HARMONISASI HUKUM SUAP PASIF DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA
on
HARMONISASI HUKUM SUAP PASIF DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI BERDASARKAN PERSPEKTIF
SISTEM PERADILAN PIDANA
Anak Agung Made Agung Kusuma Wardana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: kusumaagung02@gmail.com
I Gusti Ngurah Nyoman Krisnadi Yudiantara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: krisnadiyudiantara@unud.ac.id
DOI: KW.2023.v13.i1.p2
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami terkait pengaturan dan harmonisasi pengaturan suap pasif dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Selain itu ditujukan untuk memberikan wawasan tentang penanganan perkara suap pasif berdasar pada sistem peradilan pidana. Praktik suap seringkali terjadi dan bahkan sudah berlangsung sejak lama di masyarakat. Pihak yang diberi suap pada umunya adalah seorang pejabat atau orang penting dengan maksud meminta kemudahan/keuntungan sehingga penerima suap harus melanggar kewajibannya dengan melakukan hal-hal diluar norma serta tanggungjawab jabatannya. Penelitian ini menerapkan metode yuridis normatif untuk menelaah persoalan yang diangkat. Guna mempertajam analisis, menggnakan perpektif perundang-undangan, konseptual, dan membandingkan suatu peritiwa hukum yang terjadi (pendekatan perbandingan) sebagai bahan pendekatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi tumpang tindih pengaturan suap pasif. Untuk mengatasi hal tersebut diperlkuan harmonisasi secara vertikal maupun horizintal untuk menyelaraskan aturan. Jika keselarasan ini tercipta dengan mengedepankan penegakan hukum oleh setiap sub sistem dalam sistem peradilan pidana maka mampu mewujudkan kepastian serta kesepandingan hukum. Namun, ketentuan suap pasif dalam RKUHP perlu diubah dengan memperluas sikap batin berupa sebagian kesengajaan dan sebagian kealpaan (pro parte dolus pro parte culpa) dan kriminalisasi perbuatan permintaan suap yang dilakukan oleh pejabat publik.
Kata Kunci: Harmonisasi Hukum, Suap Pasif, Tindak Pidana Korupsi.
ABSTRACT
The purpose of this research is to know and understand the regulations and harmonization of passive bribery regulations in Law No. 20 of 2001. In addition, it is intended to provide insight into the handling of passive bribery cases based on the criminal justice system. The practice of bribery occurs frequently in society and has been going on for a long time. The party who receives a bribe is usually an official or an important person with the intention of asking for a favor/benefit so that the recipient of the bribe must violate his obligations by doing things outside the norms and responsibilities of his position. This research uses the normative legal method to study the issues raised. In order to sharpen the analysis, it uses legal, conceptual and comparative perspectives of a legal event that occurs (comparative approach) as an approach material. The results show that there is an overlap in the regulation of passive bribery. To overcome this, vertical and horizontal harmonization is needed to harmonize the rules. If this harmony is created by prioritizing law enforcement by each subsystem in the criminal justice system, it will be able to realize legal certainty and equality. However, the provisions on passive bribery in the Criminal Code need to be amended by broadening the inner attitude in the form of partial intent and partial negligence (pro parte dolus pro parte culpa) and criminalizing the act of soliciting bribes from public officials.
Keywords: Legal Harmonization, Passive Bribery, Corruption Crime.
Di Indonesia, Pancasila dan UUD NRI 1945 menjadi landasan pembangunan nasional. Pembangunan dilakukan secara konsekuen yang meliputi berbagai aspek termasuk politik, sosial, ekonomi, IPTEK, budaya, termasuk pula ranah pertahanan keamanan. Tujuan
diselenggarakannya pembangunan nasional dapat tercapai apabila dalam implementasinya tidak diwarnai dengan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan perundangundangan maupun dengan rasa keadilan masyarakat. Namun, upaya mewujudkan tujuan nasioal melalui pembangunan di berbagai bidang justru terhambat sebagai akibat adanya tindakan yang bertentangan dengan norma yuridis. Hal yang sat ini terjadi dan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap menurunnya laju pembangunan nasional adalah praktik tindak pidana korupsi.
Di indonesia, korupsi dilakukan dengan sistemik (systemic crime) serta pelaksanaannya sangat luas (wide crime) hingga mempengaruhi hal hal yabf bersifat nasionalis. Hal ini terjadi dalam skala besar dan terstruktur yang memberikan kerugian pada kehidupan sosial dan ekonomi di masyarakat sehingga memerlukan tindakan pemberantasan segera. Peningkatan korupsi yang semakin merajalela ini telah merugikan seluruh aspek kehidupan masyarakat sehingga menjadi ATHG (ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan) NKRI. Dampak dari maraknya korupsi ini di antaranya adalah rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan hal ini berpotensi merongrong ketahanan nasional.1 Mengingat betapa bahayanya dampak yang ditimbulkan akibat dari perbuatan korupsi, pemerintah Indonesia berupaya melakukan pembenahan, salah satunya dari aspek yuridis berupa perubahan UU mengenai korupsi.2 DI Indonesia berlaku UU No. 31 Tahun 1999 dengan perubahannya melalui UU No. 20 Tahun 2001 sebagai landasan yuridis terhadap tindakan pidana korupsi.
Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 juncto UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, maka ditemukan tindakan korupsi sebanyak 30 jenis. Hal ini dikerucutkan dalam 7 (tujuh) kelompok salah satunya yakni kelompok suap aktif dan pasif.3 Berdasarkan informasi dari ICW 2019, dilihat dari kasus yang diusut oleh penegak hukum, suap merupakan tindakan yang paling marak terjadi. Terdapat 51 kasus yang berkaitan dengan permasalahan suap dengan total nilai suap yang terhitung kurang lebih Rp169.500.000.000,00. Bila dibandingkan data pemetaan kasus korupsi tahun 2018, tindak pidana suap menempati peringkat kelima. Total nilai suap pada tahun 2018 kurang lebih Rp67.900.000.000,00. Kemudian, aktor atau pelaku tindak pidana korupsi didominasi dari kalangan Pegawai Negeri (ASN), pejabat BUMN, dan para penegak hukum (APH). Dapat dilihat bahwa semakin meningkatnya kasus suap dan nilai suap yang terjadi di Indonesia.4
Praktik suap seringkali terjadi dan bahkan sudah berlangsung sejak lama di masyarakat. Pihak yang diberi suap pada umunya adalah seorang pejabat atau orang penting agar keinginannya terpenuhi, sehinggi pihak penerima harus mengambil sikap yang sejatinya bertentangan dengan kewajiban jabatan. Pelaku akan meminta agar keinginannya diwijidkan untuk mendapatkan untung ataupun terbebas dari sanksi atau proses hukum. 5 Hal tersebut bersesuaian dengan data yang dikeluarkan oleh ICW yang menunjukkan bahwa pejabat dalam lingkungan birokrasi pemerintah yang marak melakukan tindakan tersebut, dan mereka berperan penting dalam pengambilan keputusan seperti izin ataupun pengadaan
pemerintah. Selain itu, penyuapann juga terjadi pada penegakan hukum (APH) serta kegiatan pelayanan seperti pajak, bea cukai, dan perizinan.
Perbuatan suap yang ditujukan terhadap pejabat dan aparat penegak hukum inilah yang kemudian dipandang sebagai perbuatan yang tercela.6 Pidana tidak hanya dapat dijatuhkan terhadap pemberi uang atau janji, melainkan juga terhadap penerima suap. Pejabat yang semestinya memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, dan melaksanakan urusan eksekutif dan aparat penegak hukum yang semestinya sebagai aparat yudikatif dan etika profesi masing- masing berubah haluan menjadi pejabat atau aparat penegak hukum bertindak berdasarkan kehendak pemberi suap. Praktik suap tersebut menjadikan pejabat dan aparat penegak hukum gagal bertanggungjawab atas tugas pokok dan fungsinya .
Perbuatan menerima suap, berdasarkan amanat UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, dan Pasal 12 huruf b, hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf c, dan advokat termuat pada Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf d.
Pasal 5
Dalam ayat (1) disebutkan bahwa “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang”: (a) Melakukan perbuatan memberikan ataupun menjanjikan sesuai kepada aparat penyelenggara negara (pegawai negeri) agar mengambil sikap tertentu untuk memberikan keuntungan bagi pihak tertntu yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya”; atau (b) Memberikan sesuatu kepada aparat penyelenggara negara karena atau yang berhubungan dengan hal hal melanggar kewajiban”. Kemudian dalam ayat (2) disebutkan “Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”.
Pasal 6
Dalam ayat (1) disebitkan bahwa “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang”: (a) Memberi maupun menjanjikan suatu hal kepada hakin agar memberikan putusan yang menguntungkan bagi pihak tertentu”; atau (b) Memberikan ataupun menjanjikan hal tertentu kepada advokat agar mempengaruhi nasihat atau pendapat tertentu mengenai suatu perkara yang memberikan keuntungan bagi pihak tertentu. Kemudian dalam ayat (2) disebutkan“Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”.
Pasal 11
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”.
Pasal 12 huruf a-d
Diatur mengenai “tidakan suap berupa penerimaan suatu hadiah atas perbuatannya yakni: a. Pegawai negeri menggerakkan hal tertentu, b. Pegawai negeri melakukan hal tertentu, c. Hakim memberikan pengaruh terhadap putusan perkara, d. Advokat mempengaruhi nasihat/pendapat hukum untuk kasus terkait yang seluruhnya bertujuan agar menguntungkan pihak tertentu “Dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun, maksimal 20 tahun serta denda minimal Rp200.000.000,00 atau maksimal Rp1.000.000.000,00.”
Berdasarkan ketentuan yang memuat tentang suap pasif sebagaimana tersebut di atas, terdapat beberapa permasalahan. Pasal 5 ayat (2) tumpang tindih terhadap ketentuan Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b. Terdapat kesamaan inti delik (bestandeel delict) dalam ketentuan tersebut yaitu pihak penerima suap berupa (pemberian, hadiah, atau janji) dalam hal ini pihak penyelenggara agar berbuat sesuatu yang menguntungkan pihak tertentu namun hal tersebut tidak sesuai tanggung jawab dan kewajibannya. Pasal 5 ayat (2) menggunakan bentuk kesalahan kesengajaan (dolus) sedangkan pada Pasal 12 huruf a menggunakan bentuk kesalahan sebagian kesengajaan dan sebagian kealpaan (pro parte dolus pro parte culpa) melalui istilah “padahal diketahui atau patut diduga”.
Ancaman pidana pada ketentuan Pasal 12 huruf a dan huruf b lebih berat yakni dengan pidana penjara minimal 4 tahun, maksimal 20 tahun atau pidana seumur hidup serta denda minimal 200 juta atau maksimal 1 miliar Dibandingkan dengan Pasal 5 ayat (2) (pidana penjara minimal 1 tahun, maksimal 5 tahun maupun denda minimal 50 juta serta maksimal 250 juta. Dengan demikian, terjadi ketidakadilan karena perbuatan menerima suap yang didasarkan atas kealpaan sesuai Pasal 12 huruf a dan huruf b hukumannya lebih berat daripada menerima suap berdasarkan atas kesengajaan yang termuat dalam Pasal 5 ayat (2). Selain itu, apabila pihak penyelenggara negara dengan sengaja menerima suap, maka dapat dipidana sesuai Pasal 5 ayat (2) namun di satu sisi juga dapat dipidana berdasarkan Pasal 12 huruf a dan huruf b. Kondisi tersebut amat mengkhawatirkan lantaran perbuatan menerima suap oleh pihak penyelenggara negara ataupun PNS terdapat kesenjangan dan diatur pada dua pasal dan dengan ancaman pidana yang jauh berbeda.
Kondisi yang demikian juga terjadi antara ketentuan Pasal 6 ayat (2) dengan Pasal 12 huruf c dan huruf d dengan kesamaan inti delik (bestandeel delict) dimana hakim menerima suap untuk mempengaruhi putusan, serta advokat menerima suap agar dapat mempengaruhi nasihat atau pendapat hukum.7 Bentuk kesalahan yang digunakan dalam Pasal 6 ayat (2) berupa kesengajaan sedangkan pada Pasal 12 huruf c dan huruf d menggunakan bentuk kesalahan sebagian kesengajaan dan sebagian kealpaan. Ada perbedaan ancaman pidana antara Pasal 12 huruf c dan huruf d Lebih berat dibandingkan ancaman pidana Pasal 6 ayat (2). Yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana mungkin karena faktor kelalaian ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan suap karena faktor kesengajaan. Selain itu, apabila hakim atau advokat dengan sengaja menerima suap, maka terhadap hakim atau advokat tersebut dapat dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2)
namun di satu sisi juga dapat dipidana berdasarkan Pasal 12 huruf c dan huruf d. Hak ini menimbulkan ketidak jelasan mengenai ketentuan yang akan digunakan dalam rangka menindak pelaku khususnya hakim dan advokat dalam hal ini dengan sengaja menerima suap. Sebelumnya terdapat penelitian terkait yang memebahas mengenai suap dalam tindak pidana korupsi yang penanganannya dilakukan oleh KPK, karya Dian Adriawan dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti yeng membahasa penanganan suap, serta kesesuaian aturan tindak pidana korupsi dengan UNCAC. Sedangkan dalam penelitian ini analisisnya lebih mendalam pada ketimpangan aturan yang terdapat dalam UU tindak pidana korupsi serta harmonisasi yang dilakukan agar sesuai dengan pandangan sistem peradilan pidana. Sehingga, penulis mengkaji lebih lanjut melalui jurnal yang berjudul “HARMONISASI HUKUM SUAP PASIF DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA”.
-
1. Bagaimana pengaturan suap pasif dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
-
2. Bagaimana implikasi penanganan perkara suap pasif dalam tindak pidana korupsi berkaitan dengan sistem peradilan pidana?
Hal yang ingin dicapai melalui tulisan ini yakni pembaca mampu mengetahui dan memahami terkait pengaturan dan harmonisasi pengaturan suap pasif dalam UU No. 20 Tahun 2001. Selain itu ditujukan untuk memberikan wawasan tentang penanganan perkara suap pasif berdasar pada sistem peradilan pidana. Nantinya penelitian ini diharpkan dapat menjadi sumber untuk memahami landasan hukum suap pasif di indonesia berdasarkan hukum positif yang berlaku, serta implikasinya terhadap penanganan perkara korupsi yang ditinjau berdasarkan sistem peradilan pidana pada persoalan suap pasif. Sangat diharapkan agar terdapat kepastian hukum, agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan agar penanganan perkara khususnya dalam ranah korupsidapat dilaksanakan dengan optimal.
Metode analisis yuridis normatif menjadi pilihan penulis dengan fokus utama penelitian didasarkan pada ketentuan perundang-undangan khususnya mengenai korupsi. Dalam penelitian ini penulis menitikberatkan pada konflik norma, dimana terdapat tumpang tindih aturan mengenai persoalan suap dalam tindak pidana korupsi. Sebagai bahan hukum primer digunakan UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001. Bahan pendukung peneliyian ini penulis menggunakan tulisan ilmiah dan pendapat ahli sebagai bahan hukum sekunder.8 Untuk mempertajam analisis, digunakan pendekatan statute approach dengan menelaah ketentuan peraturan terkait serta pendekatan konseptual (conceptual approach).9
Hasil analisis menunjukan ditemukan peroblematika mengenai suap pasif dalam UU No. 20 Tahun 2001 khususnya pada unsur tidak pidananya. Apabila dibandingkan, Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a dan huruf b memiliki kesamaan inti delik (bestandeel delict) yaitu melarang penyelenggara negara untuk menerima sesuatu apapun yang diindikasi sebagai suap, baik sebelum maupun setelah berbuat hal hal tertentu serta bersebrangan dari tanggung jawab dan kewajibannya. Kesamaan inti delik juga terjadi antara ketentuan Pasal 6 ayat (2) dengan Pasal 12 huruf c dan huruf d terkaithakim maupun advokat memperoleh hal hal tertentu sebagai suap untuk mempengaruhi putusan maupun pendapat hukum dalam ranah peradilan agar memberikan keuntungan bagi pemberi suap tersebut.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbedaan mengenai bentuk kesalahan dan objek suap yang dirumuskan antara Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) dengan Pasal 12 huruf a-d. Pembentuk UU secara implisit mengatur bahwa perbuatan menerima suap yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) didasarkan atas kesengajaan (dolus). Berbeda dengan Pasal 12 huruf a-d dengan tegas menyebutkan mengenai perbuatan menerima suap sebagai bentuk kesengajaan atau kealpaan yang ditandai dengan penggunaan frasa “padahal diketahui atau patut diduga”. Kemudian, objek suap yang termuat dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) yaitu “…. menerima pemberian atau janji” sedangkan pada Pasal 12 huruf a-d objek suapnya berupa “…. menerima hadiah atau janji”.
Ketentuan tentang penerimaan suap sebagaimana diatu Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a dan huruf b merupakan “pasangan” membahayakan keadilan. Pasal 12 huruf a dan huruf b memiliki pemidanaan lebih berat dibandingkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2). Ketidakadilan terjadi ketika para pihak eksekutif menerima suap atas dasar kealpaan sesuai dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b memiliki pemidanaan lebih berat daripada perbuatan penerimaan suap atas dasar kesengajaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2). Selain itu, perbuatan menerima suap yang sengaja dilakukan oleh pihak tersebut diatur pada dua ketentuan dengan ancaman pidana yang jauh berbeda sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam praktik penegakan hukum mengenai pasal yang akan digunakan dalam rangka menindak pelaku tersebut. Apakah hendak menggunakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 12 huruf a dan huruf b.
Kemudian mengenai penerimaan suap oleh hakim dan advokat pada Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf c dan huruf d juga merupakan “pasangan” yang membahayakan keadilan. Pasal 12 huruf c dan huruf d terkait tindakan atas dasar kealpaan ancaman pemidanaannya lebih berat daripada ketentuan Pasal 6 ayat (2) atas dasar kesengajaan. Selain itu, pemidanaan bagi hakim/advokat jauh berbeda antara dua mengaturan tersebut. Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan dalam praktik penegakan hukum mengenai pasal yang akan digunakan dalam rangka menindak pelaku tersebut. Apakah hendak menggunakan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf c dan huruf d.
Objek pada Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) adalah “pemberian atau janji” sedangkan pada Pasal 12 huruf a sampai dengan Pasal 12 huruf d menggunakan kata “hadiah atau janji”. Secara tata bahasa, pengertian “pemberian” jauh lebih luas bila dibandingkan dengan pengertian “hadiah” karena kata “hadiah” menunjuk pada benda-benda (dapat dinilai dengan uang). Sementara “pemberian” bisa berwujud benda atau mungkin juga tidak, namun berharga, menyenangkan, membahagiakan, menikmatkan, memberi kepuasan batiniah terhadap menerimanya. Maka dari itu “pemberian” dipahami sebagai hal yanh meliputi kebendaan dan/atau bukan kebendaan, sedangkan yang dimaksud dengan
“hadiah” hanya terbatas pada kebendaan semata. Lebih tegasnya, seorang pegawai negeri, hakim, atau advokat yang menerima hadiah maka sama artinya dengan menerima pemberian. Namun, seorang pegawai negeri, hakim, atau advokat yang menerima pemberian belum tentu sama artinya dengan menerima hadiah. Permasalahan terjadi apabila objek suap yang diterima berupa kebendaan seperti uang, mobil, dan lain-lain.
Jika suap dilakukan dengan memberikan mobil maka hal ini notabenenya bersifat kebendaan. Terhadap pihak penerima dapat dipidana mengacu pada Pasal 5 ayat (2). Akan tetapi, yang bersangkutan juga dapat dipidana berdasarkan Pasal 12 huruf a dan huruf b. Kondisi ini menunjukkan adanya disharmonisasi pengaturan suap pasif dalam UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 sehingga perlu ditindaklanjuti karena membuka praktik jual beli pasal ataupun disparitas putusan pengadilan.
Sebagai contoh, mengacu pada Putusan Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat No. 46/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst, Terdakwa Irjen Pol. Drs. Napoleon Bonaparte., M. Si., telah terbukti dan dinyatakan sah bersalah berdasarkan Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 20 Th 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Terdakwa dijatuhi dengan hukuman 4 tahun penjara serta denda Rp100.000.000,00, subsider 6 bulan kurungan. Napoleon Bonaparte telah menerima uang sejumlah SGD200.000,00 dan USD270.000,00 dari Joko S. Tjandra melalui H. Tommy Sumardi agar namanya dihapus dari DPO pada catatan Dirjen Imigrasi.10 Kemudian, berdasarkan Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi Jakarta No. 02/PID/TPK/2011/PT. DKI, Terdakwa Roy Yuliandri sah bersalah melakukan korupsi melanggar Pasal 12 huruf a UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Roy Yuliandri dikenakan 5 tahun 6 bulan pidana penjara serta denda Rp200.000.000,00 sebab menerima suap berupa uang senilai Rp500.000.000,00 (melalui Dedy Suwardi atau Eddi Setiadi, yang berasal dari PT Bank Jabar untuk menurunkan kewajiban pembayaran pajak PT Bank Jabar.11 Kedua kasus tersebut di atas menunjukkan adanya disparitas putusan pengadilan karena kedua terdakwa baik Napoleon Bonaparte maupun Roy Yuliandri sama-sama menerima suap atas dasar kesengajaan namun dipidana dengan pasal yang berbeda. Terdakwa Napoleon Bonaparte mendapatkan hukuman yang lebih ringan karena terbukti melanggar Pasal 5 ayat (2) dibandingkan dengan Terdakwa Roy Yuliandri yang terbukti melanggar Pasal 12 huruf a. Jika dibandingkan, Napoleon Bonaparte nilai suapnya lebih besar dibandingkan dengan nilai suap yang diterima oleh Terdakwa Roy Yuliandri.
Ketimpangan antara Pasal 5 ayat (2) dengan Pasal 12 huruf a dan b serta tumpang tindih antara Pasal 6 ayat (2) dengan Pasal 12 huruf c dan d ini juga tidak terlepas dari aspek historis pembentukan UU Pemberantasan Tipikor. Penyuapan yang terjadi baik memberi (suap aktif) ataupun suap pasif (menerima) pada awalnya diatur melalui UU No. 31 Tahun 1999 khususnya Pasal 5 dan Pasal 6. Pada Pasal 5 melarang tindakan suap kepada penyelenggara negara mengacu pada pasal 209 KUHP. Sementara itu, Pasal 6 mengatur tentang pidana penyuapan kepada hakim dan advokat ketentuan Pasal 210 KUHP. Kemudian pada Pasal 12 menegaskan mengenai suap pasif yang mengacu pada Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP. Kemudian, mengalami perubahan melalui UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 5 yang semula tidak
mempunyai ayat diubah sehingga Pasal 5 memiliki dua ayat. Ayat (1) mengenai pemberian dan Ayat (2) mengenai penerimaan suap terhadap pegawai negeri. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap Pasal 6 yang semula tidak mempunyai ayat kemudian diubah sehingga Pasal 6 memiliki dua ayat. Pasal 6 ayat (1) mengkriminalisasikan perbuatan memberi suap kepada hakim dan advokat dan Pasal 6 ayat (2) mengkriminalisasikan perbuatan menerima suap oleh hakim dan advokat. Sedangkan Pasal 12 yang semula tidak menyebutkan unsur tindak pidana menerima suap oleh pegawai negeri, hakim, dan advokat diubah dengan cara menyebutkan secara langsung unsur-unsur tindak pidananya. Berdasarkan Risalah Sidang Pembahasan RUU yang merupabh UU No. 31 Tahun 1999, sama sekali tidak ditemukan maksud asli (original intent) dari pembentuk undang-undang menambahkan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) tersebut padahal sudah ada Pasal 12 yang sedari awal mengatur tentang tindak pidana menerima suap oleh pegawai negeri, hakim, dan advokat.
Keadaan tumpang tindih pengaturan suap pasif antara Pasal 5 ayat (2) dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b serta Pasal 6 ayat (2) dengan Pasal 12 huruf c dan huruf d yang membawa dampak yang buruk lantaran menimbulkan ketidakpastian dalam penggunaan pasal dan disparitas putusan pengadilan yang berujung pada ketidakadilan bagi terdakwa perlu ditelurusi alternatif penyelesaiannya. Harmonisasi hukum perlu diwujudkan termasuk substansi pengaturan suap pasif pada UU No. 20 Tahun 2001 dan melalui harmonisasi pengaturan a quo diharapkan dapat mencapai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Perwujudan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum sebagaimana dikemukakan di atas dapat dicapai dengan cara mempertahankan eksistensi Pasal 12 huruf a-d dan “mematikan” Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) karena adanya perluasan sikap batin berupa sebagian kesengajaan dan sebagian kealpaan pada Pasal 12 huruf a-d. Perluasan sikap batin dimaksud akan memberikan keleluasaan bagi Penunut Umum dalam rangka pembuktian. Apabila unsur “padahal diketahui” (kesengajaan) sulit dibuktikan oleh Penunut Umum, maka terdapat opsi lain yang dibuktikan, yakni “patut diduga” (kealpaan).
Kemudahan pada pembuktian Pasal 12 huruf a-d lebih bermanfaat dalam rangka optimalisasi perampasan hasil tindak pidana yang diperoleh pelaku penerima suap. Lain halnya dengan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) dimana Penuntut Umum wajib membuktikan kesengajaan yang terjadi pada diri pelaku penerima suap. Solusi ini sekurang-kurangnya dapat menghindari adanya ketidakadilan yang disebabkan adanya perbuatan menerima suap yang didasarkan atas kealpaan dipidana lebih berat berdasarkan Pasal 12 huruf a-d daripada menerima suap yang didasarkan atas kesengajaan. Selain itu, penyampingan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) juga lebih adil karena penegakan hukum penerimaan suap oleh pihak penyelenggara negara dengan sengaja tidak lagi dihadapkan dengan persoalan apakah hendak menggunakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 12 huruf a dan huruf b. Penegakan hukum penerimaan suap oleh hakim dan advokat dengan sengaja juga tidak lagi dihadapkan pada persoalan apakah hendak menggunakan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf c dan huruf d.
-
3.2 Implikasi Penangan Perkara Suap Pasif Tindak Pidana Korupsi Berkaitan Dengan Sistem Peradilan Pidana.
Setelah diketahui tentang suap pasif dan penegakan hukum serta dikaitkan dengan model ideal suatu sistem dalam peradilan pidana, maka diperlukan suatu tatanan yang sistematis melalui masing-masing sub sistem dalam peradilan pidana guna mengatasi suap pasif sebagai serta extra ordinary crime.12 Dalam hal ini diperlukan persepsi yang selaras melalui harmonisasi baik secara vertikal dan horizontal untuk terwujudnya a true sistem of
justice. Saat ini setiap komponen sub sistem dalam pelaksanaan peradilan belum memiliki satu tujuan yang pasti dan mutlak, atau masih berjalan sendiri-sendiri. Walaupun sudah dinyatakan sebagai a criminal justice is true system dalam sistem peradilan pidana terpadu.13
Secara vertikal, harmonisasi dilakukan untuk mengatasi penyimbangan yang terjadi mulai dari proses penyudukan hingga putusan akhir dalam perkara korupsi khususnya mengenai suap pasif. Perlu adanya kerjasama saling bahu membahu antar sub sistem untuk menciptakan a criminal justice is true system dalam peradilan pidana guna memperoleh hasil penanganan yang optimal dalam suap pasif praktik tindakan korupsi. Persamaan persepsi sangatlah diperlukan untuk menjatuhkan pemidanaan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penanganan suap ini. Gelar perkara dapat dilakukan sebagai upaya menentukan apakah perkara dapat diteruskan ke pengadilan dan persamaan persepsi pasal yang dilanggar yang dilakukan mulai dari tingkat penyidikan maupun penuntutan.
Jika harmonisasi secara vertikal sudah tercapai, selanjutnya dapat dilakukan a criminal justice is true system oleh masing masing sub dalam beradilan pidana. Hal ini dilakukan sebagai pemenuhan persyaratan formal proses beracara pidana serta penentu keberhasilan tindakan masing masing sub sistem pidana. Seperti yang diungkapkan K.J Peak diperlukan koordinasi yang terpadu sebagai wujud pengawasan, sehingga ada yang disebut dengan MahKeJaPol (Mahkamah Agung-Kehakiman-Kejaksaan Kepolisian) sebagai bentuk hubungan koordinasi masing masing pihak dalam penegakan hukum untuk saling berdiskusi, bertukar informasi dalam menyelesaikan persoalan yang memerlukan penanganan serentak/bersama sama.
Jika harmonisasi vertikal dan horizontal dalam suatu sitem yang ideal mampu untuk diwujudkan, maka dalam persoalan suap pasif dalam tindak pidana korupsi tak satupun pelakunya akan divonis bebas sebab masing masing sub system akan selalu terang terangan membuka diri mengenai informasi yang diketahu berkaitan dengan tindakan korupsi tersebut. Mulai dari penyidikan hingga pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan secara optimal oleh pihak yang berwenang. Namun jika salah satu pihak merasa sub sistemnya lebih tinggi ataupun lebih berkuasa yang mengakibatkan tidak selarasnya pelaksanaan penegakan hukum maka situasi akan berbalik arah dimana muncul putusan hakim yang kontroversial dalam penanganan tindak pidana korupsi karena tidak menerapkan sistem ideal yang utuh (a criminal justice is true system).
-
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
-
4. Kesimpulan
Pengaturan suap pasif termuat pada UU No. 20 Tahun 2001 belum harmonis karena terdapat tumpang tindih yakni pada Pasal 5 ayat (2) dengan Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b karena sama-sama mengatur tentang tindakan penerimaan suap oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Selain itu, tumpang tindih jufa terjadi dalam pengaturan antara ketentuan Pasal 6 ayat (2) dengan Pasal 12 huruf c dan Pasal 12 huruf d karena sama-sama memuat tentang perbuatan menerima suap oleh hakim dan advokat. Dalam menangani perkara korupsi khususnya terkait suap pasif diperlukan harmonisasi (a criminal justice is true system) secara utuh dalam penanganan perkara agar tercipta hasil yang maksimal. Hal ini dilakukan dalam ranah vertikal dan horizontal, dengan harapan harmonisasi sistem ideal spp sebagai suatu sistem yang utuh dilakukan dengan optimal oleh masing masing sub sistem penegakan hukum. Oleh karena itu kepastian dan kesebandingan hukum akan terwujud serta
para pelaku suap dalam tindak pidana korupsi tidak akan diputus bebas oleh majelis hakim. Dengan harapan terwujudnya kepastian hukum, sehingga terwujud keadilan dan kemanfaatan hukum dalam mengatasi perkara suap pasif dalam tindak pidana korupsi khususnya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum (Kencana, Jakarta, 2015).
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Jakarta, Kencana, 2016).
Bambang, W. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Strategi dan Optimalisasi) (Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2016).
Chatrina, D.R, dan Dessy, M.L. Pendidikan Anti Korupsi Kajian Anti Korupsi Teori dan Praktik (Jakarta, Sinar Grafika, 2016).
Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Edisi Revisi (UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001), (Malang, Media Nusa Creative, 2018).
Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional (Jakarta, Rajawali Press, 2015).
La Hadifa. Membangun Budaya Anti Korupsi Di Lingkungan Organisasi Pemerintah Daerah (Kendari, Adiprima Pustaka, 2019).
Sulaiman, Tripa. Diskursus Metode dalam Penelitian Hukum (Banda Aceh, Bandar Publishing, 2019).
Purwati, Ani. Metode Penelitian Hukum Teori dan Praktek (Surabaya, Jakad Media Publishing, 2020).
Skripsi/Tesis/Disertasi/Hasil Penelitian:
Badan Pembinaan Hukum Nasional. Kompendium Hukum Bidang Pidana Suap (Jakarta Timur, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2006).
Indonesia Corruption Watch (ICW). Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2019 (Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 2019).
Internet:
Mubarok, Dinul. 2011, “Hakim: Tiga Pemeriksa Pajak Bank Jabar TerbuktiTerima Imbalan”, URL: https://nasional.tempo.co/read/303608/hakim-tiga-pemeriksa-pajak-bank-
jabarterbukti-terima-imbalan diakses pada tanggal 28 Maret 2021.
Zunita, Putri. 2021, “Irjen Napoleon Bonaparte Divonis 4 Tahun Penjara”, Detik News, URL: https://news.detik.com/berita/d-5488396/irjen-napoleon-bonaparte-divonis-4-tahun-penjara diakses pada tanggal 28 Maret 2021.
Jurnal Kertha Wicara Vol 13 No 1 Tahun 2023, hlm. 667-676
Discussion and feedback