PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME
DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA
Oleh:
Ni Made Dwita Setyana Warapsari
I Wayan Parsa
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT
This paper is entitled "Legal Protection and Witness Against Transnational Crime Victim or Witness In Criminal Law Enforcement Process". The background of this paper, because it is very difficult to get witnesses in the process of law enforcement transnational crime, so that the witness and/ or witnesses need to be protected by law. This paper method is normative legal research, namely through legislation approach. The problem in this paper is how to form the legal protection of witnesses and/ or witnesses of transnational crime and criminal law enforcement process against transnational crime cases. The conclusion that the legal protection of witnesses and/ or witnesses referring to Article 5 (1) of Law No. 31 Year 2014 regarding amendments to the Law No. 13 of 2006 on Witness and Victim Protection, as well as the law enforcement process of transnational criminal offenses done by requiring each country to engage in international treaties and regulated in national legislation.
Keywords: Legal Protection, Witness or Witnesses, Transnational Crime, Criminal Law Enforcement.
ABSTRAK
Penulisan ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan atau Saksi Korban Transnational Crime Dalam Proses Penegakan Hukum Pidana”. Adapun latar belakang penulisan ini, karena sangat sulitnya mendapatkan saksi dalam proses penegakan hukum kejahatan lintas negara, sehingga saksi dan/ atau saksi korban perlu mendapatkan perlindungan secara hukum. Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu melalui pendekatan perundang-undangan. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap saksi dan/ atau saksi korban kejahatan lintas negara dan proses penegakan hukum pidana terhadap kasus kejahatan lintas negara. Kesimpulannya yaitu perlindungan hukum terhadap saksi dan/ atau saksi korban mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta proses penegakan hukum tindak pidana lintas negara dilakukan dengan cara mewajibkan setiap negara untuk terlibat dalam perjanjian internasional serta diatur pula dalam undang-undang nasional.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Saksi atau Saksi Korban, Transnational Crime, Penegakan Hukum Pidana.
Pemberantasan kejahatan lintas negara (transnational crime) tentunya tidak lepas dari peran saksi dan korban dari kejahatan itu sendiri. Tingginya angka kejahatan lintas negara setiap tahunnya memang menjadi permasalahan sendiri. Mabes Polri mencatat kenaikan kejahatan lintas negara terorganisir mencapai 35,28 % di tahun 2011 dengan jumlah 16.138 kasus dari sebelumnya di tahun 2010 dengan jumlah 10.444 kasus.1 Untuk memberantas suatu kejahatan harus ada kesaksian, dan untuk mendapatkan kesaksian yang benar diperlukan saksi dan/ atau saksi korban yang berani bersaksi secara jujur dalam mengungkap kebenaran tentang apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri. Pada banyak kasus terlebih pada kasus lintas negara, tidak gampang untuk membuat seseorang bersedia menjadi saksi. Hal tersebut dikarenakan adanya perasaan takut dikriminalisasi, rasa takut disakiti, takut dibunuh dan sederet rasa takut lainnya.
Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang terjadi dan melaporkannya kepada pihak berwajib (penegak hukum).
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap saksi dan/ atau saksi korban kejahatan lintas negara dan proses penegakan hukum pidana terhadap kasus kejahatan lintas negara.
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menguraikan terhadap permasalahan-
permasalahan yang ada untuk selanjutnya dibahas dengan kajian teori-teori hukum 2 kemudian dikaitkan dengan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.2
-
2.2. Hasil dan Pembahasan
-
2.2.1 Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan/atau Saksi Korban Kejahatan
-
Lintas Negara.
M. Cherif Bassiouni (1986) penulis buku International Criminal Law, menyebutkan bahwa transnational crime adalah suatu tindak pidana internasional yang mengandung tiga unsur yakni unsur internasional, unsur transnasional dan unsur kebutuhan (necessity). Unsur internasional meliputi unsur ancaman secara langsung maupun tidak langsung terhadap perdamaian dunia serta keamanan dunia. Unsur transnasional meliputi tindakan yang memberikan dampak terhadap warga negara lebih dari satu negara yang menggunakan metode melampaui batas teritorial suatu negara, dan unsur kebutuhan (necessity) termasuk kebutuhan akan kerjasama antara negara-3 negara untuk melakukan penanggulangan.3
Hukum pidana Indonesia secara tegas menyatakan bahwa hadir sebagai saksi merupakan kewajiban, jika tidak dipatuhi terdapat sanksi pidananya (Pasal 224 KUHP). Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan bahwa saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik. Perlindungan bagi saksi dan/ atau saksi korban menurut Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah mutlak dan menjadi alat untuk memberantas kejahatan lintas negara seperti tindak pidana pencucian uang, tindak pidana narkotika, tindak pidana perdagangan manusia, dan tindak pidana terorisme.
Dalam tindak pidana yang bersifat lintas negara, perlindungan kepada saksi dan/ atau saksi korban diberikan dengan mewajibkan kepada Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim untuk merahasiakan identitas saksi pelapor. Pelanggaran atas kewajiban tersebut
memberi hak kepada pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan. Disamping itu negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus kepada pelapor dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/ atau hartanya termasuk keluarganya.4
Perlindungan khusus yang diberikan oleh negara kepada saksi dan/ atau saksi korban dimulai dari tingkat penyelidikan hingga kasusnya memasuki sidang pengadilan. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur tentang hak-hak saksi dan/ atau saksi korban, yaitu: a). memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b). ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c). memberikan keterangan tanpa tekanan; d). mendapat penerjemah; e). bebas dari pertanyaan yang menjerat; f). mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g). mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h). mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i). dirahasiakan identitasnya; j). mendapat identitas baru; k). mendapat tempat kediaman sementara; l). mendapat tempat kediaman baru; m). memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n). mendapat nasihat hukum; o). memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir;dan/atau p). mendapat pendampingan.
Langkah awal untuk mencapai tujuan penanggulangan kejahatan lintas negara bahwa setiap negara sebagai bagian integral dari masyarakat internasional memiliki kewajiban ikut dalam perjanjian internasional yang membahas penanggulangan kejahatan internasional, dan segera meratifikasi perjanjian internasional yang diikutinya sehingga dengan ratifikasi tersebut merupakan dasar hukum pengesahan suatu perjanjian internasional dan memberlakukannya sebagai bagian dari hukum nasional negara bersangkutan.5 Secara internasional, kejahatan terorganisir diatur oleh United
Nations Convention Against Transnational Ornagized Crime, Palermo tahun 2000 yang diratifikasi oleh Republik Indonesia melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 2009.6 Perjanjian internasional sangat dibutuhkan dalam proses penegakan hukum pidana terhadap kasus transnasional karena untuk memudahkan bagi suatu negara melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan maupun penyitaan terhadap tersangka yang sedang berada di negara lain.
-
1. Perlindungan hukum terhadap saksi dan atau saksi korban kejahatan lintas negara diberikan sejak proses penyelidikan hingga proses sidang di pengadilan, sebagaimana diatur hak-haknya pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
-
2. Proses penegakan hukum tindak pidana lintas negara dilakukan dengan cara mewajibkan kepada setiap negara untuk terlibat dalam perjanjian internasional dan ikut meratifikasi perjanjian internasional tersebut untuk kemudian dijadikan bagian integral dari undang-undang nasional dalam penegakan hukum tindak pidana lintas negara.
Buku:
Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings, 2012, Hukum Pidana Dalam Perspektif, Pustaka Larasan, Denpasar.
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Putra Bardin, Jakarta.
Serikat Putra Jaya Nyoman, 2008, Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi I Cetakan V, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Buletin:
Buletin Kesaksian No. III, 2012, Pentingnya Perlindungan Saksi Transnational Organized Crime.
5
Discussion and feedback