PENGATURAN HUKUM TERHADAP PERBUATAN HOMOSEKSUAL OLEH PELAKU SESAMA ORANG DEWASA DITINJAU DARI KUHP

Ni Nyoman Ayu Septiantari Wijaya, Fakultas Hukum Unversitas Udayana, e-mail: ayuwijaya132@gmail.com

I Gusti Ngurah Nyoman Krisnadi Yudiantara, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: krisnadiyudiantara@unud.ac.id

DOI: KW.2023.v12.i05.p5

ABSTRAK

Artikel ini dibuat dalam rangka mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap perbuatan homosexual oleh pelaku sesama orang dewasa dengan berpedoman pada KUHPserta mengetahui secara lebih lanjut tentang bagaimana formulasi dalam pengaturan hukum homoseksual sesama orang dewasa jika dilihat dari ius constituendum. Yuridis normatif menjadi metode yang duginakan oleh penulis dalam menyusun artikel ini. Temuan berupa hasil penelitian akan dibahas dalam kaitannya dengan hubungan sesama jenis antara homoseksual, yang tidak sah menurut hukum Indonesia dan diatur dalam ketentuan Pasal 292 KUHP; namun, ketentuan ini hanya dimaksudkan untuk diterapkan pada hubungan homoseksual antara orang dewasa dan anak-anak. hanya anak di bawah umur. Berdasarkan tiga pertimbangan mendasar—hukum, teoretis, dan sosiologi, perbuatan homoseksual antara penjahat dewasa seharusnya dilegalkan di Indonesia. Setelah melakukan penelitian tentang hubungan homoseksual menurut hukum Indonesia, penulis ingin memberikan beberapa saran, yaitu perlunya mengkriminalkan hubungan homoseksual lebih dari sekedar antara orang dewasa dan orang dalam usia anak dan memasukkan tindakan ini yang pelakunya merupakan oleh orang lain. Kedewasaan untuk kemudian menambahkan pasal atau peraturan baru yang menentang homoseksualitas ke dalam KUHP yang diusulkan.

Kata kunci: homoseksual, orang dewasa, KUHP.

ABSTRACT

This article was created in order to find out how the legal arrangements for homosexual acts by fellow adults are guided by the Criminal Code and find out more about how the formulation of homosexual legal arrangements among adults when viewed from the ius constituendum. Normative juridical is the method used by the author in compiling this article. Findings in the form of research results will be discussed in relation to same-sex relationships between homosexuals, which are illegal under Indonesian law and regulated in the provisions of Article 292 of the Criminal Code; however, these provisions are only intended to apply to homosexual relationships between adults and children. Only minors. Based on three basic considerations—legal, theoretical, and sociological, homosexual acts between adult criminals should be legalized in Indonesia. After conducting research on homosexual relations under Indonesian law, the author would like to provide some suggestions, namely the need to criminalize homosexual relations more than just between adults and people of child age and include these acts where the perpetrators are other people. The maturity to then add new articles or regulations against homosexuality to the proposed Criminal Code.

Key Words: homosexual, adults, Criminal Code.

  • I.   Pendahuluan

    1.1  Latar Belakang Masalah

Ditinjau dari sudut pandang yuridis yang dimaksud dengan kejahatan diartikan berupa pelanggaran tertentu dalam bidang hukum yang mana pelanggaran tersebut pelakunya dapat dianggap mendapat sanksi, termasuk sebagaimana dimuat dalam ketentuan hukum

positif.1 Manusia dalam peran makhluk sosial tunduk pada hukum yang dibagi menjadi kebolehan ataupun suatu yang dilarang untuk dilakukan ketika melakukan interaksi satu sama lain atau dengan orang lain. Menurut definisi hukum Achmad Ali, hukum diartikan sebagai “perangkat kaidah” atau “kerangka tertentu guna mengidentifikasikan tindakan manusia yang patut untuk dilaksanakan dalam ranah anggota masyarakat dan apa yang tidak boleh dilakukannya, dengan sebaik-baiknya. Contoh penting adalah aktivitas homoseksual dan hubungan sesama jenis.2

Dewasa ini, terkhusus di Indonesia isu mengenai Lesbian, gay, bisexual, dan transgender atau yang disingkat LGBT sedang marak terjadi. Hal ini adalah fenomena sosial yang tidak selaras terhadap kaidah moral, etika, religi/agama, dan sosial tumbuh dan berkembang pada penduduk secara keseluruhan. Hambatan sosial ini adalah hasil dari orientasi seksual individu. Douglas Markus menyatakan orientasi seksual adalah kemampuan untuk mengungkapkan keinginan seseorang untuk mengungkapkan perasaan romantis, emosi dalam jiwa serta seksual pada seseorang (pria, wanita, ataupun kombinasi keduanya).

Homoseksualitas adalah tindakan tertarik pada seseorang dari jenis kelamin yang sama. Banyak insiden perilaku homoseksual terjadi akibat gangguan identitas gender yang pertama kali muncul pada anak-anak antara usia dua dan empat tahun. Kaplan, Sadock, dan Grebb menjelaskan bahwa kelainan ini disebabkan oleh produksi hormon testoren di tubulus, yang memengaruhi sel-sel otak dan berkontribusi pada maskulinisasi otak di hipotalamus, dan feminim, yang memiliki efek sebaliknya. Namun, sampai sekarang perdebatan masih terus terjadi mengenai gangguan yang muncul apakah dipengaruhi hormon atau tidak.

Sejak awal, topik homoseksualitas sering diperdebatkan di kalangan masyarakat global. Ada pihak yang berseberangan dalam perdebatan homoseksisme di Indonesia, termasuk kelompok selaras mapupun bersebrangan. Individu pendukung kesetaraan fenomena ini mengungkapkan masyarakat secara keseluruhan termasuk pemerintah perlu menjunjung tinggi prinsip nondiskriminasi antara laki-laki, perempuan, waria, dan orang lain dari semua orientasi seksual. Menurut pro-homoseksual, memiliki preferensi seksual adalah hak asasi manusia. Homoseksualitas dianggap sebagai sesuatu yang kurang dipahami di Indonesia. Media mengungkapkan berbagai sudut pandang tentang homoseksualitas, ada yang menerima dan ada yang menyangkalnya. Bahkan keberadaan homoseksualitas telah menjadi subyek berbagai analisis menarik dari berbagai sudut. UU No. 39 Tahun 1999 mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Organisasi yang mendukung homoseksualitas mengantisipasi bahwa masyarakat dan pemerintah akan mengakui keberadaan mereka.3

Saat membahas masalah kejahatan kesusilaan dalam konteks pidana hukum. Di antara untuk memberikan tanggapan terhadap suatu perbuatan tertentu dengan hanya mengulangi apa yang dikatakan, yang dimaksud adalah penerapan hukum pidana pada masyarakat umum. Hal ini memunculkan pernafsiran yang tidak sama terkhusus dapa aspek pembuatan aturan, selain itu juga pada penegakan hukumnya. Karena ini adalah bentuk kejahatan, ia memiliki karakteristik yang dapat ditemukan di bidang sosial, psikologis, dan bidang

lainnya.4

Pada dasarnya pasal-pasal KUHP tidak secara jelas mengatur homoseksualitas, hanya Pasal 281 KUHP yang mengatur kejahatan terhadap kesusilaan, dan Pasal 292 mengatur tindakan cabul yang terjadi antar orang jenisnya sama. Pada KUHP, homoseksualitas belum diatur secara rinci. Namun, perbuatan asusila telah diatur dalam Pasal 414-423. Aboebakar Alhabsy menilai terdapat kejanggalan dalam ketentuan hukum tentang KUHP ini. Secara tidak langsung, ia mengklaim pasal ini sebagai bukti legalitas perilaku homoseksual karena tidak sejalan dengan adat dan budaya Timur. Perilaku homoseksual dilarang dilakukan terhadap seseorang yang masih dalam usia anak. Beranjak dari hal itu, homoseksualitas ini dipidana pada seseorang pada kategori dibawah 18 tahun, namun jika fenomena ini pelakunya merupakan seseorang dengan umur dewasa (diatas 18 tahun) maka sah sah saja dilakukan.

Jika berdasarkan Pasal 292 KUHP, berarti tindak homoseksual antar sesama dewasa diatakan tidak melanggar/tidak dituntut. Sebab, tindakan homoseksual dewasa-ke-dewasa tidak tercakup dalam ketentuan hukum positif yang berpedoman terhadap legalitas sebagai suatu asas. Asas legalitas mencerminkan suatu kejahatan tidak dapat dilakukan jika tidak ada pengaturan hukum sebelumnya tentang perbuatan tersebut. Menurut asas legalitas berdasarkan pembuktian, seorang ahli hukum harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang apakah keadaan yang melingkupi perbuatan terdakwa telah diatur oleh undang-undang atau belum, agar memenuhi syarat untuk mengadilinya secara hukum.

Akibatnya, harus ada undang-undang yang secara khusus menangani perilaku homoseksual pada ranah perbuatan orang yang usia dewasa. Pentingnya ketentuan tersebut karena kalimat termaktub pada (KUHP) yang berbunyi, “Tindak pidana cabul sesama jenis (homoseksual) perlu dicantumkan dan ditegaskan dalam RUU KUHP,” tidak secara khusus memasukkan perbuatan homoseksual yang dilakukan. keluar dengan orang tuli. Akibatnya, harus ada undang-undang yang mengatur hubungan gay antara orang dewasa.

Solusi terbaik untuk masalah ini masih dicari, dan upaya dilakukan untuk memasukkan pembatasan homoseksualitas sebagai sesuatu yang dilarang dalam RUU KUHP. Perilaku tersebut diatur dalam Bab Tindak Pidana Kesusilaan, yang berarti ada akibat hukum atas pelanggaran standar moralitas sosial tertentu.5

Pembahasan mengenai pengaturan hukum terhadap perbuatan homosexual oleh pelaku sesama orang dewasa jika ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum pidana telah dikaji sebelumnya oleh Kukuh Prima, Usman, Herry Liyus.6 Dalam pembahasannya, disimpulkan bahwa Hubungan seksual sesama jenis yang dilakukan oleh homoseksual merupakan bagian dari tindak pidana menurut hukum pidana Indonesia, yaitu diatur di dalam ketentuan Pasal 292 KUHP, tetapi ketentuan tersebut terbatas hanya mengatur orang dewasa yang melakukan homoseksual dengan seorang anak di bawah umur saja. Perbuatan homoseksual antara pelaku dewasa perlu dijadikan sebagai tindak pidana di Indonesia dapat didasarkan pada tiga hal medasar, yakni dasar yuridis, teoritis, dan sosiologis. Saran Setelah penulis melakukan penelitian terhadap pengaturan homoseksual dalam hukum pidana indonesia, maka penulis ingin memberi saran yaitu bahwa perlu dilakukan kriminalisasi yang lebih luas terhadap hubungan homoseksual dari sekedar yang dilakukan oleh orang dewasa dengan anak dibawah umur diperluas juga terhadap hubungan seksual sesama jenis yang dilakukan oleh sesama orang dewasa. Selain hal tersebut, penulis juga memberikan analisis terkait dengan reformulasi hukum dengan mengeluarkan yurisdiksi mengenai perbuatan homosexual. Penulis lebih memfokuskan terhadap masukan-masukan agar reformulasi

hukum yang diciptakan di masa depan dapat berguna dan mencegah adanya tindakan homosexual.

Selain itu, pembahasan mengenai Tinjauan Yuridis Hubungan Seksual Sesama Jenis telah dibahas oleh Qidam Al Nohandi. Dalam pembahasannya, disimpulkan bahwa Pada dasarnya delik pencabulan sesama jenis ini sama seperti pencabulan yang ada di KUHP, karena bentuk dari perbuatannya sama yang membedakan bahwa dalam pencabulan sesama jenis ini baik pelaku maupun korban memiliki jenis kelamin yang sama. Misalnya homoseksual ataupun lesbian. Oleh karena itu perbuatan pencabulan sesama jenis terhadap orang dewasa ini dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 289 KUHP dan 290 angka 1 KUHP. Selain hal tersebut, penulis juga memberikan analsis terkait dengan bagaimana pentingnya melakukan suatu penafsiran yang relevan agar tidak menimbulkan suatu multitafsir dikemudian hari.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan hukum homoseksual sesama orang dewasa dalam KUHP?

  • 2.    Bagaimana formulasi pengaturan hukum homoseksual sesama orang dewasa pada ius constituendum?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Pencapaian yang ingin didapatkan dengan dilakukannya penelitian ini yakni pembaca mengetahui bagaimana pengaturan hukum mengenai homoseksual antar sesama dewasa jika ditinjau dari KUHP dan bagaimana formulasi dari pengaturan hukum terkait homoseksual yang dilakukan oleh sesama orang dewasa pada ius constituendum. Hal ini perlu peneliti ketahui karena urgensi dari perbuatan homoseksual sesama orang dewasa perlu ditinjau lebih lanjut agar sesuai dengan kaidah beserta norma ang berlaku di masyarakat.

  • II.    Metode Penelitian

Yuridis normatif menjadi metode yang penulis gunakan dalam menelaah persoalan tersebut, yakni dengan penyelidikan secara ilmiah tentang hakikat realitas pola pikir ilmiah menggunakan sudut pandang hukum sesuai dengan konsentrasi ilmu serta operasi secara normatif. Disini hukum sebagai objek yang menjadi pusat telaah dalam penyusunan sebuah jawaban terhadap persoalan yang diangkat. Problematika norma dalam penulisan jurnal ini yakni dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia masih terdapat kekosongan norma dimana pada peraturan saat ini hanya mengatur tentang orang dewasa yang melakukan homoseksual dengan seorang anak di bawah umur saja, namun belum adanya aturan mengenai perbuatan homoseksual antara pelaku dewasa. Oleh sebab itu, penelitian ini mempergunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dengan menggunakan bahan hukum yang bersumber dari studi kepustakaan yang memanfaatkan buku-buku ilmiah dan beberapa literatur yang menunjang penulisan. Memeriksa perilaku homoseksual dengan sudut pandang ketentuan KUHP. Setelah itu, harus dilihat dari perspektif fundamental kriminalisasi perilaku homoseksual dalam rangka pembaharuan hukum.7

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Pengaturan Hukum Homoseksual Sesama Orang Dewasa Dalam KUHP

Terkait tanggung jawab terhadap tindakan cabul pada sesorang dengan jenis yang sma,

jika ada korbannya masih usia anak, UU No 25 Tahun 2014 dapat menjadi acuan menangkap pelakunya. Namun, jika korban orang dewasa, tidak ketentuan yang berkesesuaian untuk menjerat. Dipikirkan secara implisit, tidak ada ketentuan pengaturan cabul sesama ketika korbannya sudah dewasa atau cukup umur.8

KUHP dan UU Pornografi tidak membahas homoseksualitas secara lebih rinci, dan satu-satunya bagian KUHP yang mengatur perilaku homoseksual adalah pasal 292, dan itupun, pelaku harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dinyatakan bersalah, jadi tidak semua pelaku homoseksual akan dinyatakan bersalah.9

KUHP seharusnya melindungi masyarakat secara keseluruhan tanpa memandang usia, namun Pasal 292 KUHP secara eksklusif mengatur pelanggaran homoseksual antara dewasa dengan orang dibawah umur, sehingga tidak mungkin masyarakat memiliki kejelasan hukum tentang pelanggaran gay. Ketentuan pasal 292 jelas menghalangi penanganan kejahatan homoseksual dengan sebaik-baiknya, karena untuk menangani kejahatan homoseksual dengan baik, status usia Anda harus dipertimbangkan.10

Homoseksualitas belum sepenuhnya diakomodir oleh pasal tersebut. Pasal 292 KUHP saat ini sedang diperdebatkan dan berkaitan dengan seseorang yang telah selesai pubertas dan melakukan aktivitas seksual dengan seseorang yang belum mencapai pubertas, atau berkaitan dengan seseorang yang melakukan hubungan romantis atau seksual dengan seseorang yang belum. mencapai pubertas, atau dengan kata lain, itu berkaitan dengan seseorang yang baru saja mulai melakukannya. Mengenai seseorang yang baru saja selesai minum atau berhubungan seks dengan orang lain yang baru saja selesai minum, serta seseorang yang belum sepenuhnya bangun tetapi sedang melakukan hubungan seks dengan seseorang yang belum sepenuhnya bangun tetapi sadar bahwa tidak ada pembatasan hukum dalam KUHP.

Saat ini, perilaku tidak pantas atau hubungan sesama dewasa lainnya maupun antar sesama anak yang sebaya dengan jenis kelamin yang sama. Mungkin juga anak yang tidak memiliki izin untuk terlibat dalam perilaku seperti itu dengan anak lain. Oleh karena itu, menjadi penting perumusan standar hukum yang memperhatikan segala ketentuan terkait tindakan cabul/seksual antar sesama jenis kelamin terlabih dari kalangan komunitas LGBT, baik dewasa mapupun dibawah umur. 11

Ketiga nilai fundamental lain tersebut di atas harus dimuat dalam peraturan perundang-undangan lain, bukan hanya Pasal 292 KUHP, sehingga Pasal 292 KUHP tidak dapat dijadikan pedoman untuk menentukan sesama jenis atau bukan. sesuai. koneksi. Kebutuhan untuk menegakkan aturan dan peraturan dengan benar adalah salah satu dari tiga prinsip dasar yang dimaksud. Pasal 292 KUHP mengandung nilai hukum peraturan perundang-undangan yang merupakan satu-satunya nilai fundamental sebagai landasan yang melekat disetiap peraturan hukum.

Berdasarkan uraian di atas, Pasal 292 KUHP hanya meliputi yuridisme; itu tidak mencakup filsafat atau sosiologi. Alhasil, Ketentuan Hubungan Same-Jinis dalam Pasal 292 KUHP siap dilaksanakan. Topik yang dibahas disini adalah Hubungan Sema Jenis, dimana tidak hanya Hubungan Sema Jenis antar sesama dewasa, atau dewasa dengan pihak dibawah

umur, tetapi Hubungan Sema Jenis antar individu tanpa berhubungan. Akibat pembaharuan itu, delik Hubungan sejenis kini dianggap bias karena landasan moralnya diperhitungkan.

Sederhananya, salah satu cara untuk memilih bentuk dan ciri produk hukum yang akan digunakan adalah melalui konfigurasi politik hukum. Terbukti, setidaknya harus ada tiga landasan peraturan perundang-undangan, yakni filosofis, sosiologis, dan yuridis.12 Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 289 KUHP, pelaku tindakan cabulous terhadap orang tertentu dapat dinyatakan melanggar Pasal 289 KUHP karena tindakan cabul tersebut disertai surat pemberitahuan kekerasan. Secara umum, tidak ada yang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang ini mengenai perlakuan ke korban pada usia dewasa. Tetapi, jika ditelisik lebih dalam, dapat ditentukan bahwa undang-undang 289 KUHP ini memenuhi syarat apa yang tercantum dalam undang-undang ini: "perbuatan cabul terhadap orang dewasa harus disertai dengan pemberitahuan kekerasan." Faktanya belum ada undang-undang menyatakan akan mengubah hal ini jika perbuatan tersebut tidak sesuai dengan pengecualian kekerasan.13

Dimungkinkan untuk mengklasifikasikan norma baru dalam aturan pidana sebagai satu-satunya alat yang paling efektif untuk kriminalisasi. Kriminalisasi adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pembenaran hukum untuk mengubah suatu tindak pidana sebelumnya dari suatu pidana menjadi pidana yang dimaksudkan untuk menekan kejahatan. Herbert L. Packer menekankan bahwa satu-satunya pertimbangan hukum yang paling signifikan dalam keadaan yang melibatkan kesulitan sosial adalah penegakan kejahatan sebagai kegiatan anti sosial melalui pengenaan sanksi pidana terhadap individu yang melanggar hukum pidana. Memerangi perilaku antisosial bermotivasi kriminal terhadap mereka yang melanggar hukum adalah masalah sosial dengan komponen hukum yang signifikan.14

  • 3.2    Formulasi Pengaturan Hukum Homoseksual Sesama Orang Dewasa Pada Ius Constituendum

Pelarangan perilaku independen oleh pasangan sesama jenis adalah upaya metodis untuk mengisi kesenjangan dalam standar hukum pidana dan membangun keseimbangan hukum. Tindakan yang disengaja ini dapat dikategorikan sebagai bentuk politik hukum. Bellefroid mengungkapkan, hal ini sebagai suatu jenis aktivitas yang melihat apa yang diperlukan amandemen hukum yang ada untuk memenuhi tuntutan baru politik hukum dari kehidupan sosial. Karena ia mengubah ius constituendum yang diturunkan dari sistem hukum sebelumnya menjadi cita-cita hukum di masa yang akan datang (ius constitutum) yang memajukan pembangunan hukum dan ketertiban (hukum yang dicita-citakan).

Peraturan hukum pidana tidak mengatur pencabulan dengan subjek antar para dewasa dengan gender jesenis. Hanya jika korbannya adalah anak muda atau ada unsur ketidakdewasaan barulah hukum pidana kita cukup spesifik untuk menimbulkan ganjaran setimpal terhadap mereka pelaku pencabulan antar jenis yang sama. Pasal 292 KUHP memuat sejarah tentang hal ini. Upaya umum untuk mengisi kekosongan hukum dapat diartikan berupa upaya dalam ketentuan pidana/kebijakan kriminal.

Karena homoseksualitas adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Negara Indonesia, yang menunjukkan bahwa negara yang religius dalam Pancasila disebutkan dalam sila pertama “kepada Tuhan Yang Maha Esa”, maka penulis berpendapat bahwa KUHP

masih perlu perbaikan dalam penafsirannya homoseksual. Selain itu, seorang homoseksual lebih rentan terhadap penyakit, oleh karena itu pembuat undang-undang harus mengevaluasi pasal tentang perzinahan dan homoseksualitas untuk memastikan bahwa pasal tersebut mematuhi norma-norma sosial.

Homoseksualitas yang merupakan kejahatan menurut Undang-Undang Nomor 1 KUHP 2023 tidak diatur secara khusus. Namun, Pasal 414–423 mengatur tentang perilaku asusila. Rumusan pasal ini sebenarnya berkaitan terhadap Pasal 292 KUHP; perbedaannya yakni pada umur korban pencabulan yang ditonjolkan dalam Rancangan KUHP adalah di bawah 18 tahun.

Dengan rumusan seperti itu, komponen objektifnya pada hakekatnya adalah ketidakdewasaan, dan usia yang diukur ketidakdewasaan kurang atau sama dengan 18 Th. Pasal ini dapat dikatakan memberi perlindungan kepada anak muda. Akibatnya, kita tidak menyaksikan titik terang seuatu keabsahan bahwasannya secara kolektif ketentuan pidana memperkuat prinsip yuridis bahwa setiap orang telah dewasa rentan terhadap hukuman.15

RUU KUHP dalam UU 1 Tahun 2023 memuat tindakan pencabulan yang dikualifikasi dalam pasal Pasal 414-423 diantaranya:

  • 1.    Semua orang yang berbuat cabul dihadapan pihak lain baik sama/berbeda jenis, memaksa/menggunakan kekerasan/mengancam, terlebih lagi disebar (konten pornografi);

  • 2.    Pencabulan terhadap orang tidak sadarkan diri/tak berdaya;

  • 3.    Menghasut berbuat Cabul Terhadapnya;

  • 4.    Terlibat dalam perilaku cabul dengan seseorang yang dikenal atau memiliki alasan kuat untuk dicurigai oleh anak;

  • 5.    Barang siapa melakukan zina pada anak dari darah daging, anak tiri, maupun asuhan ;

  • 6.    Barang siapa memberi atau menjanjikan untuk memberikan sesuatu; memanfaatkan situasi; tipu muslihat agar dapat bertindak cabul; atau perbuatan cabul dilakukan pada diri sendiri begitu saja;

  • 7.    Percabulan oleh pejabat dengan bawahan maupun staf yang diberikan kepadanya; atau

  • 8.    Pencabulan oleh Tenaga medis terhadap mereka di lembaga, panti asuhan, baik di lembaga pemasyarakatan, lembaga negara, lembaga pelatihan kerja, panti pendidikan, panti asuhan dan/atau panti sosial,.

Alasan-alasan hukum, teoretis, dan sosiologis dapat tercipta setelah terbentuknya konsep kriminalisasi pencabulan antar gender sejenis. Ini memungkinkan tindakan diatur oleh standar hukum pidana. Paling tidak, ide regulasi harus memperhatikan jiwa atau semangat negara; menggunakan pembanding dengan aturan luar negeri guna menemukan formulasi regulasi yang tepat; melihat permasalahan yuridis perlu pengaturan; serta perilaku yang perlu diatur dan diharamkan.16

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, pertama-tama perlu menelisik karakter/jiwa bangsa ketika merumuskan pendapat tentang perilaku tidak senonoh pada jenis kelamin yang sama. Konsep pedoman untuk peraturan yang diusulkan harus sesuai dengan prinsip ideologi serta hukum di masyarakat. kemudian mengenai ancaman tuntutan pidana terhadap pasangan sesama jenis yang melakukan perbuatan cabul. Pengaturan sesama laki laki maupun sesama perempuan yang telah dewasa adalah komponen kunci dari

konsep mengkriminalkan kecabulan pasangan sesama jenis.17

Hal ini mengisi kesenjangan dalam standar yang diatur dalam Pasal 292 KUHP, menurut penelitian ini. Syarat ketiga dan keempat ialah terkait dengan konseptualisasi jenis kegiatan dan konseptualisasi hukuman. Menurut Prija Djatmika, ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam pencegahan kejahatan melalui penggunaan kebijakan penal (termasuk dalam perumusan konsep kebijakan), yaitu perilaku apa yang harus diklasifikasikan sebagai tindakan kriminal dan hukuman apa yang harus diberikan. dikenakan kepada mereka yang melakukan kejahatan.18

Gagasan kebijakan rumusan hukum pidana di Indonesia yang mengkriminalkan tindakan cabul pada hubungan dengan jenis kelamin yang sama dilakukan melalui pertimbangan faktor tertentu. Gagasan berikut dikemukakan dengan mempertimbangkan peraturan hukum pidana saat ini dan mencermati bagaimana perbandingan pengaturan yang berbeda, adalah19:

  • a.    Dijatuhkan pidana maksimal 5 Tahun sebab tindakan cabul:

  • 1)    Sosok laki-laki menikah melakukan perilaku yang tidak pantas dengan laki-laki lain.

  • 2)    Apabila laki-laki yang sudah kawin dan mengikat melaksanakan pencabulan terhadap laki-laki tersebut.

  • 3)    Wanita telah menikah terlibat dalam perilaku pencabulan antar wanita.

  • 4)    Seorang wanita yang sedang dalam perkawinan mencabuli wanita lain yang sudah terikat perkawinan.

  • b.    Pria sama-sama tidak menikah dapat dipidana 2 tahun penjara dan/atau hukuman maksimal 50 juta rupiah karena melakukan perbuatan cabul, baik dengan persetujuan pria tersebut atau tanpa persetujuan pria tersebut.

Jika dilihat dari sisi seorang wanita yang belum menikah melakukan perbuatan cabul dengan wanita lain, baik dengan atau tanpa persetujuannya para pihak, baik dengan atau tanpa persetujuan wanita lain itu, dia dapat dihukum kurungan penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda 50 juta rupiah maksimal yang diatur ketentuan UU.

  • IV.  Kesimpulan sebagai Penutup

    4.   Kesimpulan

Uraian diatas mengajak kita menelisik kembali bahwasannya oleh karena Pasal 292 KUHP mengalami pengaburan norma atau ketiadaan pengaturan, sehingga tidak mungkin menjalankan fungsi hukum memberikan kepastian hukum. Pengaturan terhadap kejahatan homoseksual tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat yang ditentukan secara sosiologis dalam suatu peraturan atau undang-undang. Pasal ini berkaitan dengan pelanggaran GAY, namun hanya membahas persoalan yang kejadiannya pada kalangan anak maupun remaja lainnya dimana pelakunya merupakan orang dewasa. Akibatnya, Pasal 292 tidak mengatur perilaku homoseksual yang terjadi pada orang dalam usia anak oleh orang yang telah dewasa.

Sementara Satjpto Raharjo berpendapat bahwa perlindungan hukum berarti mempertahankan hak seseorang dalam segala keadaan, bagaimanapun keadaannya, perlindungan hukum yang bersifat universal atau menyeluruh terhambat oleh pengaturan yang rancu ini. Kedua, ketentuan perbuatan cabul ketentuan UU No. 1 Tahun 2023 (KUHP) menjadi sarana sistematis untuk menyikapi moralitas publik melalui penggunaan kebijakan hukum, yang berimplikasi bahwa keberadaan komunitas LGBT tidak dimungkinkan dengan berpegang teguh pada Pancasila dan prinsip Negara Keagamaan sesuai amanah sebagaimana dinyatakan konstitusi. Di luar hal tersebut, kelompok LGBT tak semata mata dapat ditinjau dengan perspektif HAM yang secara umum berkembang di lingkungan sosial; tetapi perlu pertimbangan dari faktor lokal lainnya. Ide yang muncul dalam hal ini lebih didasarkan pada rasa kebersamaan dan pemikiran kelompok daripada individualisme dan liberalisme. Orientasi, serta perilaku LGBT, adalah tiga persoalan yang tidak bisa diselesaikan di bawah hukum Pancasila. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana prinsip dasar Pancasila dijalankan, yaitu bagaimana mendamaikan tindakan terorisme individu dan kolektif dengan nilai numerik Ketuhanan, yang diwujudkan melalui agama dan kepercayaan, serta hal-hal terkait lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum Edisi Kedua (Jakarta, Prenadamedia Group, 2015).

Lamintang, P. A. F. dan Franciscus Theojunior Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia (Jakarta, Sinar Grafika, 2014).

Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia (Jakarta, Rajawali Pers, 2017).

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Jakarta, Kencana, 2019).

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana (Jskarta. Rineka Cipta, 2008)

Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif (Jakarta. Sinar Grafika, 2014).

Jurnal

Al Nohandi, Qidam. “Tinjauan Yuridis Hubungan Seksual Sesama Jenis.” Juris-Diction 3, No. 5 (2020).

Asrianto, Zainal. “Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual Di Tinjau dari Kebijakan hukum Pidana.” Jurnal Al-‘Adl 7, No. 3 (2014).

Asyari, Fatimah. “LGBT dan Hukum Positif Indonesia.” Jurnal Legalitas 2, No. 2 (2017).

Ayuningtyas, Eka, Rodliyah dan Parman, Lalu. “Konsep Pencabulan Verbal dan Non Verbal Dalam Hukum Pidana.” Jurnal Education and Development 7, No. 3 (2019).

Chikaly Nurfajria, H dan Mahmud Ade. “Studi Komparatif Pengaturan Tindak Pidana Homoseksual Menurut Hukum Pidana Dan Hukum Jinayat.” Prosiding Ilmu Hukum 7, No. 1 (2021).

Crews, Douglas dan Marcus Crawford. “Exploring The Role Of Being Out On A Queer Person’s Self.” Journal of Gay & Lesbian Social Services 27, No. 2 (2015).

Kartika, Yuni dan Najemi, Andi. “Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual (Catcalling) Dalam Perspektif Hukum Pidana.” PAMPAS: Journal Of Criminal Law 1, No. 2 (2020).

Prima, Kukuh, Usman dan Liyus Herry. “Pengaturan Homoseksual Dalam Hukum Pidana Indonesia.” PAMPAS: Journal of Criminal Law 1, No. 3 (2021).

Putri, D. “LGBT dalam Kajian Hak Asasi Manusia di Indonesia”. Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal 2, No. 1 (2022).

Ramailis, Neri Widya. “Homoseksual Potret Perilaku Seksual Menyimpang Dalam Perspektif Kriminologi, Islam dan Budaya Melayu.” Jurnal Hukum 1, No. 2 (2015).

Rustamaji, Muhammad. “Biomijuridika: Pemikiran Ilmu Hukum Pidana Berketuhanan dari Barda Nawawi Arief.” Jurnal Hukum 2, No. 1 (2019).

Singgih, I Ketut dan Laksana, IGN Dharma. “Homoseksual Dalam Perspektif Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”. Jurnal Kertha Wicara 9, No. 8 (2020).

Zainal, Asrianto. “Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual Di Tinjau Dari Kebijakan Hukum Pidana.” Jurnal Al-‘Adl 7, No. 1 (2014).

Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan-Putusan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3886

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5606

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016. Hlm 451-452. Diakses https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/46_PUU-XIV_2016.pdf, 20 Juli 2022

Jurnal Kertha Wicara Vol 12 No 05 Tahun 2023, hlm. 277-286