PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI PAKAIAN BEKAS MELALUI INSTAGRAM : TINJAUAN HUKUM DI INDONESIA
on
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI PAKAIAN BEKAS MELALUI INSTAGRAM : TINJAUAN HUKUM DI INDONESIA
Nadeila Arya Putri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: nadelaaryaputri@gmail.com
I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dedy_priyanto@unud.ac.id
DOI: KW.2023.v13.i1.p4
ABSTRAK
Kajian ini membahas mengenai tinjauan hukum terkait transaksi jual/beli pakaian bekas (thrifting) impor serta perlindungan bagi konsumen dari kegiatan thrifting melalui Instagram. Guna mengamati hal tersebut maka akan dilakukan dengan kajian yuridis normatif, mempergunakan pendekatan melalui undang-undang dan pendekatan sosio legal. Sehingga kajian ini akan bersifat prespektif analisis berdasarkan sumber bahan hukum yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Hasil dari kajian ini adalah: bahwa kegiatan thrifting pakaian bekas impor merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 mengenai perdagangan. Khususnya bertentangan dengan Pasal 47 ayat (1) yang menyatakan bahwa importir wajib mengimpor produk dalam keadaan baru, dan Pasal 51 ayat (2) yang melarang importir untuk mengimpor produk yang telah ditetapkan dilarang oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 terkait Larangan Impor Pakaian Bekas. Selanjutnya, jika pakaian bekas yang diimpor berasal dari dalam negeri, dianggap sama sekali tidak ada kaitannya dengan syarat keempat Pasal 1320 KUH Perdata. Selain itu, perlindungan hukum bagi konsumen didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya dalam Pasal 27 ayat (1) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan peraturan turunannya. Kesadaran dan pengetahuan tentang hak-hak konsumen dalam thrifting pakaian bekas impor melalui platform media sosial Instagram sangatlah penting.
Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Pakaian Bekas, Instagram.
ABSTRACT
This study discusses the legal review related to the sale/purchase of imported used clothing (thrifting) transaction as well as protection for consumers from thrifting activities through Instagram. In order to observe this, it will be carried out with a normative juridicial study, using a statutory approach and a socio-legal approach. So that this study will be a perspective analysis based on the source of legal materials obtained through literature study. The results of this study are: that the thrifting activity of imported used clothing is a violation of Law Number 7 of 2014 concerning trade. Specifically, it contradicts Article 47 paragraph (1) which states that importers are obliged to import products in a new state, and Article 51 paragraph (2) which prohibits importers from importing products that have been determined to be prohibited by the Minister of Trade Regulation Number 51/M-DAG/PER/7/2015 regarding the Prohibition of Imports of Used Clothing. Furthermore, if the imported used clothing comes from within the country, it is considered to have absolutely no relation to the fourth condition of Article 1320 of the Civil Code. In addition, legal protection for consumers is based on the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, specifically in Article 27 paragraph (1) as stipulated in Law Number 8 Year 1999 and its derivative regulations. Awareness and knowledge of consumer rights in thrifting imported used clothing through the Instagram social media platform is very important.
Key Words: Consumer Protection, Used Clothing, Instagram.
Industri fashion Tengah mengalami peningkatan cukup signifikan. Teknologi informasi menjadi penyampaian informasi pergantian mode fashion terbaru. Perubahan mode ini dihasut oleh pandangan dan opini subjektif masyarakat terkait mode dalam penampilan. Gaya hidup setiap orang menjadi ciri khas pribadi yang penting saat menentukan produk. Produk yang dipilih hendaknya sesuai preferensi calon pembeli, berkualitas baik dan memiliki harga nominal yang sesuai dengan kemampuan keuangan.1
Salah satu kultur lawas yang digemari masyarakat saat ini adalah mencari pakaian bekas untuk fashion.2 Yang sering kali disebut dengan istilah thrifting. Yang dimana thrifting pada umumnya bergerak dibidang komuditas pakaian sebagai perlawanan terhadap fast fashion (model fashion nan silih berganti dalam waktu singkat).3 Tujuan dari sebagaian dalam melakukan kegiatan thrifting adalah untuk meminimalisir pengeluaran.4 Produk thrift memberikan harga relatif lebih murah jika dibandingkan dengan harga normal, termasuk produk bermerek yang berasal dari luar negeri serta produk limited edition.5 Kegiatan ini salah satu kegiatan yang termasuk dalam perjanjian jual/beli pada Pasal 1457 KUH Perdata, dimana kegiatan ini merupakan kesepakatan antara penjual dan pembeli. Maknanya, penjual harus memberikan hak miliknya kepada pembeli sedangkan pembeli membayar harga produk yang disepakati.
Thrifting menjadi peluang bisnis di masa sekarang. Pemerhati fashion memanfaatkan prasarana untuk mengembangkan bisnis mereka melalui kegiatan thrifting. Kemajuan teknologi membentuk kegiatan thrifting dapat berkembang di dunia maya dengan membentuk akun media sosial Instagram.
Seiring berjalannya waktu pembisnis thrifting mendapat jalur untuk membeli pakaian bekas lewat internet pada importir secara ball (karung). Pakaian bekas dari importir tidak menjamin pakaian tersebut dapat dipasarkan ulang dengan harga yang tinggi. Hal ini dikarenakan isi ball (karung) tersebut tidak semuanya terdiri dari pakaian bermerek. Di sisi lain ada juga pakaian vintage yang harga jualnya bisa lebih tinggi.
Terlebih di zaman saat ini semuanya serba online, sehingga bisa melancarkan transaksi jual/beli yang akan terjadi dimana pun dan kapan pun. Oleh karenanya, pengusaha thrifting yang membuka usaha offline mulai mengembangkan bisnisnya secara online kepada konsumennya di seluruh Indonesia bahkan luar negeri.
Kegiatan thrifting pada dasarnya memiliki 2 dampak yang berlainan. Dampak positifnya adalah kegiatan thrifting dapat menaikkan pendapatan penggusaha.
Sedangkan, dampak negatifnya ialah kegiatan ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan minat masyarakat terhadap pakaian brand lokal.
Berdasarkan tinjauan hukum, kegiatan thrifting ini dilarang. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 terkait Perdagangan (selanjutnya disebut UU Perdagangan), khususnya Pasal 47 ayat (1) yang mengamanatkan importir wajib membawa barang dalam keadaan baru. Selanjutnya, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 (selanjutnya disebut Permendag No. 51/M-DAG/PER/7/2015) secara tegas juga melarang kegiatan impor pakaian bekas.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang menitikberatkan pada Perlindungan Konsumen memiliki bagian khusus yang disebut Bab IV yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pengusaha. Lebih lanjut, dalam Pasal 8 ayat (2) secara jelas menegaskan bahwa pengusaha dilarang melakukan penjualan produk yang tidak sesuai tanpa memberikan informasi yang akurat tentang produk tersebut. Pasal khusus ini dapat dilihat sebagai pengecualian terhadap apa yang dilarang dalam UU Perdagangan dan Permendag No. 51/M-DAG/PER/7/2015, khususnya terkait dengan impor pakaian bekas ke Indonesia.
Penelitian ini apabila dibandingkan dengan beberapa jurnal ilmiah yang menggunakan tema mengenai analisis terhadap perlindugan konsumen dalam pembelian pakaian bekas impor melalui Instagram salah satunya yakni jurnal yang ditulis oleh Shaenaz & Yana dalam Jurnal Syntax Admiration yang judul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Atas Informasi Yang Tidak Jelas Dalam Pembelian Pakaian Bekas Impor Melalui Instagram Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”6 membahas lebih lanjut samasama membahas mengenai perlindungan konsumen dalam jual beli pakaian bekas impor, namun dalam penelitian kali ini pembahasannya akan berbeda dengan artikel ilmiah yang telah disebutkan diatas. Dalam jurnal tersebut membahas mengenai perlindungan konsumen yang timbul akibat informasi yang tidak jelas dalam pembelian pakaian bekas impor melalui Instagram. Sedangkan dalam jurnal Hukum dan Masyarakat Madani yang ditulis oleh Firda & Dwi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Praktik Jual Beli Pakaian Bekas Impor Di Pasar Senen Jaya”7 juga sama-sama membahas mengenai perlindungan konsumen dalam jual beli pakaian bekas impor, hanya saja pembahasannya lebih mengarah kepada jual beli pakaian bekas impor di Pasar Senen Jaya. Dari kedua jurnal ilmiah yang lebih terdahulu tersebut tentunya memiliki beberapa hal yang berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan dalam penulisan artikel ini, yakni bersifat umum, dan mencakup aspek-aspek perlindungan konsumen dalam transaksi jual beli pakaian bekas melalui Instagram di Indonesia secara keseluruhan. Maka dari itu rumusan masalah mengenai peraturan hukum terkait jual beli pakaian bekas impor melalui Instagram serta perlindungan konsumen dalam pembelian pakaian bekas impor melalui Instagram yang akan dibahas lebih lanjut dalam sub-bab dan bab selanjutnya.
-
1. Bagaimana peraturan hukum yang mengatur terkait thrifting pakaian bekas impor melalui Instagram di Indonesia?
-
2. Apa perlindungan hukum terhadap konsumen yang membeli pakaian bekas impor dari pengusaha thriftshop online melalui Instagram?
Tujuan Penulisan ini dimaksudkan guna memahami peraturan hukum terkait kegiatan pakaian bekas impor serta perlindungan hukum bagi konsumen kegiatan tersebut.
Kajian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yakni menggunakan analisis hukum yang digarap dengan menempatkan hukum sebagai sebuah sistem norma. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada pendekatan undang-undang dan pendekatan sosio-legal, seperti undang-undang dan bantuan ilmu-ilmu sosial. Dalam metode ini menggunakan data sekunder berupa hukum kaidah, ide-ide maupun pendapat para ahli. Pendekatan ini juga dimaksudkan sebagai acuan untuk pengumpulan informasi karena mengingat aspek hukum tercermin dalam asas, alasan dan peraturan penerapan fenomena dan peristiwa yang diamati.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Peraturan Hukum Yang Mengatur Tentang Transaksi Thrifting Pakaian Bekas Impor Melalui Instagram Di Indonesia.
Di zaman saat ini kita dengan mudah melakukan kegiatan dengan memanfaatkan perangkat digital smartphone. Internet sangat dibutuhkan dalam meringankan beragam kegiatan di masyarakat, meliputi kegiatan pendidikan maupun pekerjaan. Dunia maya tidak hanya dapat menjangkau kegiatan pendidikan dan pekerjaan saja, namun juga dunia perdagangan. Bisnis perdagangan dapat dikerjakan secara online lewat Bukalapak maupun Lazada dan beragam media sosial, semacam aplikasi Instagram, Facebook, dan WhatsApp. Secara khusus, media sosial Instagram banyak dipergunakan bagi segala kalangan usia. Berfokus pada dunia perdagangan melalui sistem online, masyarakat memanfaatkan Instagram untuk berbisnis. Hal ini berlaku juga bagi pengusaha thriftshop yang menargetkan masyarakat dari berbagai kalangan usia sebagai konsumennya. Kegiatan thrifting berkaitan erat dengan instansi pabean.
Pabean merupakan institusi yang mengatur impor, ekspor, dan kegiatan perdagangan internasional suatu negara. Yang seutuhnya berposisi dibawah kontrol Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pos kontrol pabean merupakan Kawasan yang dipergunakan oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk melaksanakan kontrol kepada laju arus perdagangan produk impor dan ekspor. Kontrol pabean adalah kegiatan yang bertujuan untuk penegakan hukum dan supaya perundang-undangan kepabeanan dapat terlaksana dengan baik.
Indonesia memiliki letak yang strategis sehingga memudahkan lalu lintas perdagangan melalui darat, udara, maupun laut. Indonesia menjadi jalur perdagangan internasional di dunia. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai wewenang
penuh untuk mengawasi alur perdagangan.8 Kegiatan thrifting di Indonesia menjadi salah satu referensi bisnis yang mengikuti era modernisasi saat ini. Produk bekas pun dapat menjadi lebih bernilai jika pelaku bisnis dapat memanfaatkan peluang yang ada.9 Melihat dari sudut pandang hukum positif di Indonesia melalui pemerintahan pusat selaku pengontrol negara membentuk peraturan yang mengatur tentang perdagangan, dimana pemerintah sendiri menciptakan UU Perdagangan. Tepatnya dalam Pasal 47 ayat (1) yang menjelaskan bahwa importir wajib melakukan impor produk baru dan menetapkannya melalui Permendag No. 51/M-DAG/PER/7/2015 .
Ketentuan diatas rupanya tidak sejalan dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 terkait Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) tepatnya Pasal 8 ayat (2) yaknisanya pengusaha dilarang memperjualkan produk tidak layak, tanpa menginformasikan secara akurat atas produk yang dituju. Jika ditinjau dari pasal tersebut maka akan menyebabkan diizinkannya pengusaha memperdagangkan pakaian bekas impor dengan ketentuan menginformasikan yang jelas. Informasi yang diberikan meliputi kondisi dan kualitas dari pakaian bekas tersebut yang merupakan terkecuali yang terdapat didalam Pasal 8 ayat (2). Maka dari itu pasal ini masih relevan dijadikan sebagai dasar hukum bagi pengusaha dalam memperdagangkan pakaian bekas impor di Indonesia.10
Inkonsistensi yang ada menyebabkan ketidakjelasan hukum. Kondisi ini tampak dari kasus pada tahun 2019, sebuah perusahaan di Indonesia mengimpor pakaian bekas dari luar negeri. Namun, impor tersebut melanggar ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.04/2013 terkait Ketentuan Impor Pakaian Bekas. Ketentuan tersebut melarang impor pakaian bekas yang sudah dipakai ke Indonesia, kecuali untuk barang yang dikecualikan. Setelah diperiksa oleh Bea dan Cukai, pakaian bekas tersebut disita dan perusahaan tersebut dikenakan sanksi administratif karena melanggar ketentuan tersebut. Perusahaan tersebut kemudian mengajukan permohonan peninjauan kembali atas sanksi yang diterimanya. Dalam peninjauan kembali tersebut, Perusahaan tersebut berargumen bahwa larangan impor barang bekas tidak dapat digunakan karena bertentangan dengan aturan WTO (World Trade Organization) yang mengatur tentang perdagangan bebas. Namun, Mahkamah Agung memutuskan bahwa asas lex spesialis derogat legi generalis berlaku dalam kasus ini, yang berarti bahwa ketentuan mengenai impor barang bekas di PMK harus diprioritaskan dibandingkan dengan aturan perdagangan global. Sehingga, sanksi administratif kepada perusahaan tetap harus dijatuhkan karena melanggar ketentuan impor barang bekas. Kasus ini menunjukkan bahwa asas lex spesialis derogat legi generalis digunakan untuk menyelesaikan konflik antara hukum khusus dengan undang-undang yang lebih umum. Dalam kasus ini, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.04/2013 yang mengatur secara khusus mengenai impor barang bekas harus diutamakan daripada aturan perdagangan global yang lebih umum.
Legalitas thrifting perlu diuji melalui Pasal 1320 KUH Perdata yang berisi terkait perjanjian antara penjual dan pembeli. Syarat sah perjanjian dalam pasal diatas ialah :
persetujuan para pihak, kecakapan, suatu hal tertentu, serta suatu sebab yang halal. Secara lebih jelas, syarat pertama berkaitan dengan “persetujuan para pihak” antara penjual dengan pembeli dimana kedua belah pihak sama-sama sepakat mengenai harga yang telah ditetapkan. Syarat kedua terkait “kecakapan” dimana kegiatan thrifting melibatkan berbagai kalangan usia termasuk tua ataupun muda, sehingga syarat kedua dapat terlaksana atau tidak. Syarat ketiga terkait “hal tertentu”, menitikberatkan pada pakaian bekas dalam kegiatan thrifting. Syarat keempat terkait ”kausal yang halal”, kegiatan thrifting tidak diperbolehkan berterkait dengan peraturan perundang-undangan.
Thrifthing dikategorikan sebagai perjanjian jual beli karena melibatkan pertukaran barang antara penjual dan pembeli. Dalam konteks thrifting, pembeli menyetujui untuk membeli barang bekas dari penjual, dan penjual setuju untuk menjual barang tersebut dengan harga yang disepakati. Perjanjian jual beli menjadi dasar transaksi ini, di mana kedua belah pihak setuju dengan syarat-syarat tertentu yang melibatkan pembelian dan penjualan barang bekas. Perjanjian jual/beli pakaian bekas yang penulis kaji dapat dinyatakan berterkaitan terhadap syarat perjanjian keempat jika objek (pakaian bekas) dilakukan secara impor. Sebab, Pasal 47 ayat (1) UU Perdagangan menyatakan bahwa ”setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru” dan Pasal 51 ayat (2) UU Perdagangan menyatakan bahwa ”importir dilarang mengimpor barang yang ditetapkan sebagai barang yang dilarang untuk diimpor”. Pasal 51 ayat (2) UU Perdagangan memberikan pengecualian bagi impor pakaian bekas sebagai barang pindaan. Namun, importir tetap harus mematuhi ketentuan-ketentuan lain yang berlaku terkait impor pakaian bekas seperti yang diatur dalam Permendag No. 51/M-DAG/PER/7/2015. Permendag No. 51/M-DAG/PER/7/2015 memberikan ketentuan yang lebih spesifik tentang larangan impor pakaian bekas dan konsekuensi hukum yang mungkin terjadi jika importir melanggar ketentuan larangan impor pakaian bekas. Jika pakaian bekas berasal dari dalam negeri, hal itu dianggap tidak relevan dengan syarat keempat (tepatnya pasal 1320 KUH Perdata). Maka menurut ketentuan tersebut, jika keempat syarat itu tidak dipenuhi, akan ada akibat hukumnya. Apabila poin pertama dan kedua tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut ”dibatalkan”, lebih lanjut jika poin ketiga dan keempat tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut ”tidak sah”.
Thrifting melalui sosial media Instagram di Indonesia diatur oleh sejumlah peraturan hukum, terdapat aspek-aspek yang berkaitan dengan UU Perdagangan, regulasi pabean, UU Perlindungan Konsumen, dan KUH Perdata yang relevan untuk memahami legalitas dan kewajiban dalam transaksi tersebut. Adanya inkonsistensi dalam beberapa aturan, seperti yang terjadi pada kasus impor pakaian bekas yang melanggar PMK No. 158/PMK.04/2013, menunjukkan kompleksitas dan perluasan interpretasi dalam menyelesaikan konflik hukum. Oleh karena itu, pemahaman yang holistik terhadap peraturan tersebut penting untuk menjalankan bisnis thrifting dengan mematuhi ketentuan hukum yang berlaku.
-
3.2 Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Yang Membeli Pakaian Bekas Impor Dari Pengusaha Thriftshop Online Lewat Jaringan Media Sosial Instagram.
Perlindungan konsumen dalam serangkaian tindakan guna melindungi hak dan kepentingan konsumen dalam transaksi jual beli.11 Tujuan utama hukum perlindungan
konsumen adalah untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan antara konsumen dan penjual serta memastikan bahwa konsumen mendapatkan perlakuan yang adil, informasi yang jelas, dan produk atau layanan yang aman dan berkualitas. Dewasa ini masih banyak terdapat kasus mengenai lemahnya kedudukan konsumen dalam transaksi jual beli. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya perlindungan konsumen yaitu:
-
a. Lemahnya regulasi dan kebijakan perlindungan konsumen.
-
b. Kurangnya kesadaran konsumen.
-
c. Kurangnya akses ke mekanisme penyelesaian sengketa.
-
d. Lemahnya penegakan hukum.
-
e. Penipuan dan praktik bisnis yang merugikan.
-
f. Kedudukan konsumen yang cenderung lemah.12
Posisi konsumen yang cenderung lemah dapat terjadi jika perjanjian jual/beli terjadi melalui jaringan media sosial Instagram. Seumpamanya seorang konsumen membeli pakaian bekas melalui jaringan media sosial Instagram namun produk yang datang kemudian tidak sesuai dengan yang diinformasikan oleh pengusaha maka produk tersebut tidak dapat dikembalikan.
Fenomena terkait perjanjian jual/beli pakaian bekas melalui Instagram memiliki kelemahan spesifiknya bagi konsumen. Salah satu aspek penyebabnya adalah tingkat kesadaran para konsumen yang rendah terkait pengetahuan mengenai UU Perlindungan Konsumen. Dengan demikian, maka perlu adanya perlindungan hukum terhadap konsumen terkait kedudukannya yang cenderung lemah dibandingkan dengan perngusaha dalam perjanjian jual/beli secara online. Perkembangan teknologi dalam perjanjian jual/beli pakaian bekas memiliki dampak negatif berupa adanya resiko kecurangan. Misalnya seorang konsumen telah membayar sejumlah uang untuk membeli pakaian bekas secara online di akun Instagram, tetapi pengusaha tidak mengirimkan produk tersebut kepada konsumen. Terlebih lagi pengusaha bisa saja menghilang dan tidak dapat dihubungi konsumen. Oleh karenanya perlindungan konsumen terdapat dua perspektif diantaranya : perlindungan akan kemungkinan produk yang diberikan tidak sesuai dengan kesepakatan serta perlindungan terhadap syarat-syarat tidak adil yang dibebankan terhadap konsumen.13
Perjanjian jual/beli melalui jaringan media sosial Instagram memiliki kecenderungan adanya resiko kecurangan yang menyebabkan kerugian kepada konsumen. Maka dari itu, penting adanya undang-undang yang mengatur terkait perlindungan konsumen sehingga dapat memberikan rasa aman bagi para konsumen. Berkenaan dengan kerugian yang berpotensi dialami oleh konsumen, yakni:
-
a. Kerugian materiil, mengacu pada kerugian yang terjadi pada aspek materi atau keuangan seseorang atau entitas.
-
b. Kerugian immaterial, mengacu pada kerugian atau dampak yang tidak berkaitan dengan aspek materi atau keuangan, tetapi lebih terkait dengan aspek emosional, kesehatan, sosial, atau reputasi seseorang atau entitas.14
Klasifikasi kerugian materiil dan immaterial berkaitan dengan kegiatan thrifting melalui jaringan media sosial Instagram. Konsumen bisa saja mendapatkan kerugian materiil berupa ketidaksesuaian produk yang dibeli dengan apa yang seharusnya didapatkan. Selain itu konsumen bisa saja mendapatkan kerugian immaterial berupa adanya dampak negatif bagi kesehatan konsumen, misalnya terinfeksi penyakit kulit.
Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari kerugian secara materiil maupun immaterial adalah dengan adanya upaya pengamanan terhadap perjanjian jual/beli secara online. Misalnya berhati-hati dalam berbelanja dengan memperhatikan keakuratan akun thriftshop online. Konsumen perlu jeli dengan mencari tahu thriftshop online yang dapat dipercaya dengan melihat histori dan testimoni yang telah diberikan konsumen sebelumnya.15
Mengenai kerugian konsumen dalam suatu bisnis, maka perlu adanya perlindungan hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 lebih tepatnya pada Pasal 27 ayat (1) yang pada intinya menyiratkan bahwa ”semua warga negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan”. Tidak ada perbedaan perlakuan atau diskriminasi yang diberlakukan terhadap warga negara berdasarkan suku, agama, ras, golongan, gender, atau faktor lainnya. Lebih lanjut, perlindungan hukum terhadap konsumen diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan peraturan turunannya.
Adapun UU Perlindungan Konsumen berasaskan pada prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, keterbukaan dan informasi, serta kepastian hukum. Sehingga akan memberikan kepastian hukum terkait perselisihan konsumen. Dengan ini penyelesaian konsumen dapat melalui jalur litigasi dan non litigasi.16
-
a. Jalur litigasi adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui proses persidangan.
-
b. Jalur non litigasi adalah penyelesaian sengketa yang dilangsungkan melalui cara-cara diluar pengadilan atau melalui proses yang tidak melibatkan peradilan formal.17
Sengketa diluar pengadilan dilakukan melalui satu lembaga khusus dalam penyelesaiannya. Selanjutnya, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan lembaga atau organisasi yang diperuntukkan guna menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pemasok barang atau jasa. Adapun cara penyelesaian sengketa melalui BPSK yaitu:
-
1. Pengajuan Perkara
Konsumen dapat mengajukan penyelesaian sengketa dengan mengisi formulir permohonan di BPSK terdekat, baik secara langsung maupun melalui surat. Konsumen harus mendukung permohonan tersebut dengan data serta informasi yang diperlukan berkaitan dengan sengketa yang terjadi.
-
2. Mediasi
Setelah melakukan pendaftaran perkara, kasus konsumen dan pengusaha akan diperiksa dan kemudian dilakukan mediasi. Pada tahap mediasi, pihak BPSK akan
mencoba menengahi antara konsumen dan pengusaha untuk mencapai kesepakatan penyelesaian sengketa secara damai.
-
3. Putusan
Jika mediasi tidak berhadil mencapai kesepakatan, maka proses akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu sidang putusan. Pada tahap ini, pihak BPSK akan melakukan persidangan dan memutuskan kasus tersebut berdasarkan hukum yang berlaku.
-
4. Pelaksanaan Putusan
Jika putusan BPSK menguntungkan konsumen, pengusaha diharapkan untuk mematuhi putusan tersebut dan melaksanakan tindakan yang diperlukan. Jika pengusaha tidak mematuhi putusan BPSK, konsumen dapat mengambil langkah hukum tambahan untuk mengeksekusi putusan tersebut.
Dalam mengajukan sengketa konsumen ke BPSK, konsumen wajib untuk membawa semua bukti yang diperlukan seperti bukti transaksi, bukti pembayaran, dan bukti-bukti lainnya yang terkait dengan sengketa yang terjadi. Selain itu, proses penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK juga dilakukan secara gratis dan cepat, sehingga dapat mempercepat penyelesaian sengketa yang terjadi.
Perlindungan konsumen dalam konteks pembelian pakaian bekas impor dari pengusaha thriftshop online melalui jaringan media sosial instagram di indonesia dapat mencakup beberapa hal. Salah satunya adalah perlindungan konsumen yang diatur dalam UUPK, khususnya Pasal 8 ayat (2) yang melarang pengusaha memperjualkan produk tidak layak tanpa memberikan informasi yang akurat mengenai produk tersebut. Selain itu perlindungan konsumen juga dapat mencakup ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait impor pakaian bekas, seperti Permendag No. 51/M-DAG/PER/7/2015 yang mengatur larangan impor pakaian bekas.
Perlindungan hukum bagi konsumen yang membeli pakaian bekas impor dari pengusaha thriftshop online melalui jaringan media sosial Instagram, perlindungan konsumen dapat mencakup hak konsumen untuk memperoleh informasi yang akurat mengenai kondisi dan kualitas pakaian bekas yang dibeli, hak konsumen untuk mendapatkan barang yang sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh pengusaha, serta hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi jika terjadi kerusakan atau cacat pada barang yang dibeli. Namun, perlu diingat bahwa impor pakaian bekas memiliki ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh pengusaha thriftshop online, seperti ketentuan larangan impor pakaian bekas yang diatur dalam Permendag No. 51/M-DAG/PER/7/2015 dan UU Perdagangan. Oleh karena itu, pengusaha thriftshop online harus memastikan bahwa pakaian bekas yang dijual tidak melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dan memberikan informasi yang akurat mengenai kondisi dan kualitas pakaian bekas yang dijual kepada konsumen.
IV. Kesimpulan sebagai Penutup
4. Kesimpulan
Thrifting menjadi salah satu alternatif gaya hidup di masa modernisasi saat ini. Berdasarkan Pasal 1457 KUH Perdata, kegiatan ini termasuk dalam kegiatan perjanjian jual/beli. Kegiatan jual/beli pakaian bekas impor melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 terkait Perdagangan, khususnya Pasal 47 ayat (1) tentang kewajiban pelaku importir untuk mengimpor produk dalam keadaan baru serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 terkait Larangan Impor
Pakaian Bekas. Sebaliknya, jika produk yang diimpor berasal dari dalam negeri maka dianggap tidak relevan dengan syarat keempat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perlindungan hukum terhadap konsumen didasarkan pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan peraturan turunannya. Jika dikaji melalui asas lex spesialis derogat legi generalis (ketentuan hukum yang bersifat spesifik dapat mengesampingkan ketentuan yang lebih general), maka UU terkait Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan terkait Tentangan Impor Pakaian Bekas dapat mengesampingkan UU terkait Perlindungan Konsumen. Hal ini dikarenakan cakupan jual / beli pakaian bekas impor ini hanya tergolong perdagangan produk (produk) dan bukan jasa. Agar UU Perlindungan Konsumen tidak terlalu luas maka dikesampingkan oleh UU Perdagangan. Perlu adanya kesadaran terkait hak yang dimiliki oleh konsumen dalam kegiatan thrifting pakaian bekas impor melalui Instagram supaya tercapainya keadilan. Untuk mendapatkan keadilan tersebut bisa dengan dua jalur yakni jalur non litigasi dan litigasi.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Rahmawanti, Intan Nur and Rukiyah Lubis. Win-Win Solution Sengketa Konsumen. (Yogyakarta, Pustaka Yustitia, 2014).
Rosmawati. Pokok-Pokok Hukum Perlindungan Konsumen Edisi Pertama. (Depok: Prenadamedia Grup, 2018).
JURNAL:
Ardani, Shaenaz Fielia dan Yana Indawati. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Atas Informasi Yang Tidak Jelas Dalam Pembelian Pakaian Bekas Impor Melalui Instagram Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Jurnal Syntax Admiration 2, No. 5 (2021).
Agnesvy, Faninda and Mochamad Iqbal, “Penggunaan Trend Fashion Thrift Sebagai Konsep Diri Pada Remaja Di Kota Bandung.” Jurnal Ilmu Komunikasi 10, No.2 (2022).
Apandy, Puteri Asyifa, Melawati, and Panji Adam, “Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Jual Beli.” Jurnal Manajemen dan Bisnis 3, No. 1 (2021).
Arifah, Risma Nur, “Kendala-Kendala Pencegahan Perdagangan Pakaian Bekas Impor Di Kota Malang.”Jurnal Syariah dan Hukum 7, No.1 (2015).
Azizan, dkk, “Pengaruh Tentangan Impor Pakaian Bekas Terhadap Pengusaha Thrift.” Jurnal Economina 2, No. 1 (2023).
Buyamin, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Tindakan Pengusaha Yang Memperdagangkan Pakaian Bekas Impor.” Jurnal Keagamaan dan Ilmu Sosial 5, No. 1 (2020).
Fibrianti, Nurul, “Perlindungan Konsumen Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Jalur Litigasi.” Jurnal Hukum Acara Perdata 1, No. 1 (2015).
Mantili, Rai, “Ganti Kerugian Immateriil Terhadap Perbuatan Melawan Hukum Dalam Praktik: Perbandingan Indonesia Dan Belanda.” Jurnal Ilmu Hukum 4, No. 2 (2019).
Mauludin, M. Soleh, dkk, “Analisis Perilaku Konsumen Dalam Transaksi Di ECommerce.” Journal of Islamic Economics, Business, and Philanthropy 1, No.1 (2022).
Milala, Rezki Anta Triputra and Tjip Ismail, Penerimaan Negara dan Control Pabean Oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.” Jurnal Yuridis 9, No. 2 (2022).
Nisya, Firda Khoirun dan Dwi Desi Yayi Tarina. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Praktik Jual Beli Pakaian Bekas Impor Di Pasar Senen Jaya”. Jurnal hukum dan Masyarakat Madani 11 No. 2, (2021).
Permatasari, Amirah Shinta, dkk, “Pengaruh Komunikasi Pemasaran Thrift Shop Terhadap Tingkat Konsumsi Fashion Di Masa Pandemi.” Jurnal Ilmu Komunikasi 11, No. 1 (2021).
Putra, Yolan Raka Sandika, “Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Konsumen Pakaian Bekas Impor di Pasar Gedebage, Kabupaten Kota Bandung.” Jurnal Kajian Kontemporer Hukum dan Masyarakat 1, No.2 (2023).
Rosita, “Alternatif Dalam Penyelesaian Sengketa (Litigasi dan Non Litigasi).” Jurnal Islamic Law 6 No. 2 (2017).
Sutrischastini, Ary, dkk, “Peningkatan Pengetahuan Masyarakat Tentang
Pembelanjaan Online. “Jurnal Pengabdian Kepada Mayarakat 2, No. 6 (2023).
UNDANG-UNDANG :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pada Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872.
Undnag-Undanf Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG-PER/7/2015 terkait Larangan Impor Pakaian Bekas.
Jurnal Kertha Wicara Vol 13 No 1 Tahun 2023, hlm. 687-697
Discussion and feedback