KEBIJAKAN DALAM PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PELACURAN SESUAI DENGAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000
on
KEBIJAKAN DALAM PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PELACURAN SESUAI DENGAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN 2000
Oleh :
Bella Kharisma
Desak Putu Dewi Kasih
Hukum Pidana, Fakultas Hukum Program Ekstensi Universitas Udayana
ABSTRACT
This paper entitled "Criminal Sanctions Policies To Prostitution Crawl Act According To Arrangement Of Denpasar No. 2 In 2000”. In Bali, prostitution problems is arrange by arrangement of Denpasar No. 2 in 2000 about eradication of prostitution in denpasar city, the criminal policy was created with purpose to the maintain norm in society, however, the lack of criminal sanctions provided doesn't make a suspect afraid with that sanction so a suspect. The reasearch method used is a normative legel research, law approach. The issues raised are how the imposition of criminal sanctions against the perpetrators of the crime of prostitution in accordance with Arrangement of Denpasar No. 2 in 2000, And whether the criminal policy in dealings the crime of prostitution has been effectively success. The conclusion is the imposition of criminal sanctions against the perpetrators of the crime of prostitution fit with Arrangement of Denpasar No. 2 in 2000 may be subject to the provisions of chapter 6 that the imprisonment for a maximum is three months or a maximum fine of Rp. 5000.000, and the policy formulation in dealingwith the criminal acts of prostitution proved less effective, because Arrangement of Denpasar No. 2 in 2000 has a void norms that need to be updated and revisited.
Keywords: Policy, Imposition, Criminal Sanction, The Crime Of Prostitution.
ABSTRAK
Penulisan ini berjudul “Kebijakan Dalam Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pelacuran Sesuai Dengan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000”. Di Bali masalah pelacuran diatur dengan Perda No. 2 tahun 2000 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, kebijakan hukum pidana ini dibuat dengan tujuan untuk menegakkan norma dalam masyarakat, namun minimnya penjatuhan sanksi pidana yang diberikan tidak membuat efek jera bagi pelaku tindak pidana pelacuran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif, melalui pendekatan undang-undang. Permasalahan yang diangkat yaitu bagaimana penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pelacuran sesuai dengan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000, dan apakah kebijakan hukum pidana dalam menangani tindak pidana pelacuran telah berjalan dengan efektif. Kesimpulan yang diperoleh adalah Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pelacuran melihat ketentuan Pasal 6 Perda Kota Denpasar No 2 Tahun 2000 yakni pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,-, dan Kebijakan formulasi dalam menangani tindak pidana pelacuran dirasa sudah tidak efektif lagi, hal ini dikarenakan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 memiliki kekosongan norma sehingga perlu diperbaharui dan ditinjau kembali.
Kata Kunci: Kebijakan, Penjatuhan, Sanksi Pidana, Tindak Pidana Pelacuran.
I PENDAHULUAN
Hukum merupakan keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi karena pelanggaran hukum maka hukum harus ditegakkan.1 Masyarakat dunia dan tidak terkecuali masyarakat di Indonesia pada dewasa ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat semakin maraknya praktek pelacuran.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak mengatur secara khusus atau tegas yang melarang mengenai praktek-praktek pelacuran. Ketidak tegasan pemerintah dapat dilihat pada Pasal 296, Pasal 297, dan Pasal 506 KUHP. Pasal-pasal dalam KUHP tersebut hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara ilegal, artinya larangan hanya diberikan untuk muchikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama sekali tidak ada pasal yang mengaturnya secara khusus.
Di Bali masalah pelacuran sangat diutamakan karena perbuatan tersebut bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesopanan, maupun norma kesusilaan. Pemerintah dalam hal ini telah membuat kebijakan hukum pidana dengan mengeluarkan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 tentang perubahan atas Perda No. 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar. Pelaksanaan penanggulangan terhadap pelacur ini sendiri selaku pihak yang disewa dikenakan sanksi sesuai dengan Perda No. 2 tahun 2000, namun minimnya sanksi yang diberikan tidak membuat efek jera bagi pelaku tindak pidana pelacuran sehingga membuat perbuatan tersebut berulang kembali dan merugikan banyak masyarakat.
-
1. Bagaimana penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pelacuran sesuai dengan Perda Kota Denpasar No 2 Tahun 2000 ?
-
2. Apakah kebijakan hukum pidana dalam menangani tindak pidana pelacuran telah berjalan dengan efektif ?
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pelacuran sesuai dengan Perda Kota Denpasar No 2 Tahun 2000, serta untuk mengetahui keefektifan kebijakan hukum pidana dalam menangani tindak pidana pelacuran.
II ISI MAKALAH
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang berdasarkan kaidah atau norma dalam 2
peraturan perundang–undangan.2 Jenis pendekatan yang digunakan adalah jenis pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan fakta dengan sumber bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder yang berupa buku, artikel, majalah, dll.
-
2.2 Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pelacuran Sesuai
Dengan Perda Kota Denpasar No 2 Tahun 2000
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur bahwa “Pidana Pokok terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. 3 Pada Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 tentang perubahan atas Perda No. 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar, menentukan bagi pelacur yang melanggar perda tersebut dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan Pasal 6 yang menyebutkan bahwa “setiap orang yang melanggar Peraturan Daerah ini dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 5000.000,- (lima juta rupiah)”.
Sebagai contoh kasus, Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 35/Pid.R/2015/PN.Dps, terhadap terdakwa terdakwa Anggi Sefriana yang berumur 21 tahun, yang diamankan oleh kepolisian polsek Denpasar Selatan yang mana terdakwa telah tertangkap tangan pada saat itu terdakwa sedang menunggu pelanggannya. Dalam
putusan nya terdakwa telah melanggar Pasal 6 jo. Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) sub b Perda No. 2 Tahun 2000 tentang perubahan atas Perda No. 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar. Terdakwa Anggi Sefriana telah diputus oleh Pengadilan Negeri Denpasar dengan pidana denda Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Dengan penjatuhan sanksi tersebut membuat semakin meninggkatnya pelaku tindak pidana pelacuran dan tidak ada efek jera bagi pelaku tindak pidana pelacuran.
Sanksi pidana berupa pidana denda, yang mana menurut Prof. Van Hattum, pembentuk undang-undang menghendaki agar pidana denda itu hanya dijatuhkan bagi pelaku-pelaku dari tindak pidana yang sifatnya ringan saja.4 Namun kenyataannya tindak pidana pelacuran sudah tidak dimungkinkan lagi dikatakan sebagai tindak pidana ringan mengingat perbuatannya sangat meresahkan banyak masyarakat dan banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan baru dikalangan masyarakat.
Suatu kebiajakan akan menjadi efektif apabila dampaknya dirasakan positif, yakni kondisi dimana kebijakan hukum pidana sesuai dengan keinginan dan bermanfaat untuk masyarakat. Tahapan kebijakan hukum pidana yang dilakukan dalam menangani tindak pidana pelacuran dapat dibagi menjadi tiga yakni kebijakan formulasi, kebijakan aplikasi dan kebijakan eksekusi. Pada tahapan kebijakan hukum pidana ini di fokuskan pada Kebijakan Formulasi/ Legislasi, merupakan suatu proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh pembuat undang-undang (pemerintah bersama DPR). Kedua badan/ institusi inilah yang berwenang membuat peraturan hukum, yaitu melalui proses mewujudkan harapan hukum dalam realita.
Tindak pidana pelacuran sekarang ini sudah dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan norma dan perkembangan masyarakat. Hal ini terlihat dari proses pelaksanaan Perda No. 2 Tahun 2000 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar yang kurang maksimal (bad luck), seperti ketentuan Pasal 6 yang memberikan sanksi pidana yang terlalu ringan pada pelaku yang dianggap tidak membuat efek jera bagi para pelaku, sehingga membuat Perda ini menjadi tidak efektif lagi karena pelaku akan semakin semena-mena pada hukuman yang diberikan dan akan mengulangi kembali perbuatannya (recidivis). Oleh karena itu sudah sepantasnya Perda
Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar harus ditinjau kembali dan diperbaharui dengan aturan yang mengikuti perkembangan zaman di era yang modern ini mengingat Perda ini sudah tidak efektif lagi untuk digunakan dalam memberantas para pelaku tindak pidana pelacuran serta menjadikan tindak pidana pelacuran bukan lagi merupakan suatu tindak pidana ringan melainkan memberikan sanksi pidana yang lebih berat lagi.
III KESIMPULAN
-
1. Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pelacuran sesuai dengan Perda Kota Denpasar No 2 Tahun 2000 dapat dikenakan ketentuan Pasal 6 yakni dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 5000.000,-. Namun dengan melihat kasus putusan Nomor 35/Pid.R/2015/PN.Dps penjatuhan sanksi pidana hanya dikenakan sanksi denda sebesar Rp.500.000,00 sehingga membuat pelaku mengulangi lagi perbuatannya dan tidak memiliki efek jera.
-
2. Kebijakan formulasi dalam menangani tindak pidana pelacuran dirasa sudah tidak efektif lagi, hal ini dikarenakan Perda Kota Denpasar No. 2 Tahun 2000 memiliki kekosongan norma sehingga perlu diperbaharui dan ditinjau kembali dengan aturan yang mengikuti perkembangan zaman serta memberikan sanksi yang lebih berat lagi agar pelaku tindak pidana pelacuran memiliki efek jera.
IV DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asikin Zainal dan, Amirruddin dan 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta.
Nuraeny, Henny 2011, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Sinar Grafika, Jakarta.
Lamintang, P.A.F dan Theo Lumintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1986, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2000 tentang perubahan atas Perda No 7 Tahun 1993 tentang Pemberantasan Pelacuran di Kota Denpasar.
5
Discussion and feedback