Diskursus Kompetensi Pengadilan Negeri dalam Memutus Penundaan Pemilu: Studi Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst
on

Diskursus Kompetensi Pengadilan Negeri dalam Memutus Penundaan Pemilu: Studi Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst
Ni Kadek Ayu Sri Undari,1 I Gusti Ayu Ketut Intan Pradnyawati2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: ayusriundari@gmail.com
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: intanpradnya08@gmail.com
Info Artikel
Masuk : 14 Maret 2023 Diterima : 31 Maret 2023
Terbit : 30 April 2023
Keywords :
General Elections, Postponement of Elections, Election Process Disputes,
Competency to Adjudicate.
Kata kunci:
Pemilihan Umum, Penundaan
Pemilu, Sengketa Proses Pemilu, Kompetensi Mengadili.
Corresponding Author:
Ni Kadek Ayu Sri Undari,
E-mail:
Abstract
Elections are essential for a democratic country, so the postponement of elections is considered as an insult to the constitution. This study aims to comprehensively describe the provisions for postponing elections based on the constitution and the derivative law perspective, presents the implementation of these provisions in the context of the Central Jakarta District Court Decision Number 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst and elaborates on the projections of juridical and political implications of the decision issuance. The normative research method was chosen to examine these problems through statute, case, and conceptual approaches to primary and secondary legal sources, which were then presented in a descriptive-qualitative manner. Legally speaking, the study results show that the authority to determine the postponement of elections rests with the General Election Commissions or the President based on considerations in the form of riots; security breaches; natural disasters; interference, or a hazardous situation. These indicators have yet to be fulfilled by the District Court Decision, which does not even have the authority to decide on election process disputes and postponement. Nevertheless, the res judicata pro veritate habetur principle means that the decision must be considered correct and carried out. Thus, it conducts juridical implications in cornering the General Election Commissions in a dilemma. Politically, it will become a precedent that legitimizes the use of legal loopholes to carry out political agendas in postponing the election to a later date.
Abstrak
Pemilu merupakan pranata terpenting bagi negara demokrasi sehingga penundaan pemilu dianggap sebagai sebuah pelecehan terhadap konstitusi. Penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan secara komprehensif ketentuan penundaan pemilu yang dikaji berdasarkan perspektif konstitusi dan peraturan perundang-undangan turunannya, menyajikan implementasi ketentuan tersebut dalam konteks Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst serta mengelaborasi proyeksi implikasi yuridis dan politis atas dikeluarkannya Putusan in casu. Metode penelitian normatif dipilih untuk mengkaji permasalahan
DOI :
10.24843/KP.2023.v45.i01.p01
tersebut melalui statute, case dan conceptual approach terhadap sumber hukum primer dan sekunder yang kemudian disajikan secara deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara yuridis, kewenangan penetapan penundaan pemilu berada pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Presiden dengan dasar pertimbangan berupa adanya kerusuhan; gangguan keamanan; bencana alam; gangguan lainnya atau terjadinya situasi bahaya. Keseluruhan indikator tersebut tidaklah terpenuhi dalam konteks Putusan Pengadilan Negeri in casu yang bahkan sejatinya tidak memiliki kewenangan untuk memutus sengketa proses pemilu dan terlebih menetapkan penundaan pemilu. Kendatipun demikian, asas res judicata pro veritate habetur mengakibatkan putusan tersebut tetap harus dianggap benar dan dijalankan sehingga pada akhirnya menyisakan ruang besar implikasi yuridis berupa penyudutan KPU dalam posisi yang dilematis, serta secara politis akan menjadi sebuah preseden yang melegitimasi pemanfaatan celah hukum demi menjalankan agenda politik penundaan pemilu di kemudian hari.
Diletakkannya kedaulatan tertinggi di tangan rakyat1 telah melegitimasi kedudukan Indonesia sebagai negara demokrasi. Paham tersebut pun secara eksplisit termaktub dalam salah satu butir Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm dan falsafah bangsa yang menyatakan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.2 Demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia pada akhirnya mengakibatkan rakyat memiliki peranan yang sangat krusial dalam menentukan bentuk dan isi pemerintahan berdasarkan hati nurani demi mencapai kesejahteraan bersama.3 Dengan kata lain, rakyat merupakan sentral dari segala bentuk penyelenggaraan urusan dan kepentingan negara (government or role by the people),4 yang secara simultan pula mengakibatkan penyelenggaraan tersebut dilaksanakan “dari, oleh dan untuk rakyat” itu sendiri.
Dalam tataran praktis, kedaulatan rakyat diimplementasikan secara nyata melalui penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu menjadi sebuah sarana untuk mengakomodir kehendak rakyat yang sekaligus akan menjadi dasar keabsahan kewenangan pemerintah dan kekuasaan yang dimilikinya. Dengan demikian, pada dasarnya kedudukan Pemilu merupakan sebuah wadah kontestasi politik (cara yang dipilih untuk mencapai suatu tujuan)5 dengan pesertanya yang berupa Partai-Partai Politik. Miriam Budiardjo memberikan definisi atas partai politik yakni suatu organisasi kelompok yang terdiri dari anggota-anggota dengan kesamaan orientasi, nilai dan cita-
cita.6 Lebih lanjut, kehadiran partai politik sejatinya bertujuan untuk meraih kedudukan dan kekuasaan politik dengan cara-cara konstitusional demi menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dimilikinya.7 Sigmund Neumaan dalam “Modern Political Parties”8 bahkan menyampaikan bahwa partai politik menjadi sarana bagi aktivis-aktivis politik dalam memperoleh kekuasaan pemerintahan melalui persaingan dengan golongan lainnya yang berbeda pandangan guna merebut dukungan rakyat.
Persaingan antar partai politik demi memperoleh tampuk kekuasaan pemerintahan terjadi dalam Pemilu sebagai arena kompetisi. Kendatipun pada awalnya kehadiran partai politik bertujuan untuk menjembatani aspirasi masyarakat, pergeseran paradigma justru terjadi yang diindikasikan dengan hilangnya arah dan tujuan dari masing-masing partai. Alih-alih mengedepankan fungsinya sebagai penyambung aspirasi, partai politik kini cenderung terjebak dalam siklus agenda dengan tujuan pragmatis berupa mempertahankan kekuasaan sebagaimana diungkapkan oleh Carl J. Friedrich, La Palombara maupun Anderson.9 Oleh karena itu, bukan sesuatu yang asing terjadi apabila partai politik alhasil menempuh segala cara demi mempertahankan tujuan pragmatisnya tersebut. Cara-cara tersebut tidak jarang pula dilakukan melalui mekanisme politis yang memanfaatkan celah-celah hukum sebagai dasar legitimasi, sebagaimana kasus pelayangan gugatan perdata oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dalam rangkaian Pemilu 2024 terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sejatinya menyiratkan agenda terselubung berupa penundaan pemilu.
Narasi penundaan pemilu 2024 telah bergulir sejak Januari 2022 yang didasari oleh dalih perlindungan perekonomian dan politik negara dalam situasi Pandemi Covid-19. Kendati demikian, pada awalnya narasi tersebut hanya menjadi sebuah wacana yang memantik beragam diskursus masyarakat tanpa upaya konkret untuk direalisasikan. Hingga pada akhirnya, kegagalan Partai Prima dalam melakukan verifikasi faktual dan bergabung sebagai peserta pemilu 2024 menjadi cikal bakal perubahan narasi penundaan menjadi sebuah realisasi. Berbagai jalan telah ditempuh oleh Partai Prima demi meloloskan dirinya sebagai peserta Pemilu 2024, dimulai dari pengajuan sengketa proses ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, upaya-upaya tersebut gagal mengakomodir tujuan yang dicita-citakan, sehingga pada akhirnya gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri menjadi jalur yang dipilih oleh Partai Prima.
Melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tertanggal 1 Maret 2023, gugatan perdata yang diajukan oleh Partai Prima dinyatakan diterima secara keseluruhan.10 Putusan tersebut pun berimplikasi pada timbulnya kewajiban bagi KPU untuk mengganti kerugian materiil dari Partai Prima sebesar Rp. 500 juta serta secara immateriil dilakukan dengan “tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum
dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari”.11 Meskipun putusan tersebut tidak secara eksplisit memuat frasa “penundaan pemilu”, namun poin kelima dalam amar putusan tersebut telah secara implisit melahirkan konsekuensi yuridis berupa diberhentikannya segala rangkaian proses pemilu 2024 dan dilakukannya pengulangan kembali segala tahapan sehingga berujung pada mundurnya pelaksanaan pemilu dari yang telah dijadwalkan. Kondisi tersebut tentu pada dasarnya telah menyimpangi ketentuan konstitusi yang mensyaratkan penyelenggaraan pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.12
Selain merupakan bentuk penyimpangan atas konstitusi, Putusan in casu pun menyisakan berbagai kejanggalan yang membutuhkan pengkajian lebih lanjut melalui penelusuran normatif terhadap ketentuan penundaan pemilu di Indonesia serta relevansinya dalam konteks putusan in casu. Di samping itu, proyeksi terhadap implikasi secara yuridis dan politis atas putusan tersebut juga menjadi persoalan yang penting untuk dikaji demi mencegah penggunaan cara-cara inkonstitusional guna mempertahankan kekuasaan politik. Penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan secara komprehensif ketentuan penundaan pemilu yang dikaji berdasarkan perspektif konstitusi dan peraturan perundang-undangan derivatif lainnya; menyajikan implementasi ketentuan tersebut dalam konteks Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst; serta mengelaborasi proyeksi implikasi yuridis dan politis atas dikeluarkannya Putusan in casu.
Penelitian serupa telah dilaksanakan oleh Wilma Silalahi pada tahun 2020 dalam artikel yang berjudul “Konstitusionalitas Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Serentak 2020”13 dengan pokok bahasan berupa penundaan Pemilu 2020 yang ditinjau berdasarkan perspektif konstitusi. Adapun penelitian tersebut pada akhirnya menyatakan bahwa penundaan Pemilu 2020 merupakan tindakan yang konstitusional atas dasar pertimbangan kesejahteraan dan perlindungan terhadap rakyat dalam situasi pandemi. Di samping itu, penelitian lainnya juga pernah dilaksanakan oleh Wicipto Setiadi dan Citraresmi Widoretno Putri dengan judul artikel “Penundaan Pemilihan Kepala Daerah Pada Masa Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara”, yang pada intinya menyatakan bahwa penundaan pemilu tersebut telah sesuai dengan prinsip asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dan memiliki dasar legitimasi yang jelas. Meskipun didasari oleh satu akar permasalahan yang sama yakni terkait penundaan pemilu, tulisan ini secara terfokus akan menjabarkan ketentuan penundaan pemilu yang didasarkan pada perspektif konstitusi dan peraturan perundang-undangan derivatif lainnya, serta lebih lanjut dielaborasi dalam konteks Penundaan Pemilu 2024 sebagai implikasi dikeluarkannya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.
Penelitian normatif dipilih untuk menyelesaikan permasalahan dalam penelitian ini melalui pengkajian atas aturan-aturan yang berlaku. Penelitian ini menggunakan lebih dari satu pendekatan yakni secara perundang-undangan (statute approach) melalui pengkajian atas ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan penundaan Pemilu di Indonesia serta secara terkhusus terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Di samping itu, pendekatan secara kasuistis (case approach) juga digunakan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt. Pst terkait penundaan pemilu. Selain itu, digunakan pula pendekatan konsep (conceptual approach) dalam konteks negara demokrasi. Bahan hukum primer dalam penulisan artikel ini bersumber dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pengaturan pemilihan umum. Sedangkan bahan hukum sekunder diambil dari pengkajian atas buku-buku, jurnal hukum maupun artikel ilmiah terkait. Bahan-bahan hukum tersebut kemudian dikumpulkan dan dianalisis menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum studi kepustakaan dengan mengkaji literatur dan peraturan perundang-undangan terkait dan menyajikannya secara deskriptif-kualitatif.
Demokrasi dibangun atas prinsip kedaulatan rakyat yang bermakna kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.14 Putusan MK Nomor 61/PUU-XI/2013 pada pokoknya memaknai kedaulatan rakyat sebagai kedudukan rakyat yang secara demokratis berperan dalam memilih pemimpin guna menyelenggarakan pemerintahan demi mengurus dan melayani masyarakat serta memilih perwakilan rakyat guna menjalankan fungsi pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Di sisi lain, Jimly Asshiddiqie15 menguraikan bahwa legitimasi konstitusi bersumber pada kedaulatan negara. Hal tersebut berarti ketika suatu negara menjadikan kedaulatan rakyat sebagai paham yang dianut dan diterapkan, maka dasar keabsahan konstitusi negara tersebut bersumber dari rakyat.
Dalam eksistensi negara demokrasi, Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pilar penyangga penyelenggaraan negara. Pemilu menjadi wadah rakyat untuk turut serta berpartisipasi secara aktif dalam penentuan arah kebijakan sehingga mampu mencerminkan prinsip dasar demokrasi dalam kehidupan bernegara. Hal senada juga diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa Pemilu menyiratkan tujuan yang salah satunya ialah berupa upaya untuk menjalankan kedaulatan rakyat
melalui lembaga perwakilan.16 Indonesia adalah negara yang menganut paham demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan pemerintahannya sebagaimana termuat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yakni “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Oleh karena itu, sebagai bentuk implementasi dari prinsip demokrasi tersebut maka Indonesia menyelenggarakan pemilu secara berkala setiap lima tahun sekali.
Bagi negara demokrasi, Pemilu adalah pesta demokrasi yang dinantikan oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, tak jarang pula terjadi sengketa sepanjang rangkaian Pemilu tersebut, baik dalam ranah proses maupun hasil dari Pemilu itu sendiri. Sengketa dapat terjadi pada setiap tahapan pemilu seperti diungkapkan oleh Janedjri M. Gaffar sebagaimana dikutip oleh Refly Harun, yang menyatakan bahwa potensi persengketaan sangatlah memungkinkan dalam setiap tahapan demi tahapan proses penyelenggaraan pemilu. Sengketa tersebut pun dapat dipicu oleh adanya kecurangan (fraud), kekhilafan (mistake), ataupun berupa dilaksanakannya upaya-upaya pemenangan pemilu yang mampu menurunkan kepercayaan publik sekalipun tidak melanggar hukum (non-fraudulentmisconduct). 17
Berdasarkan pengkajian dari UU Pemilu, permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu terdiri dari empat jenis yaitu, pelanggaran, sengketa proses, perselisihan hasil pemilu, dan tindak pidana pemilu. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 466 UU Pemilu memberikan Batasan pemaknaan terhadap sengketa proses sebagai “Sengketa proses pemilu meliputi sengketa yang terjadi antar-Peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota”. Dalam Pasal 93 huruf b UU Pemilu pun telah dijabarkan terkait Lembaga yang berwenang untuk mengadili penyelesaian sengketa proses tersebut yang menyatakan bahwa “Bawaslu bertugas: b. melakukan pencegahan dan penindakan terhadap:
-
1. pelanggaran Pemilu; dan
-
2. sengketa proses Pemilu”.
Pasal 467 ayat (1) UU Pemilu bahkan menguraikan secara lebih tegas bahwa “Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/ Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU kabupaten/Kota”. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 469 ayat (1) UU Pemilu telah memberikan kepastian hukum yang bekaitan dengan sifat putusan Bawaslu atas persoalan sengketa proses dengan menyatakan “Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan putusan yang bersilat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses Pemilu yang berkaitan dengan:
-
a. verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu;
-
b. penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan
-
c. penetapan Pasangan Calon”.
Kemudian, dalam Pasal 469 ayat (2) UU Pemilu ditentukan bahwa “Dalam hal penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada pengadilan tata usaha negara.” (cetak tebal penulis).
Kewenangan PTUN dalam penyelesaian sengketa proses Pemilu lantas dijabarkan dalam Pasal 470 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan “Sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik caton Peserta Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota”. Penyelesaian sengketa proses pemilu melalui adjudikasi oleh bawaslu merupakan skema khusus yang dirancang dalam proses pemilu sebagai upaya penanganan cepat agar sengketa yang timbul terus berjalan sehingga dapat diselesaikan dengan cepat karena tahapan berikutnya telah berada di depan mata.18
Pada hakikatnya, pelaksanaan pemilu di Indonesia dilandasi oleh ketentuan dalam UUD 1945. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah mengatur bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Dikaji dari rekam jejak pembahasan UUD 1945 atau Naskah Komprehensif dapat disimpulkan bahwa jangka waktu “lima tahun sekali” dianggap penting untuk diatur secara jelas dalam UUD agar terciptanya kepastian hukum dalam pemilu. Kendati demikian, apabila ditelusuri secara seksama, konstitusi sejatinya tidak memberikan ketentuan secara eksplisit yang berkaitan dengan pengecualian terhadap kewajiban pelaksanaan Pemilu secara berkala tersebut dalam suatu situasi dan kondisi tertentu yang dihadapi oleh masyarakat.
Apabila dikaji lebih lanjut, ketentuan mengenai kewajiban penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali dapat ditunda berdasarkan beberapa persyaratan legalitas penundaan. Pengaturan terkait hal tersebut dapat ditemui dalam UU Pemilu, yang meskipun tidak secara tekstual merumuskan frasa “penundaan pemilu”, melainkan tetap memiliki pemaknaan yang sama dengan penggunaan istilah berupa “pemilu lanjutan dan pemilu susulan”. Berdasarkan penjelasan Pasal 431 ayat (1) UU Pemilu ditentukan bahwa “Yang dimaksud dengan "Pemilu lanjutan" adalah Pemilu untuk melanjutkan tahapan yang terhenti dan/atau tahapan yang belum dilaksanakan”. Sedangkan definisi atas Pemilu susulan dapat ditemukan dalam rumusan penjelasan Pasal 432 ayat (1) UU Pemilu yang menentukan bahwa “Yang dimaksud dengan “Pemilu susulan” adalah Pemilu untuk melaksanakan semua tahapan Pemilu yang tidak dapat dilaksanakan”.
Pasal 431 ayat (1) UU Pemilu telah menguraikan bahwa “Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan; bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan”. Lebih lanjut ketentuan Pasal 432 ayat (1) UU Pemilu mengatur bahwa “Dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan”. Beranjak dari ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilu lanjutan dan pemilu susulan hanya dapat dilaksanakan apabila terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang dinilai mengakibatkan sebagian maupun keseluruhan tahapan penyelenggaraan pemilu tidak dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, pemilu hanya dapat ditunda dan memiliki kekuatan legalitas ketika syarat-syarat yang disebutkan dalam pasal di atas terpenuhi secara alternatif.
Di samping itu, probabilitas penundaan pemilu juga dimungkinkan berdasar pada ketentuan Pasal 12 UUD 1945 yang mengatur bahwa “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Pernyataan tersebut diamini oleh Pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada, Herlambang P. Wiratraman, yang menjelaskan bahwa penundaan Pemilu 2024 memungkinkan untuk didasarkan pada pasal tersebut. Namun, hal yang menjadi persoalan ialah terkait bagaimana interpretasi terhadap rumusan Pasal 12 UUD 1945 tersebut dilaksanakan. Wiratraman kemudian mengungkapkan bahwa interpretasi terhadap “keadaan bahaya” dalam hukum tata negara dibagi dua, yaitu dalam arti yang sesungguhnya seperti berupa bencana, dan dalam arti ketiadaan hukum yang mengatur.19
Berkaitan dengan ketentuan penundaan Pemilu, Pasal 433 ayat (2) UU Pemilu lantas menjabarkan lembaga yang memiliki kewenangan untuk menetapkan dilaksanakannya penundaan. Adapun pasal tersebut memuat ketentuan sebagai berikut:
“Penetapan penundaan pelaksanaan pemilu dilakukan oleh:
-
a. KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kelurahan/desa;
-
b. KPU Provinsi atas usul KPU Kabupaten/Kota apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota; atau
-
c. KPU atas usul KPU provinsi apabila pelaksanaan Pemilu lanjutan atau susulan meliputi satu atau beberapa provinsi”.
Selanjutnya dalam pada pasal 433 ayat (3) UU Pemilu ditentukan bahwa “Dalam hal Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (1) dan 432 ayat (1) tidak dapat dilaksanakan di 40% (empat puluh persen) jumlah provinsi dan 50% (lima puluh persen) dari jumlah Pemilih terdaftar secara nasional tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih, penetapan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan dilakukan oleh presiden atas usul KPU”.
Beranjak dari pengaturan a quo, dapat disimpulkan bahwa apabila indikator keabsahan penundaan Pemilu telah terpenuhi maka KPU merupakan Lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan penundaan sebagaimana diatur dalam Pasal 433 ayat (2) sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang dimilikinya. Di sisi lain, apabila pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% dan 50% dari jumlah pemilih terdaftar secara nasional, maka penetapan pemilu susulan dan pemilu lanjutan tersebut dilakukan oleh presiden atas usul dari KPU.
Merujuk pada Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022, pemilihan umum nasional dan pemilihan kepala daerah tiada lagi dianggap sebagai dua rezim pemilihan yang berbeda dan terpisah. Oleh karena itu, penelusuran terhadap rekam jejak penundaan pemilihan kepala daerah juga secara simultan digolongkan sebagai bagian dari catatan historis penundaan pemilihan dalam konteks “pemilu” secara keseluruhan. Apabila ditelisik lebih jauh, praktik penundaan Pemilu belakangan telah terjadi pada tahun 2020 melalui Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor: 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 tentang Penundaan Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020 dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19. Dikeluarkannya instrumen yuridis tersebut dilatarbelakangi dengan diterbitkannya Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13.A Tahun 2020 tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia dan juga dikeluarkannya Surat Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor S-0235/K.BAWASLU/PM.00.00/3/2020 tanggal 16 Maret 2020 Perihal Antisipasi Dampak Virus Covid-19 terhadap Penyelenggaraan Tahapan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tahun 2020. 20
Peraturan tersebut kemudian diperkuat dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 (selanjutnya disebut PKPU 5/2020). Diterbitkannya peraturan–peraturan tersebut berimplikasi pada penundaan penyelenggaraan Pemilu yang awalnya dijadwalkan pada 23 September 2020 ditunda menjadi 9 Desember 2020 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8B PKPU 5/2020. Di samping itu, penundaan pemilu juga menyebabkan terjadinya kekosongan jabatan selama penundaan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sehingga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengisian kekosongan jabatan dilakukan melalui penunjukkan/pelimpahan jabatan. 21
Meskipun penundaan pemilu pada praktiknya pernah dilaksanakan, perdebatan mengenai kelayakan penundaan pemilu masih terus bergulir. Terlebih ketika mengingat bahwa UUD 1945 sebagai konstitusi negara tidaklah memuat aturan yang berkaitan dengan penundaan pemilu. UUD 1945 hanya mengatur pelaksanaan Pemilu dilakukan
setiap lima tahun sekali sehingga penundaan pemilu kerap kali mengarah pada suatu bentuk pelecehan terhadap konstitusi.22 Hal tersebut tidaklah terlepas dari dampak penundaan pemilu tersebut yang oleh Busyro Muqqodas disebut sebagai upaya pengubahan UUD 1945 yang seharusnya menjadi norma dasar penyelenggaraan negara. Dalam hal apabila konstitusi tersebut secara sengaja dilanggar, maka pada akhirnya akan berakibat pada terjadinya krisis intuisi dan akal budi para pemegang birokrasi di negeri ini.23
Gugatan perdata yang dilayangkan oleh Partai Prima kepada KPU sejatinya dipicu oleh serangkaian proses yang saling bertautan. Persoalan tersebut bermula dari kegagalan Partai Prima dalam mengikuti proses verifikasi faktual dan menjadi Partai Politik peserta pemilu sebagaimana diuraikan dalam Berita Acara KPU Nomor 275/PL.01.1-BA/05/2022. Oleh karena itu, Partai Prima kemudian menempuh upaya hukum berupa pengajuan sengketa proses pemilu yang menjadi ranah kewenangan Bawaslu. Dalam Putusan Bawaslu Nomor 002/PS.REG/BAWASLU/X/2022, Bawaslu pada akhirnya memberikan kesempatan kepada Partai Prima untuk melakukan penyampaian dokumen persyaratan perbaikan dalam kurun waktu 1x24 jam dan memerintahkan KPU untuk melaksanakan verifikasi administrasi perbaikan atas dokumen tersebut.24 Kendati demikian, KPU dinilai tidak mengindahkan Putusan Bawaslu dengan tetap menyatakan bahwa Partai Prima tidak memenuhi syarat (TMS) untuk menjadi partai politik peserta pemilu. Berkaitan dengan hal tersebut, Partai Prima kemudian mengajukan kembali upaya administratif berupa Permohonan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu ke Bawaslu sebagaimana tercatat dalam Tanda Terima Berkas Nomor 011/PS.PNM.LG/BAWASLU/XI2022. Namun, Partai Prima kembali gagal untuk mencapai keinginannya menjadi partai politik peserta pemilu akibat Bawaslu menyatakan “tidak dapat menerima permohonan sengketa Proses Pemilu yang diajukan Partai Prima” sebagaimana telah dimuat dalam Pemberitahuan Permohonan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum Tidak Dapat Diterima Nomor 1/PS.00/K1/11/2022 tanggal 23 November 2022.25
Pasca dinyatakan tidak diterima oleh Bawaslu, Partai Prima melanjutkan upaya hukum berupa Pengajuan gugatan di PTUN, namun dalam Penetapan Dismissal Proses dengan nomor 425/G/2022/PTUN.JKT diuraikan bahwa pada intinya gugatan yang diajukan tetap tidak dapat diterima. Sederet kegagalan upaya yang telah ditempuh oleh Partai Prima untuk menjadi salah satu partai peserta pemilu pada akhirnya mengarahkan partai tersebut untuk mengambil jalur gugatan perdata atas KPU RI ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatan yang diajukannya tersebut, Partai Prima mendalilkan bahwa telah terjadi Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh KPU sebagai tergugat melalui tindakannya yang dinilai tidak profesional, proporsional, terbuka dan akuntabel dalam kedudukannya sebagai penyelenggara pemilu sehingga bertentangan dengan AUPB serta menyimpangi asas-asas
penyelenggaraan pemilu.26 KPU juga dianggap telah melanggar ketentuan Pasal 3 UU Pemilu dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang berkaitan dengan hak dari setiap partai politik untuk dapat menjadi bagian dari peserta pemilu.
Atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU, Partai Prima kemudian mendalilkan bahwa telah terjadi kerugian secara materiil maupun immateriil terhadap eksistensi partai tersebut. Secara materiil, kerugian yang dialami oleh Partai Prima ditaksir mencapai Rp. 500 juta yang telah dipergunakan sebagai dana penopang persiapan pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu. Di samping itu, kerugian secara immateriil juga dirasakan akibat hilangnya kesempatan bagi Partai Prima untuk menjadi Peserta Pemilu 2024 sehingga berdampak pula pada penurunan semangat dan konsolidasi pengurus serta anggota partai secara keseluruhan di setiap daerah.27 Oleh karena itu, Partai Prima kemudian memohon sejumlah poin yang termuat dalam petitum gugatan tersebut, di antaranya berupa penerimaan atas gugatan tersebut secara keseluruhan; menyatakan bahwa Partai Prima merupakan partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh KPU; menyatakan bahwa KPU telah melakukan PMH dan menghukumnya untuk mengganti kerugian materiil sejumlah Rp. 500 juta kepada Partai Prima; menghukum KPU untuk memulihkan kerugian immateriil yang dialami Partai Prima dengan mewajibkan tidak dilaksanakannya sisa tahapan Pemilu 2024 dan mengulang seluruh tahapan pemilu dalam kurun waktu 2 tahun, 4 bulan, 7 hari; dan bahkan menyatakan bahwa putusan perkara tersebut dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad).28 Dalam Putusan Perdata Gugatan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada akhirnya memutuskan untuk menerima gugatan Partai Prima secara keseluruhan.29
Apabila menilik pada serangkaian proses yang melatarbelakangi dikeluarkannya Putusan in casu, sejatinya pemantik utama dari persoalan yang terjadi ialah berupa kegagalan verifikasi Partai Prima untuk menjadi partai politik peserta pemilu 2024 sebagaimana telah dituangkan dalam berita acara oleh KPU. Dalam konteks hukum pemilu, persoalan tersebut tentu sejatinya merupakan bagian dari sengketa proses yang secara eksplisit telah dinyatakan dalam Pasal 466 UU Pemilu. Berkaitan dengan hal tersebut, sebagai bagian dari sengketa proses maka sejatinya lembaga yang memiliki kewenangan untuk memutus persoalan tersebut ialah Bawaslu sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 468 ayat (1) UU Pemilu. Dalam hal apabila para pihak belum dapat menerima hasil penyelesaian oleh Bawaslu maka dapat dilakukan pula pengajuan gugatan ke PTUN. Ketentuan tersebut pun telah secara langsung dituangkan dalam Pasal 469 ayat (1) dan lebih lanjut diuraikan pada Pasal 470 ayat (1) UU Pemilu.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana tersebut di atas, sengketa proses dalam konteks persoalan yang dihadapi oleh Partai Prima sudah seharusnya diselesaikan berdasarkan ranah kewenangan Bawaslu dan PTUN. Apabila menilik kembali alur persoalan yang terjadi, kedua upaya tersebut sejatinya telah ditempuh oleh
Partai Prima. Kendati demikian, tujuan berupa diterimanya Partai Prima sebagai salah satu peserta partai pemilu tidak kunjung tercapai, sehingga gugatan perdata menjadi jalan alternatif yang diambil oleh Partai Prima. Kondisi tersebut tentu merupakan sebuah kekeliruan Partai Prima dalam memahami pembagian kewenangan penyelesaian sengketa kepemiluan yang sejatinya telah diatur secara explicit verbis dalam berbagai ketentuan UU Pemilu. Di samping itu, kondisi yang lebih memprihatinkan tampak ketika Pengadilan Negeri Jakarta Pusat justru bertindak lebih jauh dengan mengeluarkan suatu “terobosan hukum” melalui dikabulkannya seluruh gugatan yang diajukan oleh Partai Prima. Terobosan tersebut bahkan lebih mengarah pada bentuk upaya “penerobosan batasan” yurisdiksi dan ranah kompetensi absolut dari sebuah Pengadilan Negeri. Apabila menilik pada Pasal 482 UU Pemilu, kompetensi absolut yang dimiliki oleh pengadilan negeri dalam penanganan sengketa pemilu sejatinya hanyalah berada pada ranah memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana pemilu. Sedangkan dasar hukum dilaksanakannya pemeriksaan maupun pemberian putusan atas gugatan perdata dalam penyelesaian sengketa pemilu oleh PN tidaklah ditemukan dalam UU Pemilu. Oleh karena itu, dalam konteks dikabulkannya gugatan perdata Partai Prima oleh PN Jakarta Pusat jelas telah menyimpangi ketentuan yang berkaitan dengan batasan kompetensi absolut dalam penanganan sengketa pemilu oleh pengadilan negeri sebagaimana telah dijabarkan dalam UU Pemilu.
Putusan Perdata Gugatan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tidak hanya menyisakan persoalan terkait yurisdiksi dan kompetensi absolut dari Pengadilan Negeri, melainkan semakin menimbulkan beragam problematika apabila ditelusuri lebih lanjut dalam konteks pembedahan atas amar putusan yang diberikan. Problematika tersebut utamanya terjadi akibat dimuatnya poin kelima dalam amar putusan tersebut yang menyatakan “Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari.”30 (cetak tebal penulis). Kendatipun penggunaan frasa “penundaan pemilu” tidak dituangkan secara tekstual dalam putusan tersebut, makna kontekstual yang mengarah pada ditundanya pemilu 2024 tetap tampak dengan sangat jelas. Ketentuan tersebut merupakan sebuah bentuk penyimpangan atas Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa penyelenggaraan Pemilu telah menjadi sebuah keharusan setiap lima tahun sekali. Tidak hanya itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menerobos batasan kompetensi absolut yang dimilikinya. Bukan hanya pada persoalan ranah kewenangan untuk mengadili, melainkan meliputi pula ranah pemberian putusan berupa penundaan pemilu yang tentu di luar kompetensi dan kewenangan yang dimilikinya.
Apabila menilik pada ketentuan penundaan pemilu yang dikenal dengan istilah “Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan”, terdapat beberapa indikator yang menjadi dasar legitimasi. Indikator tersebut meliputi “kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya”31. Namun, dalam Putusan in casu sebetulnya keempat indikator tersebut tidaklah terpenuhi sehingga tidak dapat menjadi dasar legitimasi dilakukannya penundaan terhadap Pemilu yang bahkan segala prosesnya telah dijalankan. Tidak
hanya itu, penundaan Pemilu dalam Putusan in casu juga tidak dapat dibenarkan karena saat ini Indonesia tidak sedang dalam situasi darurat, baik dalam konteks staatsnoodrecht maupun noodstaatrecht serta tidak pula sedang diliputi oleh bencana yang bersifat non-alam.32 Di samping itu, ketentuan UU Pemilu juga telah mensyaratkan dengan tegas bahwa apabila penundaan pemilu secara nasional akan dilaksanakan, maka seharusnya penetapan atas penundaan tersebut dilakukan oleh Presiden atas usul KPU. Dengan demikian, sejatinya tidak terdapat aturan apapun yang dapat menjadi dasar legitimasi kewenangan bagi sebuah Pengadilan Negeri untuk memutuskan penundaan pemilu, sekalipun ketika tidak dinyatakan secara eksplisit dalam amar putusan.
Putusan in casu yang meliputi ketentuan berupa penundaan pemilu juga telah menyimpangi hakikat gugatan perdata dalam perspektif hukum acara perdata. Pada dasarnya, setiap gugatan perdata yang diajukan oleh pihak penggugat merupakan sebuah bentuk persoalan dalam ranah privat yang berkekuatan hukum mengikat hanya pada para pihak yang berperkara.33 Di samping itu, tujuan utama yang sejatinya hendak dicapai dari suatu gugatan perdata ialah berupa penggantian kerugian (schadevergoeding)34 atas suatu tindakan (baik wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum) yang telah dilakukan oleh pihak tergugat. Kendati demikian, dalam konteks Putusan in casu, implikasi yang dihasilkan tidak hanya mengikat bagi kedua pihak yang berperkara melainkan berdampak pula secara nasional terhadap banyak pihak lainnya dalam ranah publik penyelenggaraan pemilu 2024. Di sisi lain, meskipun Putusan in casu diliputi oleh beragam kejanggalan, melalui dianutnya asas “Res Judicata pro Veritate Habetur”35 maka segala kejanggalan dalam putusan tersebut tetap harus dianggap sebagai suatu kebenaran dan wajib untuk dijalankan. Berdasarkan situasi tersebut maka sejatinya terdapat beberapa skema proyeksi implikasi secara yuridis maupun politis yang akan timbul sebagai akibat dari dikeluarkannya Putusan in casu.
Kejanggalan putusan in casu menyisakan celah hukum yang begitu besar bagi lahirnya konsekuensi yuridis yang mampu mengakomodir kepentingan politis segelintir pihak. Proyeksi atas konsekuensi tersebut dapat dilihat dengan dimuatnya ketentuan berupa “menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad)”36 dalam amar putusan in casu. Apabila dicermati secara seksama, penggunaan frasa “secara serta merta” telah mengakibatkan timbulnya sebuah keharusan bagi KPU untuk menjalankan ketentuan yang termuat dalam amar putusan tersebut yakni berupa penundaan segala proses pelaksanaan pemilu. Bahkan sekalipun apabila KPU memutuskan untuk melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi, putusan in casu harus tetap dianggap benar dan dijalankan terlebih dahulu secara bersamaan dengan berjalannya proses upaya banding tersebut. Situasi tersebut
kian diperparah ketika mengingat bahwa kendatipun upaya hukum banding maupun kasasi menjadi jalur yang dipilih oleh KPU, jangka waktu yang cukup panjang akan tetap dibutuhkan guna menemukan titik penyelesaian. Sedangkan di sisi lain, segala tahapan dan proses penyelenggaraan Pemilu 2024 sudah seharusnya senantiasa dijalankan sesuai dengan rencana jadwal yang telah ditetapkan.
Pada hakikatnya, yurisprudensi pengadilan merupakan salah satu sumber hukum ketatanegaraan sebagaimana diutarakan oleh Jimly Asshiddiqie.37 Dengan demikian, dalam hal apabila KPU memutuskan untuk tidak menjalankan isi dari Putusan in casu dengan tetap melangsungkan segala proses pelaksanaan pemilu sekalipun ketika proses banding maupun kasasi tetap bergulir dalam waktu yang bersamaan, maka akan terdapat anggapan bahwa KPU telah melakukan pembangkangan atas hukum itu sendiri. Berdasarkan penalaran yang wajar, kondisi tersebut dapat menjadi sebuah celah hukum bagi Partai Prima untuk mengajukan kembali gugatan onrechtmatige overheidsdaad38 ke PTUN dengan dasar bahwa KPU telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum melalui tidak dilaksanakannya putusan in casu. KPU pada akhirnya berada dalam posisi yang sangat dilematis. Di satu sisi, pelaksanaan seluruh rangkaian proses pemilu 2024 tidaklah benar apabila ditunda dan diulang kembali hanya atas dasar pertimbangan kepentingan satu partai politik yang bahkan tidak pula didukung oleh adanya pemenuhan satu pun indikator penundaan pemilu. Sedangkan di sisi lain, terdapat kewajiban yuridis yang timbul bagi KPU dalam menjalankan seluruh amar putusan yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Apabila ditelusuri secara politis, narasi penundaan Pemilu 2024 sejatinya telah bergulir sejak awal bulan Januari 2022 yang dipantik oleh menteri investasi, Bahlil Lahaladia, dengan dalih berupa upaya proteksi atas perekonomian negara dalam situasi krisis Pandemi Covid-19.39 Narasi tersebut kemudian berkembang dengan munculnya beragam dukungan dari pimpinan partai-partai politik dan pengusaha demi memperpanjang masa jabatan presiden atas dasar pertimbangan stabilitas politik dan ekonomi. Tidak hanya itu, desas-desus penundaan pemilu 2024 juga semakin terdengar pasca dikemukakannya big data oleh Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menko Maritim dan Investasi, yang menyatakan bahwa terdapat 110 juta warga Indonesia yang menginginkan penundaan pemilu.40 Berangkat dari banyaknya diskursus penundaan pemilu tersebut, bukanlah sebuah tuduhan yang tanpa dasar apabila menganggap upaya-upaya penundaan hingga kini masih terus dijalankan, baik secara terafiliasi maupun terpisah oleh aktor-aktor politik yang berbeda sebagai dalang di baliknya. Upaya tersebut pun berkembang dengan digunakannya “cara-cara baru” yang salah
satunya melalui penggunaan putusan pengadilan negeri dan pemanfaatan atas celah hukum yang sejatinya merupakan bagian dari produk politik itu sendiri.41
Dengan dikabulkannya gugatan perdata yang melahirkan implikasi yuridis berupa penundaan pemilu dalam putusan in casu, sejatinya telah mengakibatkan terciptanya sebuah preseden yang buruk bagi sejarah kepemiluan di tanah air. Preseden tersebut ke depannya dapat menjadi celah baru bagi aktor-aktor politik dalam melancarkan aksinya untuk melanggengkan kekuasaan. Tidak hanya itu, carut marutnya situasi politik yang menghambat pelaksanaan Pemilu pasca putusan in casu pun dapat pula dijadikan sebagai dasar penundaan pemilu. Hal tersebut tidaklah terlepas dari realita pengaturan penundaan pemilu yang masih menyisakan ruang ketidakpastian hukum melalui tidak adanya penjelasan lanjutan terhadap pemaknaan “gangguan lainnya” dalam Pasal 431 UU Pemilu sebagai salah satu indikator legitimasi penundaan. Dengan demikian, frasa tersebut dapat ditafsirkan dengan bebas yang bahkan meliputi pula pemaknaan yang cenderung politis, termasuk situasi saat ini yang juga berpotensi untuk dianggap sebagai salah satu bentuk “gangguan lainnya’’ sebagaimana dimaksud dalam UU a quo.
Penyelenggaraan Pemilu 2024 memiliki tantangan yang begitu besar, utamanya terhadap KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu. Putusan in casu telah menyudutkan posisi KPU dalam situasi dilematis yang mengharuskannya untuk memilih di antara dua keputusan alternatif. Pertama, KPU melaksanakan putusan yang berakibat pada penundaan dan bahkan pengulangan segala proses rangkaian pemilu sejak awal serta mengakibatkan terbuangnya anggaran negara secara sia-sia. Atau kedua, KPU memilih untuk tidak mematuhi isi putusan in casu dan tetap menjalankan rangkaian proses pemilu, namun di sisi lain terdapat ruang diajukannya gugatan onrechtmatige overheidsdaad ke PTUN yang akan mengancam posisi para Komisioner KPU. Penundaan pemilu merupakan sebuah ancaman besar bagi demokrasi Indonesia,42 dan apabila hal tersebut benar terjadi maka akan melahirkan sebuah catatan kelam dalam historis kepemiluan Indonesia yang merefleksikan cederanya kedaulatan rakyat serta telah hilangnya marwah konstitusi sebagai norma dasar dalam pemerintahan negara.
Penyelesaian atas sengketa proses pemilu pada hakikatnya merupakan ranah kewenangan Bawaslu dan PTUN. Sedangkan penetapan atas penundaan pemilu menjadi kewenangan KPU atas usul PPK maupun KPU Kabupaten/Kota atau Provinsi; atau dilakukan pula oleh Presiden atas usul KPU dalam hal apabila pemilu tidak dapat dilaksanakan di 40% dan 50% dari jumlah pemilih secara nasional. Penundaan tersebut pun wajib memenuhi salah satu persyaratan legalitas penundaan yakni adanya kerusuhan; gangguan keamanan; bencana alam; gangguan lainnya; atau terjadinya situasi bahaya. Keseluruhan indikator tersebut tidak terpenuhi dalam konteks dilakukannya penundaan pemilu 2024 sebagai implikasi Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, yang sebetulnya telah menerobos batasan yurisdiksi
Pengadilan Negeri dalam memeriksa dan mengadili sengketa proses pemilu. Di samping itu, putusan in casu telah menyimpangi hakikat putusan gugatan perdata yang seharusnya berada dalam ranah privat, melainkan justru berdampak luas bagi publik berupa penundaan pemilu yang sama sekali bukan merupakan ranah kompetensi yang dimilikinya. Meskipun diliputi oleh beragam kejanggalan, putusan tersebut tetap harus dianggap benar dan dijalankan sehingga pada akhirnya menimbulkan beberapa proyeksi implikasi secara yuridis dan politis. Secara yuridis, KPU berada dalam posisi yang dilematis antara menjalankan perintah putusan dengan mengulang seluruh tahapan pemilu, atau mengabaikan putusan tersebut namun berkonsekuensi yakni terdapat celah hukum pengajuan gugatan onrechtmatige overheidsdaad yang mengancam posisi komisioner KPU. Di sisi lain, secara politis, putusan ini akan menjadi sebuah preseden buruk yang melegitimasi pemanfaatan celah hukum demi menjalankan agenda politik penundaan pemilu dalam rangka melanggengkan kekuasaan yang secara jelas telah menyimpangi hakikat demokrasi dan amanat konstitusi.
Daftar Pustaka
Buku
Budiardjo, M. (2007). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Harimurti, Y. W. (2021). Negara Hukum Dan Demokrasi (Konsep dan Perkembangan Kontemporer). Malang: Setara Press
Labolo, M. & Ilham, T. (2015) Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep dan Isu Strategis. Jakarta: Rajawali Pers
Neumann, S. (1963). Modern Political Parties dalam Comparative Politics: A Reader. London: The Free Press of Glencoe
Rasyid, L. M. & Herinawati. (2015). Pengantar Hukum Acara Perdata. Lhokseumawe: Unimal Press
Jurnal
Aermadepa, A. (2019). Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu Oleh Bawaslu, Tantangan Dan Masa Depan.” Jurnal Justitia: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, 1(2), 1-14.
Airlangga, Shandi Patria. (2019). Hakikat Penguasa dalam Negara Hukum Demokratis, Jurnal Cepalo, 3(1), 1-10
Artis. (2012). Eksistensi Partai Politik dan Pemilu Langsung dalam Konteks Demokrasi di Indonesia. Jurnal Sosial Budaya, 9(21), 65-80
Chosni, Rudhi. (2019). Rekonstruksi Kewenangan Penyelesaian Sengketa Proses Sebagai Upaya Menuju Penguatan Kewenangan Pengawasan Bawaslu. Call For Paper Evaluasi Pemilu Serentak 2019 Bidang Evaluasi Kelembagaan Pemilu www. Journal.kpu.go.id
Effendi, O. (2020). Pembatasan Kekuasaan Berdasarkan Paham Konstitusionalisme di Negara Demokrasi. Politica: Jurnal Hukum Tata Negara dan Politik Islam, 7(2), 111133.
Erick, B., & Ikhwan, M. (2022). Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum di Indonesia. Jurnal Analisis Hukum, 5(2), 203-219
Fitriana, R. T. & Budyatmojo, W. (2022). Analisis Dampak Penundaan Pemilu 2024.
Souvereignty: Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional 1(2), 215
Hardianti, J. F. N. & Rahmanto, A.N. (2022). “Isu Penundaan Pemilu Pada Pemberitaan Media Online di Indonesia”. Jurnal Komunikasi Massa 1. h.3
Harimurti, Y. W. (2022) Penundaan Pemilihan Umum dalam Perspektif Demokrasi.
Rechtidee 17(1), 19
Janedjri M. Gaffar dalam Harun, R. (2016). “Rekonstruksi Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.” Jurnal Konstitusi, 13(1), 1-24
Mahfuz, A.L. (2019). Faktor yang Mempengaruhi Politik Hukum dalam Suatu Pembentukan Undang-Undang. Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan 1(1), 48
Prasetya, S. M. (2022). Politik Hukum Penundaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak 2020. Jurnal Kajian Konstitusi, 2(1), 53-73.
Setiadi, W. (2020). Penundaan Pemilihan Kepala Daerah Pada Masa Pandemi Covid-19 Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 9(3), 427.
Silalahi, W. (2020). Konstitusionalitas Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Serentak 2020.
Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia 2(1)
Simanjuntak, E. (2018). Peran Yurisprudensi dalam Sistem Hukum di Indonesia. Jurnal Konstitusi 16(1), 86
Slamet, S. R. (2013). Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu Perbandingan dengan Wanprestasi. Lex Jurnalica 10(2), 108
Internet
Tempo.co. Pakar Hukum: Rencana Tunda Pemilu 2024 Gunakan Alasan Apa? https://nasional.tempo.co/read/1566244/pakar-hukum-rencana-tunda-pemilu-2024 gunakan-alasan-apa diakses pada 11 Maret 2023 Pukul 13.00 WITA
Peraturan Perundang- Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang- Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109.
Pengaturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.
Peraturan Bawaslu Nomor 27 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.
Peraturan Bawaslu No.5 Tahun 2019 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor: 179/PL.02-
Kpt/01/KPU/III/2020 tentang Penundaan Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020 dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Yurisprudensi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 61/PUU-XI/2013
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022
Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst
Jurnal Kertha Patrika, Vol. 45, No. 1 April 2023, h. 1-18
Discussion and feedback