TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SIKAP KEJAKSAAN ATAS PELIMPAHAN BERKAS PERKARA OLEH PENYIDIK

Oleh:

I Gusti Ayu Intan Purnamaningrat

I Gede Yusa

Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

This scientific papers written about the juridical review for the attitude of the Prosecutor's over the transfer case file by investigators. This scientific paper using the normative research methods combined statutory and fact approach. Delegation of the case file from the investigator to the Prosecutor's (public prosecutor) who suffered back and forth without any time limit given CODE of CRIMINAL PROCEDURE as well as listed in the decision of the Minister of Justice:No.: M.01.PW.07.03 1982 is a natural thing happens with the mechanism of the Act No. 8 of 1981 on Criminal Proceedings which focuses on the material truth.Because in the science of law, the purpose of criminal law that is the truth of the material to protect the interests of the public, although it must ignore / expense of basic rights.

Keywords:The transfer of the case file, the investigator, the public prosecutor, and the truth of the material.

ABSTRAK

Penulisan makalah ilmiah ini membahas tentang tinjauan yuridis terhadap sikap kejaksaan atas pelimpahan berkas perkara oleh penyidik. Makalah ilmiah ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta. Pelimpahan berkas perkara dari penyidik ke kejaksaan (penuntut umum) yang mengalami bolak balik tanpa adanya batas waktu yang diberikan KUHAP seperti halnya tercantum dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 adalah hal yang wajar terjadi dengan mekanisme Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dimana menitikberatkan pada kebenaran materiil. Karena dalam ilmu hukum, tujuan hukum pidana yakni kebenaran materiil untuk melindungi kepentingan masyarakat walaupun harus mengabaikan/mengorbankan hak asasi seseorang.

Kata Kunci: pelimpahan berkas perkara, penyidik, penuntut umum, dan kebenaran materiil.

BAB I. PENDAHULUAN

  • 1.1    Latar Belakang

Setelah lahirnya Orde Baru, terbukalah kesempatan yang lapang untuk membangun di segala segi kehidupan. Tidak ketinggalan pula pembangunan di bidang hukum. Puluhan undang-undang telah diciptakan terutama merupakan pengganti

peraturan warisan kolonial. Suatu undang-undang hukum acara pidana nasional yang modern sudah lama di dambakan semua orang. Dikehendaki hukum acara pidana yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dewasa ini yang sesuai dan selaras dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.1

Semenjak berlakunya KUHAP, dapat disebutkan lebih jauh bahwasanya mulai tanggal 31 Desember 1981 untuk ketentuan hukum acara pidana berlakulah secara tunggal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan peraturan yang sebelumnya berlaku dinyatakan telah dicabut. 2 Dengan menjadikan KUHAP sebagai satu-satunya landasan hukum acara pidana maka segala tindak tanduk perangkat hukum diatur di dalamnya. Seperti halnya dalam pelimpahan perkara dari penyidik kepada penuntut umum dalam hal ini diartikan “Kejaksaan” sesuai dengan rumusan lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI.

Dengan mengingat tidak adanya batasan waktu dalam pelimpahan perkara dari penyidik kepada penuntut umum (kejaksaan) maka terjadinya ketimpangan tujuan antara penyidik yang memerhatikan hak asasi manusia dari si pelaku dan tujuan dari penuntut umum yaitu melindungi kepentingan masyarakat secara umum. Maka penulis mengangkat permasalahan ini dalam suatu bentuk makalah ilmiah yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Sikap Kejaksaan Atas Pelimpahan Berkas Perkara Oleh Penyidik.”

  • 1.2    TUJUAN

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap kejaksaan atas pelimpahan berkas perkara oleh penyidik yang ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982.

  • II.    ISI MAKALAH

    2.1    METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang berdasarkan kaidah

atau norma dalam peraturan perundang-undangan.3 Sedangkan jenis pendekatan yang dipergunakan yakni pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta dengan menggunakan sumber bahan hukum primer yang terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan dan sumber hukum skunder yang terdiri dari buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan para ahli hukum yang telah masuk ke dalam media massa, kamus dan ensiklopedia hukum serta internet.

  • 2.2    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 2.2.1    SIKAP KEJAKSAAN ATAS PENYERAHAN PERKARA OLEH PENYIDIK

Pelimpahan atau penyerahan berkas perkara dari penyidik terhadap penuntut umum diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Pasal 8 ayat (2) berbunyi: “Penyidik menyerahkan berkas kepada penuntut umum.” Kemudian dalam Pasal 8 ayat (3) berbunyi:

“Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan :

  • a.    Pada tahap pertama hanya menyerahkan berkas perkara;

  • b.    Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.”

Penjelasan resmi Pasal 8 KUHAP mencantumkan “Cukup jelas”. Akan tetapi, ternyata dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982, pada lampirannya, Bidang Penyidik, Bab III butir 4 dimuat penjelasannya lebih lanjut yang dihubungkan dengan Pasal 110 ayat (2) dan (3) KUHAP serta Pasal 138 ayat (2). Untuk jelasnya, perumusan lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut adalah sebagai berikut.4

“Berdasarkan ketentuan pasal-pasal di atas, kemungkinan selalu terbuka timbulnya permasalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi, yaitu antara lain sebagai berikut:

  • a.    kembali berkas perkara secara timbal balik dari penyidik kepada penuntut umum atau sebaliknya, maka kemungkinan selalu bisa terjadi, bahwa atas dasar pendapat penuntut umum hasil penyidikan tambahan penyidik dinyatakan belum lengkap,

berkas perkara bisa berlarut-larut, mondar mandir dari penyidik kedapa penuntut umum atau sebaliknya”.5

Jika ditinjau dari Pasal 110 KUHAP pada ayat (2) dan (3) terjadinya bolak balik berkas perkara dari penyidik kepada jaksa merupakan sesuatu umum yang terjadi dengan mekanisme KUHAP yang tidak memberikan batasan berapa kali berkas perkara tersebut dapat mengalami bolak balik. Sehingga penyidik harus mampu selalu memperbaiki berkas yang dirasa kurang lengkap oleh jaksa penuntut umum, hal ini dilandasi alasan yang kuat dari jaksa penuntut umum yang menginginkan agar tuntutannya kelak di muka siding peradilan dapat kuat dan tidak mudah digugurkan.

Selanjutnya perlu diperhatikan rumusan lebih lanjut pada huruf a lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI di atas yakni menyatakan “Keadaan demikian jelas tidak menguntungkan tersangka…………….. Karena tidak ada satu ketentuan yang memberikan batasan berapa kali dapat dikembalikan, tetapi apabila dikaitkan dengan tujuan hukum, yaitu dalam rangka pemberian perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi seseorang…………………haruslah ada suatu criteria pembatasan……….. Sehingga dengan demikian, baik secara hukum maupun atas dasar perlindungan dan jaminan hukum terhadap hak asasi manusia, tindakan pengembalian itu dapat dipertanggungjawabkan.” 6

Rumusan tersebut diatas perlu ditelaah lagi karena telah sedikit menyimpangi tujuan dari hukum pidana materiil. Dalam perspektif ilmu hukum pidana yang materiil bertujuan untuk menjamin perlindungan terhadap masyarakat umum. Jadi dapat dilihat bahwa ketentuan lampiran diatas sangat condong terhadap jaminan perlindungan hak asasi manusia. Di satu sisi penyidik berpikir dari segi kerugian yang diamlami pelaku mengingat pelaku pun masih memiliki hak asasi manusia, namun disisi lain penuntut umum berpandangan dari segi kepentingan yang lebih besar yakni adalah kepentingan masyarakat umum. Bilamana untuk memenuhi rasa aman dan keadilan dalam masyarakat umum dibutuhkan adanya pengorbanan hak asasi dari seseorang maka hal ini diperbolehkan mengingat KUHAP dibentuk berdasarkan tujuan dari hukum pidana materiil yakni menjaga dan melindungi kepentingan masyarakat umum. Serta keadilan dalam masyarakat dapat terpenuhi karena yang dituju terlebih dahulu adalah pemain

utama (dader/madedader) barulah orang-orang sekitar yang terlibat dalam aksi kejahatan tersebut.

  • III.    KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas maka dapat ditelaah bahwa lampiran Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982 rumusannya telah mengandung suatu kekeliruan dalam perspektif penegakan hukum pidana materiil. Padahal untuk dapat menegakkan hukum pidana materiil yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat umum masih dimungkinkan dan diperkenankan untuk mengorbankan hak asasi manusia seseorang. Maka dari itu baik dari penyidik dan/ataupun penuntut umum harus tetap berpedoman dengan KUHAP sebagai suatu kodifikasi peratuan perundang-undangan Indonesia yang berpedoman terhadap tujuan hukum pidana materiil yaitu perlindungan terhadap kepentingan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Andi Hamzah, 2014, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

Amirruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta.

Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ledeng Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana, Di Kejaksaan & Pengadilan Negeri, Upaya Hukum & Eksekusi, Bagian Kedua, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PW.07.03 Tahun 1982.

5