ANALISIS MENGENAI SINGKRONISASI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN SEBAGAI PENGGANTI PIDANA PENJARA

Oleh :

Hendra Rusliyadi Pembimbing : IGN Dharma Laksana Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstract:

Imprisonment is a punishment that often given to the criminals, but imprisonment is not have a detterent effect to the criminals. Different case with the concept of a correctional institution that seeks to educate the inmates. This research uses the juridical normative method, due to the conflict norms between of the Criminal Code by Act No. 12 of 1995 about Penitentiary. In terminology terms, imprisonment can be interpreted as a criminal seizure of independence. However, the concept is incompatible with the purpose of sentencing. On the other side, the correctional institution established to educate inmates. When they are out of the penitentiary, they have the skills and can live in a society very well. Therefore, it can be concluded that the concept of correctional institution is accordance with the purposes of the punishment is more concerned with the making process of the inmates.

Keyword : Imprisonment, Penitentiary, Purposes of Sentencing, Detterent Effect

Abstrak:

Pidana penjara merupakan pidana yang sering diberikan kepada terdakwa, tetapi pidana penjara ini tidak dapat memberikan efek jera kepada para penjahat. Berbeda halnya dengan konsep lembaga pemasyarakatan yang bertujuan untuk mendidik para warga binaan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, karena adanya konflik norma antara KUHP dengan UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Jika diartikan secara terminologi, pidana penjara dapat diartikan sebagai pidana perampasan kemerdekaan. Meskipun demikian, konsep tersebut tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan. Di sisi lain lembaga pemasyarakatan dibentuk dengan maksud untuk mendidik warga binaan. Apabila telah keluar dari lembaga pemasyarakatan, mereka mempunyai keterampilan dan dapat bermasyarakat dengan baik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa konsep lembaga pemasyarakatan ini sesuai dengan tujuan pemidanaan yang lebih memperhatikan proses pembinaan para warga binaan.

Kata Kunci : Pidana Penjara, Lembaga Pemasyarakatan, Tujuan Pemidanaan, Efek Jera

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Penegakan hukum pidana dalam kerangka kebijakan sosial dapat diwujudkan melalui sistem peradilan pidana yang sesuai dengan kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal ini dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan sosial dimasyarakat dan usaha pencegahan kejahatan tanpa menggunakan hukum pidana. Kebijakan kriminal ini memusatkan diri pada kegiatan pencegahan dan pemberian hukuman. Pemberian

hukuman ini dapat berupa sanksi seperti denda, penjara atau dapat berupa hukuman mati, tergantung jenis pelanggarannya.

Berbicara mengenai pemberian hukuman ini, maka ancaman hukuman penjara masih menjadi hal yang utama diberikan dan dilaksanakan oleh mayoritas negara, termasuk di Indonesia. Jika dilihat dalam KUHP Indonesia, jumlah ancaman pidana penjara secara tunggal dan alternatif sebanyak 98% dari seluruh tindak pidana penjara yang diatur. Ketentuan pidana diluar KUHP, pidana penjara diancamkan sekitar 92% dari seluruh jumlah tindak pidana. Jumlah perumusan pidana penjara dan/atau denda (sistem alternatif-kumulatif) sekitar 23% jumlah pidana atau denda (perumusan alternatif) sekitar 21%, jumlah pidana saja (perumusan tunggal) sekitar 20%.1

Walaupun pidana penjara sangat dominan, tetapi pada kenyataannya belum dapat menimbulkan efek jera bagi para narapidana. Apalagi, konsep penjara kini diartikan hanya sebatas menginap dihotel prodeo dan jika berkelakuan baik maka narapidana yang telah dibebaskan tersebut dapat dibebaskan dengan bersyarat ataupun bebas tanpa bersyarat, tanpa mempedulikan kondisi psikis pelaku kejahatan. Tentunya, hal ini tidak sesuai lagi dengan apa yang ingin dicapai dalam tujuan pemidanaan.

Berbeda halnya dengan konsep dari lembaga pemasyarakatan. Konsep dari lembaga pemasyarakatan ini lebih menekankan pada pembinaan para pelaku kejahatan yang selanjutnya disebut warga binaan. Pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan bukan hanya membina, tetapi juga memberikan pendidikan seperti pendidikan keterampilan (skill) yang dapat berguna ketika warga binaan tersebut telah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Hal ini tentu menarik untuk ditelaah lebih mendalam karena adanya perbedaan antara konsep dari penjara dengan konsep lembaga pemasyarakatan. 1.2. Tujuan

Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis singkronisasi lembaga pemasyarakatan sebagai pengganti pidana penjara.

  • II.    ISI MAKALAH

    • 2.1.    Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif, karena terdapat konflik norma antara KUHP yang memuat kata

“penjara”, kemudian pada UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menggunakan istilah “lembaga permasyarakatan”. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dengan menelaah semua undang-undang 2

dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.2

  • 2.2.    Hasil dan Pembahasan

    2.2.1.    Pandangan Umum Terkait dengan Pidana Penjara

Menurut Sudarto, istilah pidana perampasan kemerdekaan lazim juga disebut sebagai pidana penjara.3 Ditinjau dari segi etimologis, kata penjara berasal dari kata penjoro (kata dari bahasa Jawa) yang berarti taubat atu jera, dipenjara berarti dibuat jera.4 Istilah penjara berasal dari kata “penjera” artinya sesuatu yang menjadikan jera seseorang. Karena itu, kata penjara kemudian dirangkai dengan kata pidana (straf) dan akhirnya lahir istilah pidana penjara. Secara terminologis, pengertian pidana penjara di Indonesia sama dengan pidana perampasan kemerdekaan (deprived liberty).

  • 2.2.2.    Efektifitas dari Pidana Penjara

Sebelumnya akan dibahas mengenai pengertian pemidanaan beserta tujuannya karena pemidanaan dan penjara sangat berkaitan erat. Menurut Sudarto, pemidanaan itu merupakan sinonim dari penghukuman, yang berasal dari kata hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten).5

Kemudian berbicara mengenai tujuan pemidanaan, maka pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu mencakup hal-hal berikut ini :

  • a . Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri

  • b . Membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan

  • c . Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali.6

Apabila melihat dari teori dan konsep pemidanaan diatas, maka pidana penjara itu masih belum efektif jika tidak dibenahi dari berbagai macam segi. Tidak efektifnya pidana penjara di Indonesia saat ini, disebabkan karena masih tidak ada batasan yang pasti antara tujuan pemidanaan yang ingin dicapai dengan masa penghukuman yang

  • 2    Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 93.

  • 3    Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 90.

  • 4    R.A. Koesnoen, 1964, Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, Sumur, Bandung, h. 9.

  • 5    Tolib Setiady, 2010, Pokok – Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h. 22.

  • 6    ibid, h. 31.

diperoleh dari penjara tersebut. Permasalahan lain yang muncul adalah daya tampung daripada penjara itu sendiri yang membuat para narapidana merasa tidak hidup normal. Bahkan, akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah apabila ada narapidana yang baru masuk, maka akan diintimidasi kembali oleh para narapidana yang lebih dahulu menempati kamar tahanan (sel) tersebut.

  • 2.2.3.    Lembaga Pemasyarakatan sebagai Pengganti Pidana Penjara

Istilah Pemasyarakatan sebenarnya telah didengungkan pada tahun 1946 oleh Sahardjo ketika beliau berpidato ketika menerima gelar doctor honoris causa dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963.7 Menurut beliau lembaga pemasyarakatan itu bukan hanya sebagai tempat untuk semata-mata mempidana seseorang, melainkan juga untuk membina atau mendidik orang-orang terpidana, agar mereka itu setelah selesai menjalankan pidananya, mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan diluar lembaga pemasyarakatan.8 Tujuan yang termuat dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan selain membina warga binaan, juga terdapat asas equality before the law yang diberikan kepada setiap orang agar mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 2 jo 3 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa,

Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1995 : Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Pasal 3 UU No. 12 Tahun 1995 : Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyrakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Menyimak dari bunyi pasal-pasal di atas, maka lembaga pemasyarakatan lebih menjamin kehidupan para narapidana yang selanjutnya disebut warga binaan pemasyarakatan. Seperti yang telah disebutkan oleh Pasal 2 jo 3 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terdapat fungsi untuk mengubah warga binaan menjadi lebih baik, dengan cara memperbaiki warga binaan. Sehingga, warga binaan apabila telah

keluar dari dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat berbaur dengan kehidupan masyarakat dan sudah mempunyai keahlian yang telah dipelajari didalam Lembaga Pemasyarakatan. Oleh karena itu, maka Lembaga Pemasyarakatan juga mempunyai sebuah tujuan yang jelas terhadap apa yang ingin dicapai dari tujuan pemidanaan.

  • III.  KESIMPULAN

Dari penjabaran di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan daripada pembahasan ini, yaitu :

  • 1.    Apabila melihat dari teori dan konsep dari tujuan pemidanaan, maka pidana penjara itu masih belum begitu efektif karena tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan.

  • 2.    Sistem pemasyarakatan lebih menonjolkan sisi pembinaan bukan pembalasan agar terpidana dapat menyadari kesalahannya sehingga ketika dikembalikan kepada masyarakat tidak akan mengulangi kembali perbuatannya. Hal ini sesuai dengan tujuan pemidanaan yaitu, untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri dan membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan.

  • IV.    DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arief, Barda Nawawi, 1997, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Koesnoen, R.A., 1964, Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, Sumur, Bandung.

Lamintang, P.A.F., Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung.

Setiady, Tolib, 2010, Pokok – Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung.

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

5