PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN KORBAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA PUNGUTAN LIAR DI INDONESIA
on
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN
KORBAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA
PUNGUTAN LIAR DI INDONESIA
Ni Made Juni Kardiasih, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: junikardiasihnimade@gmail.com
I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: ari_krisnawati@unud.ac.id
DOI: KW.2023.v12.i09.p3
ABSTRAK
Penulisan ini merupakan bentuk penelitian yang dilakukan guna mengetahui perlindungan hukum terhadap saksi dan korban terutama saksi pelaku dalam tindak pidana Pungutan Liar di Indonesia. Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan disesuaikan oleh buku, artikel serta doktrin-doktrin yang berkembang. Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya ketidakpastian hukum akibat pengaturan yang ada hanya memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban dari tindak pidana tertentu dan terorganisir, sedangkan praktik pungutan liar dapat masuk dalam berbagai kateori tindak pidana yang sama merugikannya. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa perlindungan terhadap saksi pelaku secara normatif hanya diberikan kepada saksi pelaku yang merupakan Justice Collabortor sedangkan terdapat saksi pelaku berupa Saksi Mahkota yang dapat membutuhkan perlindungan serupa.
Kata Kunci: Perlindungan, Saksi, Pelaku, Pungutan Liar
ABSTRACT
The scientific purpose of this research is to investigate the legal protection for witnesses and victims, particularly witnesses who are also perpetrators, in cases of Illegal Levies in Indonesia. This study employs a normative juridical research method, taking into account legal regulations and integrating insights from books, articles, and evolving doctrines. The research findings reveal that legal uncertainty arises due to the existing regulations, offering protection only for witnesses and victims of specific, organized criminal acts, while Illegal Levies practices can fall into various categories of equally detrimental criminal acts. Additionally, the research findings demonstrate that normative protection for witnesses who are also perpetrators is exclusively provided to Justice Collaborators, while there are witness-perpetrators, such as Crown Witnesses, who may require similar protection
Key Words: Protection, Witnesses, Perpetrators, Illegal Levies.
Indonesia adalah negara yang sistem birokrasinya terbentuk melalui proses sejarah yang cukup panjang. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa salah satu tujuan dibentuknya negara Indonesia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum masyarakat Indonesia. Dengan demikian, selain berusaha untuk menciptakan sebuah sistem birokrasi yang baik, negara Indonesia seiring berjalannya waktu menciptakan dan selalu berusaha memperbaiki sistem pelayanan publiknya. Akan tetapi, dalam menjalankan sebuah usaha untuk menyempurnakan sistem birokrasi ataupun pelayanan publik nya, Indonesia terus mendapatkan hambatan dalam proses tersebut.
Salah satu hambatan yang kerap terjadi dalam birokrasi serta pelayanan publik di Indonesia adalah dengan munculnya Pungutan Liar (PUNGLI) pada sistem yang ada. Pengertian dari PUNGLI juga dapat terlihat dari istilah yang diberikan kamus bahasa cina, dimana ‘Pung’ diartikan sebagai persembahan dan ‘Li’ diartikan sebagai keuntungan. Oleh karena itu, PUNGLI secara umum dapat diartikan sebagai sebuah bentuk persembahan yang memberikan keuntungan bagi yang menerimanya.1 Jika dilihat dari segi hukum, PUNGLI dapat diartikan sebagai sebuah bentuk penerimaan yang tidak memiliki dasar hukum, izin dan dilakukan dengan cara melawan hukum hanya untuk kepentingan pribadi seseorang, baik yang memberikan PUNGLI ataupun yang menerimanya.
Praktik PUNGLI yang dilakukan dalam sebuah sistem birokrasi ataupun pelayanan publik merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Akan tetapi, PUNGLI juga dapat terjadi diluar dari sistem birokrasi ataupun pelayanan publik. Terdapat berbagai bentuk PUNGLI yang juga dapat dilakukan oleh masyarakat umum seperti PUNGLI di jalan umum ataupun wisata negara. Adapun perbuatan PUNGLI yang dilakukan oleh masyarakat umum merupakan salah satu bentuk tindak pidana seperti pemerasan, penipuan, penggelapan atau bahkan penyuapan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa praktik PUNGLI dalam bentuk apapun merupakan sebuah perbuatan yang meresahkan bagi kesejahteraan umum dan sudah pasti termasuk sebagai sebuah perbuatan pidana.
Sebuah praktik PUNGLI sebagaimana telah dijelasakan diatas dapat berbentuk sebagai kejahatan yang terorganisir dan serius seperti tindak pidana korupsi. Namun, PUNGLI juga dapat berupa sebuah tindak pidana umum atau bahkan tindak pidana ringan. Prakti PUNGLI dapat dilakukan oleh seorang pelaku ataupun lebih, dan pelaku tersebut dapat berasal dari berbagai macam latar belakang. Oleh karena praktik PUNGLI merupakan salah satu bentuk kejahatan yang bisa dilakukan dalam berbabagai macan variabel modus operandi dan dapat mengakibatkan berbagai tingkat kerugian yang berbeda dari masyarakat.
Saat sebuah tindak pidana terjadi, terdapat tiga unsur yang mungkin terlibat didalamnya yakni pelaku, korban dan saksi.2 Akan tetapi, ada kalanya sebuah perkara tidak memiliki saksi yang melihat atau mendengar secara langsung perbuatan tindak pidan yang dilakukan sehingga hanya terdapat pelaku dan korban didalamnya. Saat hal tersebut terjadi, maka satu-satunya cara untuk memenuhi syarat formil dari berbagai tahap pada sistem peradilan pidana, maka antara pelaku dan korban harus dijadikan sebagai saksi juga. Oleh karena itu, saat ini terdapat istilah ‘saksi pelaku’ dan ‘saksi korban’.
Perlindungan Saksi dan Korban sudah menjadi isu penting yang selalu diupayakan dalam sistem peradilan Indonesia. Oleh karena itu, terdapat berbagai peraturan perundangan-undangan baik secara umum ataupun khusus yang diciptakan untuk melindungi hak saski dan korban. Demikian juga telah dibentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) saat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dibentuk. Saat ini Undang-Undang tersebut telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Undang-Undang PSK).
Undang-Undang PSK pada Pasal 5 ayat (3) pada nyatanya juga memberikan perlindungan yang sama untuk Saksi Pelaku dan juga Saksi Korban. Akan tetapi, ketentuannya pada Undang-Undang PSK masih terlalu umum dan ketentuannya belum memberikan jaminan kepada para Justiciabellen. Oleh karena itu, pada tahun 2011 Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan LPSK membetuk Peraturan Bersama yang mengatur lebih lanjut mengenai perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang berkerjasama (Peraturan Bersama Tahun 2011). Bahwa permasalahan utama terdapat dalam Pasal 4 peraturan bersama tersebut terutama huruf a yang menyatakan; “Syarat untuk mendapatkan perlindungan sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah sebagai berikut: a. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir”.
Bahwa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jika melihat terkhusus pada tindak pindana PUNGLI maka frasa pada peraturan bersama tersebut dapat meciptakan sebuah kekaburan hukum. Dimana perlindungan terhadap saksi pelaku hanya dapat diberikan kepada tindak pidana yang ‘serius’ dan/atau ‘terorganisir’. Dimana pada nyatanya frasa ‘serius’ pada pasal tersebut terlihat subyektif, tidak ada skala tertentu untuk mengatakan sebuah perkara dapat dikatakan serius ataupun tidak. Terutama dalam praktik PUNGLI yang dapat berbentuk sebuah tindak pidana korupsi yang merupakan salah satu bentuk Extraordinary Crime namun juga dapat berbentuk pemerasan ataupun penipuan yang dilakukan oleh masyarakat umum. Permasalahan yang ada juga mengingat bahwa kategori tindak pidana yang serius tersebut tidak melihat seberapa besar kerugian yang dialami oleh korban. Sebuah praktik PUNGLI dapat terjadi dalam sistem pelayanan publik dan termasuk kedalam tindak pidana serius karena merupakan tindak pidana korupsi namun hanya mengakibatkan kerugian yang kecil. Sedangkan praktik PUNGLI yang dilakukan oleh masyarakat umum dan berbentuk sebagai tindak pidana umum (tidak termasuk tindak pidana serius/terorganisir) namun dapat mengakibatkan kerugian yang cukup besar.
Kekaburan norma tersebut dapat menghilangkan kepastian hukum serta perlindungan yang seharusnya diberikan kepada saksi terutama saksi pelaku. Dimana jika terjadi situasi yakni sebuah praktik PUNGLI dilakukan oleh masyarakat umum dan saat perbuatan dilakukan tidak ditemukan saksi yang dapat memenuhi syarat formil. Maka, tidak ada kepastian apakah saksi tersebut dapat dilindungi apabila berkerjasama dengan para penegak hukum mengingat bahwa kasus a quo dapat dikategorikan bukan sebagai sebuah perbuatan pidana yang dianggap serius dan dilakukan dengan sistematis (terorganisir). Oleh karena itu, dilakukan penulisan ini dengan tujuan untuk memahami dari segi normatif bagaimana saksi yang berkerjasama dengan aparat penegak hukum dapat dilindungi apabila perkaara yang terlibat dengannya tidak termasuk dalam kategori tindak pidana serius.
Penelitian ini adalah orisinal dan belum ada yang mengangkat hal yang sama, akan tetapi terdapat beberapa penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan dalam segi pembahasan namun tetap berbeda dengan apa yang akan dibahas pada penulisan ini. Penulisan yang dilakukan oleh Wisnu Indaryanto dengan judul ‘Saksi Pelaku
Dalam Prespektif Viktimologi’3 telah membahas secara umum kepada perlindungan saksi pelaku. Adapun unsur pembeda dari penulisan tersebut dengan penulisan ini adalah mengenai bagaimana penulisan ini mengkaji terkhusus kepada sebuah tindak pidana PUNGLI, dimana unsur ini tidak dibahas pada penulisan tersebut. Demikian juga masih banyak penelitian-penelitian terdahulu yang mengkaji mengenai pelaporan atau Whistleblowing pada praktik PUNGLI, namun secara khusus mengenai perlindungan terhadap saksi pelaku belum ada yang meneliti lebih lanjut sebelumnya.
Berdasarkan larar belakang yang telah diuraikan tersebut diatas maka dapat ditemukan rumusan masalah yang akan menjadi ruang lingkup pembahasan pada penulisan ini yakni:
-
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap saksi dan korban tindak pidana Pungutan Liar di Indonesia?
-
2. Bagaimana perlindungan hukum saksi pelaku dalam tindak pidana pungutan liar?
Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi suatu tujuan, sebagaimana telah diuraikan permasalahan-permasalahan yang ada dalam rumusan masalah serta latar belakang yang ada maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap saksi dan korban tindak pidana Pungutan Liar di Indonesia. Selain itu penelitian ini memiliki tujuan secara terkhusus untuk mengetahui perlindungan secara normatif atas hak saksi pelaku dalam tindak pidana pungutan liar.
Penulisan ini adalah salah satu bentuk penelitian hukum, oleh karena itu digunakan metode yuridis normatif dengan mengkaji bahan pustaka atau data sekunder.4 Penelitian yuridis normatif dilakukan pada saat adanya permasalahan norma yang patut untuk dikaji. Dalam penelitian ini terdapat kekaburan norma mengenai perlindungan saksi dan korban pada tindak pidana PUNGLI sebagai salah satu tindak pidana yang tidak terorganisir. Kekaburan norma terlihat pada Peraturan Bersama Tahun 2011 dan Undang-Undang PSK yang hanya melindungi saksi dan korban ataupun saksi pelaku pada sebuah kejahatan serius atau terorganisir, sedangkan adanya urgensi untuk memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dan korban untuk tindak pidana biasa atau dalam hal ini terkhusus pada PUNGLI. Penelitian ini pun dilakukan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Approach) dengan meneliti undang-undang yang relevan. Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) yaitu pendekatan yang dilakukan dengan melihat buku, artikel, dan doktrin yang berkembang. Penelitian ini menggunakan Peraturan Perundang-Undangan sebagai sumber hukum primer, dan buku, jurnal serta artikel sebagai sumber hukum pendukung atau sumber hukum sekunder. Analisa akan dilakukan dengan cara deskriptif yaitu mendeskripsukan apa
yang ditemukan pada sumber bahan hukum yang telah diperoleh dengan studi pustaka dan diuraiakn sebagaimana fakta yang ada.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban Tindak Pidana
-
Pungutan Liar di Indonesia
Viktimologi adalah salah satu ilmu yang mempelajari mengenai korban, salah satu sub bagian dalam mempeleajari viktimologi adalah menegenai bagaimana memberikan perlindungan terhadap korban dan juga saksi. Bahwa urgensi dari mendalami pengetahuan mengenai korban serta perlindungannya timbul karena melihat ketentuan formil hukum pidana lebih mengutamakan perlindungan terhadap pelaku kejahatan dibandingkan kepada korban ataupun saksi. Hal ini dapat terlihat sebagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) lebih banyak mengatur mengenai perlindungan hak bagi tersangka.5 Adapun KUHAP hanya melindungi hak-hak tertentu korban seperti; hak menuntuk ganti kerugian melalui gugatan perdata di pengadilan, hak atas bendanya yang disita oleh petugas, dan hak untuk membuat aduan atau laporan. Demikian juga bentuk ketidaksetaraan perlindungan korban dalam hukum acara pidana dapat terlihat dari bagaimana yang dapat mengajukan upaya hukum hanyalah tersangka dan korban hanya bisa melakukan upaya hukum apabila Penuntut Umum menyatakan demikian. Sehingga dapat terlihat bahwa korban belum dilibatkan secara maksimal dalam penegakan hukum pada sistem peradilan pidana.6
Oleh karena hal tersebut diatas, Undang-Undang PSK pertama kali dibentuk pada tahun 2006 untuk melindungi lebih lanjut hak-hak saksi serta korban. Demikian juga dijelaskan pada penjelasan umum Undang-Undang PSK yang menyatakan keberadaan saksi dan korban sangatlah penting karena akan berhubungan dengan pengungkapan kebenaran pada proses peradilan pidana. Sebab itu, Undang-Undang tersebut juga memberikan upaya lebih lanjut untuk melindungi hak saksi dan korban dengan membetuk lembaha khusus yang bertugas dan berwewenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak kepada saksi dan/atau korban.
Perlindungan saksi dan korban pada saat in dapat terlihat dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang PSK yang menyatakan bahwa;
“Saksi dan korban berhak; a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan menjerat; f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. dirahasiakan identitasnya; j. mendapat identitas baru; k. mendapat tempat kediaman sementara; l. mendapat tempat kediaman baru; m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. mendapat nasihat hukum; o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau mendapat pendampingan”
Ketentuan tersebut sendiri pada dasarnya sudah cukup memadai. Akan tetapi lebih lanjut diuraikan sebuah limitasi pada Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang PSK yang pada intinya menyatakan bahwa hak-hak tersebut hanya dapat diberikan kepada saksi ataupun korban yang terlibat dalam tindak pidana kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.
Undang-Undang PSK lebih lanjut menjelaskan mengenai limitasi yang diberikan pada Pasal 5 ayat (2) dalam penjelasan pasalnya:
“Yang dimaksud dengan ‘tindak pidana dalam kasus tertentu’ antara lain, tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.”
Melihat dari penjelasan pasal diatas, interpretasi terdekat yang dapat terlihat adalah hak saksi serta korban bisa diberikan hanya untuk tindak pidana khusus dan/atau tindak pidana yang bisa beresiko membahayakan nyawa.
Pemberian perlindungan saksi dan korban juga tidak dapat diberikan kepada semua orang, melainkan harus melewati berbagai tahapan permohononan. Tata cara tersebut diatur lebih lengkap pada Peraturan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi Dan Korban (PERKA LPSK No. 6/2010). Dimana berdasarkan Undang-Undang PSK dan juga PERKA LPSK No. 6/2010, setelah adanya permohonan yang diajukan akan di investigasi dan klarifikasi serta di bahas pada Rapat Paripurna Anggota LPSK. Dengan demikian, hanya saksi-saksi dan korban yang sesuai dengan persyaratan dan klasifikasi kasus yang dapat menerima perlindungan dari LPSK.7
Pada umumnya praktik PUNGLI diasosiasikan kepada sebuah perbuatan menguntungkan diri sendiri dan melawan hukum yang dilakukan dalam kekuasaan pada sebuah sistem birokrasi pemerintahaan ataupun pelayanan publik.8 Dalam konteks PUNGLI tersebut maka kejahatan yang terjadi dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dalam bentuk suap ataupun gratifikasi yang diatur pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana korupsi (Undang-Undang Tipikor). Apabila praktik PUNGLI yang terjadi adalah sebuah perbuatan korupsi maka termasuk kedalam limitasi perlindungan seperti yang diatur oleh Undnag-Undang PSK dan PERKA LPSK No. 6/2010. Oleh karena itu, dalam konotasi tersebu maka korban-korban dan/atau saksi yang dihasilkan dari praktik pungli tersebut dapat diberikan perlindungan apabila sudah sesuai dengan persyaratan lainnya dan juga disetujui oleh Rapat Paripurna Anggota LPSK.
Namun, mengenai praktik PUNGLI tidak selalu berurusan dengan lembaga negara, birokrasi ataupun pelayanan publik. Banyak kasus yang terjadi dilakukan oleh masyarakat umum. Salah satu kasus yang sering terjadi adalah praktik PUNGLI peningkatan retribusi jasa umum seperti karcis parkir, karcis masuk kedalam obyek wisata atau bahkan akses terhadap suatu jalan yang seharusnya tidak diperlukan biaya (Jalan Umum). Dalam hal ini masyarakat telah melakukan perbuatan melawan hukum
yang melanggar kebijakan atau Peraturan Daerah yang mengatur mengenai tarif retribusi untuk jasa umum atau obyek wisata nasional. Namun, jika melihat pada ketentuan hukum pidana yang ada, bahwa praktik PUNGLI yang dilakukan dalam konotasi tersebut hanya akan memenuhi unsur delik pada tindak pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jika demikian, maka korban dan saksi yang ada akibat praktik PUNGLI tersebut tidak dapat diberikan perlindungan saksi dan korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang berlaku kecuali adanya ancaman kepada nyawa saksi dan korban.
Keadaan norma yang masih belum mengatur perlindungan dalam ruang lingkup yang lebih luas ini membuat kondisi pelaksanaan perlindungan saski dan korban pada saat ini belum optimal. Dimana seperti yang telah diuraikan pad awal pemabahasan ini, bahwa seharusnya Undang-Undang PSK dan peraturannya dibawahnya dapat melindungi hak sasi serta korban agar sebuah tindak pidana dapat terungkapkan. Namun, dengan keadaan dimana adanya limitasi dalam peraturan yang ada membuat ketidaksetaraan perlindungan bagi bentuk korban kejahatan lainnya, dan dalam hal ini ada korban kejahatan PUNGLI.9
Pada akhirnya, kurang optimalnya perlindungan saksi dan korban oleh Peraturan Perundang-Undangan yang ada akan memberikan akibat secara tidak langsung kepada sistem penegakan hukum pidana di Indonesia. Permasalahan yang akan muncul adalah, sedikitnya saksi ataupun korban yang akan bersedia untuk membantu aparat penegak hukum dalam memberikan keterang karena takut akan intimidasi yang kerap diberikan atau resiko untuk dituntut kembali sebagai pelaku penghinaan atau pencemaran nama baik. Hal tersebut dapat terjadi apabila para saksi dan korban merasa tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Jika demikian, maka adanya ketidakadilan yang diberikan oleh hukum dalam perlindungan yang ada mengingat korban dari tindak pidana umum juga dapat merasakan kerugian formal ataupun non formal selayaknya korban dalam tindak pidana khusus atau yang membahayakan nyawa.
Sebagai contohnya adalah berbagai kasus PUNGLI yang disertakan dengan premanisme pada berbagai tempat seperti terminal, jalan pintas ataupun jalan umum. Dimana terkadang para pelaku melakukan meminta sejumlah uang dengan ancaman yang mungkin akan mengancam keselamatan dari korban.10 Akan tetapi perbuatan tersebut tidak termasuk kedalam sebuah tindak pidana yang korbannya bisa dilindungi oleh LPSK dikarenakan selain krakter tindak pidana nya yang masih umum namun korban tidak mengalami ancaman yang berat atas nyawanya. Namun, korban pada kejadian tersebut pada nyatanya juga mendapatkan kerugian. Sehingga umumnya apabila kejadian sebagaimana pada contoh diatas terjadi, kebanyakan korban tidak melaporkan kepada pihak yang berwenang dan mengakibatkan tindak pidana tersebut terus terjadi.
Saat sebuah perbuatan pidana dilakukan, tidak dapat dihindarkan bahwa adanya kemungkinan perbuatan tersebut melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Mengenai hal tersebut, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat delik
penyertaan (deelneming) yang mengatur mengenai perluasan pertanggungjawaban subyek pidana. Berhubungan dengan perbuatan subyek tersebut, selanjutnya penunut umum dapat memilih untuk melakukan penggabungan berkas perkara atau pemisahan berkas perkara (Splitsing). Dimana antara menggabungkan berkas perkara ataupun melakukan Splitsing akan memberikan perbedaan yang signifikan dalam penyelesaian sebuah kasus.
Splitsing sendiri dilakukan dengan inisiatif dari penuntut umum untuk membuat berkas perkara yang terpisah bagi setiap tersangka (apabila dalam sebuah perkara terdapat lebih dari satu). Salah satu alasan mengapa splitsing diperlukan adalah pada saat sebuah perkara tidak memiliki cukup saksi untuk memberikan keterangan dalam persidangan.11 Sedangkan apabila sorang terdakwa diminta keterangannya maka sebagaimana diatur pada Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maka keterangan tersebut termasuk sebagai alat bukti ‘Keterangan Terdakwa’. Dengan demikian, saat terdapat dua terdakwa dalam satu persidangan, maka keterangan yang diberikan oleh yang satu kepada yang lain bukanlah termasuk ‘keterangan saksi’, melainkan alat bukti yang tetap dalam bentuk ‘keterangan terdakwa’.
Oleh karena hal tersebut diatas, maka saat ini hukum formil pidana di Indonesia mengenal istilah ‘Saksi Pelaku’. Undang-Undang PSK memberikan pengertian saksi pelaku sebagai; “tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama”. Terdapat juga terminologi yang memiliki definisi serupa dengan Saksi Pelaku yaitu Justice Collaborator dan Saksi Mahkota. Kedua istilah tersebut juga memiliki perbedaan satu sama lain, dimana saksi mahkota adalah saksi pelaku yang berkerjasama karena inisiatif dari penuntut umum untuk melakukan Splitsing. Sedangkan Justice Collaborator adalah seseorang yang terlibat dalam tindakan kejahatan, namun tidak sebagai pelaku utama dan mengakui perbuatannya dengan inisiatif dirinya sendiri menjadi saksi untuk mengungkapkan kebenaran pada suatu tindak pidana.12
Perlindungan terhadap saksi pelaku baru saja diupayakan pada saat perubahan Undang-Undang PSK pada tahun 2014. Dimana dinyatakan dalam pertimbangan Undang-Undang tersebut bahwa perlindungan terhadap saksi pelaku dibutuhkan untuk “meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi”. Berdasarkan frasa tersebut dapat terlihat bahwa tujuan diberikan perlindungan terhadap Saksi Pelaku adalah diutamakan untuk perkara yang teroganisir namun tidak mengesampingkan tindak pidana umum. Lebih lanjut Undang-Undang PSK pada penjelasan umum memberikan pengertian saksi pelaku sebagai Justice Collaborator. Dikarenakan hal-hal tersebut, maka timbul berbagai permasalahan secara normatif.
Permasalahan pertama terlihat pada berbedanya tujuan yang dituliskan pada Undang-Undang PSK dengan delik yang ada pada Undang-Undang tersebut ataupun peraturan turunannya. Pada Undang-Undang PSK pasal 5 ayat (3) menyatakan bahwa hak kepada saksi & korban dapat diberikan kepada saksi pelaku dalam kasus tertentu. Demikian juga sebagaimana Peraturan Bersama Tahun 2011 memberikan persyaratan
atas pemberian hak-hak kepada saksi pelaku hanya untuk tindak pidana tertentu dan terorganisir. Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 Tentang Perlakukan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Berkerjasama (Justice Collaborators) di dalam perkara tindak pidana tertentu (SEMA No. 04 Tahun 2011). Berdasarkan pengaturan-pengaturan tersebut diatas maka dapat terlihat bahwa terdpat pengesampingan perlindungan untuk tindak pidana yang tidak termasuk sebagai tindak pidana tertentu atau terorganisir.
PUNGLI sendiri adalah sebuah perbuatan pidana yang memungkinkan untuk dikategorikan sebagai tindak pidana tertentu yaitu korupsi namun juga bisa menjadi tindak pidana umum. Meskipun PUNGLI dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi, namun perbuatan yang dikatakan sebagai PUNGLI umumnya tidak dilakukan secara terorganisir namun lebih secara spontan. Hal ini dikarenakan budaya PUNGLI dimulai saat seseorang ingin melewati proses yang lebih cepat dalam sebuah pelayanan publik dengan memberikan gratifikasi yang jumlahnya tidak terlalu besar. Mengapa masyarakat pada saat ini mulai menormalisasi budaya PUNGLI dikarenakan panjangnya proses administrasi pada suatu pelayanan publik.13 Perbuatan normalisasi ini yang mengakibatkan budaya ini tidak hilang dari sistem pelayanan publik karena dianggap tidak terlalu merugikan bagi korban individu dan sulitnya untuk memidanakan pelakunya karena lebih besarnya bisaya yang harus dikeluarkan saat melakukan tahap penyidikan sampai dengan eksekusi putusan.14
Selain sedikit kemungkinan untuk sebuh perbuatan PUNGLI adalah termasuk tindak pidana terorganisir, praktik ini tidak selamanya adalah sebuah tindak pidana korupsi. Dimana banyaknya kasus yang dilakukan oleh masyarakat umum dan membuat keresahan publik. Sebagai contohnya adalah penelitian yang dilakukanoleh Anwar Sulaiman dengan judul ‘Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pungutan Liar di Obyek Wisata Aek Sijorni Tapanuli Selatan’. Dimana penelitian tersebut juga menguraikan mengenai permasalahan yang sejenis yakni PUNGLI yang dilakukan oleh masyarakat umum yang sangat merugikan. Demikian dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa PUNGLI yang terjadi pada obyek wisata tersebut dapat dikategorikan sebagai pemerasan dengan menaikan jumlah retribusi yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah.15
Praktik PUNGLI tersendiri dapat melibatkan lebih dari satu orang meskipun tidak terorganisir. Hal ini dikarenakan PUNGLI sudah menjadi sebuah kebudayaan yang terikat oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, apabila satu tindak pidana PUNGLI terungkap atau dilaporkan dan harus dilakukan penyidikan, maka terdapat kemungkinan untuk pelaku menjadi ‘saksi pelaku’ terhdap tersangka lainnya. Saat hal ini terjadi, melihat pada pengaturan yang ada mengenai perlindungan saksi pelaku hanya diberikan pada kejahatan-kejahatan tertentu, maka sedikit peluang bagi saksi pelaku tersebut untuk mendapatkan perlindungan sebagaimana seharusnya serupa dengan saksi pada perkara tindak pidana tertentu. Karena sebagaimana dijelaskan
pada pertimbangan Undang-Undang PSK bahwa tujuan diberikannya perlindungan kepada saksi pelaku adalah untuk mengukapkan suatu perkara pidana ‘secara menyeluruh’.
Permaslahan selanjutnya adalah bahwa pengaturan yang ada hanya mengartikan saksi pelaku sebagai Justice Collaborator. Meskipun Undang-Undang PSK memberikan pengertian Saksi Pelaku pada ketentuan umum sebagai “tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama” namun pada penjelasan umum Undang-Undang tersebut menggunakan frasa ‘Saksi Pelaku (Justice Collaborator)’. Demikian juga Peraturan Bersama Tahun 2011, dan SEMA No.04 Tahun 2011 memberikan perlindungan terhadap saksi pelaku namun dalam artian seorang Justice Collaborator. Hal ini menimbulkan sebuah kekaburan hukum pada saat saksi pelaku juga dapat merupakan saksi mahkota yang berkerjasama dengan para aparat penegak hukum meskipun tanpa inisiatif dari dirinya sendiri atau karena Splitsing.
Penerapan Splitsing untuk mendapatkan keterangan dari saksi mahkota untuk persidangan terdakwa lainnya kerap menjadi perbincangan bagi para akademisi ataupun praktisi. Hal ini dikarenakan banyak yang berpendapat bahwa sistem pembukitan dengan cara tersebut adalah tidak menunjang tinggi hak asasi manusia dan berpotensi untuk melanggar asas non self incrimination. Asas non self incimination adalah asas yang menerapkan Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menyakan bahwa “keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan terhadap dirinya sendiri”. Sehingga jika mengacu pada asas tersebut, seorang terdakwa memiliki hak untuk tidak berperan terhadap bentuk pembuktian apapun.16 Oleh karena itu, saat ini meskipun penggunaan peran saksi mahkota sudah sering terimplementasikan, akan tetapi masih menjadi polemik apakah bentuk implementasi tersebut telah memenuhi hak dari terdakwa dan memberikan perlindungan.
Saksi mahkota sendiri dapat dikatakan sebagai saksi pelaku juga meskipun belum adanya putusan yang menyatakan dirinya bersalah. Berbeda dengan seorang Justice Collaborator yang dengan inisatifnya sendiri mengakui kesalahannya dan berkerjasama dengan aparat penegak hukum. Dalam hal ini, Undang-Undang PSK ataupun peraturan lainnya yang mengatur mengani perlindungan saksi pelaku belum memberikan kepastian hukum kepada saksi mahkota beserta hak untuk dilindunginya. Sebagaimana sebelumnya, telah ada penelitian yang melibatkan wawancara dengan seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Sarolangun. Dimana pada penelitian ini, jaksa tersebut menyatakan bahwa saksi mahkota seharusnya dilindungi seperti saksi secara umum, akan tetapi karena dugaan yang mengikat saksi mahkota sebagai pelaku, maka perlindungan sebagaian besar diberikan kepada dirinya sebagai pelaku/terdakwa.17
Terdapatnya kemungkinan saksi mahkota pada akhirnya tidak terbukti sebagai seorang pelaku perbuatan. Jika melihat norma yang mengatur belum mmeberikan perlindungan terhadap saksi mahkota hanya karena dirinya belum mengakui perbuatannya dan tidak memberikan inisiatif untuk menjadi Justice Collaborator dapat menimbulkan sebuah ketidakpastian hukum. Pada nyatanya, saksi mahkota tidak
dapat menolak panggilannya untuk memberikan kesaksian kepada pengadilan dikarenakan adanya ketentuan Pasal 159 ayat (2) KUHAP. Sehingga apabila seorang saksi mahkota berkewajiban untuk memberikan kesaksian mengenai sebuah kejahatan yang dapat berbahaya baginya, secara normatif masih terdapat kekaburan hukum untuk memberikan perlindungan kepada saksi mahkota tersebut. Oleh karena itu, sudah sepatutnya untuk melakukan perubahan ataupun interpretasi terhadap norma yang ada agar mencipatakan sebuah kepastian hukum.
Setelah melakukan penelitian sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan hal berikut; Bahwa perlindungan saksi dan korban tindak pidana PUNGLI belum diatur secara optimal di Indonesia. Bahwa karena adanya ketentuan mengenai limitasi perlindungan yang hanya diberikan kepada tindak pidana tertentu dan/atau terorganisir, mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum apabila adanya saksi ataupun korban akibat praktik PUNGLI yang membutuhkan perlindungan tidak bisa mendapatkan perlindungan sebagaimana mestinya dikarenakan perbuatan yang dilakukan tidak sesuai pada kategori dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Selanjutnya, ketidakpastian hukum juga ditemukan pada pengaturan mengenai perlindungan Saksi Pelaku yang hanya diberikan apabila mengambil pengertian saksi pelaku sebagai Justice Collaborator. Sedangkan, saksi pelaku juga dapat berupa Saksi Mahkota, namun perlindungan kepada Saksi Mahkota belum secara jelas diatur dalam Undang-Undang yang berlaku. Oleh karena itu, untuk memberikan kepastian hukum mengenai hal-hal sebagaimana telah diuraiakan diatas maka sudah sepatutnya untuk melakukan kajian ulang terhadap Undang-Undang serta peraturan lainnya yang mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban dengan mempertimbangkan kesetaraan hak baik dari segi kategori tindak pidana ataupun bentuk dari saksi pelaku. Intrepretasi hukum dalam penerapannya juga dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum agar membeikan hak yang setara bagi para saksi dan korban.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Paripurna, Amira, S. H. Astutik, S. H. Prilian Cahyani, LL M. MH, Riza Alifianto Kurniawan, and MTCP SH. Viktimologi dan sistem peradilan pidana. Deepublish, 2021.
Soerjono Soekanto, and Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat Cet XVII. Rajawali Pers, Jakarta (2015).
Sunarso, H. Siswanto, M. H. Sh, and M. Kn. Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana. Sinar Grafika, 2022.
Teguh Prasetyo, S. H., Tri Astuti Handayani, M. SH, Rizky PP Karo Karo, and MH SH. Hukum Acara Pidana Reorientasi Pemikiran Teori Keadilan Bermartabat. Penerbit K-Media.
JURNAL ILMIAH
Indaryanto, Wisnu. "Saksi Pelaku dalam Perspektif Viktimologi." Jurnal Legislasi
Indonesia 16, no. 4 (2019): 477-486
Julianto, Bambang. "Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia." Lex Renaissance 5, no. 1 (2020): 20-31.
Kuba, Syahrir. "Optimalisasi Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Rangka Memantapkan Penegakan Hukum Di Indonesia." Jurnal Kajian Ilmiah 22, no. 1 (2022): 89-100.
Nasution, Anwar Sulaiman. "Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pungutan Liar di Objek Wisata Aek Sijorni Tapanuli Selatan." Jurnal Pendidikan Tambusai 7, no. 2 (2023): 17673-17677.
Rahman, Habibie, Lilik Purwastuty, and Dessy Rakhmawati. "Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Mahkota dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana." PAMPAS: Journal of Criminal Law 1, no. 3 (2020): 120-138.
Svinarky, Irene. "Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pungutan Liar (Pungli)." Jurnal Cahaya Keadilan 4, no. 2 (2016): 70-78.
Tiranda, Irianto, Fenty Puluhulawa, and Johan Jasin. "Konsep Ideal Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Pungutan Liar Berdasarkan Asas Peradilan." Jambura Law Review 1, no. 2 (2019): 120-143.
Wiguna, I. Wayan Arsa Yogi, I. Nyoman Sujana, and I. Nyoman Gde Sugiartha. "Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Pungutan Liar (Pungli)." Jurnal Preferensi Hukum 1, no. 2 (2020): 139-144.
SKRIPSI DAN TESIS
Hendri, Sipayung. "Pengaturan Tentang Keber Adaan Justice Collabolator Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi." PhD diss., Universitas Andalas, 2020.
Luawo, Suharto. "Peran Kepolisian Dalam Menanggulangi Pungutan Liar Yang Disertai Ancaman (Studi Kasus Polsek Bongomeme)." Skripsi 1, no. 271411140 (2015).
Muharikin, Irfan Maulana. "Kedudukan Saksi Mahkota dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia Berdasarkan Asas Non Self Incrimination." PhD diss., Brawijaya University, 2015.
Putro, Satrio Junasto. "Implementasi Satgas Saber Pungli Terhadap Tindak Pidana Korupsi Di Instansi Pemerintahan Kabupaten Klaten." PhD diss., UAJY, 2018.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127).
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 3209).
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Yang Telah Di Ubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602).
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 Tentang Perlakukan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Berkerjasama (Justice Collaborators) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
Peraturan Bersama Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Republik Indonesia Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama.
Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 09 Tahun 2023, hlm. 462-474
Discussion and feedback