta bila ada masalah-masalah yang timbul di kemudian hari. Adapun upaya yang dapat dilakukan ketika suatu saat ada perkara-perkara yang disebabkan oleh pelaku yang menyalahi aturan itu, sudah ditetapkan oleh undang-undang, maka pemilik dari kekayaan intelektual ini dapat memperkarakan hal tersebut. Penyelesaian perkara Hak atas Kekayaan Intelektual dapat diselesaikan melalui jalur pidana maupun jalur perdata (niaga). Dalam lingkup pidana bila dalam perkara Hak atas Kekayaan Intelektual tersebut berisi unsur kejahatan atau pelanggaran yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia, sedangkan bila perkara Hak atas Kekayaan Intelektual murni, maka yang memiliki wewenang untuk mengadili adalah lingkungan pada Pengadilan Niaga.

Secara umum penyelesaian sengketa dalam Hak atas Kekayaan Intelektual bisa melalui dua cara, yaitu: melalui proses litigasi (pengadilan) atau melalui jalur alternatif penyelesaian sengketa.3 Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan adalah penyelesaian sengketa terhadap para pihak yang menghasilkan sebuah putusan yang bersifat mengikat para pihak, sedangkan penyelesaian melalui jalur alternatif penyelesaian sengketa diatur dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dimana diatur bahwa “Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa yang prosedur dan mekanismenya ditentukan oleh para pihak”.

Selain itu, hukum positif Indonesia telah mengatur mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai

upaya untuk menyelesaikan sengketa lebih dengan cara kekeluargaan, di beberapa bidang Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana sudah tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undangan tentang Hak Kekayaan Intelektual. Secara kelembagaan dalam penyelesaian melalui alternatif penyelesaian sengketa juga sudah dibentuk lembaga yang bersifat independen untuk menangani penyelesaian sengketa Hak Kekayaan Intelektual melalui Arbitrase yaitu melalui BANI (Badan Arbitrase Nasonal Indonesia). Dengan melalui Arbitrase diharapkan akan terwujud penyelesaian sengketa yang cepat, murah dan juga bisa menjaga nama baik dari para pihak dan menjaga kepentingan mereka yang bersengketa4.

  • 1.2    Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang diangkat dalam penulisan ini adalah:

  • 1.    Apakah arbitrase dapat digunakan sebagai upaya penyelesaian sengketa Hak Atas Kekayaan Intelektual di luar pengadilan?

  • 2.    Bagaimana mekanisme penggunaan Arbitrase sebagai penyelesaian sengket Hak Atas Kekayaan Intelektual?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Adapun tulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah Arbitrase dapat digunakan dalam menyelesaikan sengketa Hak Kekayaan Intelektual dan bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dengan mengunakan lembaga Arbitrase sebagi alternatif penyelesaian sengketa Hak Atas Kekayaan Intelektual di luar pengadilan.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1    Metode Penelitian

Penulisan ini dibuat dengan metode penelitian hukum normatif atau metode kepustakaan artinya penelitian yang berfokus pada studi dokumen atau bahan pustaka.5

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang berasal dari literatur-literatur yang berfokus pada penelitian asas-asas, sistemik, penelitian taraf sinkronisasi vertikal dan horisotal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.6

Tahap awal dalam penelitian hukum nomatif yaitu penelitian untuk mendapatkan hukum objektif, caranya yaitu melakukan penelitian pada permasalahan hukum. Tahap selanjutnya yaitu melakukan penelitian untuk memperoleh hukum subjektif.7 Data sekunder adalah data yang didapatkan dari studi kepustakaan, yaitu dari berbagai bahan hukum, Data sekunder dapat diklarifikasikan atas tiga bentuk, yaitu:8

  • 1.    Bahan primer adalah bahan hukum yang mengikat, seperti Undang-Undang yang terkait dengan apa yang dibahas.

  • 2.    Bahan sekunder adalah bahan yang menjelaskan lebih lanjut dari bahan primer, yaitu: buku-buku dan artikel-artikel dari hasil penelitian atau pendapat dari ahli hukum.

  • 3.    Bahan tersier adalah bahan hukum yang lebih menjelaskan terkait dengan apa yang dimaksud dadi bahan primer dan bahan sekunder, yaitu: kamus hukum.

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitia hukum normatif. Seluruh data yang terkumpul dianalisi dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian ini disajikan dalam suatu laporan yang bersifat diskriptif analisis.

  • 2.2    Hasil dan Analisis

    • 2.2.1    Ruang Lingkup Kewenangan Arbitrase Dalam Menangani Sengketa Hak Atas Kekayaan Intelektual

Proses beracara di Pengadilan diatur dalam Pasal 130 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak untuk melakukan perdamaian dan upaya hukum di luar pengadilan sebelum beracara di pengadilan.9 Kedudukan Arbitrase diatur dalam Undang-Undang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif sehingga kewenangan dan kedudukan Badan Abitrase di Indonesia tidak diragukan lagi dan dapat dijadikan upaya hukum utama di luar pengadilan.10 Adapun ruang lingkup Arbitrase dalam menyelesaikan sengketa HKI diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dimana Arbitrase dapat menyelesaikan sengketa dalam bidang perdagangan dan sengketa terkait dengan pelanggaran hak oleh para pihak yang bersengketa, adapun yang termasuk dalam bidang perdagangan adalah perbangkan, perniagaan, industri, hak milik, dan penanaman modal. Bila dilihat dari penjelasan dalam undang-undang maka penyelesaian sengketa menggunakan jalur arbitrase dapat meliputi sengketa yang timbul dari perjanjian-perjanjian mengenai perdagangan industri dan keuangan.

Dengan demikian Arbitrase tidak diperkenankan untuk menyelesaikan sengketa dalam lingkup keluarga dimana yang menjadi fokus penyelesaian sengketa arbitrase adalah untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam perdagangan, modern ini arbitrase sangat laku digunakan dalam penyelesaian sengketa pengusaha karena sangat menguntungkan mereka.11

Dalam sebuah perjanjian perdata bila menggunakan klausula arbitrase sebagai penyelesaian sengketa maka pendapat hukum dari badan arbitrase tersebut akan mengikat perjanjian pokok, sehingga segala hal yang bersimpangan dengan pendapat hukum merupakan pelanggaran terhadap perjanjian. Oleh karena itu bila sudah menggunakan klausula arbitrase tidak dapat melakukan upaya hukum apapun.

Putusan Arbitrase bersifat final dimana mempunyai kekuatan hukum tetap, yang berarti ketua pengadilan dalam kewenanganya memberikan eksekusi terhadap putusan terebut tidak bisa memeriksa alasan ataupun pertimbangan dari putusan yang sudah di putus oleh arbiter tersebut.12

Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, pengadilan wajib untuk menghormati proses arbitrase dan tidak ikut campur dalam proses arbitrase tersebut, sesuai dengan prinsip limited court involvement.13

Kenyataannya, ketertiban umum dijadikan pengalihan untuk menolak dari permohonan arbitrase tersebut, dalam Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak menjelaskan terkait dengan ketertiban umum, sehingga hal

tersebut dijadikan celah untuk bisa lolos dari proses eksekusi Arbitrase dari pengadilan negeri, sulit untuk mencari putusan arbitrase yang tidak sesuai dengan ketertiban umum, sederhananya dapat dijabarkan sebagai berikut:14

  • 1.    Kelalaian dalam putusan arbitrase dimana melanggar Undang-Undang dengan contoh tidak mendaftarkan putusan Arbitrase;

  • 2.    Tidak disertainya dengan alasan-alasan dalam putusan;

  • 3.    Tidak dapatnya kesempatan untuk berargumentasi sebelum puusan arbitrase dijatuhkan.

Terhadap perkara yang sudah berklausula arbitrase maka pengadilan tidak berhak untuk ikut campur memproses perkara tersebut, dan untuk perkara yang sudah diputus arbitrase, pengadilan hanya berhak atas eksekusi putusan tersebut, tidak untuk memproses ulang putusan arbitrase tersebut. Kecuali bila diketahui ada upaya melanggar hukum dalam proses berjalannya arbitrase, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke Pengadilan Negeri dengan dalil pengambilan putusan arbitrase yang berdasarkan itikad tidak baik.

  • 2.2.2    Mekanisme Penggunaan Arbitrase sebagai Penyelesaian Sengketa Hak Kekayaan Intelektual serta Perbandingan Badan Arbitrase Indonesia (BANI) dengan Singapore International Arbitration Centre (SIAC).

Mekanisme penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dalam Pasal 34 undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat menggunakan Lembaga Arbitrase Nasional maupun Internasional berdasarkan kesepakatan pihak-pihak, dan mekanismenya mengikuti lembaga yang dipilih kecuali para pihak

yang menetapkannya sendiri.15 Tahapan dalam pelaksanaan Arbitrase berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan No. 30 tahun 1999 yaitu: Permohonan Arbitrase, Pengangkatan arbiter, pengajuan surat tuntutan oleh pemohon, jawaban dari termohon, pemanggilan ke dua belah pihak, pembuktian, pembacaan putusan. Pada tanggal 3 Desember 1977, dua tahun sebelum ditetapkan Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, atas prakarsa Prof. R. Subekti, S.H, Harjono Tjitrosubono, S.H dan A.J. Abubakar, S.H., mendirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga untuk menyelesaikan sengketa komersial yang bersifat otonom dan independen.16 Dimana BANI dapat berdiri sendri tanpa diganggu gugat oleh kekuasaan lainnya, Dengan demikian, BANI diharapkan bisa melaksanakan tugasnya sesacar objektif, adil, dan jujur dalam memutuskan perkara.17 Untuk mekanisme dari BANI tidak ada yang menyimpang dari Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Mekanisme pelaksanaan arbitrase menurut SIAC diatur dalam SIAC Rules. SIAC Rules ini diundangkan pada tanggal 1 Juli 2010. Segala bentuk komunikasi dan perubahan yang berhubungan dengan arbitrase yang dilaksanakan oleh SIAC harus dibuat tertulis dan jangka waktunya ditentukan oleh majelis arbitrase dari SIAC tersebut.

Para pihak yang akan mengadakan proses penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase harus memperhatikan beberapa

hal. Claimant/Pemohon harus memberikan permohonan dalam bentuk tertulis dimana berisikan permohonan tersebut berisikan mengenai: penyelesaian sengketa tersebut didasarkan pada arbitrase, identitas dari para pihak (nama, alamat, nomor telepon, e-mail untuk korespondensi), klausul arbirase dalam perjanjian baik dalam bentuk terpisah atau tergabung dalam perjanjian, penjelasan mengenai penyebab terjadinya sengketa tersebut, pernyataan yang menunjukkan bahwa para pihak setuju untuk menggunakan arbitrase sebagai penyelesaian sengketanya, proposal yang menunjukkan berapa orang arbiter yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa tersebut, pemilihan mengenai dasar hukum, bahasa yang akan digunakan, dan biaya pengajuan arbitrase.

Permohonan ini disebut dengan Notice of Arbotration. Dalam Notice of Arbitration tersebut juga dimasukkan suatu The Statement of Claim. The Statement of Claim ini merupakan suatu pernyataan yang menyatakan bahwa telah terjadi suatu sengketa diantara kedua belah pihak tersebut. Surat ini harus diterima dalam jenjang waktu yang sudah disepakati oleh Tribunal/Majelis dimana dalam surat ini berisikan mengenai pernyataan dari fakta yang mendukung gugatan tersebut, dan ganti rugi yang dapat dihitung. Proses ini menunjuk kanbahwa proses penyelesaian sengketa dengan arbitrase telah dimulai.

Jawaban dari Statement of Claim ini harus sudah di jawab oleh responden dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diterimanya Notice of Arbitration, dimana dalam surat jawaban tersebut berisikan mengenai: konfirmasi atau penolakan dari gugatan tersebut, pernyataan secara jelas yang menggambarkan kedudukan dan keadaan dari gugatan tersebut, tanggapan dari pernyataan yang terdapat dalam notice of arbitration atau

tanggapan lain yang berhubungan dengan gugatan tersebut, apabila para pihak setuju maka pihak responden mengajukan siapa yang akan dipilih menjadi arbiter jika dalam perjanjian arbitrase tersebut diajukan untuk memilih 1(satu) arbiter atau 3 (tiga) arbiter.

Jawaban yang diberikan oleh responden harus juga disertai dengan Statement of Defence dan/atau Statement of Counterclaim. Statement of Defence ini berisikan mengenai pembelaan/tanggapan atas Statement of Claim. Sedangkan Statement of Counterclaim merupakan pernyataan yang berisikan mengenai gugatan balik atas apa yang tertulis dalam Statement of Claim.

Adapun perbedaanya dimana mekanisme pelaksanaan arbitrase BANI dan SIAC ini pada dasarnya adalah sama yaitu dimana para pihak yang akan melakukan penyelesaian sengketa dengan arbitrase memiliki perjanjian dimana di dalamnya terdapat mengenai klausula arbitrase. Dengan adanya klausula tersebut maka para pihak tersebut bisa menggunakan arbitrase untuk upaya penyelesaian sengketa.

Pihak yang yang ingin melakukan arbitrase BANI disebut dengan Pemohon, sedangkan di SIAC disebut dengan Claimant. Pihak yang dimohonkan disebut dengan Termohon dalam BANI, sedangkan di SIAC disebut dengan Respondent.

Pemohon tersebut mengajukan suatu surat permohonan kepada BANI ataupun SIAC, surat tersebut disebut surat permohonan untuk arbitrase. Sedangkan dalam SIAC, surat tersebut disebut dengan notice of arbitration dan di dalamnya terdapat statement of claim.

Surat permohonan arbitrase yang diajukan melalui BANI menggunakan akta notaris sedangkan untuk arbitrase yang diajukan di SIAC hanya memerlukan perjanjian sebagai bukti

bawa para pihak telah menyetujui menggunakan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa mereka. Isi dari surat permohonan yang diajukan di BANI maupun SIAC adalah berbeda dimana surat permohonan BANI berisikan mengenai identitas para pihak yang bersengketa, permasalahan/sengketa yang dihadapi, tuntutan/besarnya kompensasi, bukti-bukti, identitas para arbiter, waktu untuk penyelesaian sengketa, kesediaan para pihak untuk membayar dari arbitrase tersebut. Isi surat dari permohonan SIAC tidak mencantumkan bukti-bukti, sedangkan dalam surat ke BANI, adanya bukti-bukti dicantumkan dalam surat tersebut.

Jangka waktu yang ditentukan oleh BANI dalam hal tanggapan yang diberikan oleh termohon adalah 30 (tiga puluh) hari. Sedangkan menurut SIAC, Respondent harus memberikan tanggapan dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya notice of arbitration. Hal ini menunjukkan bahwa SIAC memberikan jangka waktu lebih cepat dibandingkan dengan BANI.

  • III.    PENUTUP

    • 3.1    Kesimpulan

      • 3.1.1    Arbitrase menurut Undang-Undang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa Hak Kekayaan Intelektual. Hal ini diatur baik dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa maupun pada Perundang-undangan terkait HKI. Dalam sebuah perjanjian perdata bila menggunakan klausula arbitrase sebagai penyelesaian sengketa maka pendapat hukum dari badan arbitrase tersebut akan mengikat perjanjian pokok sehingga tidak dapat melakukan upaya hukum apapun.

      • 3.1.2    Tahapan dalam pelaksanaan Arbitrase berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan No. 30 tahun 1999 yaitu: Permohonan Arbitrase, Pengangkatan arbiter, pengajuan surat tuntutan oleh pemohon, jawaban dari termohon, pemanggilan ke dua belah pihak, pembuktian, pembacaan putusan. Perbedaan antara SIAC dengan BANI hanya terletak pada beberapa mekanisme serta perbedaan antara nama dan waktu, pada SIAC surat permohonan hanya memerlukan perjanjian sebagai bukti sedangkan BANI menggunakan akta notaris.

    • 3.2    Saran

      • 3.2.1    Dalam menerapkan Klausula Arbitrase agar para pihak agar bisa lebih menghormati badan Arbitrase dan percaya dengan Lembaga Arbitrase sebagai badan yang akan menyelesaikan sengketanya sesuai dengan yang tertulis dalam klausula Arbitrase, dan untuk Pengadilan agar lebih memperhatikan klausula dalam perjanjian tersebut, sehingga pengadilan tidak ikut campur dalam menyelesaikan sengketa yang seharusnya diselesaikan Lembaga Arbitrase.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Adi Nugroho, Susanti, 2015, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, Prenadamedia Group, Jakarta.

Fuady, Munir, 2003, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hendra Winartam, Frans 2016, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan  Internasional,  Sinar

Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soemartono, Gatot, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Wiryawan, I Wayan dan I Ketut Artadi, 2009, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Udayana University Pers,

Denpasar.

Jurnal Ilmiah

Deasy Soeikromo, Kontrak Standar Perjanjian Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Kegiatan Bisnis, Vol.22,         No.6,         Edisi        Juli        2016,

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnalhukumunsrat/ article/view/13189/12775, Diakses tanggal 5 Januari 2018 pukul 14.32 wita.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek, 2004, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tijtrosudibio, Pradnya Paramita, Jakarta.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Internet

Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia, URL:  http://www.baniarbitration.org/ina/procedures.php,

Diaskses tanggal 5 Januari 2018 pukul 14.40 wita.

Singapore Intenrnational Arbitration Cenrte   Rules,   URL:

http://www.siac.org.sg/our-rules, Diakses tanggal 5 Januari 2018 pukul 15.30 wita.

14